Bismillaahir Rahmaanir Rahiim
Allah SWT berfirman : ‘(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS 013 : 28)’
Seorang salik terkejut mendengar celotehan bocah kecil yang masih duduk di kelas dua Sekolah Dasar yang berkomentar tentang gempa bumi yang sedang melanda di beberapa kota di Indonesia, bahwa gempa bumi itu, bumi bergoyang-goyang mengikuti tingkah laku orang-orang masa kini, yang suka bernyanyi dan bergoyang-goyang mengikuti irama lagu. Makanya banyak-banyak shalat dan puasa agar bumi menjadi tenang. Bocah kecil itu begitu tajam ucapannya, tanpa disadarinya ia telah berbicara tentang anasir, insya Allah pada bab mendatang akan disampaikan pengajian tentang anasir, yakni hubungan antara Sang Pencipta, alam semesta (makrokosmos) dan manusia (mikrokosmos).
Ayat diatas jelas sekali maknanya, yakni ketenangan seseorang terletak pada hatinya, dan ketenangan hati diperoleh dari hasil dzikir-dzikirnya, tentunya dzikir kepada Allah (dzikrullah) bukan dzikir dunia. Seseorang boleh melihat kedalam dirinya apakah ketenangannya diperoleh disaat angka rekening tabungan banknya banyak atau sebaliknya kegundahannya datang tatkala angka rekening banknya menipis. Jika ketenangannya dikarenakan cahaya ketuhanan yang menguasai hatinya karena dzikir-dzikirnya, maka ia termasuk golongan orang-orang yang berbahagia di dunia ini dan akhirat nantinya, sebaliknya jika ketenangannya disebabkan karena adanya harta bendawi yang menumpuk didalam rekeningnya atau uangnya menjadi banyak maka ia termasuk golongan orang-orang yang tertipu, meskipun ia juga telah melakukan dzikir-dzikir, namun jelas ia telah salah dalam mematuhi kaifiat dzikir yang benar, dan tidak melakukan tindak mujahadah. Yang pertama, ruhnya telah mendominasi jiwanya, lalu cahaya ketuhanan memenuhi ruang hatinya, sehinga keimanannya bertambah-tambah kuat, dan tuhannya adalah Allah SWT semata, sedangkan yang kedua jiwanya telah mendominasi ruhnya dan kegelapan telah memenuhi hatinya, sehingga keimanannya merosot tajam, dan tuhannya adalah harta bendawi dunia, naudzubillah mindzalik.
Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : 'Seseorang menjadi mulia tatkala ia mampu mewaspadai gerak gerik hatinya.'
Hati (Qolbu) menjadi pusat perhatian para syaikh sufi, karena merupakan tambang makrifatullah, jika ia baik maka akan baiklah seluruh tubuhnya. Hati yang dimaksud adalah suatu yang halus yang terdapat pada manusia bukan hati organ tubuh. Hati (Qolbu) secara etimologis berarti membalik, mengalihkan, mengubah. Jika sebuah gelas diisi penuh dengan anggur, maka ia akan berwarna merah atau putih, tergantung dari pada warna anggurnya. Jika gelasnya tenang maka isinya juga akan tenang, demikian pula jika isinya tenang maka gelasnya akan tenang pula. Demikian pula dengan hati manusia, sebagai tempat (lokus) antara ruh dan jiwa, lokus dari kebaikan dan keburukan, keimanan dan kemunafikan, kebenaran dan kepalsuan. Ketika Allah SWT menciptakan hati (qolbu), malaikat Ridhwan (penjaga surga) berkata : ‘Berikan kepadaku, sebab didalamnya ada madu keakraban dan anggur kesucian.’ Malaikat Malik (penjaga neraka) berkata : ‘Berikan kepadaku, sebab didalamnya ada gejolak api hasrat dan api nafsu.’ Para malaikat muqorobin (penyangga Arasy) berkata : ‘Berikan kepada kami, sebab ia adalah arasy cinta mulia dan hamparan luas kebaikan.’ Malaikat yang lain berkata : ‘Berikan kepada kami, sebab ia adalah langit penuh hiasan, pikiran-pikirannya mengalir bagaikan bintang-gemintang yang melesat cepat.’ Lalu Allah SWT membubarkan mereka dan berkata : ‘Qalbu itu berada diantara dua jari-jari Dzat Yang Maha Pengasih.’ Rasulullah,saw., sering melantunkan sebuah doa : ‘Wahai Dia yang membuat hati berubah-ubah, tetapkan hatiku pada agama-Mu.’ Yakni, ‘Tidak ada putra Adam yang hatinya tidak berada diantara dua jari Tuhan. Siapa pun yang Dia inginkan, dibuat-Nya berjalan lurus, dan siapa pun yang Dia inginkan, dibuat-Nya berjalan bengkok.’ Hati berada diantara dua jari Tuhan, diantara keridhoan-Nya dan kemurkaan-Nya, Rahmat-Nya dan Keadilan-Nya. Hati juga bisa selembut malaikat dan segelap syaithon. Kadang-kadang angin rahmat berhembus yang membuatnya senang, dan kadang-kadang angin panas menerjangnya yang membuatnya lelah. Hati menjadi bingung diantara kedua jenis sifat dan kedua keadaan ini. Oleh karenanya hati merupakan pusat seorang manusia. Allah menaruh perhatian khusus kepadanya, dan yang ditilik dari manusia adalah hatinya bukan yang lain, bahkan tindakan-tindakan jawarih manusia yang tidak dibarengi dengan hati bukan merupakan dosa : ‘Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’. (QS 033 : 5). ‘Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.’ (QS 002 : 25) demikian pula terdapat hadits yang mengatakan bahwa : ‘Allah tidak melihat badanmu atau bentukmu, melainkan kedalam hatimu.’
