Sabtu, 07 Maret 2020

PEMAHAMAN YANG SALAH

Bismillaahir Rahmaniir Rahiim

Salah satu kesalahan murid dalam bertarekat adalah menganggap bahwa syaikh atau gurunya itu adalah orang yang suci dan jernih secara sempurna dan selalu dalam keadaan yang demikian, sehingga kalau syaikh melakukan kesalahan, murid akan kecewa. Padahal kesalahan itu bukan ada pada gurunya, melainkan ada pada sang murid dalam memahaminya.

Dikatakan bahwa yang ma’sum hanyalah para nabi, maka tidak ada yang lain tanpa melakukan kesalahan termasuk para syaikh, mursyidin dan para arifin. Karena kesalahan itu banyak memberikan i'tibar atau pelajaran, ada kesalahan secara sar’i, ada kesalahan dalam arti tidak sependapat dengan orang lain. Banyak orang menganggap jika tidak sependapat dengannya dikatakan salah, jika demikian maka sayidah Aisyah,ra, sering mengatakan bahwa Nabi,saw, salah, misalnya dalam sholat kelebihan atau kekurangan rakaat, hakikatnya Nabi,saw, tidak lah salah, melainkan mengajarkan bagaimana cara untuk memperbaiki kesalahan, karena syariat Islam datangnya dari beliau. Begitu juga para syaikh terutama seorang mursyidin, adalah manusia yang dapat melakukan kesalahan, namun kesalahannya merupakan qudwah bagi murid-muridnya, qudwah bagaimana cara melakukan pertaubatannya. Yang dimaksud bahwa seorang syaikh tidak pernah salah, adalah mereka selalu bertaubat didalam tarikan nafasnya. Karena Nabi,saw, bersabda orang yang bertaubat sama dengan orang yang tidak berdosa, mereka sudah terlatih sejak mula-mula menjadi murid, mereka membaca istighfar pagi dan petang, bukan istighfar secara lisan saja, tetapi betul-betul memohon ampun. Ketika mereka telah ma’rifat, syuhud atau lebih dikenal memiliki mahabbah, maka mereka selalu dalam keadaan memohon ampun kepada Allah. Sehingga bersih dari kesalahan, ada hadits Rasulullah saw yang mengatakan bahwa jika Allah mencintai seorang hamba, maka dosa hamba itu tidak merusaknya, tidak memudhorotkannya. Karena Allah telah membagi cinta-Nya kepada hamba itu. Jika seseorang mempunyai sahabat yang kesalahannya banyak, tetapi karena ada ikatan cinta, maka cinta akan menutupi kesalahannya, tetapi jika sudah didasari kebencian, maka kebaikan yang banyak pun akan dianggap buruk, malah berbuat baik dianggap salah.

Bisa jadi para murid telah dipahami oleh pemahaman yang yang bersifat tradisi tentang syaikh, tentang arifin, sehingga kecewa ketika melihat mereka melakukan kesalahan, kecewa sekali. Kesalahan dalam pemahaman ini, boleh jadi dilakukan juga oleh orang berilmu, karena tidak mengerti tentang hakikat mursyid ruhiyah, apalagi kalau kesalahan itu adalah kesalahan yang dinyatakan oleh syariah, padahal kesalahan itu hikmah. Jika kita mengutip perkataan para syaikh sufi bahwa dosa itu indah, dosa itu baik, maka orang akan lebih salah lagi memahaminya. Kalau kesalahan itu mukhalafatu syariah, maka ada ayat didalam Al Qur’an : ‘Innallāha yuḥibbut-tawwābīna wa yuḥibbul-mutaṭahhirīn. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang mensucikan diri. (QS 002 : 222), Ampunan-Nya terbuka dan Allah menganjurkan untuk selalu bertaubat dan telah menyediakan doa-doa taubat. Dosa bagi para syaikh dan arifin adalah manakala tidak berhasil mengingat-Nya, tidak memiliki rasa rindu kepada-Nya, tidak jujur kepada Allah, bahkan mereka mengatakan siksaan yang paling pedih adalah manakala Allah tidak memberikan akhlak mulia. Memang berbeda jika melihat dari sisi hakikat dan melihat dari sisi syariat, dan lebih lagi bila dicampur lagi dengan akal yang terbatas. Agama makin sempit bila dilihat hanya dari segi amal jahir saja, tidak melihat bagaimana kemurahan dan kasih sayang Allah. Para syaikh sudah bicara tentang kasih sayang, itu sebab mereka para mursyid mempunyai ampunan yang lebih besar daripada kesalahan yang diperbuat oleh muridnya. Tetapi murid sering memahaminya secara salah, karena pemahaman agama yang masih sempit.

