Rabu, 03 Maret 2010

KEPERWIRAAN (FUTUWWAH)

Bismillahir Rahmaanir Rahiim

Seorang salik dalam keadaan bersedih yang amat sangat berusaha menyembunyikan kesedihannya, khawatir bila diketahui akan menggangu keceriaan yang sedang berlangsung diantara sahabatnya. Ditutupinya kesedihan itu dengan prilaku sebaliknya, sehingga tak satupun sahabatnya mengetahui keadaan sesungguhnya. Kesedihannya dikarenakan Ibunda tercintanya sedang sakit, yang berkata kepadanya : ‘Kecantikan telah hilang, yang tua minta dihormati dan yang muda minta disayang. Semua untuk dirinya bukan untuk orang lain, apalagi untuk Allah SWT. Aku telah ridho meninggalkan dunia yang seperti ini.’ Tak lama kemudian ia berjumpa dengan sahabat-sahabatnya, kebetulan sedang membicarakan tentang hal kesedihan, sang salik itu berkata : ‘Betapapun pengetahuan kesedihan ini dibicarakan, namun kalian tidak akan bisa merasakan kesedihan yang sedang dirasakan oleh orang-orang yang sedang bersedih, karena kalian sedang tidak dalam keadaan bersedih. Ketahuilah kesedihan itu sungguh pedih, seolah-olah berjuta-juta jarum bersarang didalam dada, sehingga daya harap (roja) begitu tinggi, ia maujud didalam kontemplasinya.’

Kecantikan telah lenyap! Begitulah kata seorang ibu yang sedang sakit, tak heran jika alam menjadi beringas, gempa bumi, banjir, longsor, kebakaran hutan dan badai terjadi dimana-mana, karena jijik dihuni oleh manusia yang menjadi durjana. Sifat kesatria tinggal cerita-cerita saja, dan hanya bisa ditemui didalam kitab-kitab para syaikh sufi, serta hanya bisa didengarkan dari para pendakwah saja, tanpa ada lagi tauladan, laksana mencari sebutir berlian disamudera nan luas. Sifat kesatria atau keperwiraan atau dalam istilah tasawuf disebut futuwwah, menjadi pembicaraan hangat para sufi terdahulu, pada saat itu, semua berlomba menghias alam semesta ini dengan futuwwah yang begitu indah dan menggetarkan hati. Imam Qusyairi,ra., didalam kitabnya yang masyhur Risalatul Qusyairiyah menggolongkan futuwwah kedalam maqom, sedangkan Syaikh Abu Abdirrahman al Sulami,qs., mengatakan bahwa futuwwah adalah tidak merusak kebaikan yang telah dibangun sebelumnya, bersikap lembut kepada orang bodoh dengan kemurahan hatinya, mendidik orang bakhil dengan kedermawanannya. Dizaman kini, orang menyebut-nyebut kebaikan-kebaikan yang dilakukannya, bahkan para ulama juga terhinggap penyakit yang demikian, persis seperti seorang wanita yang mengurai benangnya yang sudah dipintal dengan kuat sehingga tercerai berai kembali. bersikap kasar kepada orang bodoh, dengan menceramahinya secara panjang lebar, padahal contoh perilaku yang baik lebih berguna baginya, dan tidak satupun yang mendidik orang bakhil dengan hartanya, melainkan menghakiminya sebagai akhli bakhil.

Meskipun futuwwah tinggal cerita-cerita saja, dan orang-orang masa kini mengklaim sebagai pemiliknya tanpa menunjukkan bukti-bukti tindakan yang shahih, ada baiknya bila kita simak beberapa kisah apik yang terjadi dimasa silam sebagai pengetahuan. Sebuah riwayat mengatakan bahwa disaat akhli futuwwah sedang mengunjungi seorang laki-laki yang terkenal karena futuwwahnya. Laki-laki itu menyuruh pelayannya membawa tilam makanan, namun setelah ditunggu beberapa lama, pelayan itu tidak datang. Para tamu saling berpandangan seraya berkata, ‘Ini tidak benar dalam aturan futuwwah.’ Akhirnya, tidak lama kemudian pelayan itu pun muncul, laki-laki itu bertanya : ‘Mengapa begitu lama?’ Dijawab : ‘Ada seekor semut pada tilam itu. Tidaklah patut menurut futuwwah, membentangkan tilam untuk para tamu yang akhli futuwwah manakala ada semut diatasnya, sebaliknya, tidaklah benar pula mencampakkan semut dari kain tilam itu. Jadi saya menunggu sampai semut itu merayap meninggalkan tilam.’ Seorang tamu itu berkata : ‘Jika pelayannya saja mempunyai futuwwah yang begitu tinggi, bagaimana tuannya?’

