Sabtu, 18 Mei 2013

TASHAWUF

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) berkata bahwa : ‘Tashawuf adalah keberpantangan, tashawuf adalah kesadaran, tashawuf adalah penolakan-penolakan, tashawuf adalah peperangan, tashawuf adalah akhlak.’

Pengajian kali ini membicarakan tentang tashawuf, diambil dari kitab yang masyhur Kasyful Mahjub karya Imam al-Hujwiri,qs. Pengajian tashawuf ini telah sering kali disampaikan oleh yang mulia Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) dengan sudut pandang yang berbeda-beda tetapi mempunyai satu makna, yakni tentang penyucian diri. Meskipun secara eksplisit tidak ada kata tashawuf didalam Al Qur’an, akan tetapi banyak riwayat menegaskan tentang makna atau hakikat tashawuf, seperti dalam riwayat Nabiyullah Adam,as., dengan Iblis laknatullah, Nabiyullah Musa,as., dengan Nabiyullah Khidir,as., kemudian riwayat Nabiyullah yusuf,as., dengan Zulaikha, riwayat Nabiyullah Nuh,as., dengan putranya, Nabiyullah Ibrahim,as., dengan istri dan anaknya serta perlawanan dengan raja namrud, dan Nabiyullah Isa,as., yang hidup tanpa mempunyai kekayaan sedikitpun, dan tentunya kisah kehidupan Rasulullah,saw., juga sahabat-sahabat yang hidup di Raudhah. Riwayat-riwayat ini banyak dikutip oleh para sufi dalam menjelaskan tahapan-tahapan didalam penyucian diri (tashawuf). Jika dijabarkan dalam tulisan ini berkenaan dengan riwayat-riwayat diatas tidaklah cukup ditulis dalam satu bulan lamanya. Pada intinya, karena sombong, iblis dilaknat oleh Allah SWT, begitu pula Nabiyullah Musa yang mengaku dirinya sebagai yang terpandai, dan akhirnya diperintah untuk mencari seseorang yang telah dianugerahi ilmu khusus dari Allah SWT, orang tersebut adalah Nabiyullah Khidir,as. Singkatnya nabiyullah Musa,as., tidak mampu patuh terhadap perintah nabiyullah Khidir,as., dan terjadilah perpisahan. Lalu Nabiyullah Yusuf dengan Zulaikha sebagai riwayat yang terindah dalam Al Qur’an, menceritakan tentang evolusi jiwa dari Nafsul Immarah hingga Nafsul Muthmainah dengan perjuangan menafikan diri yang hebat. Sedangkan nabiyullah Nuh,as., dengan putranya yang merasa bisa berenang dan dapat menyelamatkan dirinya sendiri tanpa bantuan ayahnya, yang pada akhirnya tenggelam. Jika berenang diumpamakan sebagai ilmu, maka anak tersebut merasa berilmu dan mengacuhkan nasihat orang tuanya. Nabiyullah Ibrahim,as., yang patuh terhadap perintah Tuhannya dan tidak membutuhkan apapun dari makhluk ciptaan. Yang meninggalkan anak dan istrinya di tengah padang pasir, yang akhirnya ditemukan sumur zam-zam, dan juga menolak tawaran malaikat tatkala dirinya didalam api, karena hanya butuh Tuhan saja. Dan Nabiyullah Isa,as., dengan hanya bergantung kepada Tuhannya saja, atapnya adalah langit dan lantainya adalah bumi, yang mencapakkan sebuah sisir sebagai harta dunia yang terakhir dimilikinya. Sedangkan Rasulullah,saw., dalam kehidupannya tidak pernah terlepas dari mengingat dan bersama dengan Tuhannya. Dan begitu juga para sahabat seperti Abu Bakar as-Siddiq,ra., yang memberikan seluruh hartanya untuk Islam. Riwayat-riwayat ini dicontoh dan dijadikan gagasan-gagasan dalam menjelaskan tahapan didalam tashawuf.

