Bismillaahir Rahmaanir Rahiim
Rasulullah,saw., bersabda : ‘Aku punya waktu (waqt) dengan Allah, dimana para malaikat atau para nabi tidak ada yang menandingiku.’
Istilah waqt (waktu) bagi orang-orang yang berjalan dalam kesucian (muthashowif) sangat masyhur, berbeda maknanya dengan isilah waktu pada umumnya. Sabda Rasulullah,saw., : 'Aku punya waktu (waqt)dengan Allah,' dijadikan rujukan oleh para syaikh sufi bahwa lamanya kebersamaan dengan Allah disebut waktu (waqt). Namun jika dilihat secara umum, waktu merupakan ukuran sesuatu yang tidak memiliki wujud nyata, melainkan hanya asumsi. Untuk menentukan waktu, tancapkan sebatang kayu diatas tanah secara tegak lurus, dan bayangannya diberi tanda. Jika bayangannya bergerak dan menghilang diwaktu gelap, lalu muncul kembali diwaktu terang dan jatuh persis ditempat yang sama, berarti telah berputar satu kali, maka putaran satu kali itu disebut satu hari. Terlihat seolah-olah waktu itu berputar, padahal tidak demikian, yang berputar adalah zaman sebagaimana sabda Rasulullah,saw., : ‘Zaman berputar sebagaimana keadaannya pada saat Allah menciptakannya.’ Dan : ‘Allah meciptakannya dalam bentuk lingkaran, dan waktu-waktu didalamnya ditentukan kadarnya.’
Bayangan kayu tadi berasal dari cahaya matahari, oleh karenanya alat bantu yang digunakan untuk menentukan waktu adalah matahari dan bumi. Matahari terbit dipagi hari, seolah-olah ia muncul dari balik tabir bumi. Tempat terbit matahari itu dinamakan masyriq (timur) dan terbitnya orbit tersebut dinamakan syuruq. Lalu bila diikuti gerakan matahari hingga ke pertengahannya, maka pertengahan tersebut dinamakan istiwa. Kemudian, matahari itu mulai turun dari istiwa-nya mengambil arah kanan, bukan arah kanan dari matahari. Awal gerakan menjauh dari istiwa, dinamakan zawal (tergelincir).
Kemudian, jika matahari itu terus bergerak hingga hilang. Proses hilangnya itu dinamakan ghurub (terbenam). Tempat dimana ia hilang dari pandangan dinamakan maghrib (barat) dan angkasa menjadi gelap. Lama terangnya angkasa dari tempat terbit matahari (masyriq) ketempat terbenamnya (maghrib) disebut siang (nahar). Sedangkan masa kegelapan sejak matahari terbenam hingga terbitnya kembali, dinamakan malam. Dengan demikian, hari merupakan gabungan malam dan siang. Jarak pergeseran antara tempat-tempat terbit matahari setiap hari itu disebut ekliptika. Begitulah seterusnya sehingga bisa ditentukan dengan asumsi-asumsi tadi yang disebut dengan hari, bulan dan tahun. Dengan demikian, jelas bahwa malam, siang, hari, bulan dan tahun inilah yang disebut waktu. Lalu dengan kemajuan teknologi waktu dibagi lagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil yang dinamakan jam, menit, detik dan seterusnya. Semua itu tidak memiliki wujud dalam entitasnya dan bersifat relative. Yang berwujud hanyalah entitas matahari dan bumi, bukan entitas waktu dan zaman. Sehingga terlihat dengan jelas bahwa zaman adalah perkara abstrak yang padanya waktu-waktu itu diasumsikan, Allah SWT berfirman : 'Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari kurnia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan. dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas.' (QS 017 : 12)
Dalam dunia kesufian yang dimaksud dengan waktu adalah saat dimana seseorang merasa bersama dengan Tuhannya, persis sebagaimana yang dikatakan Sayyidina Ali,ra., bahwa : ‘Waktu adalah pedang.’ Karena fungsi pedang adalah untuk memotong, dan waqt memotong akar masa lalu dan masa mendatang serta menghapus dari hati perhatian tentang hari kemarin dan hari esok. Karena jika seseorang memikirkan masa lampau atau hari esok, ia akan ditabiri dari Tuhan, dan tabir adalah suatu penyimpangan yang besar. Seorang murid bercerita kepada gurunya, Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) bahwa ia mengalami keadaan dimana ia merasa berbahagia sepanjang hari, tanpa terpikirkan olehnya yang lain kecuali Allah SWT. Syaikh menjawab : ‘Alhamdulillah Semoga Allah selalu menghujani rahmat kepadamu dan sahabat beserta keluarga dengan Rahmaan dan Rahiim-Nya, semoga juga menaikkan darojat kita semua.’ Bisa dikatakan sang murid dalam keadaan mendapatkan atau dalam istilah tasawufnya disebut 'wajd' dan merasa berada dalam persatuan dengan Tuhan, manakala keadaan itu berakhir, ia tidak akan mampu meraihnya kembali, lalu ia bersedih karenanya. Oleh sebab persatuan dan keterpisahan dimaujudkan oleh Tuhan tanpa kehendak atau upayanya sendiri. Sebagaimana Yaqub,as., ia sedih lantaran keterpisahan dan menjadikannya buta, lalu persatuan membuat ia bahagia dan dapat melihat kembali. Dalam hal ini Yaqub,as., adalah pemilik waktu (waqt). Salah satu tanda kebersatuan adalah hilangnya kehendak, dan bilamana ia berkehendak kembali maka itu tanda ia dalam keadaan keterpisahan. Waqt adalah masa kebersatuan dengan-Nya, oleh karenanya waqt adalah sesuatu yang berada diluar lingkup usaha manusia. Meskipun demikian, Syaikh Waasi' Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) mendidik murid-muridnya yang terpilih, agar bila malam tiba, mewarnai jiwanya dengan menghadirkan rasa-rasa bahwa seolah-olah ia sedang merindukan dan mencintai-Nya (syauq wa mahabbah), merasa hening hanya ada dirinya dan Tuhan saja (da'im), merasa diawasi oleh-Nya dari semua arah (aqrobiyah), merasa senang dengan semua tindakan-Nya terhadap dirinya dan merasa bersama-sama serta diliput oleh-Nya (mai'yah). Nah tindakan menghadirkan rasa itu dinamakan ‘muroqobah’, dan bila sang murid mujur, ia akan merasakan kehadiran (hudhur) dan kebersamaaan (ma'i) dengan Tuhan, lamanya perolehan rasa-rasa inilah yang dinamakan waqt.
Hal terkadang turun menghias waqt, ini kondisi yang hebat yang dialami oleh seorang pejalan, dimana hal memperindah waqt, sebagaimana bintang menghias langit atau seperti ruh meliput badan, keduanya datang dari Allah SWT kepada orang yang dipilihnya. Bila mengalami keadaan yang demikian, rasa sedih dan gembira akan tersingkirkan dari dalam hati, baginya yang terlihat hanyalah Allah semata, sebagaimana Ibrahim,as., yang mengatakan : ‘Aku tidak suka pada mereka yang terbenam.’ Apa-apa yang dilihatnya hanyalah Wajah Allah semata, ciptaan hanyalah menjadi alat bantu dalam mewujudkan hal-nya. Jadi jelas sekali bahwa waqt adalah derajat dari para murid (yang menginginkan), sedangkan hal adalah sifat dari objek yang diinginkan (murad). Yang pertama menandakan seseorang bersama dengan dirinya sendiri dalam kesenangan waqt, sedangkan yang kedua dengan Tuhan dalam kelezatan hal.
Rabu, 29 September 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.