Bismillaahir Rahmaanir Rahiim
Pengajian pada Jum’at malam tanggal 29 Oktober 2010 berkenaan dengan Zuhud, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata bahwa : ‘Zuhud adalah hampa-nya hati dari dunia.’ Terkadang beliau mengatakan bahwa : ‘Zuhud adalah memusuhi dunia,’ Wejangan ini sungguh apik dan butuh penjelasan, karena tasawuf adalah ilmu tahapan. Yang pertama adalah akhir dari perjalanan zuhud sedangkan yang kedua adalah awal zuhud. Orang yang memusuhi dunia adalah orang yang sedang berperang (muthasowif) sedangkan orang yang hatinya hampa dari dunia adalah orang yang telah sampai (Sufi). Awal zuhud adalah perjuangan memusuhi kesenangan dan meninggalkan keinginan, sedangkan pada akhirnya berserah setelah jalan panjang perjuangan. Orang awam sering berpendapat bahwa dunia adalah harta benda, pendapat ini tidak salah namun tidak tepat, karena dunia adalah segala macam kehidupan yang dapat melalaikan seseorang dari Tuhan, merusak tauhid, yang didalamnya ada sesuatu yang dapat dilihat, dirasakan dan diraba, hakikatnya semual hal yang menyenangkan jiwa. Orang dari suku jawa sering mengatakan,berhati-hatilah terhadap harta, wanita dan tahta, tidak perlu dikejar-kejar, karena setiap manusia mesti mendapatkan bagiannya masing-masing dan tidak akan tertukar. Harta dan wanita dapat dilihat dan dirasa dan sungguh sangat jelas merupakan makanan favorit jiwa, sedangkan kedudukan atau jabatan atau tahta merupakan ujung daripada kebanggaan jiwa, karena ‘tahta’ bisa memicu dan membangunkan jiwa binatang buas pada diri seseorang, serta mengundang syaithon untuk memicunya, alhasil dengan banyak berangan-angan tentang tahta membuat manusia menjadi kalap dan mengejarnya tanpa menghiraukan norma-norma. Jika sudah demikian, syaithon menjadi pembimbingnya dengan cara terang-terangan dan juga tersembunyi (halus). Orang yang mabuk jabatan bagaikan serigala yang berbulu domba, ia berpura-pura menyelamatkan perusahaan atau negara padahal ia merampok. Jabatan atau tahta yang dimaksud disini bukan saja yang berkenaan dengan kedudukan pada swasta atau pemerintahan melainkan juga keagamaan. Didalam Al Qur’an terdapat banyak dijumpai kata dunia yang selalu dipadukan dengan akhirat, sedangkan bumi dengan langit, oleh karenanya dunia itu mencangkup bumi dan langit beserta isinya. Ada ayat Al Qur'an mengatakan bahwa dunia itu melalaikan, dunia itu hanyalah permainan belaka, dan ada juga dikatakan bahwa manusia harus mengambil bagiannya di dunia itu, maksudnya adalah sesuai peran kehidupannya. Jadi dunia ini melibatkan jawarih manusia dan juga jiwa. Nah membenci dunia letaknya ada pada jiwa, oleh karena itu orang yang kaya raya, mempunyai istri-istri yang cantik dan anak yang banyak boleh jadi ia seorang yang zuhud (zahid), dan sebaliknya orang yang tidak mempunyai harta benda malah sangat mencintai dunia (hubbud dunya). Oleh sebab itu ukuran zuhud bukan pada harta, wanita dan kedudukan, bukan pada dunia, melainkan pada keadaan jiwa ini, apakah ia selalu dalam keadaan meninggalkan kesenangan dan keinginan. Oleh karenanya didalam dunia kesufian zuhud pada awalnya adalah sebuah upaya memusuhi dunia dan pada akhirnya hampa-nya hati terhadap dunia, jadi jelas sekali tahapannya, bahwa memusuhi dunia adalah tindakan manusia sedangkan penghapusan dunia dari hati atau menjadi hampa adalah tindakan Tuhan, sehingga pada awalnya zuhud termasuk dalam kategori maqom dan pada akhirnya zuhud adalah ‘hal’, yakni sesuatu yang pada awalnya diupayakan dengan jalan riyadhah dan mujahadah atau dawamudz dzikri wa dawamun ubudiyah, dan pada akhirnya merupakan keberserahan, sehingga Allah mengkaruniai musyahadah.
