Rabu, 01 April 2020

TAUHID - CINTA

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Allah berfirman : “Wallāhu khalaqakum wa mā ta'malụn, Allah yang menciptakan kamu dan amalmu sekalian.” (036:96)

Jika menelaah ayat Al Qur’an diatas, maka kita akan memahami bahwa segala sesuatu datangnya dari Allah, baik diri kita ataupun perbuatan kita, tetapi mengapa hati kita menolaknya, bagaimana dengan upaya kita?

Salah satu sifat Allah adalah wujud (ada) lawan dari pada wujud adalah adam (tiada). Maksudnya yang ada hanyalah Allah dan selain-Nya tidak ada. Sehingga hakikatnya kita ini tidak ada! Menjadi ada karena di adakan oleh Allah, baik jasmani maupun rohani dan perbuatan kita. Allah yang membimbing manusia dari kegelapan menuju cahaya, sehingga bisa dikatakan bahwa wujud itu adalah cahaya (nur) dan ciptaan ini kegelapan (dzulumat), atau bisa juga dikatakan bahwa cahaya itu baik dan kegelapan itu buruk. Sehingga apa-apa yang keluar dari Allah adalah kebaikan, karena ditanganyalah segala kebaikan dan sebaliknya apa-apa yang keluar dari manusia adalah keburukan karena hakikatnya tidak ada atau ilusi (wahm).

Artinya, barang siapa mengaku-ngaku bahwa segala kebaikan yang keluar dari dirinya, seperti sholat, puasa, zakat, haji, berdakwah, shodaqoh, dan lain sebagainya, di akui sebagai perbuatan dirinya maka ini buruk, ini salah, ini dosa, sebailknya bila menyaksikan bahwa perbuatan itu semua adalah shuroh atau bentuk atau jelmaan sifat-sifat Allah yang indah (Jamalulloh) yang ditampakkan kepada manusia, itu adalah yang benar, itulah yang dimaksud dengan syuhud atau ma’rifat atau mahabbah. Kita bisa membayangkan saat bercermin, semua gerak dan gerik yang ada didalam cermin adalah serupa dengan kehendak kita yang diluar cermin. Sehingga bisa dikatakan bahwa kita seperti yang ada didalam cermin, tetapi yang didalam cermin bukan kita, tetapi bukan selain kita. Masalahnya timbul, manakala yang didalam cermin ‘mengaku’ dia yang diluar cermin, itulah kebanyakan manusia. Karena Allah menciptakan manusia sesuai dengan citra-Nya, yaitu ada Dzat, Sifat, Perbuatan (af’al) dan Ciptaan (intial), sehingga manusia seolah-olah berlaku seperti Tuhan dapat menciptakan upaya dan perbuatan atau dapat membuat amal dan kebaikan lainnya.

Imam Arsalan,qs, mengatakan : “Inji’ta bila anta khobilak, wa in’jita bika hajabak, Jika engkau datang kepada Allah tanpa dirimu, maka Allah akan menerimamu, dan jika engkau datang kepada-Nya dengan dirimu, maka Dia akan menghijabmu.” Maka jika apa yang dilakukan itu semata-mata anugerah dari Allah, pemberian dari Allah, bukan persembahan kepada Allah, sehingga dapat melakukan ibadah, maka Allah akan menerima, tetapi jika datang dengan merasa bahwa itu amal, maka Allah hijab dengan amal itu. Maka awal pendidikan jiwa dalam berjalan kepada Allah adalah bukan dengan amal melainkan dengan kepasrahan. Maka setinggi-tinggi akhlak kepada Allah adalah syukur, sehingga seluruh amal itu adalah sebagai syukur. Perintah beramal adalah sebagai tanda syukur dan tanda syukur itu adalah syukur kepada sifat syukur yang diberi oleh Allah. Berinteraksi dengan Allah adalah dengan hakikat bukan dengan syariat, sedangkan berinteraksi dengan manusia mesti dengan syariat, jika manusia jahirnya baik jangan dipikirkan batinnya, karena batinnya Allah yang menangani. Tetapi jika kepada Allah maka bukan menghitung banyaknya perbuatan baik, tetapi banyaknya syuhud atau ma’rifat tadi. Diantara syuhud dan ma’rifat adalah menyaksikan bahwa amal yang dilakukan itu dari Allah bukan dari diri. Karena hijab yang paling besar untuk dapat menuju Allah adalah diri.

