Rabu, 17 Februari 2010

RIDHA

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Allah SWT berfirman : ‘Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.’ (QS 098 : 8)

Pengajian pada hari Jum’at malam, tangal 12 Pebruari 2010 membahas tentang ridha, yang disampaikan oleh Ustadz. Udin Saepudin Muhidin dari kitab Kasyful Mahjub yang sangat mashyur, karya Abul Hasan Ali bin Utsman bin Ali Al Ghaznawi Al Jullabi Al Hujwiri (w. 456 H) atau yang dikenal dengan nama Imam Hujwiri,qs., lahir di Ghazna, Afghanistan, yang hidup sezaman dengan Imam Qusyairy,qs., (w. 465 H) penulis karya Risalatul Qusyairiyah yang fenomenal itu. Beliau hidup mengembara dari Syria hingga Turkistan dan dari Hindustan hingga Laut Kaspia. Tempat-tempat penting yang telah dikunjunginya adalah Azerbaijan, makam Syaikh Abu Yazid Al Busthami ( w. 261 H) di Damaskus, makam Syaikh Abu Sa’id bin abul Khair di Mihna, Merv, Turkmenistan, lalu ke Samarkand dan Irak, terakhir hijrah ke Lahore, Pakistan sampai wafatnya dan di makamkan disana. Salah satu gurunya dibidang tasawuf adalah Syaikh Abul Qosim Gurgani,ra., mungkin yang dimaksud adalah Syaikh Abul Hasan al-Kharqani,ra., (w. 425 H), Kharqan adalah sebuah desa dekat Bistam di Iran. Beliau juga hidup sezaman dengan Syaikh Abu Ali Al Farmadi,qs., (w. 447 H), akhli silsilah tarekat Naqsyabandiyah yang saat itu bernama tarekat Taifuriyah, yang diambil dari nama mursyidnya terdahulu, yakni Syaikh Abu Yazid Al Bisthami.ra. Farmad adalah sebuah desa dekat Tus di Iran tidak jauh dari Kharqan. Imam Hujwiri,qs., bersama-sama dengan Syaikh Abu Ali Al Farmadi.qs., menjadi murid dari Syaikh Abul Qosim Gurgani,ra., atau Syaikh Abul Hasan Al Kharqani.ra. Oleh karenanya, Imam Hujwiri,qs., berziarah ke makam Syaikh Abu Yazid Al Bistami,ra., di Syria, sebagai guru dari Syaikh Abul Hasan Al Kharqani,ra. Jika demikian adanya, maka Imam Hujwiri,qs., adalah penganut atau Syaikh dari tarekat Taifuiryah atau sekarang bernama tarekat Naqsyabandiyah. Dalam kitabnya Imam Hujwiri,qs., berkata : ‘Insya Allah, Syaikh Abul Hasan Al Kharqani akan mempunyai seorang pengganti yang piawai, yang wewenangnya diakui seluruh Sufi, yakni Abu Ali Al Fadhl bin Muhammad Al Farmadi, yang tidak pernah lalai memenuhi tugas kewajibannya terhadap gurunya, dan telah meninggalkan semua benda duniawi, dan melalui berkah dari penyangkalan itu dia telah dibuat oleh Tuhan sebagai corong ruhani.’ Baik Imam Hujwiri maupun Syaikh Abu Ali Al Farmadi adalah murid-murid terbaik dari tarekat Taifuriyah, akan tetapi penerus rantai emas silsilahnya jatuh ketangan Syaikh Abu Ali Al Farmadi.qs. yang diteruskan kepada Syaikh Yusuf Hamadani (w. 535 H), lalu diteruskan kepada Syaikh Abdul Khaliq Al Gujdawani (w. 575 H) dan seterusnya yang hingga kini sampai kepada guru kita tercinta Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya), semoga silsilah dari tarekat yang mulia ini bersambung terus sampai akhir zaman nantinya, amiin yaa Allah yaa Rabbal Alamiin.

