Minggu, 22 Maret 2020

ISTIDRAJ

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Sayidina Abdullah Ibnu Mas’ud,ra, berkata : ‘Berapa banyak orang yang dihancurkan disebabkan nikmat yang dilimpahkan kepadanya, dan berapa banyak orang tertimpa fitnah, disebabkan pujian kepadanya.’

Tidak sedikit ulama jika dipuji merasa senang, dikiranya pujian itu sedang mengangkat derajatnya. Sesungguhnya pujian itu justru fitnah, hal ini menarik sekali untuk dibahas, fitnah itu berasal dari ‘iftinan’ dari ‘fatin’ yaitu perempuan cantik yang menarik hati yang dapat mengakibatkan perbuatan buruk. Maka dikatakan didalam al Qur’an bahwa istri dan anak itu fitnah, harta juga fitnah, suara wanita pun fitnah yang maksudnya bukan keburukan melainkan ujian. Karena fitnah itu mengandung nilai yang sangat menarik dan memikat, saking menariknya bisa membuat hancur, karena harta orang hancur, karena anak orang ribut, karena istri orang berkelahi, jadi apakah dengan sesuatu yang menarik hati itu, manusia mampu mendudukkannya pada porsi untuk tetap bertindak adil. Itulah maksud fitnah didalam dunia tasawuf berbeda dengan makna fitnah secara umum.

Rasulullah,saw, berdoa manakala dipuji : 'Ya Allah jangan Engkau hukum aku karena apa yang dikatakan oleh orang-orang itu.' dan 'Ya Allah ampunilah aku dari apa yang tidak mereka ketahui (dari diriku).' Maka pujian itu fitnah dan berapa banyak orang tertipu, dan apa sebabnya? Karena perbuatan dosa yang disadarinya tetapi tidak ada keinginan untuk menghentikannya, yang timbul dari harapannya ingin dimuliakan orang, ingin dianggap mempunyai kedudukan ruhani yang tinggi, dengan kebohongan dan pencitraan tampil didepan jamaahnya. Sehingga Allah SWT menutupi hal ini agar tidak terlihat keburukannya dan merasa aman terhadap maksiatnya. Semakin sering dilakukan akan semakin menutupi kebenaran dan menjadi kebiasaan atau rutinitas, maka kebohongannya dianggap sebagai kebenaran, naudzubillah min dzalik. Jika sudah demikian niscaya Allah SWT malah lebih rapat menutupinya, sehingga jiwanya selalu sibuk dan lapar terhadap sanjungan orang dan merasa tidak akan hancur di dunia ini. Imam Arsalan,qs, mengatakan : ‘Wahai tawanan nafsu syahwat dan amal ibadah, wahai tawanan maqom-maqom dan kasyaf, sungguh kalian terpedaya. Engkau sibuk dengan dirimu sendiri dan melupakan-Nya, manakah kesibukanmu dengan-Nya dan melupakan dirimu?’ Kebanyakan orang mendapatkan kemudahan hidup dikaitkan dengan ibadahnya yang berupa dzikir, sholawat, puasa sunah dan lainnya, diakuinya karena sebab berkah sebagai ustadz, padahal mungkin mendapatkan rizkinya dengan batil, tetapi Allah tidak membukanya. Makanya cerita orang-orang salaf dulu, kita ini kelihatan cakap dan berwibawa karena ditutup oleh Allah, jika tidak, orang akan lari dari kita seperti dikejar harimau. Imam Hasan Al Basri,ra, berkata : ‘Kalau dosa itu berupa ekor, maka di jalanan akan penuh dengan ekor itu.’ Dunia ini adalah ‘darul ibtila’ dan semua datangnya dari Allah.

