Jumat, 06 Maret 2020

ISTIGHFAR

Bismillaahir Rahmannir Rahiim

Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) pernah berkata pada saat perayaan mauwlid Baginda Nabi Muhammad,saw, bahwa : ‘Barang siapa masih merasa ada maka muroqobah ahadiyahnya batal.’ Ini adalah bahasa ruhani yang dijadikan bahasa jasmani, sehingga perlu penjelasan agar tidak disalah artikan.

Istilah di dunia tasawuf seperti kehidupan di lautan, agar bisa berkomunikasi secara dewasa maka harus menyelam didalamnya. Karena mereka berbicara hakikat sedangkan hakikat tidak ada bahasanya. Contoh, seseorang ingin membuat kue yang bahannya terbuat dari angin dan api, hal ini adalah khayal karena sesuatu yang tidak mungkin, meskipun khayal mesti menggunakan bahasa yang dikenal, seperti kue, angin dan api. Sedangkan di alam haikikat tidak ada, oleh sebab itu perumpamaan yang dibuat oleh syaikh sufi sulit dipahami bagi orang yang tidak menyelam dilautan ruhani. Tasawuf memang dicipta oleh-Nya bagi orang yang dewasa dalam beragama. Didalam Al Qur’an pun dikatakan bahwa perumpamaan-perumpamaan hanya bisa dipahami oleh orang yang berakal, ‘Watilka al-amtsaalu nadhribuhaa lilnnaasi wamaa ya’qiluhaa illaa al’aalimuuna, dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia, dan tidak ada yang akan memahaminya kecuali mereka yang berilmu. (QS 29 : 43). Meskipun orang yang sudah bertarekat, bertasawuf bertahun-tahun lamanya pun tetapi tidak menyelam dan hanya taklid saja, maka mereka tidak mampu memahaminya. Seorang sufi mengatakan bahwa Allah hanya bisa dikenali dengan ilmu bukan dengan kebodohan.

Seperti kitab insanul kamil karya Syaikh Ibrahim al Jilly,qs, pernah dikatakan syirik oleh beberapa ulama di Indonesia, setelah adanya pertemuan dan penjelasan dari ulama tarekat, barulah mereka bisa memahaminya. Begitu pula kitab-kitab karya Imam Ibnu Arabi,qs, sangat sulit dipahami. Oleh karenanya jangan pernah berbicara hakikat di depan orang awam, karena bisa menjadi fitnah.

Syaikh Abdul Ghani An-Nabulsi,qs, yang tinggal di Suriah (1641-1731) adalah murid dari Syaikh. Ahmad Khotib as Sambasi,qs, di Mekkah pendiri tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah. Beliau mengajar tasawuf di Masjid Umayyah di Damaskus, Suriah, kemudian melakukan safar ke beberapa negara. Untuk menjelaskan Ahadiyah beliau membuat ilustrasi tentang cermin. Dikatakan, bila kita berdiri di cermin maka akan muncul gambar kita, semua gerak kita nampak juga dalam cermin itu. Nah jika perintah untuk gerak itu datang dari pikiran kita, maka yang melaksanakan gerak itu kita sendiri bukan gambar itu, meskipun gambar itu bergerak, ketika gambar itu merasa bahwa dia yang melaksanakan perintah kita, maka itu dosa karena dia merasa ada.

Allah SWT yang dapat dikenali oleh manusia terdiri daripada Zat, Sifat, Fi’il dan Intial, intial ini adalah ciptaan. Ketika Allah SWT sudah melaksanakan keinginan dari diri-Nya untuk mengerjakan isi ilmu-Nya maka Allah kerjakan, kemudian jahirlah makhluk yang disebut intial. Intial yang sempurna adalah manusia, dicipta mempunyai zat, sifat dan fi’il dan punya intial pula, sesuai dengan citra-Nya. Akan tetapi semua ciptaan Allah adalah wahm (ilusi) bukan hakiki, oleh sebab itu yang dihasilkan oleh yang wahm pastilah wahm (ilusi) juga, semakin lama semakin jauh dari hakikat. Oleh sebab semakin jauh dari hakikat maka manusia semakin merasa ada, yang pada akhirnya merasa bahwa dialah yang dapat melaksanakan perintah Allah, disinilah permulaan dosa. Ditengah suratul Fatihah dikatakan ‘Iya kana budu wa iyya kanasta'inu,’ ibadah syariatnya dari-Mu untuk melaksanakannya pun kekuatan dari-MU atau la haula wala quwwata illa billah. tidak ada daya untuk melaksanakan perintah-Mu, tidak juga kekuatan untuk menjauhi larangan-Mu, kecuali dengan anugerah-Mu, Al Inayah al Ilahiyah. Artinya ibadah itu menggunakan kekuatan ruhani yang Allah berikan, yang Allah tajallikan, tanpanya manusia menjalankan perintah-Nya hanya dari pikiran saja, meskipun akan memperoleh pahala, tetapi hidup di dunia ini bukan untuk pahala, melainkan untuk mengenal Allah. Yaitu dengan membangun ruhani atau peradaban Tuhan bukan peradaban kauniah, itulah jalan yang lurus dalam beragama. Oleh sebab itu orang yang sudah sampai pada keadaan ini akan beristighfar dari pengakuan terhadap semua ibadahnya dengan menyebut ‘astagfirullah min wujudi,’. Ada seorang sufi yang yang beristighfar : ‘Ya Allah aku mohon ampun dari tidak jujurnya aku membaca istighfar kepada-MU.’ Jadi dia istighfar dari istighfar. Karena memang orang yang bertarekat itu bukan bertaubat dari dosa, melainkan bertobat dari berbuat dengan dirinya.

