Bismillaahir Rahmaanir Rahiim
Jika disebut nama-nama seperti Abdul Mughits, Abul Muhr, Abu Abdullah, Mukhabbar maka orang jarang yang mengenalinya, tetapi begitu disebut nama Al Hallaj, maka orang-orang yang bertasawuf mengetahuinya, begitu pun masyarakat muslim pada umumnya, paling tidak mereka pernah mendengar nama itu. Begitu masyhurnya Al Hallaj sehingga ia mempunyai banyak nama, dan banyak tempat telah ia jelajahi, begitu pun banyak syaikh sufi agung telah beliau ziarahi. Guru yang pertama mendidiknya adalah Syaikh Sahl Ibnu At-Tustari,ra., lalu Syaikh Amr Ibnu Utsman,ra., dan Imam Junayd Al Bagdadi,ra. Semua guru-guru yang agung itu ditinggalkannya, dan ia hidup mengembara kebanyak negara, yang pada akhirnya ia wafat di Bagdad secara mengenaskan ditiang gantungan, tanpa tangan, kaki, hidung , mata, telinga dan kepala, lalu jasadnya dibakar dan abunya dibuang ke sungai Tigris. Beliau lahir sekitar tahun 244 H / 858 M didekat kota Al Baidha’ di Propinsi Fars, Iran dahulu disebut Parsia.
Seorang salik yang baru satu tahun mengikuti majelis Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) bertanya : ‘Wahai Syaikh, bagaimana menurut Syaikh tentang kematian Al Hallaj?’ Dijawab : ‘Menurut syariat ia pantas menerimanya.’ Lalu setelah tujuh tahun berlalu, sang salik bertanya kembali hal yang sama, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) menjawab : ‘Meskipun secara syariat beliau pantas menerimanya, namun bila berdasarkan hukum suci hanya Allah sajalah yang mengetahuinya.’ Jawaban Syaikh bila dipandang secara lahir tampak berbeda, menunjukkan kematangan yang luar biasa didalam membimbing murid-muridnya. Kebijaksanaannya begitu luhur, seorang salik yang belum matang, cukup disuguhi anggur ruhani secukupnya saja, sehingga tidak pada tempatnya membicarakan tentang doktrin ‘kemabukkan’, setelah tumbuh ‘dewasa’ barulah Syaikh menjelaskan makna-makna dibalik riwayat yang menggemparkan dunia kesufian itu. Pendeknya Syaikh sepakat dengan tindakan yang diambil oleh Imam Junayd,ra., yang sebelumnya menolak enam surat berturut-turut dari khalifah Bagdad agar menyetujui fatwa hukuman mati, barulah setelah surat permohonan yang ketujuh, beliau menyetujuinya dan berkata : ‘Kami mengadili berdasarkan tampak lahir, sedangkan kebenaran batin hanya Allah-lah yang tahu.’
Banyak orang berpendapat bahwa Al Hallaj meninggalkan Imam Junayd,ra., faktanya tidaklah demikian, karena resep yang diberikan oleh Imam Junayd,ra., kepadanya adalah ‘diam dan pengasingan diri’. Hal ini membuktikan bahwa ia tidak dilarang atas dasar prinsip-prinsipnya melainkan atas dasar perilakunya. Oleh karenanya setelah beberapa tahun mengabdi kepada ‘gurunya’, ia melakukan perjalan ke Hijaz dan tinggal di Makkah. Setelah itu ia kembali ke Bagdad dan bergabung dengan sekelompok syaikh sufi menghadiri majelis Imam Junayd,ra. Disinilah ia berkata : ‘Wahai Syaikh, kemabukkan dan ketidak mabukkan adalah dua sifat manusia, dan manusia tertabiri dari Tuhannya selama sifat-sifatnya belum sirna.’ ‘Wahai putra Manshur, engkau keliru memahami kemabukkan dan ketidak mabukan. Yang pertama menunjukkan munculnya rasa rindu dan cinta yang berlebihan, sementara yang kedua menunjukkan kebaikan suasana ruhani seseorang dalam hubungannya dengan Tuhan dan keduanya tidak bisa diperoleh dengan usaha manusia. Wahai putra Manshur, dalam kata-katamu kulihat banyak kebodohan dan kesia-siaan.’ Begitulah Imam Junayd,ra., menjawabnya. Nah menjadi terang, mengapa Al Hallaj pergi meninggalkan guru-gurunya terdahulu, atau tepatnya Allah membuatnya demikian adanya, disebabkan pandangan atau doktrinnya yang berlawan. Guru pertamanya mempunyai doktrin tentang riyadhah dan mujahadah guna memperoleh musyahadah, ini menunjukkan tentang kesadaran dalam berupaya atau ketidak mabukkan, demikian juga dengan doktrin Imam Junayd,ra. Sedangkan doktrinnya adalah kemabukkan sebagaimana doktrin yang dianut oleh Syaikh Abu Yazid Al Busthami,ra. Akan tetapi oleh murid-murid penerusnya digganti dengan doktrin 'hulul' yang ditentang oleh para syaikh sufi, sehingga mazhab ini diharamkan. Seorang sufi yang mabuk terkadang mengalami keadaan ekstase yang berat, lalu mengucapkan kata-kata yang seolah-olah syirik secara lahir namun murni secara tauhid, dalam istilah tasawuf disebut ‘syath’ seperti ‘Ana Al Haq’ ‘Akulah Kebenaran’. Lalu apakah sama derajat orang yang hampir setiap harinya berpuasa dan melakukan shalat sunat empat ratus rakaat pada setiap malamnya, berkata ‘Akulah Kebenaran’, dengan seorang raja dzalim yang mengatakan ‘Akulah Tuhan’ seperti Fir’aun?
