Bismillaahir Rahmaanir Rahiim
Allah SWT berfirman :
‘Dan Tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah,’ (QS 016 : 127)
Rasulullah,saw., bersabda : ‘Sabar itu sebagian dari Iman.’ Dan Ali bin Abi Thalib,ra., berkata : ‘Hubungan antara sabar dan iman, laksana kepala dan badan, badan tidak ada artinya tanpa kepala.’ Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Sabar melekat pada setiap tahapan maqom ilmu kesufian.’Ujaran ini indah sekali, karena berkenaan dengan pokok-pokok tasawuf, makanya tak heran, bila pengajian tentang sabar selalu diulang-ulang dalam perspektif yang berbeda-beda dan dalam tahapan yang belainan pula. Sebagaimana makna daripada sabar itu sendiri, yakni ‘memenjarakan’. Jika yang dimaksud adalah memenjarakan nafsu dari segala syahwat, atau mengekang keinginan-keinginan diri (mujahadah), maka tepat sekali bilamana sabar melekat kepada seluruh tahapan maqom-maqom. Dan pada setiap perubahan peningkatan maqom, akan meningkat pula tingkat kesabaran dan tingkat keimanannya. Sehingga tampak bahwa kesabaran dan keimanan selalu berjalan beriringan, laksana kepala dan badan. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) juga pernah berkata bahwa : ‘Tasawuf adalah peperangan melawan hawa nafsu sepanjang kehidupan.’ Nah, bila seseorang memperoleh kemenangan didalam pertempuran melawan musuh besarnya, maka ia akan memenjarakan para tawanannya, agar tidak kembali menyerangnya, atau paling tidak, bila ia kembali berkhianat ia telah menguasai jurus-jurus untuk menundukkannya. Imam Qusyairi al-Naisaburi,ra., berkata : ‘Kesabaran yang diwajibkan kepada seorang hamba adalah kesabaran menerima perintah Allah SWT terhadap dirinya dengan penuh ketaatan, sabar atas apa yang dilarang dan diharamkan, dan bersikap tenang menerima qadha dan takdir-Nya.’ Bukankah apa yang dikatakan oleh Imam yang mulia ini selaras dengan apa yang Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) katakan berkenaan dengan tasawufan rajulu? Yakni, yang pertama menjalankan seluruh perintah Allah SWT dengan keteguhan, yang kedua menarik garis yang tebal terhadap semua larangan-Nya dan yang ketiga ridha terhadap qadha dan qadar-Nya. Lalu yang kedua dijadikan nomor satu, karena banyak manusia yang mampu mengerjakan perintah-Nya, namun sedikit sekali yang meninggalkan larangan-larangan-Nya, atau dengan kata lain bahwa, manusia mampu sabar dalam ketaatan namun tidak mampu sabar dalam kemaksiatan. Dengan ketawadhuannya Syaikh Hasan al-Basri,ra., berkata kepada seorang Badui, bahwa :‘Kesabaranku tak lain kecuali hilangnya kekuatan.’ Karena Rasulullah,saw., telah bersabda bahwa : ‘Sabar yang sebenarnya itu adalah pada saat menghadapi cobaan yang pertama.’ Kesabarannya dalam menghadapi kemalangan dan kepasrahannya menyatakan rasa takutnya kepada api neraka bukan demi Allah semata.
Imam al-Ghazali,ra., pernah mengatakan bahwa Ash-Shabur (Yang Mahasabar) adalah satu sifat Allah SWT, adalah Dia yang tidak tergesa-gesa bertindak sebelum waktunya, namun memutuskan segala persoalan menurut rencana yang pasti, dan mewujudkannya dengan cara-cara yang terlukiskan, tidak menundanya seperti seorang pemalas yang selalu menunda-nunda pekerjaan, tetapi menempatkan setiap sesuatu pada waktu yang tepat, pada saat diperlukan dan sesuai dengan kebutuhannya. Dan semua itu tanpa adanya kuasa yang bertentangan dengan kehendak-Nya. Oleh sebab itu hakikat kesabaran adalah tidak terbatas, karena Allah SWT tidak terbatas dan karena sifat-sifat-Nya bersatu dengan Dzat-Nya yang Qadim, tanpa pemisahan. Bagi manusia, kesabaran menjadi terbatas karena dzat dan sifat manusia terbatas, maka sabar bagi manusia adalah diperlukannya ketahanan terhadap dorongan yang menyebabkan tergesa-gesa dan bertindak gegabah, baik dalam mengerjakan perintah Allah SWT (ketaatan), menjauhi larangan-Nya (kemaksiatan) atau dalam menerima qadha dan qadar-Nya.
