Sabtu, 27 Juli 2013

MAKNA BUKAN BENTUK

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Jika hakikat segala sesuatu tersingkap, maka Yang Mulia Rasulullah,saw., yang diberkati ketajaman mata hati, yang disinari dan menyinari, tidak akan pernah melantunkan doa ini : 'Ya Allah, tunjukkan pada kami segala sesuatu sebagaimana hakikatnya yang tersembunyi.'

Seorang salik bertanya kepada murid yang lain berkenaan dengan wejangan yang mulia Syaikh Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya), yang mengatakan bahwa : ‘Setinggi-tinggi pencapaian seorang salik maka serendah-rendahnya pencapaian seorang Syaikh, atau setinggi-tinggi maqom seorang salik sama dengan munafiknya seorang Syaikh.’ Dijawab oleh murid itu : ‘Jika tidak hati-hati mencermati wejangan itu, maka akan timbul buruk sangka bahwa Syaikh masih ada kesombongan didalam hatinya. Sesungguhnya tidak demikian, dalam pertemuan itu Syaikhuna (semoga Allah mrahmatinya) mencium bau seseorang salik yang berbangga atas riyadhah dan mujahadahnya yang hebat, sehingga ia merasa pantas mendapatkan pujian dan tempat yang tinggi disisi gurunya. Untuk memadamkan api ujub yang sedang menyala, maka Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) menyiramnya dengan air perkataan seperti itu. Agar dengan segera api ujub sang salik padam, sehingga sang salik dapat melanjutkan perjalanannya dengan baik dan sayap ma'rifatnya semakin kuat untuk terbang. Tidak ada seorang syaikh pun yang tidak menghendaki muridnya akan menetas dari sangkar telur dan menjadi induk yang lebih baik darinya, karena hal tersebut merupakan kebahagiaan bagi seorang syaikh yang silsilahnya dapat berlanjut.

Makna selalu sembunyi dalam bentuk, sebagaimana Lailatul Qodar yang bersembunyi di bulan Ramadhon. Bentuk adalam penampakan luar. Makna adalah hakikat yang tidak terlihat, realitas yang tersembunyi. Oleh karenanya yang mulia Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering berkata : 'Jangan berburuk sangka.'

Seseorang datang menjumpai seorang syaikh, dan ketika melihat sang syaikh menangis, ia bertanya : 'Mengapa Anda menangis?' Sang syaikh menjawab : 'Aku lapar.' Ia mencela : 'Seorang seperti Anda, menangis karena lapar?' Sang syaikh balas mencela : 'Diamlah! Engkau tidak mengetahui bahwa tujuan-Nya menjadikan aku lapar adalah agar aku menangis.' Terlihat dengan jelas dalam riwayat ini bahwa derajat menangis karena lapar berbeda dengan menangis karena Allah SWT, oleh karena setiap makna yang sangat tersembunyi atas tindakan seorang syaikh, sebagaimana rambut diatas batu hitam pada malam hari, maka sejatinya kita memohon pertolongan kepada Allah SWT kiranya berkenan menguatkan kita untuk tidak berburuk sangka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.