Rabu, 17 Februari 2010

MISKIN - SAKIT ATAU KAYA - SEHAT

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Sahabat Abu Dzar Al Ghifari,ra., mengatakan : ‘Aku lebih mencintai kefakiran daripada kekayaan dan sakit daripada sehat.’

Suatu ketika Imam Abu Abdullah Al Husayn,ra., ditanya tentang ucapan Abu Dzar,ra., diatas dan beliau menjawab : ‘Semoga rahmat Tuhan atas Abu Dzar! Namun, kukatakan bahwa barangsiapa memperhatikan dengan saksama pilihan yang dibuat oleh Tuhan baginya, tidaklah menginginkan apa-apa, kecuali apa yang Tuhan telah pilihkan baginya.’ Terlihat secara sepintas bahwa ada perbedaan dari pernyataan kedua manusia agung ini (semoga Allah meridhoi mereka berdua), akan tetapi bila dicermati jawaban Imam Husayn,ra., malah mendukung pernyataan Abu Dzar Al Gifari,ra. Meskipun orang awam akan melihat bahwa Abu Dzar,ra., masih membuat pilihan, sehingga jauh dari keridhaan. Faktanya tidaklah demikian, karena selama hidupnya Abu Dzar,ra., selalu dalam keadaan miskin dan sakit namun menghadapinya dengan suka cita, ini adalah hakikat ridha. Oleh karenanya, cucu Rasulullah,saw., memujinya dan mendoakan dengan mengatakan 'Semoga rahmat Tuhan atas Abu Dzar.' Tanda keridhaan atas ketetapan Tuhan terhadapnya, bisa dilihat dari perilaku selama hidupnya. Beliau adalah termasuk orang yang ke lima memeluk Islam. Dialah orang Islam pertama yang meneriakkan dua kalimat syahadat di Masjidil Haram secara terang-terangan didepan orang Qurays, sehingga ia babak belur di pukuli oleh mereka. Perjuangannya menjadi semakin berat dimasa kekhalifahan Usman bin Affan,ra. Beliau mengingatkan seluruh penguasa agar hidup sederhana, termasuk Muawiyah bin abu Sufyan yang saat itu menjabat gubernur Syria, dan kedua sahabatnya Abu Musa al-Asy’ari,ra., dan Abu Hurairah,ra. Meskipun mendapat perlawanan yang sengit ia tetap pada pendiriannya itu, yang pada akhirnya, karena dianggap sebagai penghalang dan tidak disukai oleh para penguasa padasaat itu, ia memohon kerelaan Usman bin Affan,ra., untuk melepaskan kepergiannya dan tinggal bersama istri dan seorang anaknya di padang pasir liar yang bernama Rabadzah, sampai beliau wafat disana. Orang yang pertama kali menemukan jasad beliau yang sedang ditangisi oleh anak dan istrinya, karena tidak ada kain kafan untuk membungkusnya adalah Ibnu Mas’ud,ra., yang kebetulan lewat disitu. Ibnu Mas’ud,ra., adalah termasuk orang yang masuk islam pada masa awal, kalau tidak salah yang ke enam setelah Abu Dzar,ra. Dahulu pada saat perang tabuk, Ibnu Mas’ud,ra., menyaksikan Rasulullah,saw., bersama-sama dengan Abu Bakar as Siddiq,ra., dan Umar bin Khatab,ra., menguburkan jasad Abdullah Dzulbijadain,ra., dan beliau mendengar Rasulullah,saw., bersabda : ‘Ya Allah, aku telah ridha kepadanya, maka ridhailah pula ia oleh-MU.’ Mendengar itu Ibnu Mas’ud,ra., menangis sambil memekik ‘Alangkah baiknya seandainya akulah yang jadi pemilik liang kubur itu!’. Dan kesedihan ini berulang lagi, kali ini beliau berhadapan dengan jasad pemilik maqom ridha, sahabat yang ia cintai. Apa yang dilakukan Abu Dzar al Gifari,ra., selama hidupnya tidak lain hanyalah mengiginkan kebahagiaan sahabat-sahabatnya, agar tidak tertipu oleh jabatan dan kekayaan dunia ini. Lidahnya lebih tajam dari pedang dzulfaqor milik Sayyidina Ali,ra., guna berbagi kepada sahabat-sahabatnya, tentang keutamaan kefakiran dan sakit, karena hakikat kemuliaan seseorang terletak pada kedua kondisi ini. Miskin, sakit atau penderitaan apapun adalah kemuliaan, dan kaya, sehat atau kesenangan adalah kehinaan. Kemuliaan adalah yang membuat seseorang ‘hadir bersama Tuhan (hudhurul Haqq)’, dan kehinaan adalah yang membuat seseorang jauh dari Tuhan. Duka cita miskin, sakit dan penderitaan lainnya adalah tanda ‘kehadiran’, sementara nikmat kekayaan, kesehatan dan bentuk kesenangan lainnya adalah tanda ‘ketidak hadiran’. Karena itu, seseorang harus terus menanggung kesulitan yang melibatkan kontemplasi (muroqobah) dan keakraban (aqrobiyah). Seburuk-buruk manusia adalah dia yang dianggap taat kepada Tuhan, namun sebenarnya tidak, dan manusia yang paling mulia adalah dia yang tidak dianggap taat kepada Tuhan, namun sesungguhnya taat. Yang pertama menyerupai pengacara yang bodoh, yang berpura-pura dapat membela orang, padahal hanya membuat mereka semakin buruk, dan bilamana ia bermasalah, ia memerlukan pengacara lain untuk membelanya, dan yang kedua seperti orang yang tidak dikenal sebagai pengacara dan tidak memperhatikan orang lain, namun menggunakan keakhliannya agar dirinya tetap selamat. Oleh karenanya Imam Sybli,ra., berkata : ‘Kemiskinan adalah lautan kesulitan, dan semua kesulitan demi Dia adalah kemuliaan.’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.