Kebanyakan orang memahami sabar adalah, menahan diri dalam menanggung suatu penderitaan, baik dalam menemukan sesuatu yang tidak diingini, ataupun dalam bentuk kehilangan sesuatu yang disenangi. Faktanya, tidaklah demikian, Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) begitu divonis oleh dokter bahwa, didalam darahnya terdapat virus hepatitis, malah bersuka cita, dan sebaliknya, tidak ada seorang murid pun, yang tidak berduka dan turut prihatin mendengar sang guru terjangkit penyakit yang pelan tapi mematikan itu. Para murid berlomba memberikan informasi dan mendatangkan dokter spesialis yang akhli dalam menangani penyakit ini. Sikap dan gerak hati seorang syaikh yang demikian itu terdengar absurb bagi orang awam, namun biasa bagi para sufi, sehingga sabarnya orang awam didalam menghadapi penderitaan, adalah syukurnya bagi para sufi. Dikarenakan, mereka mempunyai keyakinan bahwa, penderitaan adalah salah satu tindakan Tuhan guna menarik seseorang untuk berdekat kepada-Nya. Banyak murid yang tidak meyadari keadaan gurunya ini, bahkan ada yang mengajaknya berziarah ke Yerusalem dan Turki, meskipun syaikh dalam keadaan yang demikian itu dan harus menyuntikkan obat pada setiap seminggu sekali. Jadi, ini bukan tindakan menyembunyikan rasa sakit yang dideritanya dari penglihatan orang lain, tetapi keadaan ruhaninya memang demikian adanya. Syaikh selalu mementingkan kepentingan murid-muridnya dan tidak berpikir untuk mementingkan kesenangan dirinya, dan ini bukan derajat sabar biasa, melainkan kesempurnaan penafian diri, sehingga bagi awam adalah rintihan, sedangkan baginya adalah pujian kepada Tuhan. Karena merintih bagi seorang syaikh adalah tabu, sebagaimana Nabiyullah Ayyub,as., pernah menerima wahyu dari Allah SWT : ‘Hai Ayyub! Mengapa engkau mengadukan Daku?’ Nabi Ayyub,as., bertanya : ‘Ilahi! Kepada siapa daku mengadukan perihal-Mu, sedangkan suara rintihanku tidak pernah terdengar oleh orang lain?’ Allah SWT menjawab : ‘Engkau mengadukan diri-Ku kepada musuhmu yang paling besar, yaitu dirimu sendiri.’ Setelah beberapa lama dalam perawatan dokter dan kemudian dinyatakan sehat, seorang salik memekik dan berkata kepada Syaikhuna : ‘Sungguh tiada kegembiraan seperti yang kualami pada hari ini, bahwa syaikh telah sehat kembali.’ Mendengar itu, Syaikhuna hanya terdiam, lalu setelah diucap yang ketiga kalinya oleh sang salik, beliau berkata : ‘Apakah saya juga harus bergembira seperti engkau, padahal hatiku menangis karena kesempatan itu pergi.’
Kisah diatas dapat dipahami bahwa sabar itu bertingkat-tingkat dan dapat diupayakan. Menjadi luas maknanya dan tidak saja dikaitkan kepada hal-hal yang berkenaan dengan penderitaan, melainkan keteguhannya didalam mengekang segala bentuk keinginan-keinginannya yang menggebu-gebu (syahwat). Rasulullah,saw., bersabda : ‘Sungguh aku lebih khawatir jika kalian mendapatkan fitnah (ujian) yang menyenangkan dibanding ujian yang menyengsarakan.’ Abdurrahman bin ‘Awf,ra., berkata : ‘Ketika kami mendapat ujian yang menyulitkan, kami dapat bersabar, tetapi ketika kami mendapat ujian yang menyenangkan, kami tidak kuasa bersabar.’ Syaikh Abu Sulaiman,ra., berkata : ‘Demi Allah, kita tidak dapat bersabar dengan apa yang kita sukai, jadi bagaimana pula halnya dengan apa yang tidak kita sukai.’ Orang yang keluar dari kesenangan dalam keadaan istiqomah dijalan yang benar, maka derajatnya lebih tinggi daripada orang yang keluar dari kesulitan dalam keadaan istiqomah. Karenanya para syaikh sufi mengelompokkan sabar kedalam kategori maqom, sesuatu yang para salik dapat teguh didalam kesabaran, dengan selalu memenuhi kewajiban-kewajiban yang ditimbulkan dari maqom sabar ini, tanpa sekalipun menyia-nyiakannya. Didalam al-Qur’an banyak dijumpai perintah untuk bersabar, namun bila dicermati perintah sabar itu ditujukan bagi orang biasa dan orang khusus, jika dijumpai dalam firman-Nya perintah : ‘Dan bersabarlah’ maka ini ditujukan untuk semua orang yang beriman sebagai perintah untuk beribadat, dan bisa dikatakan sebagai ‘tafriqah’ atau ‘pemisahan’ karena melibatkan perbuatan-perbuatan manusia, sedangkan firman-Nya : ‘Dan Tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah,’ (QS 016 : 127) ini ditujukan kepada kelompok orang mukmim sebagai bukti ubudiyahnya dan dapat dikatakan sebagai ‘jam’ atau persatuan, yakni tanpa melibatkan perbuatan manusia melainkan karena karunia-karunia Ilahi.
Rabu, 07 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.