Pujian itu bisa datang dari luar dirinya dan dari dalam dirinya, jika seseorang memuji dirinya sendiri atau kagum terhadap dirinya atau memandang dirinya sempurna disebut sebagai ujub, maka hakikatnya dia sedang memfitnah dirinya sendiri, ini lebih buruk dari sombong, jika orang sombong artinya ada tuntutan agar orang membesarkan dirinya. Penyakit ini mengerikan, bahkan sampai ada yang mengaku dirinya sebagai wali. Orang seperti ini tidak menginginkan lagi tambahan ilmu dari orang lain, apa yang dibicarakan adalah tentang kehebatan dirinya, jika sedang berkumpul tidak boleh ada yang membicarakan topik lain keculai dirinya, sifat seperti ini jika sudah menyelimuti, merasa bahwa apa yang dilakukan sudah melindungi dirinya untuk aman dari segala malapetaka.

Oleh sebab itu agar tidak tertipu, para syaikh sufi banyak menulis kitab, mereka memberikan hikmah dari ibrah ruhiyah yang mereka pahami. Jika mereka diberi kemudahan justru bukan senang melainkan merasa ketakutan, khawatir itu adalah tipuan atau istidraj. Istridraj tu maknanya diangkat, atau tangga naik, artinya orang diajak naik setelah tinggi dijatuhkan. Oleh karenanya, jika hidup rasanya mudah, langsung mohon ampun kepada-Nya. Jika bukan karena ibroh ruhiyah yang diungkap oleh para wali didalam kitab-kitabnya, maka kita tidak akan mengetahuinya. Karena bahasa ruhani seperti al Qur’an atau hadist mempunyai banyak makna dan sulit untuk dipahami, kecuali oleh orang-orang yang bersih ruhaninya. Seorang syaikh mengatakan bahwa jika seseorang mau kembali ke agama, lalu langsung ke Qur’an dan hadist tanpa mendengar pengalaman dan pengamalan para wali, itu sama saja dengan membenturkan kepala ke tembok. Dengan petunjuk pengalaman mereka dari pengamalannya, maka sepatutnya sangat memudahkan kita guna memahami perkara agama yang tersembunyi maknanya. Oleh karenanya para syaikh sufi dan para mutashowif tidak henti-hentinya membaca kitab-kitab tasawuf yang ditulis oleh para Aulia Allah guna disampaikan kepada murid-muridnya. Maka ada satu keterangan dalam satu kitab tasawuf yang berjudul nafahat al uns karya Syekh Abdurrahman al Jami,qs, yang berbicara tentang ma'rifat, dikatakan jika ada orang yang mengaku sebagai ahli tauhid, lalu menerangkan tauhid di depan banyak orang, dan mengatakan semua dari Allah dengan Allah untuk Allah dan tidak ada yang tidak Allah, dan tiba-tiba ada orang yang bertanya dan mencemoh serta menghinanya, lalu sang ustadz sontak saja ngamuk, marah-marah seperti Fir'aun, maka omongan orang yang bertanya itu adalah benar dari Allah, yang membuat dia bertanya dan mencemoh itu Allah. Oleh sebab itu para syaikh sufi bila mendengar pujian orang langsung takut kepada Allah, karena mereka yaqin Allah sedang mengujinya, makanya lupa kepada orang yang memujinya. Mereka merasa bahwa kebaikan ditangan Allah dan dirinya merasa tidak pantas dipuji, semua Allah yang menggerak dan menggerikan manusia dan adalah salah satu jelmaan sifat dan nama-nama Allah. Penyaksian seperti itu hanya terlihat bagi orang yang mempunyai syuhud di dalam hatinya. Sebaliknya, kebanyakan orang akan merasa senang jika dipuji dan bersahabat dengan yang memujinya, dan begitu dihina akan menjadi musuh baginya. Jadi pujian itu fitnah, pujian adalah ujian, lebih baik dihina jelas memberikan manfaat batin. Hal yang dimikian tidak bisa dipahami oleh akal melainkan ruhani.

Semoga bermanfaat wallahualam bisawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.