Sabtu, 16 Juli 2016

HUDHUR DAN GHAYBAT

Bismillahir Rahmaanir Rahiim

Pengajian tentang hudhur dan ghaybat berlangsung lama, bersumber dari kitab Kasyful Mahjub karya Imam Hujwiri,qs. Terdengar rumit namun sesungguhnya sederhana. Seperti sholat, menjelaskan tata caranya mudah, tetapi melukiskan rasanya sangat sulit, atau menerangkan cara menyetir mobil amat mudah, tapi menjelaskan rasa pada saat menyetir sangat susah. Demikian pula tentang hudhur dan ghaybat, menjelaskan pengetahuannya tidak sulit, tetapi menyampaikan rasanya tidak mudah. Orang yang dapat menjelaskan rasa ketika sholat atau rasa ketika berkendara mobil, berarti ia pernah mendirikan sholat dan menyetir mobil. Jika belum pernah, maka yang dijelaskan hanyalah pengetahuannya bukan rasa yang aktual. Perbedaan antara pengetahuan dan rasa sangat besar, seperti langit dan bumi atau seperti badan dan ruh. Sesungguhnya berbicara sesuatu yang belum dialami dilarang oleh agama, sebagaimana yang termaktub didalam Al Qur’an : ‘Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.’ (Ash-Shaff : 2-3).

Arti hudhur dalam Bahasa Indonesia adalah hadir, yang dimaksud dengan hadir adalah ada atau datang, sedangkan hadirin adalah semua orang yang datang. Lawan dari pada hadir adalah absen atau tidak datang atau ghaybat. Sehingga bisa dikatakan bahwa Jika seseorang hadir disekolah maka ia absen di rumah, dan sebaliknya jika ia absen di sekolah maka ia hadir di rumah. Dalam hal ini, kehadiran pasti dikaitkan dengan keberadaan jasad. Sedangkan didalam dunia tasawuf istilah hudhur diartikan sebagai kehadiran hati bersama Tuhan dan sebaliknya bila tidakkehadiran hati disebut sebagai Ghaybat. Sehingga yang dimaksud hudhur adalah kehadiran secara spiritual atau merasa yaqin keberadaannya didalam hati, tanpa berpikiran lagi tentang ada atau tidak adanya jasad.

Suatu hari murid-murid diperintah oleh Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) untuk mendirikan sholat di Mesjid Nuur al Baru. Pada saat pelaksanaan sholat, beliau pergi meninggalkan Mesjid. Setelah selesai, seorang murid ‘merasa yaqin’ bahwa syaikh berada bersamanya selama sholat, karenanya ia memperbaiki sikap sholatnya tidak seperti biasanya. Meskipun faktanya, syaikh tidak berada disitu. JIka seseorang dapat ‘merasa yaqin’ seolah-olah syaikh bersamanya selama waktu sholat dan mempunyai kedudukan yang sama tatkala syaikh tidak ada, atau apa yang bisa terlihat olehnya mempunyai kekuatan yang sama dengan apa yang tersembunyi darinya, maka hal ini disebut sebagai ‘kehadiran hati’ (hudhur) bersama syaikhnya atau ‘tidakkehadiran’ (ghaybat) bersama yang lain. Sehingga bisa dikatakan bahwa yang dimaksud dengan kehadiran (hudhur) dan tidakkehadiran (ghaybat) mempunyai makna yang sama walaupun tampaknya bertentangan satu sama lain.

Tugas seorang syaikh adalah membimbing murid-muridnya untuk mencapai hudhur, dimulai dengan latihan spiritual yang disebut dengan dzikir lalu meningkat kepada muroqobah. Pendeknya pekerjaan dzikir dan muroqobah adalah medan laga latihan spiritual yang diawali dengan berupaya seolah-olah merasakan ‘rasa’ rindu dan cinta serta kehadiran Tuhan pada akhirnya. Diharapkan dari seolah-olah merasakan laama-kelamaan perasaan yaqin atas kehadiran hati bersama Tuhan itu melekat. Oleh karenanya tidak mungkin kehadiran hati (hudhur) bersama Tuhan dapat diraih manakala hati seseorang masih kotor, dilain pihak keadaan hati yang bersih adalah sebuah karunia-Nya, karena upaya membersihkan hati dengan dzikir-dzikir adalah perbuatan manusia, sedangkan penghapusan terhadap noda hati atau kekotoran hati adalah perbuatan Tuhan.

Pengetahuan tentang hudhur dengan perasaan yang aktual tentang hudhur merupakan dua hal yang berbeda. Penguasaan pengetahuan atau pemahaman tentang hudhur tidak akan berdampak kepada keadaan hati atau tidak mempengaruhi padangannya terhadap tauhid, karena bisa saja orang non muslim dapat mempelajarinya, tetapi tidak demikian terhadap keadaan hudhur yang sebenarnya, terdapat tanda-tanda bagi seseorang yang mengalaminya, khususnya meningkatnya perasaan yaqin dan lenyapnya keburukan-keburukan serta adanya perubahan yang mendasar dalam perilakunya. Keyaqinannya memuncak bahwa dirinya sendiri merupakan sebesar-besar tabir untuk dapat hadir bersama Tuhan, mata hati menjadi tertutup terhadap diri sendiri dan terhadap semua selain Tuhan, sehingga sifat-sifat kemanusiaannya ditelan oleh nyala api kedekatan dengan Tuhan. Maka selama tidak hadir dari diri sendiri, maka akan hadir bersama Tuhan, tetapi bilamana hadir bersama sifat-sifat diri sendiri, akan menjadi tidak hadir dari kedekatan dengan Tuhan. Inilah mengapa yang mulia Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) selalu menanyakan ‘perasaan’ hudhur tatkala murid-muridnya mengaku telah mengalaminya.

