Sabtu, 06 Maret 2021

MENGAPA AKU SELALU BERCERITA TENTANG AKU

Bismillaahir Rohmaanir Rohiim

Imam Junaid,ra, meraknya para sufi berkata bahwa awal dosa adalah merasa ada. Ciri orang yang merasa ada adalah setiap pembicaraan dan perilakunya ditujukan untuk menunjukkan bahwa dirinya hebat. Ini sebagai bukti bahwa meskipun mulutnya sering menyebut nama Tuhan dan membicarakan nama dan sifat-Nya namun hatinya mendustakannya. Harus disadari bahwa setiap tindakan yang dilakukan oleh manusia, maka hawa nafsunya minta atau menuntut bagiannya. Dan ironisnya bahwa hawa nafsu itu tidak bisa dihilangkan, itu subtansi dan karunia dari Allah SWT. Oleh sebab itu jika hawa nafsu dianalogikan sebagai kuda, maka dibutuhkan penunggannya agar kuda mempunyai tujuan yang benar dan tidak asal berlari, nah penunggang itu adalah cahaya pada ruhani manusia, cahaya ini diperoleh dari pemberian Allah SWT tanpa sebab dan sekehendak-Nya. Dalam dunia tasawuf cahaya ini disebut sebagai maqomat ruhiyah atau akhlak karimah, dan dipercaya bahwa dengan jalan riyadah dan mujahadah maka maqomat ruhiyah ini kemungkinan bisa diperoleh, Imam Ghazali,ra, menyebutnya dengan melakukan proses takhali, tahali dan kemudian tajjali.

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering berkata bahwa dalam hidup ini tidak ada pilihan kecuali piliha-Nya, oleh karenanya jangan ikut campur dalam mengatur kehidupan ini. Wejangan ini keluar dari keadaan yang tinggi, karena sudah menisbatkan segala sesuatunya kepada Allah SWT, persis seperti yang dikatakan oleh Imam Ibnu Arabi,qs, bahwa manusia ini adalah jelmaan sifat dan perbuatan-Nya. Sebagaimana projector, gambar yang ada di layar telah ditentukan pada potongan-potongan negative film yang ada pada projector itu dengan terpaksa atau sukarela.

Orang yang telah menyaksikan sifat Tuhannya, tidak punya berita tentang dirinya, ia tidak peduli apakah seseorang sepakat dengan pendapatnya atau tidak sepakat, tidaklah akan bersarang dan menggores hatinya. Meskipun banyak orang bisa mengerti dan memahami pengertian diatas, akan tetapi jika memahaminya terhadap teks saja meskipun betul, itu tidak hakiki, itu palsu. Artinya, meskipun akal (maklumat) sebagai jalan pertama dan utama untuk menjadikan karakter dalam ruhani (maqomat), namun pemahaman akal masih didominasi oleh ke akuan (ananiyah), yang tentunya setiap perbuatannya akan dinisbatkan kepada kepentingan dirinya atau hawa nafsunya, oleh karenanya orang mesti membangun jembatan agar maklumat bisa mulus menuju atau menjadi maqomat, jembatan itu adalah tasawuf. Mari kita pahami hadis tentang ihsan: ‘Anta’budallah ka annaka taraah, fa’illam takun taraah, fa’innahu yaraak. Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.’ Seolah-olah melihat Allah adalah musyahadah atau syuhud sedangkan seolah-olah Allah melihatmu adalah muroqobah. Nah musyahadah atau syuhud dan muroqobah hanya dapat diperoleh melalui tarbiyah ruhiyah atau taskinatun nafs dengan jalan suhbah sebagai qudwah, karena jalan satu-satunya untuk memperoleh ‘waris ruhani’ adalah dengan jalan suhbah, sebagaimana sahabat-sahabat yang bersuhbah kepada baginda Rasulullah,saw. sehingga lahirlah cinta atas dasar waris ruhani ini, yang mengakibatkan selalu dirliputi rasa rindu (syauq). Oleh karenanya ada hadis yang mengatakan bahwa: ‘Al-ulama waratsatul anbiya’ yang berarti ulama adalah pewaris para-Nabi.’ Begitu syariat turun maka bergembiralah mereka, karena mendapatkan bentuk atau cara mengungkapkan kerinduan kepada kekasihnya, dalam bentuk shalat, puasa, zakat dan pergi haji serta amal baik lainnya yang kesemuanya dilakukannya dari, dengan dan untuk Allah.

