Bismillahir Rahmaanir Rahiim
Sewaktu bumi dihamparkan oleh malaikat atas perintah Allah, sang Malaikat berkata bahwa bumi bergetar, lalu Allah memerintahkan untuk menancapkan gunung, barulah bumi menjadi tenang. Gunung mempunyai posisi yang unik dalam penciptaan, demikian pula yang terdapat pada kisah Nabiyullah Musa,as., yang harus memilih gunung yang pantas sebagai tempat berpijak guna ‘berbicara’ dengan Allah, lalu gunung Sinai (thursin) menjadi pilihannya, gunung yang tampak paling rendah diantara gunung-gunung yang lain. Oleh sebab kisah ini, gunung Sinai dijadikan symbol sebagai kerendahan hati (tawadhu), dan semenjak saat itu lah Nabiyullah Musa,as., mendapatkan gelar Kallamullah (orang yang berbicara dengan Tuhan). Gunung Sinai atau kerendahan hati (tawadhu), menjadi tempat yang istimewa didalam Al Qur’an Nuur Kariim, terdapat sebuah ayat dimana Allah SWT bersumpah atas nama gunung Sinai ini.
Dalam dunia ke-sufi-an, gunung mempunyai makna yang khusus, Syaikh Waasi Achmad Syaechudin (semoga allah merahmatinya) sering mengatakan bahwa : ‘Gunung adalah sebagai lambang kewalian.’ oleh sebab itu, bukan tanpa arti orang-orang terdahulu memberikan gelar kepada raja yang dicintainya dengan sebutan Pakubumi, Mangkualam, atau Pakubuwono, yakni orang-orang yang ditunjuk oleh Allah sebagai gunung untuk menjaga alam sekitarnya atau wilayahnya agar tidak bergejolak, baik secara lahir maupun batin. Memang pantas para raja-raja terdahulu mendapatkan gelar yang demikian, karena disamping ia seorang raja, ia pun seorang yang alim, yang dalam kehidupannya terhampar kemewahan dan kemudahan, namun ia menolaknya dan hidup sederhana. Ia memerintah dengan adil menurut hukum syariat agama, oleh karenanya alam disekitarnya mendukung dan dengan sukarela memberikan apa yang ada padanya, tanah subur, sungai mengalir dengan air yang jernih dan ikan-ikan pun hidup beranak pinak dengan suka cita, udara pun bersih tanpa ada kandungan zat yang berbahaya. Mengapa bisa demikian? Karena Allah membuat rakyat pada waktu itu patuh dan hormat kepada rajanya, tidak ada protes, tidak ada demontrasi, tidak seperti negara demokrasi saat ini, yang dibangga-banggakan namun tanpa makna keadilan. Tidak ada seorang pun yang protes mengapa harus shalat lima waktu, berpuasa, membayar zakat, bershodaqoh dan memberi makan kaum miskin, ini sebuah contoh bahwa kebahagiaan itu mesti diawali dengan sebuah perintah yang harus ditaati tanpa protes sedikitpun meskipun pahit, laksana obat yang menyembuhkan. Para raja terdahulu pada umumnya mempunyai sahabat dan penasihat dalam kehidupan pribadi dan dalam memerintah, yakni seorang syaikh sufi, seorang mursyid. Dan ia pun mengamalkan segala perintah sang syaikh dengan melakukan riyadah dan mujahadah tingkat tinggi, sehingga ia pun memperoleh kewalian, dalam istilah tasawuf disebut kewalian kecil (wilayat sugro) atau kewalian besar (wilayat qubro) serta kewalian malaikat (wilayat malaikah). Sejarah telah mengatakan demikian, dimulai dari dinasti Umayyah, Abbasiyah, Saljuk, Mamluk, sampai Ottoman, dan juga Syaikh Salahudin Al Ayyubi sang penakluk perang salib, semuanya raja-raja atau sultan ini mempunyai penasihat seorang syaikh sufi, lalu mengapa para penguasa saat ini malu mengambil contoh sejarah ini, apakah lantaran mereka telah bertitel kesarjanaan, S3, Doktor atau yang lain? Ketahuilah gelar-gelar itu dibuat oleh manusia dan mereka yang membuat persyaratannya, tetapi gelar kewalian, hanya Allah semata yang menghibahkan. Lalu, atau memang Allah yang menghendaki demikian, bahwa para penguasa sekarang ini dijauhkan dari para syaikh sufi, dan didekatkan kepada kemewahan dan kebanggaan, agar gunung-gunung mengeluarkan isi perutnya?
Para murid tarekat yang sungguh-sungguh didalam riyadhah dan mujahadahnya biasa mendapatkan mimpi berada didalam istana, atau rumah yang letaknya diatas bukit atau gunung, hatinya merasa tenteram dan terlindungi, dirumah itu ia bersuci (berwudlu) dan mendirikan shalat, ada yang bersusah payah dan ada yang mudah, ini sebuah tanda bahwa sang murid akan terbebaskan dari ikatan-ikatan duniawi dan meningkat keadaan spiritualnya. Itulah bukti kasih saying dan keridhaan seorang Syaikh kepada muridnya yang Allah pun ridha kepadanya.
Orang yang waras akan merasa tenang saat memandang gunung, lalu ia memuji Tuhan, sebagaimana ia merasa tenang saat memandang keindahan keadaan spiritual (robithoh) seorang syaikh sufi, segala sesuatu menjadi hilang yang diingat hanya Allah semata.
Apapun perilaku gunung, diamnya, gerak dan letusannya pastilah memberikan manfaat kepada alam sekitarnya, meskipun orang awam akan menyebut 'bencana' bila gunung meletus. Bencana apa? Bukankah alam sekitarnya akan menjadi subur dikemudian hari? Bebatuan, pasir dan mineral lainnya juga bermanfaat bagi makhluk? Jadi jelas! orang yang jauh dari keridhaan Tuhan akan memandangnya sebagai bencana dan sebaliknya orang yang mendapatkan keridhaan Tuhan akan tertancap sebuah keyaqinan bahwa Allah itu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, semua yang diperbuatnya akan bermanfaat bagi ciptaannya. Akan tetapi hukum syariat mengatakan bahwa berbagi harta, tenaga dan pikiran bagi makhluk yang terkena dampak letusan adalah wajib hukumnya, inipun terhampar manfaat yang begitu tinggi bagi orang-orang yang hidup pada masa letusan dan dapat memahaminya.
Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita semua, amiin Yaa Allah Yaa Rabbal Alamiin.
Selasa, 09 November 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.