Senin, 22 Maret 2021

TAMAK - WARA

Bismillahir Rahmaanir Rahiim

Di dunia tasawuf pengertian tamak bukan saja ditujukan bagi orang yang rakus terhadap harta benda saja, melainkan rakus terhadap keinginan selain Allah, seperti ingin dihormati orang, ingin dipuji orang, ingin dimuliakan orang. Tamak ini sangat berbahaya, karena sifatnya seperti minuman keras (khamr) yang memuaskan jiwa tetapi mematikan hati. Oleh sebab itu Syeikh Ibnu Athoilah,qs, mengatakan bahwa tidak akan tumbuh cabang-cabang kehinaan kecuali diatas benih ketamakan. Sifat-sifat yang hina dan rendah pada diri seseorang adalah akibat dari sebab menanam bibit ketamakan, seperti riyadhah dan mujahadah yang di aku sebagai perbuatannya dan bukan karena Allah, sehingga mereka menuntut kepada Allah akan balasannya. Oleh karena itu, meskipun mereka telah melakukan riyadhah dan mujahadah bertahun-tahun lamanya, yang didapat malah mempertebal hijab bukannya membersihkan noda-noda nafsu (atsaar). Orang yang seperti ini jauh dari ma’rifat tetapi merasa ma’rifat, ini sesat dan menyesatkan. Orang yang hina dan rendah itu bukan direndahkan orang lain, melainkan merasa dirinya hebat dan ingin menjadi panutan dan selalu ingin dimuliakan orang. Persis seperti seorang peminta-minta yang minta mulia karena dia tidak punya mulia. Padahal ahli hakikat memandang hidup ini sudah selesai, sudah jadi, sudah siap, lengkap dengan sebab akibatnya, semua telah ditetapkan di zaman azali oleh-Nya dan tertulis rapi di Lauhil Mahfudz, lalu bagaimana bisa manusia mengaku peribadatan itu atas upayanya? Seharusnya merasa malu mengakui sesuatu yang bukan miliknya. Itulah mengapa keinginan selain Allah dalam melakukan peribadatan disebut tamak.

Akal selalu membisikkan kedalam jiwa bahwa peribadatan ini atas jerih payahnya atas upayanya. Demikianlah sifat akal manakala ia sebagai penasihat jiwa atau nafsu, berbeda manakala ia sebagai penasihat ruhani. Itu sebab akal hanya meletakkan kaidah berdasarkan kebanyakan, kesamaan lalu disusun kaidah untuk menilai sesuatu. Dalam hal ini syeikh sufi mengatakan bahwasanya tajalli Allah itu berbeda setiap saat, bagi satu orang dan antara satu dengan lainnya, semata-mata hanya untuk menunjukkan kekuasaan mutlak itu ditangan Allah. Sehingga sangat penting memeriksa diri ini pada setiap melakukan ibadah sosial atau amal baik apapun, masih adakah keinginan selain hanya menjalankan perintah karena Allah? Maka sebesar mana dalamnya benih ketamakan itu, maka sebesar itu pula kerendahan amal itu. Bahkan seseorang yang keadaan ruhaninya tinggi mengatakan bahwa beribadah karena surga pun masih tergolong tamak. Pernyataan ini bernada pendidikan atau meletakkan istilah-istilah tarbiyah guna memurnikan tauhid kepada Allah. Seolah-olah janganlah engkau menanam benih di dalam hatimu keinginan selain Allah, karena jika di dalam hatimu ada tamak, maka yang keluar yang tumbuh itu mesti kehinaan.

Orang yang tamak kepada dunia pasti tidak wara, orang wara adalah orang yang apik, bersih, tidak ada keinginan apapun selain Allah. Orang yang mempunyai ilmu disebut alim, akan tetapi tidak sedikit orang yang alim tidak wara, inipun masih disebut tamak. Maka apabila seseorang itu alim dan sekaligus wara maka yang tampak adalah kebijaksanaan, semua yang dikatakan dan dilakukannya penuh hikmah yang menunjukkan Kebesaran dan Kasih Sayang Allah SWT. Sedangkan ciri-ciri orang yang hanya mempunyai ilmu saja tanpa wara, adalah dia akan selalu memaksakan orang lain menurut pikirannya, pahamnya dan apa yang diamalkannya. Sedangkan ciri-ciri orang yang bijaksana adalah, dia menyuruh orang berdasarkan kemampuan dan karakter orang itu sendiri dan tidak memaksakan di atas kehendaknya.

Semoga ada manfaatnya wallahualam bisawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.