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Kitab Kasyful Mahjub ini tidak kalah sulitnya untuk diterjemah kedalam bahasa Indonesia selain kitab Qutul Qulub karya Syaikh abu Thalib al Makki,qs.’ Ustadz. Udin Saepudin Muhidin menyampaikan tentang ridha yang berkenaan dengan doktrin dari Syaikh Abu Abdallah Harits bin Asad Al Muhasibi (w. 243 H) atau yang dikenal dengan Al Muhasibi.qs. Kekhasan doktrin ini adalah tidak mengganggap ridha sebagai maqom melainkan memasukkannya kedalam ‘hal’ atau jamaknya ‘ahwal’.

Ridha adalah puncak gunung spiritual bagi para pejalan (muthasowif), orang-orang yang telah berhasil mencapainya tidak lagi disebut pejalan (muthasowif) melainkan Sufi. Karena telah gugur keinginan-keinginan dirinya (fana). Tanda ridha adalah tidak mempunyai pilihan sebelum diputuskannya ketetapan (Allah), lalu tidak merasakan kepahitan melainkan ketenangan dan keserasian hati setelah diputuskannya ketetapan, dan tetap merasakan gairah cinta ditengah-tengah cobaan. Karenanya ridha menjadi dambaan para pejalan, sebagaimana doa para murid pada setiap kesempatan : ‘Ilahi anta maksudi, waridhaka matlubi, a’tinii mahabbataka wa ma’rifatakaa yaa Arhamaar Rahimiin, Yaa Allah Engkaulah yang aku maksud, ridha-Mu aku harapkan dan karuniakan cinta kepada-Mu dan sebenar-benar mengenal-Mu wahai Engkau Yang Maha Belas Kasih.’ Habib Al ‘Ajami,ra., ditanya : ‘Apa yang diridhai Tuhan?’ Beliau menjawab : ‘Hati yang tidak ternodai oleh kemunafikan.’ Sedangkan Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata bahwa : ‘Ridha itu menerima apa yang ditentukan oleh Allah SWT.’ Ujaran ini indah sekali, meskipun berbeda bentuk penyampaiannya tetapi mempunyai makna yang sama, yakni, hakikat ridha ada dalam keselarasan, karena keselarasan adalah lawan dari kemunafikan. Sedangkan cinta, bersih dari kemunafikan, oleh sebab itu cinta senantiasa hidup dalam keadaan ridha. Sehingga ridha adalah watak sahabat-sahabat Tuhan, sementara kemunafikan adalah watak seteru-seteru-Nya.

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) disaat mengusap kepala dengan air wudlu selalu mengucap “Yaa Allah aku serahkan segala urusanku kepada-Mu.’ Ini adalah puncak tawakal, barang siapa mempunyai keteguhan dihati, menyerahkan segala urusannya kepada Tuhan pada setiap waktu, tidak bersandar kepada harta, tidak pula pada perantara, dan tidak pula kepada makhluk, dan hanya bersandar kepada Allah SWT saja, hingga saat tidak diberi, tetap bisa merasakan kenikmatan sebagaimana kenikmatan saat diberi, maka ia telah berada pada maqom tawakal. Puncak tawakal adalah awal daripada ridha, yakni menunggu sebab dari Pemberi Sebab, tanpa melihat kepada sebab, serta tanpa kegelisahan, kesusahan, kesedihan, dan kedukaan. Sedangkan bukti apakah seseorang telah memasuki maqom ridha, hatinya selaras setelah kedatangan ketetapan Tuhan. Oleh sebab itu ridha itu muncul setelah kedatangan takdir, karena, jika ridha mendahului, itu hanya niat untuk ridha, yang tidak bisa disamakan dengan ridha yang aktual. Rasulullah,saw., bersabda : ‘Wahai Tuhan, aku memohon keridhaan-Mu setelah maujudnya ketetapan-Mu.’ Nabi,saw., yang keadaan ruhaninya paling sempurna diantara semua makhluk masih berdoa seperti itu. Seolah-olah ada keinginan didalamnya, padahal orang-orang yang berada pada maqom ridha keinginannya sirna, karena Allah membuat selaras keinginannya dengan kehendak-Nya. Sikap memanusiakan dirinya sungguh hebat, ketawadhuannya tidak ada duanya diatas bumi ini, yakni, agar Allah SWT membuatnya ridha bila ketetapan-Nya tiba, padahal yang mulia Rasulullah,saw., adalah pemilik ridha yang tertinggi. Berarti didalamnya ada pembelajaran untuk umat islam, bahwa merendah bagai bumi adalah perbuatan yang sangat mulia, dan ridha bisa disebut maqom atau ‘hal’.

