Bismillaahir Rahmaanir Rahiim
Aisyah,ra., bertanya kepada Rasulullah,saw., sambil membaca ayat Al Qur’an ini : ‘Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka. (QS 023 : 60) apakah mereka itu orang-orang yang pernah mencuri dan berzina serta minum-minuman yang memabukkan? Rasulullah,saw., menjawab : ‘Bukan, mereka adalah orang-orang yang berpuasa dan shalat dan membayar zakat, namun takut kalau-kalau semua amal mereka itu tidak diterima. Mereka adalah orang-orang yang bergegas pada kebajikan dan sangat berpacu menuju kebajikan itu.’
Dialog diatas jelas sekali maknanya, bahwa tindak peribadatan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh (riyadhah) oleh orang-orang yang telah meninggalkan perbuatan dosa (wara) dan memberikan sesuatu yang halal kepada makhluk lain, akan mendatangkan rasa takut (khauf). Semua tingkatan maqom ada tanda-tandanya, karena tidak ada satupun maqom yang tidak disertai dengan kewajiban-kewajiban yang mesti dipenuhi oleh pemiliknya. Nah, tanda bahwa seseorang itu benar-benar terselimuti oleh rasa takut (khauf) adalah bergegas pada kebajikan, meninggalkan segala sesuatu yang meragukan (syubhat), segala sesuatu yang tidak berarti, dan apapun yang berlebihan. Memberikan sesuatu yang haram dalam jumlah yang sedikit atau banyak sekalipun tidak akan mendatangkan rasa takut, malah sebaliknya, yakni mendatangkan rasa kegundahan yang amat sangat. Beberapa tahun yang lalu Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering berkata bahwa : ‘Bilamana seseorang memperoleh hartanya dengan cara tidak halal, maka jangan pernah dibagikan kepada orang lain, karena akan mencemarinya, sebaiknya dimakan saja sendiri agar sempurna kejahatanya.’ Ujaran ini keras sekali dan akan berlaku terus hingga kini dan dimasa yang akan datang, karena tidaklah mungkin membersihkan rumah menggunakan sapu yang kotor. Oleh sebab itu, orang yang berpendapat bahwa harta hasil curian, atau yang didapat dengan cara yang tidak halal, dapat dicuci dengan cara berbagi kepada orang lain, apalagi kepada Syaikh-nya, adalah salah kaprah dan sia-sia belaka. Seperti memberikan nila setitik kedalam susu sebelanga, maka rusaklah semuanya. Inilah perbuatan yang paling merugi, sebagaimana Allah SWT berfirman : ‘Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.’” (QS 018 : 103– 04)
Jum’at malam tanggal 2 April 2010, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) menyampaikan sebuah penjabaran tentang khauf (takut) yang kaitannya dengan wara. Khauf, adalah syarat bagi orang yang mengaku beriman, sebagaimana firman Allah SWT berikut : ‘Takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman.’ (QS 003 : 175) Dan jika rasa takutnya itu adalah pengetahuan yang didasari oleh kebenaran hukum, maka pemilik keadaan ini adalah para ulama, Allah SWT berfirman : ‘Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.’ (QS 035 : 28) Sedangkan rasa takut (khauf) yang disertai dengan rasa hurmat yang luar biasa adalah haibah, dalam hal ini Allah SWT berfirman : ‘Dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan.’ (QS 039 : 47) Syaikh Abu Hafs al Haddad,ra., sahabat Imam Junayd,ra., ia buta huruf dan tidak bisa berbahasa Arab. Ketika sedang berada di pasar tempat ia bekerja sebagai pandai besi, ia mendengar ayat ini dari seorang buta, hatinya bergetar sedemikian meluapnya dan mengalamai ekstase yang begitu hebat. Dengan tangan telanjang ia mengambil besi panas dari dalam tungku, lalu menempanya dengan tangannya sendiri tanpa alat apapun. Orang-orang yang melihatnya menjadi gaduh an terkagum-kagum. Kesadaran insaniyahnya kembali, ia melihat besi panas yang telah jadi ditangannya dan suara gaduh dari orang-orang disekelilingnya, kemudian ia meninggalkan pekerjaan itu dan menjalankan disiplin diri yang keras, dan menjalani meditasi dalam kehidupan terasing. Suatu hari, Ia berkata kepada Imam Junayd,ra., : 'Pengorbanan diri berarti berlaku adil terhadap orang lain, dan tidak mencari-cari keadilan bagi diri sendiri. Dan berlaku benar tidak cukup dengan kata-kata.' 'Bangkitlah wahai murid-muridku, pengorbanan diri Abu Hafas tiada tandingannya,' perintah Imam Junayd,ra., kepada murid-muridnya.