Kisah, seseorang mendatangi Imam Junayd,qs., dan mengatakan: ‘Hadirlah bersamaku sesaat agar aku bisa berbicara denganmu.’ Dijawab: ‘Wahai anak muda, engkau menginginkan sesuatu dariku yang sekian lama kucari. Bertahun-tahun aku mengharapkan bisa hadir bersama diriku sendiri sesaat saja, tapi aku tak bisa, lalu bagaimanakah aku bisa hadir bersamamu sekarang juga?’ Inilah jawaban dari seorang yang dalam keadaan hudhurul haq secara terus menerus.

Dzikir dengan objek yang dizikiri adalah sesuatu hal yang berbeda, atau nama dengan pemilik nama adalah dua hal yang lain. Jika seseorang menyebut nama, boleh jadi objek yang disebutnya tidak berada di dekatnya. Terdapat ayat Al Qur’an yang mengatakan : ‘Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, maka Aku akan ingat pula kepadamu.’ (QS. 2 : 152). Ayat yang mulia ini tidak mengatakan ‘menyebut’ tetapi ‘mengingat’. Yang terjadi pada kebanyakan murid saat berdizkir adalah menyebut-nyebut nama-Nya saja tetapi lalai dalam mengingat-Nya. Yang diutamakan oleh murid adalah mengingat perbuatan dzikirnya bukan yang dizikiri, oleh karenanya ia sibuk menyelaraskan nada suara dan gerakannya saja. Hal ini lebih mendekati pada ketakpedulian karena mengira bahwa dirinya hadir bersama Tuhan. Karena itu, mengira bahwa hadir bersama Tuhan ketika tidak hadir, lebih buruk daripada tidak hadir tetapi tidak mengira hadir, karena kebanggaan adalah keruntuhan bagi orang-orang yang mendambakkan Kebenaran. Makin bangga, makin jauh dari kenyataan, dan sebaliknya, aspirasi yang suci sungguh jauh dari kualitas-kualitas ini. Penyakit yang seperti ini menjangkiti tidak saja kepada murid baru saja melainkan pada tingkatan yang lain. Prinsip dasar mengingat Allah (dzikir) bilamana sang pendzikir tidak hadir dari dirinya sendiri (ghaybat) tetapi hadir bersama Tuhan (hudhur), dan bilamana orang tidak hadir dari Tuhan dan hadir bersama dirinya sendiri, keadaan itu bukanlah mengingat Allah (dzikir), melainkan ketidakhadiran dan ketidakhadiran adalah akibat dari kelalaian (ghaflat).

Seseorang yang mengalami hudhurul Haq atau kehadiran hati bersama Allah mempunyai tanda-tanda, yang perasaan yaqinnya sebagaimana sang murid tadi, ketika merasa yaqin bahwa syaikh bersamanya pada waktu sholat. Dan perubahan sikapnya nyata, menjadi baik, akhlaknya indah. Sikap baiknya bukan merupakan sebuah upaya lagi sebagaimana waktu sholat tadi, melainkan menjadi pakaiannya, karena sirnanya keburukan. Hatinya penuh dengan sifat pengasih, rasa dengki dan irinya menjauh dan tertutup rapat.

Hudhrul Haq adalah salah satu bentuk musyahadat, yang berarti atas sekehendak Allah SWT dan manusia tidak terlibat sama sekali, meskipun ia melakukan keberupayaan. Jika musyahadat teraih tatkala melakukan dzikrullah atau muroqobah, maka itulah yang disebut dengan beribadah sambil menikmati sajian ruhani. Inilah yang membedakan orang-orang yang gemar bermujahadah dengan yang tidak. Dan menyadari pentingnya mendahulukan orang lain daripada dirinya, pentingnya melayani bukan dilayani, pentingnya memberi bukan menerima, pentingnya merendah bukan sombong, pentingnya berkata jujur bukan bohong. Menyadari dan merasakan bahwa dirinya hina. Orang yang merasa hina akan takjub kepada Yang Maha Mulia dan dekat dengan Tuhan, sebaliknya orang yang merasa mulia akan selalu memandang rendah orang lain dan jauh dari Tuhan, meskipun ia mengaku dekat dengan Tuhan tetapi cepat atau lambat orang akan mengetahuinya, karena semua kedudukan ada tanda-tanda, seperti hujan maka bumi menjadi basah. Semuanya terletak kepada kesadaran dan kesadaran adalah tasawuf begitulah guru kami tercinta Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) mengatakan.

Demikian para sahabat semoga ada manfaatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.