Mu'min yang sempurna itu disibukki oleh memuji sifat-sifat Allah, sifat-sifat Indah (Jamalullah), sifat-sifat Keperkasaannya (Jalalullah) dan sifat-sifat Kesempurnaannya (Kamalullah) dan selalu menisbatkan sifat-sifat itu kepada-Nya dan tidak tersisa sedikitpun untuk yang lainnya. Mengapa? Karena dia melihat dirinya tiada, setiap mulai bicara ada pun bukan merasa ada, melainkan Allah yang Ada. Nah karena semua sifat baik berada di tangan Allah, maka sifat buruk itu adalah tiada, bagaimana mungkin yang tiada dinisbatkan kepada yang Ada? Oleh sebab Itu buruk dinisbatkan kepada yang tiada, yaitu manusia, maka ketika orang memuji baginda Nabi,saw, wajah yang mulia merona merah, bahkan wajahnya ditutupi karena malu, karena orang yang memujinya menyangka itu sifatnya, padahal semua sifat baik itu milik Allah. Akan tetapi kepada sayyidina Abu Bakar,ra, malah disuruh memujinya, lantaran ketinggian keadaan ruhaninya yang mengetahui bahwa yang dipuji bukan baginda Rasulullah,saw, melainkan Allah SWT. Riwayat ini memperlihatkan perbedaan dengan kebanyakan orang, yang mana bila dipuji lantas merasa senang, maka dikipasnya pujian itu agar membesar. Nah mu’min sempurna itu jiwanya disibukkan oleh melihat keindahan Allah, meskipun iblis yang dilihatnya akan terlihat keindahan Allah. Oleh sebab itu ketika mereka melihat orang sholeh, dia melihat dengan mata cinta, karena dia melihat Allah telah mentajjalikan sifat-Nya kepadanya. Kisah, seorang guru dan muridnya, ketika gurunya berubah kafir, muridnya mendatanginya tanpa memandang hina, tetapi memandang dengan mata cinta. Saat berjumpa, gurunya sudah merasa malu dan menyuruhnya pergi, maka si murid mengatakan: ‘Engkau adalah syaikhu, engkau guruku, wahai guruku aku tidak pernah merasakan apa murninya cintaku kepadamu seperti hari ini, engkau dulu yang mengajarkan aku, bahwa hati manusia ditangan Allah bukan ditangan manusia, sekarang aku menyaksikan kebenaran kata-kata itu, bolehkah aku katakan kepadamu wahai guruku, kembalilah kepada jalan Allah’. Perkataan itu tanpa adanya bobot rasa menggurui melainkan meluncur dengan kendaraan cinta, mendengar itu gurunya pun menangis dan seketika kembali ke jalan Allah. Inilah contoh kisah orang yang disibukkan oleh Allah, yang lahir dari menyaksikan sifat Indah dan menisbatkan sifat Indah itu kepada Allah, maka timbul fana daripada melihat dirinya hebat, baik, pandai, bersyukur, ridho dan lain sebagainya. Ketika orang mengatakan saya sudah berhaji kemudian saya banyak melakukan kebaikan, itu menisbatkan perbuatan-perbuatan baik kepada dirinya, padahal hakekatnya adalah fi’il Allah, yang baik-baik itu kepunyaan Allah, ketika Allah tidak memberi baik kepada kita, maka apa yang kita bisa lakukan? Syariat membagi sesuatu itu baik dan buruk, padahal sebelum ada syariat tidak ada baik dan buruk, oleh karena itu sifat baik yang semula ada (fitrah) adalah untuk memelihara dirinya, akan tetapi agama mengatakan untuk berbuat kepada Allah, agama itu adalah untuk hikmat kepada Allah, itu yang disebut ibadah, kepada istri kepada suami, kepada anak, kepada guru, kepada murid, maknanya ibadah kepada Allah, Itulah hikmat.