Sebetulnya amal itu apa? Amal itu hanyalah sebuah shurah (bentuk) atau jelmaan daripada sifat yang ada dalam batin manusia, atau karakter, jadi jika manusia tidak ada sifat-sifat tertentu, maka tidak ada amal tertentu pula. Seperti ubudiyah, itu adalah sifat hamba, jika tidak punya sifat hamba, maka tidak akan ada ibadah. Seperti jika kita tidak punya sifat cinta kasih, bagaimana ada shuroh (bentuk) atau jelmaan cinta kasih yang berupa amal. Jika dipaksakan berbuat ‘amal’, maka bukan keluar dari sifat cinta kasih itu dan tidak bisa dikatakan amal melainkan maslahah, contoh maslahah seperti anak kecil yang berbuat baik kepada ayahnya bertujuan untuk minta uang, atau seorang istri bila ingin sesuatu ia banyak memuji suaminya, inilah maslahah. Mentalitas yang seperti ini yang digunakan oleh kebanyakan orang dalam menghadap kepada Allah, oleh karenanya sebagian syaikh sufi mengatakan bahwa hendaklah seseorang itu mempunyai cinta yang jujur dan setia, karena cinta itu seperti sinar, sinar itu akan bercahaya, bercahaya maknanya memberi atau cinta yang jujur (siddiq) dan setia (wafa). Sinar mengeluarkan cahaya maknanya siddiq dan cahaya itu wafa kepada sinar itu. Tetapi orang karena banyaknya kepalsuan maka perlu sifat cinta, kalau tanpa cinta tak dapat menuju kepada Allah, memang hanya karena cinta. Maka dikatan didalam al Qur’an dan al Hadits selalu mengenai pemeliharaan atau pemberian anugerah, akhlak, kemuliaan, keluhuran, kemenangan, atau selalu menggunakan kata Rahmat ini adalah kata lain dari cinta. Jadi orang mesti punya sifat cinta meskipun diawali cinta kepada dunia dan syahwat.

Imam Ibnu Farid,qs, dia bukan seorang ulama besar dia hanya seorang penyair, cintanya kepada perempuan menutup semuanya, begitu setia dan jujur, suatu hari berjanji untuk bertemu di Mekah, ternyata perempuannya tak datang, dia demam sakit memanggil-manggil nama wanita itu tetapi tetap tidak berjumpa, dia mengalami kekecewaan yang luar biasa, karena dia sangat setia (wafa) dan jujur (siddiq). Sifat cintanya yang demikian mengantarnya menjadi cinta kepada Allah, sehingga karya-karyanya yang bercorak cinta banyak disyarahkan oleh sufi terkemudian. Kisah lain, ada seorang yang dikenal sholeh yang punya kesetiaan dan kesidikan dalam Ibadah dan mahabbah kepada Allah, sehingga dikenal sebagai seorang waliyullah yang sangat sholeh, abid, zahid tapi kemudian ia melihat wanita pelacur, dia tertarik dan jatuh cinta dan dia datang kepada perempuan itu, mengatakan cinta, membuat wanita itu terkejut, bagaimana seorang Syekh yang hari-harinya diisi dengan ibadah, tiba-tiba datang kepada perempuan pelacur. Orang-orang menertawakannya, tetapi wanita itu menerimanya, dan sang waliyullah berkhidmat kepada perempuan itu, sehingga perempuan itu tidak boleh berbuat sesuatu melainkan dilayani olehnya, perempuan itu menyaksikan kejujuran, kesungguhan dan kesetiaan yang luar biasa dari lelaki ini. Melihat keindahan akhlak yang begitu mengharukan dan tanpa dibuat-buat, membuat wanita itu berpikir, patutlah dia sebelum ini dikenal sebagai orang yang ahli ibadah dan sholeh, ternyata bukan karena yang lain melainkan karena karakter yang ada dalam hatinya itu, yaitu karakter cinta yang sidik dan wafa. Hal ini membuat wanita ini beratubat, karena selama ini dia hanya cinta kepada dunia dan hawa, yang tidak dapat membahagiakan malah mengecewakan, akhirnya dia kembali kepada Allah, perempuan itu berkata : ‘Kedatanganmu telah membuat ilham turun kepadaku bahwa sesuatu itu mesti jujur dan setia, dan kejujuran dan kesetian itu hanya kepada Tuhan.’ Akhirnya orang sholeh itu pun sadar juga atas kesalahan yang dia buat dan kembali kepada Allah. Jauh sebelum riwayat itu ada kisah Zulaikha dan Nabi Yusuf,as, sampai tua dan buta matanya serta rela dibuang dari istri seorang menteri menjadi hidup terlunta-lunta dijalanan. Kesehariannya hanya memanggil-manggil nama ‘Yusuf, Yusuf, Yusuf’. Nabi Yusuf,as pun telah menjadi menteri, bahkan jika beliau melewati jalan beberapa puluh meter dari Zulaikha, sudah tercium baunya, ‘Yusuf datang, cintaku datang’. Sehingga kabar itu sampailah kepada Nabi Yusuf,as dan beliau minta izin kepada raja dan istrinya untuk menikahi Zulaikha, maka raja dan istrinya mengizinkan untuk menikah. Zulaikha dibawa mendekat dan ditutup oleh sorban Nabi Yusuf,as, seketika ia kembali muda seperti pertama berjumpa kepada Nabi Yusuf,as. Maka dia memandang Nabi Yusuf,as, dan terkejut karena sudah dapat melihat dan kecantikan telah kembali. Maka disuruhnya ia bersolek agar bersiap-siap untuk akad nikah, tetapi didalam kamar saat di hias, kesadaran memasuki hatinya bahwa : ‘Rupanya ini penyebab Nabi Yusuf,as, tidak ingin dirinya, tidak ingin dunia, tidak ingin harta, dia jujur dan setia kepada Rabbnya.’ Zulaikha baru mengerti bahwa Tuhannya Yusuf yang menyembuhkannya, ternyata Dialah yang disetiai dan ditakuti serta dicintai oleh Yusuf selama ini, kata Zulaikha, akhirnya Zulaikha bersujud terus menerus sambil menangis dan bermunajat kepada Tuhannya Yusuf, dilain pihak Yusuf sudah siap untuk acara pernikahan, tetapi Zulaikha menolaknya dan berkata : ‘Aku baru tahu kepada siapa engkau mencintai, rupanya engkau hanya mencintai Tuhanmu, sekarang aku pun mencintai Tuhanmu dan aku tidak perlu lagi kepada engkau.’ Melihat riwayat-riwayat yang shohih diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sifat cinta dan mental setia dan jujur itulah kuncinya, bukan sifat mengaku-ngaku, meskipun diawali kepada apapun, itu adalah karakter dan mental yang inheren didalam hati manusia. Jangan dikira bila orang beribadah kepada Allah tetapi tidak jujur dan tidak setia, dapat jujur dan setia kepada yang lain, itu mustahil. Maka orang-orang yang jujur dan setia itu meskipun kafir, dia akan mudah mendapat Ilham kepada agama ini untuk sampai kepada Allah.