Dikatakan bahwa jika setetes air jatuh kelautan, 'bersatu', dan air itu ditanya, siapakah engkau? tentu akan dijawab 'Aku adalah lautan', akan tetapi ketika ia melihat dirinya, ia akan berkata 'aku adalah air dan Engkau adalah lautan'. Demikian analogi tentang kebersatuan makhluk dengan Sang Kholik, bukan dzatnya, melainkan sifat-sifat dirinya yang sirna dan melebur dalam sifat-sifat Tuhannya.
Imam Syibli,ra., adalah murid kesayangan Imam Junayd,ra., dan sebagai penerus rantai emas dari majelisnya di usia 51 tahun. Bersahabat dengan Al Hallaj, dikenal sebagai syaikh yang eksentrik, orang awam karena iri menyeretnya ke rumah sakit jiwa. Beliau wafat pada tahun 334 H/846 M, 25 tahun setelah wafatnya Al Hallaj, atau 36 tahun setelah wafatnya Imam Junayd,ra. Sebelum memasuki kesufian, beliau adalah gubernur di Propinsi Dimavind, Irak. Pada saat itu, semua gubernur wajib mengenakan jubah kehormatan pemberian dari khalifah Bagdad. Ia melihat seorang gubernur Rayy menyeka mulut dan hidungnya dengan jubah kebesaran ini, tindakannya ini menyebabkan ia dipecat. Kejadian ini, membuat ia mundur dari jabatannya dan meninggalkan istana, lalu bergabung pada majelis Khair an Nassaj,ra., yang mengantarkannya kepada majelis Imam Junayd,ra. ‘Engkau dikenal sebagai akhli mutiara (hikmah), berilah aku satu atau juallah satu kepadaku.’ Imam Junayd,ra., menjawab : ‘Jika aku menjualnya padamu, engkau takkan mampu membayarnya. Namun jika aku memberikannya Cuma-Cuma kepadamu, engkau takkan menyadari nilainya karena mendapatkannya dengan begitu mudah. Lakukanlah apa yang telah aku lakukan. Benamkanlah dulu kepalamu di lautan, dan jika engkau mengunggu dengan sabar niscaya engkau akan mendapatkan mutiaramu.’ Inilah ciri khas dari Imam Junayd,ra., dalam mendidik murid-muridnya, yakni secara teguh menjalankan praktek ‘Khalwat dar anjuman’, yaitu merasa sendiri bersama Tuhannya ditengah-tengah keramaian orang. Berbeda dengan ‘khalwat’, yang mengasingkan diri untuk sementara waktu dari keramaian orang banyak, sehingga orang-orang tidak tercemari oleh sebab kejahilannya. Setelah kejadian ini, ia mematuhi semua perintah gurunya. Tahun pertama ia berjualan belerang, karena melibatkan jual beli dan mendatangkan kemasyhuran, maka satu tahun berikutnya ia menjadi pengemis dan luntang-lantung di Bagdad. Masih terasa sisa keakuannya, ia pulang ke Dimavind tempat ia pernah menjadi gubernur disana. Dari rumah kerumah ia datangi dan memohon maaf, tinggalah seorang yang pernah terdzalimi, namun tidak diketahui lagi keberadaannya, hal ini membuatnya gundah. Ia menyedekahkan seratus ribu dirham, namun tetap saja hatinya tidak tenang. Empat tahun berlalu, dan akhirnya ia kembali ke Bagdad dan mengadukannya kepada gurunya. ‘Masih ada sisa-sisa kesombongan dan kepongahan dalam dirimu, mengemislah setahun lagi.’ Kata Imam Junayd,ra. Perintah ini dipatuhinya, lalu ia mengemis dan semua yang didapat diserahkan kepada gurunya, lalu gurunya menyedekahkan semuanya untuk kaum miskin. Setelah setahun berlalu, sesuatu yang ditunggu-tunggu terjadi, ia diterima sebagai sahabat Imam Junayd,ra., dan diberikan kewajiban baru, yakni melayani sahabat-sahabat yang lain. Suatu hari Imam Junayd,ra., bertanya : ‘Bagaimana engkau memandang dirimu sekarang?’ Imam Syibli,ra., menjawab : ‘Aku memandang diriku sebagai makhluk-Nya yang paling tidak bernilai.’ ‘Kini keimananmu telah sempurna’ jawab Imam Junayd.ra.