Kisah, suatu ketika ada jemaah haji yang kehilangan uang, didekatnya ada seseorang, lalu ia memegang tangannya seraya berkata : ‘ Apakah engkau yang mencuri kantong uangku?’ orang itu bertanya : ‘Apa isi kantongmu?’ jemaah haji itu menjawab : ‘Uang sebanyak seribu dinar.’ Laki-laki itu lalu membawa kerumahnya dan memberinya uang seribu dinar. Jemaah haji itu akhirnya kembali ke penginapannya dan menemukan kantong uangnya yang dikiranya hilang. Lalu ia pun pergi menemui laki-laki tadi bermaksud mengembalikan uang yang telah diterimanya dan mengajukan permohonan maaf atas tuduhannya. Laki-laki itu berkata : ‘Aku tidak pernah menerima kembali barang yang telah aku berikan.’ Jemaah haji itu bertanya kepada laki-laki itu : ‘Siapakah nama tuan pemilik futuwwah yang demikian tingginya?’ dijawab : ‘Ja’far ash-Shaddiq.’

Imam Ja’far ash-Shaddiq,ra., adalah cicit Rasulullah,saw., dan juga berdarah Abu Bakar ash Shaddiq,ra., lahir pada tahun 83 H. Semasa kecil diasuh oleh ayahnya yang bernama Imam Muhammad Baqir,ra., dan juga kakeknya, Imam Ali Zainal Abidin,ra. Beliau hidup pada masa Bani Umayah dan Bani Abbasiyah. Pada masa itu muncul doktrin-doktrin baru, yakni, muktazilah atau penganut faham qadariyah yang percaya bahwa manusia bebas menentukan pilihannya sendiri tanpa Tuhan mencampurinya, lalu doktrin jabariyah yang percaya bahwa manusia itu tidak mempunyai pilihan sama sekali, doktrin zandaqah, dan lain-lain. Oleh karenanya, sungguh sangat hebat tekanan kehidupannya, karena disamping harus berhadapan dengan penguasa bani Umayah, kemudian bani Abbasiyah, juga berhadapan dengan pengikut doktrin-doktrin yang baru tadi. Imam Jafar ash Shaddiq,ra., syahid diracun oleh Manshur penguasa dari bani Abbasiyah. Makamnya berada di komplek pemakaman Baqi di Madinah berdampingan dengan pusara ayahnya, Imam Muhammad Baqir,ra., dan pusara kakeknya, Imam Ali Zainal Abidin,ra. Kakek, ayah dan beliau sendiri adalah para akhli silsilah Qodiriyah, dan beliau juga akhli silsilah Naqsyabandiyah.

Suatu ketika beliau bertanya kepada Syaikh Syaqiq al-Balkhy,qs., : ‘Apa pendapatmu tentang futuwwah?’ Dijawab : ‘Jika kita diberi sesuatu, kita bersyukur dan jika tidak diberi, kita bersabar.’ Imam Ja’far,ra., berkata : ‘Anjing-anjing di Madinah juga bersikap seperti itu. Seharusnya jika kita diberi sesuatu kita berikan kepada orang lain, dan jika tidak diberi, kita bersyukur.’

Seorang salik berkata kepada salik yang lain : ‘Si fulan begini dan begitu kemana sifat kesatrianya?’ Dijawab : ‘Engkau menanyakan sesuatu yang sudah lama lenyap dari muka bumi ini, yakni futuwwah, tanyakan kepadaku tentang keserakahan, karena aku rajanya.’

Sebuah hadist mengatakan bahwa : ‘Allah Itu Indah dan mencitai keindahan.’ Karenanya, orang-orang yang percaya bahwa kecantikan itu bisa mewujud kembali, berusaha dengan sekuat tenaganya untuk meraihnya kembali, dengan teguh melaksanakan dawamudz dzikri wadawamun ubudiyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.