Bismillaahir Rahmaanir Rahiim
Allah SWT berfirman : 'Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu keyakinan.' (QS 015 : 99)
Keyakinan merupakan buah dari menanam bibit kepatuhan. Selagi berupa bibit dan tanpa adanya pengetahuan (‘ilm) tentang pohon dan buahnya, seseorang belum yaqin apakah bibit yang akan ditanam akan tumbuh seperti pohon yang dimaksud dan menghasilkan buah yang diinginkan. Sebagaimana ayat diatas, adalah sebuah perintah untuk menyembah Tuhan sampai datang sebuah keyaqinan, bahwa yang disembah adalah Tuhan yang dimaksud. Jadi hubungan antara tindakan kepatuhan dan keyaqinan, seperti hubungan badan dengan ruh, menjadi hidup dan tidak bisa dipisahkan. Oleh karenanya, pertolongan (tawfiq)dan petunjuk Tuhan (hidayah) menjadi faktor utama bagi seseorang untuk menuju kepatuhan, sedangkan perolehan keyaqinan adalah murni tindakan Tuhan. Jadi, mustahil mengenal Tuhan tanpa melalui tindak kepatuhan atas segala yang diperintahkan dan meninggalkan apa-apa yang dilarang-Nya.
Dari keterangan diatas, dapat diketahui bahwa yang bisa membebaskan seseorang dari keraguan dan kegelisahan, adalah keyaqinan. Tanpa keyaqinan, bibit tidak akan ditanam. Pengetahuan (‘ilm) adalah keyaqinan kepada realitas objek yang diketahui. Oleh karenanya, bilamana pengetahuan diperoleh, yang tersembunyi menjadi seperti yang terlihat sesungguhnya. Maka, seseorang akan melihat pohon dan buahnya dikemudian hari, sebagaimana ia mengetahuinya melalui pengetahuan (‘ilm) saat sekarang. Jika tidak, maka, pengetahuannya tentang objek yang dimaksud keliru.
Sekarang dilihat dari perspektif yang berbeda, agar kita semua dapat memahami yang dimaksud dengan keyakinan di dunia kesufian. Jika ayat diatas merupakan perintah untuk menyembah Tuhan agar diperoleh keyaqinan, maka keyaqinan mempunyai tingkatan dan tahapan. Karena menyembah Tuhan diwajibkan bagi orang Islam selama ia hidup dan tidak gila, maka begitu pula keyaqinan yang akan ia peroleh berjenjang-jenjang pula.
Semua orang sepakat untuk tidak meragukan keberadaan matahari, karena tiga alasan, pertama, beroleh petunjuk oleh sebab kecemerlangan cahayanya dan dapat merasakan kehangatannya, dalam istilah tasawuf disebut dengan ‘ilm al-yaqin, sehingga ia diketahui, dibuktikan dan tampak jelas. Kedua, melihat wujud matahari, dan inilah yang disebut dengan ‘ayn al-yaqin. Ketiga, memancarkan cahaya mata dalam cahaya matahari, dan inilah yang disebut haqq al-yaqin, dengan demikian, penglihatan menjadi mata dan mata menjadi penglihatan. Jadi, dapat dianalogikan bahwa keyakinan ibarat pohon, akarnya adalah ‘ilm al-yaqin dan cabang-cabang dalam keyakinan adalah ‘ayn al-yaqin dan haqq al-yaqin. Nah, tanpa akar tidak mungkin ada cabang, demikian pula tanpa ‘ilm al-yaqin tidak akan ada ‘ayn al-yaqin dan haqq al-yaqin. Akar pada umumnya tersembunyi didalam tanah, sebagaimana cahaya hakikat yang tersembunyi dari sifat-sifat kemanusiaan. Begitu akar atau cahaya hakikat terungkapkan, melalui peniadaan sifat-sifat kemanusiaan, dengan melakukan tindak riyadhah dan mujahadah yang gigih, maka akan diperoleh ‘wajd’ dan dirinya diliputi oleh rasa kegembiraan, itulah yang disebut ‘ilm al-yaqin. Bukti keterungkapannya berupa ‘wajd’ atau keterpesonaan atau ekstase, dan bukan dengan bimbingan akal dan pengetahuan dari membaca dan mendengar saja. Begitu pula ‘ayn al-yaqin niscaya bisa diperoleh melalui perenungan (kontemplasi), sedangkan haqq al-yaqin melalui meditasi (muroqobah). Bimbingan akal dan pengetahuan dari membaca dan mendengar tidak akan pernah menimbulkan ‘rasa’. Sebagaimana orang yang percaya adanya matahari namun tidak pernah merasakan cahaya kehangatan dan kecemerlangannya, sehingga tidak menjadi petunjuk (huda) baginya.
Imam Hujwiri,ra., berkata bahwa yang dimaksud oleh kaum sufi dengan ‘ilm al-yaqin adalah pengetahuan tentang praktik keagamaan di dunia ini yang sesuai dengan perintah-perintah Tuhan. Dan yang mereka maksud dengan ‘ayn al-yaqin adalah pengetahuan tentang keadaan menjelang mati dan saat meninggalkan dunia ini. Sedang yang mereka maksud dengan haqq al-yaqin adalah pengetahuan intuitif tentang penglihatan (akan Allah) yang akan ditampakkan di surga, dan tentang sifat alamiahnya. Nah, ketiganya merupakan ‘pengetahuan’ yang dapat dirasakan oleh seseorang pada saat ini atas sesuatu yang bagi orang lain masih merupakan cita-citanya.
Oleh karenanya keimanan bisa saja melekat pada semua orang mukmin, akan tetapi keyaqinan hanya milik orang mukmin tertentu saja. Karena, ‘ilm al-yaqin adalah ilmu tentang ‘hal’, bukan apa yang bisa diketahui melalui bukti yang kuat saja. Kegelapan keraguan tidak bisa sekaligus dihilangkan, kecuali dengan terbitnya matahari hakikat. Allah SWT berfirman : 'Jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin ('ilm al-yaqin), niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, Dan Sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin. (QS 102 : 5-7)
Jumat, 30 Juli 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.