Mukmin yang sempurna tidak menisbatkan perbuatan baik dan keadaan yang mulia dalam dirinya, bahkan tidak menoleh sama sekali, ia sibuk memuji Allah daripada melihat sifat-sifat baik kepada dirinya. Bahkan lebih jauh dari itu, ia pun disibukkan oleh hak-hak Allah daripada untuk haknya atau bagian nafsunya. Terdapat dalam hadits, seorang hamba di akhirat nanti ditanya kenapa engkau tidak bersyukur di dunia kepada manusia? Dijawab karena aku hanya ingin bersyukur kepada Engkau dan Engkau tidak boleh disamakan dengan yang lain, Dijawab tandanya bahwa engkau bersyukur kepada Allah adalah engkau bersyukur kepada makhluk-Nya, itu sebab imam Ibnu Arabi,ra, berkata orang yang mengenal Allah hanyalah orang yang berakhlak kepada semua makhluk Allah, tidak peduli siapa orang itu, karena dia sibuk pada hak Allah, jika ada orang datang minta tolong maka segera akan dipenuhi sebagai pemenuhan hak Allah. Bukanlah seorang pencinta yang mengharap ganti dari kekasihnya, sedangkan kita shalat, puasa, selalu memikirkan balasan dari Allah yang berupa ini dan itu. Bukanlah pencinta yang hakiki orang yang mengharapkan dari kekasihnya ganti dari amal yang dilakukannya berupa surga atau takut neraka atas dosa yang diperbuatnya. Orang-orang sufi melakukan peribadatan bukan karena wajib, melainkan karena mahabbah, makanya kata mereka thoriquna mahabbatullah amal, jalan kami cinta bukan amal, bukan berarti orang tidak beramal, artinya mereka melakukan ibadah itu bukan atas dasar wajib, melainkan atas dasar cinta. Nabi,saw berkata di akhir zaman nanti ada orang yang diikat untuk dibawa ke surga, karena ibadahnya merupakan pelaksanaan kewajiban dan selalu mengharapkan surga, kalau tidak diwajibkan maka tidak beribadah, artinya kalau tidak ada surga maka dia tidak beribadah. Sayyidina Ali,ra, sejak dulu sudah berkata, aku akan tetap beribadah meskipun Allah tidak memberi surga, itulah bunyi dari rohani yang hakiki, maka seorang pencinta yang hakiki adalah bukan orang yang mengharapkan ganti dari kekasihnya atau meminta balasan dunia, barang benda dunia dan akhirat, ini muhibb yang hakiki. Itu sebab Imam Ibnu Arabi,qs, mengatakan wujudmu anugerah Allah, yang dimaksud bahwa ciptaan ini dilahirkan, diciptakan dari cinta dan Allah tidak pernah mengambil atau meminta upah dari apa yang Dia buat, sampai mati pun manusia dilumuri nikmat dan pemberian Allah itu tidak pernah berhenti, oleh sebab itu para Aulia tidak berani minta kepada Allah. Apa kata hadrat Maulana Rumi,qs Allah tahu isi hatimu sebelum kau mengucapkan doa pada Allah, tapi Allah ilhamkan doa kepadamu agar kau merasa lezat bermunajat kepada-Nya. Itu sebabnya cinta hakiki adalah si pencinta telah mendapatkan atau mengambil sifat kekasihnya, si pencinta telah mendapatkan sifat kekasihnya, ketika seseorang sudah mendapatkan semua sifat Allah Itulah cinta yang Hakiki, karena dia telah memiliki sifat yang dicintainya, itu sebab Syeikh Mansyur Al Hallaj,ra, mengatakan ‘aku mencintaiku, karena tidak ada kecuali aku.’

Wallahualam bisawab, semoga ada manfaatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.