Yang dimaksud dengan kesucian atau kebersihan hati atau sofa qolbu adalah qolbu yang jernih dari pengaruh sifat nafsu seperti sombong, bohong, riya, ujub, sum’ah, iri, dendam, dan lain sebagainya. Seorang murid tidak akan mampu membayangkan bahwa para mursyid itu tidak lagi punya sifat buruk, sulit diterimanya karena sang murid gudang sifat buruk. Meskipun seorang murid shalat di tengah malam, dibilik gelap dan dikunci rapat sehingga tidak ada yang melihat dan tidak ada yang mendengar, tetapi pasti masih melihat pengakuan diri, sedangkan para mursyid itu selamat dari dua pandangan melihat orang dan melihat diri. Nah, tujuan daripada bertarekat itu adalah mengalihkan yang selama ini tujuannya makhluk kepada Allah. Oleh karenanya jika orang yang bertarekat meskipun sudah lama, tetapi belum memulai memindahkan tujuan ibadahnya dari selain Allah kepada Allah, maka dia belum mulai bertarekat, sebaliknya bila seseorang sudah mengalihkan pandangannya maka hakikatnya dia sudah bertarekat meskipun belum bai’at.

Ada sebuah kisah di Banten, seorang Syaikh, di dengki oleh orang, dihasut, disakiti, murid-murid yang di sekitarnya menyaksikan, sehingga murid-muridnya tahu siapa yang menyakiti gurunya, tiba-tiba muridnya memusuhi orang yang menyakiti gurunya, sedangkan gurunya tidak pernah membalasnya jahir ataupun batin. Muridnya menyaksikan gurunya sangat sabar, seolah tidak terjadi apa-apa. Sehingga muridnya pun berkata kepada guru 'usir saja dia dari pengajian, tidak pantas bertarekat seperti itu', gurunya malah marah dan menegur muridnya. Orang yang menyakiti bertobat, dan gurunya menerima, sedangkan murid-muridnya tidak terima. Dari contoh ini, murid-murid seperti itu tidak menyadari bahwa mereka memiliki guru tarekat, pembimbing ruhani, mereka tidak tahu dan menyadari sebetulnya apa yang mereka ingin ambil dari gurunya, padahal mereka menyaksikan betapa gurunya sangat sabar, terhadap musibah yang menimpanya, mereka menyaksikan itu, tetapi tidak dapat mengambil 'ibrah ruhaniyah' gurunya, mereka tidak tahu maknya yang sebenarnya bersahabat dengan guru, apa yang sebenarnya mereka ingin ambil. Ketika gurunya wafat, orang itu pun menjadi musuh bebuyutan. Mengapa mereka tidak mencotoh gurunya untuk terus mengajak kepada kebaikan? Artinya meskipun mereka mengaji tasawuf dalam waktu yang lama tetapi tidak memperoleh waris ruhani dari gurunya. Mereka tidak mengerti suluk, arti suluk dalam hal ini adalah, tarbiyah ruhiyah, tasawuf, agamanya hanya teks dan taklid buta saja. Ini adalah pemahaman yang salah dan merupakan musibah jika agama kehilangan tasawuf, semua disamakan dengan amal jahir. Padahal orang yang mengurus batin akan secara otomatis mengurus jahirnya sedangkan orang yang mengurus jahir membiarkan batinnya.

Semoga bermanfaat wallahualam bisawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.