Sampai saat ini belum diketahui secara pasti, siapa yang kali pertama menggunakan istilah Tashawuf sebagai ganti daripada penyucian diri, akan tetapi bila dilihat dari suku katanya yang terdiri dari Ta, Sha, Wa dan Fa dapat diartikan sebagai Taubat, Shafa, Wara dan Fana, sebagaimana tahapan dalam tasawuf itu sendiri, yang dimulai dengan pertaubatan dan penyucian diri (shafa) seperti didalam ayat Al Qur’an yang mengatakan :'Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.' (QS 001 : 222)Kemudian berpantang dari hal-hal yang subhat atau meragukan (wara) serta akhir dari perjalanan berupa fana dari sifat diri sendiri dan hidup dalam sifat-sifat Tuhan. Karena manusia dibentuk dari tanah lempung dan tanah lempung mengandung ketidak sucian lawan daripada kesucian itu sendiri, oleh karenanya harus dilenyapkan dan digantikan dengan sifat-sifat Tuhan. Pelenyapan sifat-sifat diri adalah perbuatan Tuhan dan bukan manusia, manusia mempunyai hak dalam upaya-upayanya saja, oleh sebab itu mustahil keberhasilannya tanpa petunjuk dan pertolongan Tuhan (hidayah dan taufik). Tuhan menghendaki demikian, agar dengannya manusia merasa butuh hanya kepada-Nya dan termanifestasikan sifat-sfiat-Nya. Bentuk daripada tashawuf adalah tafa’ul yang berarti ‘bersusah payah’. Oleh karenanya jalan yang terbaik adalah dengan bersungguh-sungguh menjalankan peribadatan dan sekuat tenaga memerangi kesenangan-kesenangan jiwa dalam bahasa tasawufnya disebut ‘riyadhah dan mujahadah’, yang dimulai dengan melemahkan badan dengan banyak berpuasa, bangun malam dan sedikit bicara. Mengapa harus diperangi? Sebab kerajaan manusia awam dikuasai oleh jiwanya, dan jiwa ini selalu mengajak kepada kejahatan (nafsul immarah). Dalam hal ini seluruh panca indera patuh terhadap perintah jiwanya. Dengan khalwat, safar dan melakukan peribadatan lainnya dengan gigih merupakan pelemahan terhadap jawarih yang pada gilirannya mengendurkan cengkeraman jiwa, melemahkan terhadap keinginan pemenuhan kesenangan (syahwat). Seperti dalam peperangan, untuk menaklukkan penguasa, harus dilemahkan atau diperangi tentara-tentaranya terlebih dahulu. Mudahnya dapat dikatakan bahwa tashawuf adalah perpindahan dari kehidupan yang biasa dijalani masuk kedalam kehidupan kesucian. Kebiasaan orang banyak adalah menghuni kelalaian, cenderung kepada ajakan hawa nafsu, terus menerus mengikuti angan-angan kosong. Perpindahan kehidupan ini sangatlah sulit dilakukan, dan mustahil dapat dilakukan tanpa bimbingan ruhani. Oleh sebab itulah Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering berkata bahwa: ‘Tasawuf adalah peperangan yang tiada akhir melawan diri sendiri.’ Rasulullah,saw., mengatakannya sebagai jihad akbar.

Tidak saja wahyu yang tertulis didalam Al Qur’an dan Hadist Qudsi, dan tidak saja dari ucapan-ucapan yang mulia Rasulullah,saw., dipatuhi, melainkan perilakunya pun diikuti. Karena gerak gerik kehidupannya ditiru oleh pengikutnya, maka para syaikh sufi selalu berhati-hati dalam bertindak dan berusaha menyesuaikan dengan apa yang telah dibicarakannya serta menjaga adanya perbedaan. Agar murid-muridnya terhindar dari buruk sangka terhadapnya, karena perilakunya yang tidak terpahami. Dari hal yang sangat pribadi, bersahabat, bertetangga, berperang, berdakwah, safar, mencari nafkah kehidupan, sampai kepada tata cara peribadatannya tatkala berjamaah atau disaat sendiri. Sebagai contoh istri Rasulullah,saw., pernah menanyakan mengapa beribadah sampai kakinya bengkak dan dijawab ‘Aku ingin menjadi hamba yang bersyukur.’ Syukur dalam tashawuf adalah salah satu tahapan (maqom) yang harus dicapai dengan sebuah upaya (riyadhah dan mujahadah). Karena kedudukan beribadah sebagai tanda syukur sangat berbeda dengan beribadah hanya sebagai pemenuhan kewajiban, apalagi ada unsur keterpaksaan dan keluh kesah dalam pelaksanaannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.