Adapun shalat, puasa dan zakat, dzikir yang kita lakukan adalah karena rutinitas sejak kecil, tetapi tanpa mengenal Allah. Maka bila orang belajar agama pun semata-mata hanya ingin disebut sholeh, arif, alim, atau ingin disebut tuan guru, singkatnya ingin dihormati di dunia ini, maka jika ia dihina, spontan akan marah, ilmunya tidak menjadikan hamba, tidak wafa, tidak shiddiq, masih mengaku ‘ada’. Orang arif mengatakan bahwa barang siapa yang mencintai sesuatu maka dia hamba sesuatu itu. Jadilah dari kalangan orang yang mendapat anugerah, jadilah orang yang dari kalangan ‘minah’, artinya ibadah ini pemberian dari Allah, jadi tidak menghitung amal tetapi menghitung Allah. Jika mendapat harta lantas bersyukur kepada yang memberi bukan pemberian-Nya. Maka amal yang keluar dari kita semuanya adalah cerminan sifat, asma dan af’al Allah untuk menunjukkan bahwa keberadaan ‘ada’ itu hanya Allah, jika demikian maka selamanya ‘minah’ itu hamba, sebetulnya itu hakikat hamba sepenuhnya. Jangan menghitung amal, maka janganlah menjadi orang yang ahli amal, tetapi cinta (mahabbah). Sekali lagi bahwa amal itu tidak berdiri sendiri, amal itu datang dari rohani dari sifat. Jika kita mengenal Allah, maka tidak akan goncang dan akan tentram, tapi jika kita bodoh (jahl) kepada Allah, maka tidak akan tentram. Sesungguhnya yang dikehendaki-Nya, bahwa hanya Dialah yang ada, bukan kita yang ‘ada’, jadi ini adalah tingkat kesadaran yang sangat tinggi, karena kita selalu mengembalikan semua itu kepada Allah setiap saat, sebagaimana sebelumnya kita pun setiap saat menyaksikan kita ‘ada’, mengaku ‘ada’ tetapi kemudian dengan anugerah-Nya kita selalu berupaya menyaksikan dan mengakui bahwa semuanya dari Allah dan hanya Allah, dan senantiasa seperti itu, itulah ibadah yang Agung.

Semoga bermanfaat wallahualam bisawab.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.