Hubungan antara dunia dengan jiwa begitu mesra, Syaikh Maulana Jalaluddin Rumi,ra., menuturkan kisah yang sangat apik dalam bentuk prosa, dalam kisah ini wanita melambangkan dunia, pohon pir melambangkan jiwa dan suami melambangkan ruh. Seorang wanita dalam perjalanan dengan suaminya bertemu dengan kekasih lamanya yang sedang duduk dibawah pohon pir, timbulah keinginannya untuk bercumbu dengannya. Wanita itu dapat berpikir dengan cepat dan berkata kepada sumainya : ‘Sayang, aku ingin memanjat pohon pir untuk mengambil buahnya.” Suaminya mengangguk tanda setuju, lalu ia memanjat dan sesampainya diatas ia berteriak kepada suaminya, ‘Sayang, apa yang sedang engkau lakukan?’ ‘Saya sedang tidak melakukan apa-apa.’ Jawab sang suami. ‘Jangan membohongi aku, engkau sedang bercumbuan dengan seorang wanita’ Teriak istrinya. Bercumbuan? Tidak! Tidak ada wanita dibawah sini. ‘Ya sudah aku akan turun dan membuktikannya sendiri.’ Setelah turun ia meminta suaminya memanjat pohon pir untuk mengambil buah yang tidak jadi diambilnya. Begitu sang suami berada diatas pohon, wanita itu mulai bercumbuan dengan pacarnya. Sang suami berang ‘Apa yang sedang engkau lakukan, mengapa engkau bercumbuan?’ ‘Bercumbuan? Tidak! Saya tidak bercumbuan, sepertinya berada diatas pohon itu menjadikan kita melihat yang bukan-bukan. Tadi, akupun demikian, melihat engkau sedang bercumbuan dengan seseorang, padahal engkau tidak melakukan apa-apa.’ Iya , .. ya Jawab sang suami.
Kisah diatas begitu hebat, dunia (wanita) dan pohon (jiwa) bersekongkol mengelabui sang suami (Ruh). Dwmikianlah yang terjadi pada setiap waktu didalam diri manusia, suami (ruh) selalu mengajak kepada kebaikan namun sang istri (jiwa) selalu membelotnya dan mengajak kepada kejahatan, dan Tuhan memang sengaja menciptakan sarananya, yakni dunia. Oleh sebab itu tanpa pertolongan Tuhan, manusia tidak akan mampu berjalan sesuai tuntunan agama, karena dunia dicipta memang demikian adanya yang selalu berselingkuh dengan jiwa.
Mencintai dunia mempunyai tingkatan-tingkatan, dari yang mudah dikenali sampai yang sangat sulit dikenali. Namun sungguh jelas, hampir semua orang mencintai dunia, terbiasa menikmati kesenangan dan terjebak kepada keinginan-keinginan, dari kalangan awam sampai dengan orang yang mengurus agama. Jadi bohong belaka orang yang mengaku zuhud, tetapi masih banyak keinginan dan menikmati kesenangan serta khawatir akan masa mendatang. Seorang salik mengiringi Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) pergi haji dengan cara ifrad bukan tamattu, sang murid bertanya : ‘Mengapa kita harus ber-ifrad Syaikh bukan tamattu?’ Beliau menjawab : ‘Karena arti daripada tamattu adalah bersenang-senang. Pergi haji bukan untuk bersenang-senang melainkan meninggalkannya dan berlapar-lapar agar beroleh musyahadah.’ Nah, jika bukan seorang syaikh, sulit bagi seseorang bisa berhaji meskipun ia pergi haji, bila dihadapannya selalu ada fasilitas yang mewah dan makanan yang enak-enak. Orang yang hatinya telah hampa dari dunia (para syaikh sufi) tidak akan terpikat oleh hal-hal demikian, sedangkan orang yang sedang berjuang memusuhi dunia (mutashowif), kebanyakan bertekut lutut karenanya. Sebagai suri tauladan daripada zuhud adalah baginda Rasulullah,saw., meskipun hak ghonimahnya (rampasan perang) begitu besar, beliau,saw., tidak pernah menikmatinya dan selalu membagikan kepada umatnya yang membutuhkan, dan bahkan beliau,saw., selama hidupnya tidur diatas pelepah kurma dan makan seadanya saja, bukankah ini zuhud, yakni hampa-nya hati dari dunia?