Wara, tawadhu dan muhasabah adalah busana sebuah maqom khauf (takut). Oleh sebab itu tepat sekali dikatakan bahwa, diantara hamba-hamba yang takut kepada Allah adalah para ulama, atau orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya. Kehidupannya terisi oleh kontemplasi yang terus menerus tentang sifat Keperkasaan-Nya. Sehingga ia memperoleh (wajd) dari Kemurahan-Nya berupa ilmu dalam kesabarannya, dan bertambah-tambahnya rasa, sehingga takutnya menjadi mencekam dan menyempitkan dada (Al Qabdh). Rasa takut ini bukan datang begitu saja, melainkan buah dari menanam pohon kepatuhan dan menyiraminya pada setiap saat dengan kegigihan didalam melakukan tindak peribadatan. Orang yang seperti ini dibawa kedalam alam kemuliaan, lalu dibusanai dengan sebuah rasa takut hanya kepada Allah saja. Khauf yang sempurna didalamnya ada muhasabah, menghitung setiap langkah, apakah didalamnya ada waktu yang tersia-siakan. Sesekali dijumpai keindahan berupa ilmu pengetahuan, berupa penjabaran tentang khauf, keadaan ini dalam ilmu kesufian disebut wajd. Orang-orang yang memperoleh wajd, seketika membungkukan badannya, ada juga yang tiba-tiba jongkok. Ia menikmati sesuatu yang amat berharga dan dijadikan kendaraan untuk berdekat kepada Allah SWT. Bagaimana wajd itu datang, bisa dari lantunan suara-suara atau datangnya berita dari orang lain, bisa datang dari bertiupnya angin, teriknya matahari, dan dari rintiknya hujan, upaya memohon wajd disebut tawajud. Orang yang dibusanai khauf yang sempurna, dia mengembara dialam wajd. Dia berhenti sejenak terlepaskan dari hiruk pikuknya dunia dan diri. Maka pemilik khauf ini takut kehilangan rasa takut, oleh sebab itu, ia menjadi waspada sebagai pertahanannya. Tindak tanduknya menjadi tampak ragu-ragu dan sesekali terlalu tegas, khawatir tingkahnya akan mengotori alam semesta, akan menghina dan merendahkan makhluk-makhluk yang lain, termasuk makhluk-makhluk yang tidak terlihat. Begitulah terperincinya pemilik maqom khauf yang sempurna. Maka tidaklah bisa disebut ulama apabila wara dan tawadhu sebagai busana khauf tidak ada, karena ilmu pengetahuan tentang kebertahanan tidak dimilikinya.
Seseorang bisa menimbang keadaan dirinya, apakah rasa takutnya kepada Allah setara dengan rasa takutnya pada kemiskinan? Bagaimana seseorang yang takut namun bergembira dalam kehidupannya? Dalam hal ini Imam Junayd,ra., berkata : ‘Takut adalah datangnya deraan derita dalam setiap hembusan nafas.’ Jadi takut itu laksana api yang membakar objek hawa nafsu yang akan mengusir hasrat akan dunia.
Syaikh Hatim al-Asham,ra., berkata : ‘Janganlah kamu tertipu oleh tempat-tempat yang saleh, sebab tidak ada tempat yang lebih saleh daripada surga, dan pikirkanlah apa yang telah menimpa Adam,as., di tempat yang begitu saleh. Jangan pula kamu tertipu oleh banyaknya amal ibadat. Sebab setelah iblis melakukan ibadat begitu lama, ternyata ia harus mengalami nasibnya seperti itu. Juga, janganlah kamu tertipu oleh banyaknya ilmu, sebab Bal’am pun mengetahui Nama Allah Yang Teragung (Al-Ismul A-dzam), tapi lihatlah apa yang terjadi padanya? Jangan pula kamu tertipu karena bertemu dengan seorang yang saleh, sebab tidak ada orang yang takdirnya lebih agung daripada al-Musthafa Muhammad,saw., sebab para kerabat dan musuh-musuhnya tidak mengambil manfaat atas perjumpaan dengannya.’
Dikatakan bahwa Nabiyullah Isa,as., sedang bepergian, dan bersamanya ada seorang saleh dari bani Israil, dan seorang yang terkenal dengan keburukan akhlaknya mengikuti mereka. Duduk agak jauh dari mereka, orang yang buruk akhlaknya ini berdoa ‘Wahai Tuhanku, ampunilah aku.’ Dilain pihak orang saleh itu juga berdoa : ‘Ya Allah, bebaskan aku dari orang berdosa yang mengikuti aku ini, mulai besok pagi.’ Maka Allah mewahyukan kepada Nabiyullah Isa,as., : ‘Aku telah menjawab doa kedua orang yang mengikutimu, telah Kutolak doa orang saleh ini, dan telah Kuampuni si pendosa ini.’ Nah, para sahabat, mencermati pelajaran dari kedua riwayat diatas, akankah kita merasa aman dari tipu daya Allah SWT? Mari segera kita berlidung kepada-Nya dari-Nya.
Jumat, 02 April 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.