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata bahwa : ‘Ridha tidak ada didalam kata-kata.’ Kata-kata hanyalah digunakan untuk sekedar mentransformasi secara maksimal ilmu pengetahuan tentang ridha dan bukan ridha itu sendiri. Ridha adalah tujuan akhir bagi para pejalan (mutashowif), yang upayanya atau keberjuangannya melawan dirinya sendiri (mujahadah) telah berakhir dan berpindah menjadi keberserahan. Ayat Al Qur’an diatas : ‘Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepada-Nya,’ menunjukkan ridha Tuhan kepada manusia dan ridha manusia terhadap Tuhan. Bentuk ridha Tuhan berupa pahala bagi perbuatan-perbuatan baik manusia, sebagai manifestasi kasih-sayang-Nya. Sedangkan ridha manusia terkandung didalam pelaksanaan perintah Tuhan dan menyerah kepada segala keputusan-Nya. Dengan demikian keridhaan Tuhan mendahului keridhaan manusia. Nah, seseorang yang berpaling kepada pemberian bukan kepada Sang Pemberi, menerima pemberian itu dengan segenap jiwanya, yang mengakibatkan kesedihan dan kesulitan lenyap dari dalam hatinya. Sedangkan seseorang yang berpaling dari pemberian kepada Sang Pemberi, kehilangan pemberian itu dan menempuh jalan keridhaan dengan usahanya sendiri. Usaha adalah kepedihan dan menyusahkan, sedangkan ‘hal’ hanya terwujud bilamana disingkapkan oleh Tuhan. Oleh karenanya, keridhaan bila dicari dengan usaha, merupakan belenggu dan tirai. Sebagaimana kebahagiaan, adalah bilamana mengantarkan kepada Sang Pemberi kebahagiaan bukan menikmati pemberian-Nya, jika tidak demikian, merupakan penderitaan. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) disaat menghadapi penyakit yang menurut orang kebanyakan merupakan penyakit yang sangat berhaya, terlihat bergembira dengan penderitaan yang Tuhan turunkan, gembira karena dalam penderitaan beliau melihat Sang Pencipta Penderitaan dan bisa menanggung penderitannya dengan merenungkan Dia yang menurunkan penderitaan, beliau tidak menganggapnya sebagai kepedihan, yang demikian adalah rasa nikmatnya dalam merenungi kekasihnya. Akhirnya, mereka yang puas dengan sesuatu yang dipilihkan oleh Tuhan, adalah kekasih-kekasih-Nya, yang hati mereka berada dalam hadirnya Kesucian dan dalam taman Kedekatan, yang tidak berpikir tentang benda-benda ciptaan dan telah bebas dari ikatan-ikatan ‘maqom’ dan ‘hal’ dan telah mengabdikan diri mereka kepada cinta Ilhai. Keridhaan mereka tidak melibatkan kesia-siaan karena keridhaan dengan Tuhan adalah suatu kerajaan yang nyata. Ciri khas ridha adalah mengusir semua duka cita dan menyembuhkan kelalaian serta membersihkan hati dari pikiran-pikiran yang berhubungan dengan selain Tuhan dan membebaskannya dari belenggu kemalangan.

Dikatakan, semua umat manusia, baik mereka mau ataupun tidak, mesti merujukkan persahabatan dengan Tuhan. Bilamana seseorang ridha dengan-Nya dalam malapetaka, hanya akan melihat Pencipa malapetaka dan malapetaka itu sendiri tidak tampak. Dan jika tidak, malapetaka muncul dan hatinya dipenuhi oleh duka cita. Allah yang telah menentukan keridhaan dan ketidak ridhaan, tidak mengubah takdir-Nya, karena itu, keridhaan terhadap keputusan-keputusan-Nya adalah sebagian dari kebahagiaan. Kapan saja seseorang selaras dengan Tuhan, hatinya akan bergembira, dan kapan saja orang berpaling dari-Nya, maka orang itu menderita dengan datangnya ketetapan-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.