Syaikh Abu Yazid Al Busthomi,qs, pernah bercerita tentang mempinya ketika bertanya : ‘Bagaimana aku Mengenal-Mu?’ Ada suara menjawab : ‘Tinggalkanlah dirimu.’ Ini adalah percakapan orang dewasa yang lain dalam beragama, ‘Tinggalkanlah dirimu,’ karena kebanyakan manusia memandang bahwa dirinya itu hanya tubuh atau jasad saja, jika demikian maka manusia sama dengan kerbau, anjing, babi, monyet, ular, buaya. Sedangkan para sufi menambahnya dengan ruhani, sifat ruhani adalah malaikat, kebaikan, Nur Jamallullah, rohimiyah. Maka jika manusia memandang dirinya, bukan dengan pikirannya, bukan dengan matanya tetapi dengan ruhaninya, maka dia telah keluar dari dirinya, dia sudah meninggalkan dirinya, karena ketika dia menggunakan cahaya ini, dia tidak merasa ada, dan menyaksikan suratan hidupnya detik demi detik itu adalah jelmaan sifat dan asma Allah, sehingga membuat dia fana atau tidak ada. Maka setiap hari yang diperangi adalah kehidupan jasad ini, karena didalam jasad ini ada nafsu, nafsu inilah yang nanti akan merasa bahwa diri ini ada, sehingga ketika keluar dari dirimu maka artinya engkau memandang dengan pandangan Tuhan, pandangan Tuhan ini cahaya yang Allah anugerahkan kepada ruhani, kalau dalam tarekat disebut maqomat ruhiyah, hakikat Muhammadiyah, hakikat robaniyah, asror ilahiyah, kalau dalam syariat disebut akhlak karimah. Seseorang jika mendapatkan cahaya ini maka ada pengakuan kepada Allah, mereka mengatakan ‘aku melihat Tuhan melalui takdir jasadku dengan cahaya Tuhanku’, maka yang di dinampak dan yang menampak semuanya tajalli Allah, apabila begini pandangannya, maka dia baru bertauhid, dia keluar dari dirinya. Karena yang mentauhidkan Allah itu hanya Allah, ketika Allah berikan Cahaya ke rohani, maka orang memandang dengan rohani Tuhan itu, sebagaimana Nabi,saw, bersabda ‘ Ittaqu firosatul mu’mina, fa innahu yanzhuru binurillah, berhati-hatilah terhadap firasat orang mukmin, karena sesungguhnya ia melihat dengan cahaya Allah.’ Nah itu adalah tauhid, maka tauhid baru nyata, jika telah dapat membebaskan diri dari perangkat jasad ini, maka akan nampak bahwa tubuh ini ‘Huwa’ bukan aku, lalu kita melihat tubuh orang lain ‘Huwa’ bukan huwa selain Allah, aku kamu tidak ada, yang ada hanya Dia, artinya semuanya Allah, tapi ini bukan dengan pikiran meskipun kita sudah paham menghafal ilmu hakekat dan mengerti tentang ini.

Orang yang tenggelam didalam muroqobah Ahadiyah, tauhidnya akan benar, jika ditampar pipinya pun tidak marah, tidak ada pembelaan kepada diri, jika marah berarti masih ada aku. Jika seseorang membuang bangkai hinaan sebesar apapun kelautan tauhid, maka sedikitpun tidak akan mencemarinya, tidak akan rusak, bahkan keluarnya jadi bersih, karena dia memandang semua satu atau al kasrah fil wahdah. Maka jika sudah meninggalkan diri, selamat dari belenggu ini, murni hidup dengan ruhani, akan tersingkap bahwasannya Dia itu Allah, setiap saat akan beristighfar, karena diri ini selalu akan kembali kepada nafsu, selalu aku, tidak Allah, coba jika kita dihina orang akan keluar 'aku', kita disakiti akan keluar 'aku'. Syaikh sufi memandang orang yang berbuat buruk kepadanya, akan berkata bahwa orang itu sedang menyuarakan isi keburukannya, tidak ada urusannya dengan aku, karena orang jika baik melihat orang buruk pun baik, jika orang buruk melihat kebaikan pun buruk, jadi tidak pernah ahli tauhid itu marah karena diburukkan, malah secara syariat senang, kenapa? karena yang menggibah itu kebaikannya akan Allah berikan kepadanya dan keburukkannya akan diberikan kepada dia, dengan pandangan batin itulah ‘annahu huwa la anta’, maka dia istighfar bukan dari dosa tetapi dari sumbernya, apa? aku, astaghfirullah min wujudi anna, karena sumber dosa itu 'aku' ada, sumber dosa itu merasa ada.

Semoga bermanfaat wallahualam bisawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.