Kamis, 14 Januari 2010

HARAP (RAJA)

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Allah SWT berfirman : ‘Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya’. (QS 018 : 110) Dan ‘ Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.’ (QS 033 : 21)

Perjumpaan dengan Tuhan membutuhkan dua sayap, yaitu sayap harap (raja) dan sayap takut (khauf), kedua-duanya harus seimbang, bila tidak, arah terbangnya tidak beraturan dan sulit mencapai sasarannya. Para syaikh sufi sepakat, bahwa maqom raja mempunyai kedudukan yang mulia. Karena, sifat Kemurahan Tuhan telah meliputi hatinya dan menutup pandangan dari yang lain. Tidak mungkin maqom harap ini berada pada seseorang tanpa melalui perjuangan yang keras. Karena, selama disebut maqom pastilah menimbulkan kewajiban-kewajiban tertentu pada pemiliknya dan tidak diperbolehkan menyia-nyiakannya. Sebagaimana petani yang bermula membajak tanah, menyiapkan bibit unggul, memberikan pupuk dan, menjaga kadar air, lalu menanaminya, dan pada setiap harinya membersihkan dari tanaman liar, memberi pupuk dan menjaga dari serangan hama. Sang petani tidak boleh lengah dari kewajibannya pada setiap hari, barulah muncul harapan yang besar akan memperoleh hasil yang baik. Hati menjadi hidup oleh harapan-harapan yang melenyapkan kekhawatiran lantaran jerih payahnya itu. Sebagaimana tuntutan ayat diatas bahwa harapan perjumpaan dengan Tuhan wajib didahului oleh mengerjakan amal sholeh dan memurnikan tauhid (QS 018 : 110), dan salah satu bentuk amal sholeh yang terbaik serta terhindar dari sesuatu yang haram adalah dzikrullah (QS 033 : 21). Oleh karenanya harapan tanpa sebuah usaha yang keras akan sia-sia, dan harapan tanpa usaha adalah angan-angan. Harapan adalah sifat terpuji (mahmudah) dan angan-angan adalah sifat tercela (majmumah).

Untuk membuktikan seorang raja itu pengampun, mesti ada tindak kesalahan terlebih dahulu, lalu keputusan sang raja menjadi ukurannya, barulah diketahui bahwa rajanya memang mempunyai sifat pengampun. Sehingga tingkat pemaafan dari tindak kesalahan menjadi ukuran, semakin sifat raja itu pengampun semakin tinggi harapan rakyat memperoleh pengampunan dari kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya. Karenanya, Allah SWT, Yang Maha Pengampun, menjadikan manusia melakukan dosa guna memanifestasikan sifat-Nya. Bisa jadi, dosa-dosa yang diperbuat oleh manusia itu, diampuni-Nya dengan cara yang misterius. Diketahui ada sebuah hadist yang mengatakan bahwa bersegeralah berbuat kebaikan, karena kebaikan akan mengganti keburukan-keburukan yang telah dilakukan. Namun pada kisah ini berbeda, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab ats-Tsaqoty menuturkan : “Suatu hari aku melihat iringan keranda yang dipikul oleh tiga laki-laki dan seorang wanita, tanpa ada orang lain yang mengantarkannya. Aku maju menggantikan si wanita dan menuju ke kuburan. Setelah selesai proses penguburan, aku bertanya kepada wanita itu : Apa hubunganmu dengan orang yang meninggal ini?’ Dijawab : ‘Ia anakku.’ Aku bertanya : ‘Apakah anda mempunyai tetangga?’ Ia menjawab : ‘Ya, tetapi mereka semua memandang hina kepada anakku yang meninggal.’ Aku bertanya : ‘Mengapa?’ Ia menjawab : ‘Karena ia seorang banci.’ Aku merasa kasihan kepada wanita itu, lalu kuberi sedikit uang, gandum dan pakaian. Malam itu aku bermimpi melihat seorang pemuda datang kepadaku. Wajahnya berseri bagaikan bulan purnama, berpakaian serba putih dan mengucapkan terima kasih kepadaku. Ketika aku bertanya siapa dirinya, ia menjelaskan, ‘Aku adalah si orang banci yang anda kuburkan tadi siang. Tuhanku telah melimpahkan rahmat-Nya kepadaku disebabkan hinaan orang-orang kepadaku.’”

Hadrat Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) berkata pada pengajian hari Jum’at tanggal 8 Januari 2010, bahwa : ‘Harap (raja) itu ada tiga macam, yakni, raja fiddunya, raja fil akhirah dan raja fillah.’ Yang pertama adalah, harapan akan upayanya mencari penghidupan didunia ini terkabulkan, kedua, adalah harapan akan surgawi atas jerih payahnya melakukan tindak peribadatan di dunia ini, dan ketiga adalah harapan ‘kebersatuan’ dengan Allah SWT.
Seseorang mesti mengukur dirinya sendiri tatkala pada tahapan raja fiddunya, apakah harapan vertikalnya (kepada Allah SWT) lebih besar dari harapan horizontalnya (harapan urusan-urusan dunya) atau sebaliknya harapan kepada horizontalnya melebihi harapan vertikalnya. Oleh karenannya raja fiddunya ini tidak termasuk kedalam maqom raja, karena justru harapan yang demikian akan memperkokoh hijab-hijab menuju Allah SWT. Syaikh sufi dari tarekat Naqsyabandiyah mengatakan bahwa ; ‘Terlalu memikirkan urusan-urusan dunya akan menutup pintu kedekatan kepada Allah SWT.’ Sedangkan raja fil akhirah, adalah harapan yang timbul dari melakukan tindak peribadatan. Meskipun kelompok ini masih masuk kedalam melakukan perdagangan dengan Allah SWT, namun sudah tergolong baik. Para mutashowwif tidak lagi berada pada raja fiddunya dan faja fil akhirah, melainkan berupaya menggapai maqom raja fillah. Agar berada pada kedekatan hati atas kemurahan Tuhan.
Seseorang bertanya : ‘Adakah tanda adanya harapan pada seorang hamba?’ Syah al-Kirmany,ra., mengatakan bahwa : ‘Tanda adanya harapan adalah taat yang baik.’ Sedangkan Syaikh Ahmad bin Ashim al-Anthaky,qs. menjawab bahwa : ‘Tandanya dalah manakala ia menerima nikmat anugerah (ihsan), ia terilhami untuk bersyukur, penuh harap akan penuhnya rahmat Allah SWT di dunya ini dan penuhnya pengampunan-Nya di akhirat.’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.