Dunia memang sengaja diciptakan oleh-Nya untuk menjadi hijab, bila seseorang memusuhi dunia (zuhud), meninggalkan kesenangan dan menekan keinginan maka dunia terangkat dari hadapannya, yang ‘dilihat’ olehnya hanyalah Allah semata. Nah, orang yang demikian hatinya menjadi hampa terhadap dunia. Zuhudnya orang awam selalu dikaitkan dengan harta benda dan hal ini sangat mudah dikenali, sedangkan zuhudnya orang yang mengurus agama sulit dikenali, sebagai contoh bahwa ia selalu membicarakan agama dihadapan orang lain, akan tetapi didalam bicaranya itu selalu terkandung sesuatu harapan akan sanjungan-sanjungan, sehingga terjadilah proses pembentukan opini atau istilah sekarang disebut 'pencitraan' bahwa ia adalah orang yang zuhud, orang yang alim, orang yang mempunyai keadaan spiritual yang tinggi. Jadi ada harapan-harapan akan sanjungan, ada keinginan, bicaranya bukan untuk Allah tetapi untuk dirinya, inipun masuk dalam kategori mencintai dunia (hubbud dunya), namun sangatlah halus. Oleh sebab itu banyak para syaikh sufi, melawan atau berpuasa berbicara, serta 'bermusuhan' dengan murid-muridnya, dalam dunia kesufian disebut ‘samad’. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering memberikan isyarat-isyarat bahwa beliau akan melakukan samad ini dan berkata kepada seorang muridnya : ‘Bila waktu samad tiba, engkau kuizinkan boleh tinggal bersamaku.’ Sungguh merupakan kebahagiaan bila seorang murid dapat melayani syaikhnya yang sedang samad.
Kisah, Syaikh Sufyan ats Tsauri,ra., datang menjenguk Rabi’ah al Adawiyah,ra., : ‘Wahai Sufyan katakan sesuatu padaku.’ Jika saja engkau mau berdoa untuk kesembuhanmu, niscaya Allah mengabulkan, dan sakitmu pun akan hilang. Tidakkah engkau mengetahui siapa yang berkehendak atas penderitaanku ini? Bukankah Allah? Ya jawab Sufyan. Nah engkau mengetahuinya, namun mengapa engkau memintaku untuk memohon kepada-Nya apa yang bertentangan dengan kehendak-Nya? Tidaklah benar menentang kehendak Sahabat. Lalu apa yang engkau inginkan, wahai Rabi’ah? Tanya Sufyan. Sufyan, engkau adalah seorang yang terpelajar. Mengapa engkau berbicara seperti itu? Apa yang kau inginkan? Demi kemuliaan Allah, selama dua belas tahun aku mengidamkan kurma. Engkau pun tahu bahwa di Basrah, kurma berlimpah dan mudah didapat. Namun hingga saat ini aku belum memakan satu butir pun, karena aku adalah hamba-Nya, dan apa urusan hamba dengan keinginan? Jika aku ingin, namun Tuanku tidak ingin, ini adalah ketidaksetiaan. Untuk menjadi hamba Allah yang sejati, engkau seharusnya hanya menginginkan apa yang diinginkan-Nya. Jika Allah sendiri yang memberi, itu lain persoalan. Sufyan pun terdiam sejenak, kemudian ia berkata ‘Karena tak seorang pun dapat menilai keadaanmu, katakanlah sesuatu mengenai keadaanku.’ ‘Engkau adalah adalah orang yang baik, namun kenyataanya engkau mencintai dunia! Buktinya engkau cinta meriwayatkan hadis-hadis.’ Ya Allah pekik Sufyan, ridhalah kepadaku! Tidaklah engkau malu, tukas Rabi’ah, ‘memohon keridhaan yang engkau sendiri tidak ridha kepada-Nya?
Seorang ulama terkemuka di Basrah mengunjungi Rabi’ah,ra., ia duduk disisi bantal, ulama itu mulai mencaci maki dunia. ‘Anda sangat mencintai dunia!’ komentar Rabi’ah. ‘Jika ada tidak mencintai dunia, maka anda tidak akan begitu banyak menyebut-nyebutnya. Pembelilah yang selalu merendahkan nilai barang. Jika anda sudah putus hubungan dengan dunia, maka anda tidak akan menyebut-nyebutnya, pepatah mengatakan bahwa siapa yang mencintai sesuatu, ia akan sering menyebut-nyebutnya.’ Nah sekarang kita bisa melihat acara keagamaan yang sering muncul di tv, ada yang selalu menyebut-nyebut shodaqoh, harta benda, dan malah kalau sudah bicara agama seperti mabuk yang tidak dapat menyetop bicaranya.
Kisah diatas sungguh amat elok, dihadapan Rabi’ah,ra., ulama-ulama yang agung pun terlihat sisa kecintaannya terhadap dunia, meskipun para santrinya mengatakan bahwa mereka adalah zahid pada masanya, lalu bagaimana dengan kita para sahabat?
Semoga Allah mensucikan dan mengampuni dosa-dosa kita, amiin Yaa Allah Yaa Rabbal Alamiin.
Jumat, 29 Oktober 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.