Sifat ruh adalah Ilahiyah, bercahaya dan tinggi sedangkan sifat jiwa adalah duniawi, rendah, gelap dan syaithoniyah. Hati sebagai lokus dari keduanya, menjadi berubah-ubah mengikuti angin yang membawanya. Kadang-kadang ia menuju yang tinggi dan menjadi satu dengan ruh dan kadang-kadang ia mendatangi yang rendah dan menjadi satu dengan jiwa. Ketika ia menjadi satu dengan ruh, ia mendominasi jiwa. Selanjutnya tidak ada lagi yang muncul kecuali kesesuaian dan kepatuhan. Ketika menjadi satu dengan jiwa, ia mendominasi ruh. Selanjutnya tidak ada lagi yang muncul kecuali penentangan dan ketidakpatuhan. Berubah-rubahnya hati adalah seperti berubah-ubahnya lingkaran langit, berubahnya peredaran planet-lanet atau galaksi. kadang-kadang ia membawa matahari kebawah dunia dan dunia menjadi gelap, dan kadang-kadang ia membawa dunia kebawah matahari dan membuatnya bercahaya. Ruh itu laksana matahari, jiwa itu seperti bumi dan hati itu seperti lingkaran langit.
Tugas para Syaikh sufi adalah terpusat pada pembersihan hati dari noda bawaan dan noda dunia. Jika dijelaskan metodologi Tarekat Qodriyah wa Naqsyabandiyah dalam upayanya untuk membersihkan hati, maka kitab ini akan menjadi tebal sekali dan membosankan untuk dibaca. Pendeknya, pendidikan keruhanian dan kejiwaan yang shahih hanya dipunyai oleh guru mursyid, seorang syaikh yang mendapat otoritas untuk menyebarkannya. Hati, ruh dan jiwa merupakan sesuatu yang halus yang ada pada manusia, dan hati menjadi tempat (lokus) ruh dan jiwa secara bersama-sama. Sesuatu yang halus hanya bisa dilihat dan dirasakan oleh indera yang halus pula, sedangkan sesuatu yang kasar hanya bisa didengar dan dilihat oleh indera yang kasar pula, seperti telinga dan mata. Pandangan para syaikh dari tarekat ini terhadap sesuatu yang halus pada manusia (lathifah), terdapat tujuh tingkatan kelembutan, sebagaimana langit diciptakan tujuh lapis, dan demikian pula bumi, serta surga diciptakan tujuh lapis demikian pula neraka. Namun demikian telah dikatakan pada bab-bab terdahulu bahwa hakikat angka tujuh mewakili sesuatu yang banyak dan mendekati tak terhingga. Ketujuh tingkatan kelembutan itu yang pertama adalah Latifatul Qolbi, didalam Latifatul Qolbi ada Latifatul Ruh, didalam Latifatul Ruh ada Latifatul Sirri, didalam Latifatul Siiri ada Latifatul Khofi, didalam Latifatul Khofi ada Latifatul Akhfa, kelima tingkatan kelembutan (lathifah) ini dicipta di alam amr (alam perintah) tanpa evolusi dan terletak disekitar dada manusia. Lalu didalam Latifatul Akhfa ada Latifatul Nafsun Natiqo, didalam Latifatul Nafsun Natiqo ada Latifatul Kullu Jasad. Kedua lathifah yang terakhir disebut ini letaknya disekitar kepala manusia dan mempunyai hubungan dengan anasir, tanah, air, api dan angin. Didalam ketujuh lathifah ini bersama-sama berkumpul sifat-sifat yang mahmudah (terpuji) dan sifat-sifat yang majmumah (tercela), sifat-sifat ketuhanan dan sifat-sifat syaithoniyah, sifat-sifat binatang jinak dan binatang buas. Nah, lokasi tambang kesempurnaan manusia ada pada ketujuh tempat ini, aktifitas menambangannya harus dengan dzikir dan muroqobah. Setiap harinya, paling tidak pada ketujuh tingkatan kelembutan (lathifah) ini berdzikir menyebut ismudzat Allah … Allah … Allah sebanyak 11.000, atau khusus pada latifatul qolbi melakukan muroqobah sebanyak dua puluh (20) tingkatan. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Barang siapa mampu masuk dengan benar dua (2) muroqobah awal, yakni ahadiyah dan maiyah maka orang itu telah memasuki awal kewalian, dan bila berhasil memasuki muroqobah yang ke tiga (3), aqrobiyah, maka ia telah memperoleh kewalian sugro atau kewalian kecil. Sedangkan barang siapa mampu memasuki muroqobah ke empat (4), muroqobah al-mahabbat fi al-dairat al-ula, sampai ke tujuh(7), maka ia akan memperoleh kewalian Qubro atau kewalian besar, dan seterusnya bila ia dapat memasuki muroqobah ke delapan (8) sampai ke dua puluh (20) maka ia telah memperoleh kewalian ulya atau kewalian malaikat.’ Yang dimaksud dengan masuk dengan benar dalam muroqobah adalah ia akan merasa dirinya sirna dan berada dalam Haribaan-Nya, dalam lingkaran Kasih dan Sayang-Nya, terus menerus dalam Kehadiran-Nya (Hudurul Haq) dan bersama-Nya. Yang dimaksud dengan kebersamaan dengan-Nya, adalah Allah SWT akan senantiasa menjaga pendengaran, penglihatan dan seluruh tindak tanduknya. Disamping itu Allah SWT akan senantiasa mengabulkan doa dan permintaannya yang terkait dengan urusan dunia atau urusan akhirat. Bukanlah kebersamaan Allah berarti Dzat-Nya menyatu dengan dirinya. Karena kebesaran dan keagungan Dzat Allah mustahil untuk menyatu pada dzat makhluk yang sangat kecil dan hina.
Jika pangkat kewalian tercermin pada tingkatan pekerjaan muroqobah, maka muroqobah bukan pekerjaan biasa, melainkan sebuah anugerah dari Allah SWT. Seorang Syaikh menjadi pena Tuhan tatkala mengijazahkan pekerjaan ini, tak sedikitpun campur tangan darinya, terkecuali doa-doanya saja, yang membuat Allah meridhoi orang-orang yang dimaksud oleh syaikhnya. Sungguh sangat memprihatinkan, saat ini ada sebuah tarekat yang dengan mudah mengijazahkan muroqobah satu (1) hingga dua puluh (20) tingkatan, padahal tak satupun tingkatan muroqobah dapat dimasukinya dengan mudah dan dalam waktu yang singkat, melainkan harus dilakukan dengan riyadhah yang terus menerus dan dibawah pengawasan seorang mursyid, ini wajib hukumnya. Ijazah dzikir-dzikir dan muroqobah hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang sudah khirkoh dalam tarekatnya, bilamana seorang syaikh memberikan izin kepada wakil talqin, hal ini berlaku selama syaikhnya masih hidup, dan jika syaikhnya telah wafat, maka haram hukumnya seorang wakil talqin mengijazahkan pekerjaan tarekat, hal ini berlaku diseluruh tarekat di dunia fana ini. Maka jika ada yang melanggar peraturan keras ini, pekerjaan tarekatnya tidak menghasilkan buah melainkan hanya menuai kelelahan phisik dan menghancurkan keimanan serta menutup pintu amal. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : 'Barang siapa mampu memasuki satu tingkatan muroqobah dengan benar dalam waktu enam bulan, maka ia termasuk manusia yang jenius.' Karena jelas, bahwa jumlah wali itu terbatas dan sangat sedikit serta tidak akan berubah jumlahnya dari saat penciptaan hingga akhir zaman nantinya, kecuali jika Allah berkehendak lain. Dan sangat nyata, bahwa kewalian itu niscaya bisa diperoleh dengan mempersiapkan hati (qolbu) yang bersih nan bercahaya dengan jalan melakukan dzikir-dzikir dan muroqobah. Sebagaimana riwayat dari Abu Hurairah,ra., yang berkata: "Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman, 'Barang siapa memusuhi wali-Ku, maka Aku mengumumkan perang terhadapnya. Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dari apa-apa yang Aku wajibkan kepadanya, dan hamba-Ku itu tetap mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Bila Aku mencintainya, Aku akan menjadi pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk menggenggam, dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia meminta pasti Aku beri, jika ia meminta perlindungan, niscaya Aku lindungi.'" Ciri-ciri waliyullah sebagaimana firman-Nya : ‘Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.’ QS 010 : 62) dan Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : 'Tanda-tanda kewalian melekat pada seseorang, ialah, manakala engkau melihatnya lantas Allah diingat. Dan bila engkau berdekat dengannya, maka seluruh beban yang membelenggu qolbu menjadi sirna.' Semoga Allah SWT mensucikan dan mengampuni dosa-dosa kita semua, Amiin yaa Allah yaa Rabbal Alamiin.
Jumat, 30 Oktober 2009
HATI (QOLBU)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.