Setiap harinya ia membagikan permen kepada anak-anak yang mau menyebut nama ‘Allah’, juga memberikan dirham dan dinar kepada siapapun yang melakukannya. Namun tiba-tiba, ia menghunus pedang dan berkata : ‘Siapa saja yang menyebut nama Allah, akan kutebas kepalanya dengan pedang ini.’ Seseorang bertanya : ‘Sebelumnya engkau biasa memberikan permen dan emas. Namun mengapa sekarang engkau mengancam dengan pedang?’ Beliau menjawab : ‘Sebelum ini kukira mereka menyebut nama-Nya dengan berdasarkan pengalaman dan pengetahuan hakiki. Kini aku sadar bahwa mereka melakukannya tanpa perhatian dan hanya sekedar kebiasaan. Aku tak dapat membiarkan lidah-lidah kotor menyebut nama-Nya.’ Karena kelakuannya yang dianggap eksentrik, orang-orang awam membelenggunya dan membawanya ke rumah sakit jiwa.
Kisah ini sangat menggugah hati, Imam Junayd,ra., telah menjatuhkan putusan tegas tentang hukuman kepada Al Hallaj, yang karena dalam keadaan kemabukkan yang sangat kepada Tuhannya berkata ‘Ana Al Haq’ ‘Akulah Kebenaran’, akan tetapi murid kesayangan justru menganut doktrin yang sama dengan Al Hallaj, perbedaannya terletak kepada dijaganya lidah Imam Syibli,ra., oleh Allah SWT untuk tidak pernah mengeluarkan kata-kata ‘syath’. Nah, keadaan murid-murid didalam tarekat juga demikian, ada yang mabuk dengan begitu meluap-luap terhadap Syaikhnya, ada pula yang biasa-bisa saja. Oleh sebab itu, 'pemaafan' dan 'toleransi' lebih diutamakan, karena bila anggur cinta telah bercampur dengan darah, maka dalam pandangannya tak ada yang lebih baik dari Syaikhnya, maka apabila dijumpai ada murid-murid yang tidak memasang adab, mendidihlah darah dan berdetak keras jantungnya.
Imam Syibli,ra., menceritakan bahwa suatu malam setelah kewafatan sahabatnaya itu, ia berjumpa dalam mimpinya dan bertanya : 'Bagaimana Allah menghakimi orang-orang ini?' Al Hallaj menjawab : 'Mereka yang tahu bahwasannya ia benar dan juga mendukungnya berbuat demikian karena Allah semata. Sementara itu, mereka yang ingin melihat dirinya mati tidaklah mengetahui hakikat kebenaran. Allah merahmati kedua kelompok ini, keduanya beroleh berkah dan rahmat dari Allah.'
Inilah martir-martir Islam dalam dunia kesufian, yang ditentang oleh orang-orang Islam sendiri yang jumlahnya tak terhitung dan pendukungnya pun tak terbilang, dimulai sejak kewafatan beliau hingga kini dan insya Allah sampai dengan musnahnya dunia fana ini. Bandingkan dengan kita, yang pernah hidup setitik diantara masa panjang yang tercipta ini, lalu apakah cucu-cucu kita nanti masih mengingat dan menyebut nama kakek-nya yang telah wafat, sebagaimana orang-orang menyebut-nyebut nama Al Hallaj dan Imam Sybli,ra.? Oleh sebab itu wajar bila Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering terlihat meneteskan airmatanya tatkala berkata : ‘Syukur-syukur bila dikemudian hari masih ada seekor anjing yang mengencingi pusara kita.’
Selasa, 06 April 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.