Sabtu, 18 Mei 2013

SAFAR

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Safar merupakan salah satu metodologi para syaikh sufi dalam mendidik jiwanya. Tujuannya adalah melemahkan keinginan-keinginan dan jauh dari sanak famili agar bergantung dan merasa butuh hanya kepada Allah saja. Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merhmatinya) berkata : ‘Tatkala seseorang badannya lemah karena melakukan tindak peribadatan yang ketat, dibarengi dengan tiadanya harapan mendapatkan pertolongan dari orang lain, maka hatinya akan tergembirakan, terbuka dan siap menerima limpahan ilmu dan kejelasan-kejelasan.’ Didalam kitab-kitab tashawuf banyak dijumpai riwayat para sufi tentang safar, ada yang merintangi padang pasir, ada yang mengunjungi makam-makam para syaikh terdahulu, ada yang berdakwah ketempat penduduk terpencil yang miskin dan ziarah ketempat para syaikh yang lain serta masih banyak lagi.

Safar menurut terminologi tashawuf bukan saja perjalanan dari suatu tempat ketempat lainnya melainkan perjalanan kedalam diri dari sifat-sifat buruk (majmumah) kedalam sifat-sifat yang baik (mahmudah), sebagaimana satu dari delapan prinsip tarekat Kwajagan (sekarang bernama Naqsyabandiyah) yang disebut sebagai Safar Darwaton. Seorang syaikh saat ditanya oleh muridnya tentang apakah ia sering melakukan safar, dijawab bahwa jika safar dibumi ‘tidak’, tetapi jika safar ke langit ‘ya’.

Safar berkaitan erat dengan mujahadah, belum dapat dikatakan safar meskipun melakukan perjalanan jauh ketempat suci atau ketempat lain, tetapi seluruh fasilitasnya lebih baik daripada yang ada dirumah ia tinggal. Prinsip dalam khalwat harus melekat pada saat safar, yakni, selalu dalam keadaan berwudlu, berdzikir terus menerus, dalam keadaan lapar, sedikit tidur. Jika hal-hal ini tidak ada dalam safar maka batalah safarnya dan tidak diperkenankan mengambil kemudahan yang diberikan Allah SWT dalam peribadatan, misalnya shalat yang boleh di ja’ma, boleh tidak berpuasa dan lain sebaginya. Oleh sebab keadaan yang lemah dan jauh dari sanak famili serta teman-temannya, maka terhadap orang yang safar doanya menjadi mustajab, karena persis ia dalam keadaan seperti orang yang khalwat dan faqir atau sebagaimana anak yatim piatu.

Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) berkata di majlis dzikir yang dipimpinnya : ‘Insya Allah, sebentar lagi saya dan para sahabat akan berangkat umroh untuk menyucikan diri.’ Selepas pengajian seorang murid bertanya kepada murid yang lain ‘Apakah menyucikan diri harus pergi umroh?’ dijawab ‘Ya dan tidak, karena seluruh ajaran tarekat berkenaan dengan penyucian diri, dalam ibadah umroh mengenakan pakaian ihrom atau kain kafan tanpa jahitan, bermakna terlepasnya dari ikatan dunia, yang berarti merasa mati sebelum mati atau dalam hadistnya disebut sebagai mutu qobla anta mutu. Setiap pengorbanan dari dalam diri, atau setiap 'kematian' akan menuntun pada kehidupan baru pada tingkatan yang lebih tinggi. Seluruh kehidupan pejalan itu tidak lebih dari suatu sekuen 'kematian' dan kelahiran kembali yang terus naik, suatu gerakan mendaki ke atas secara terus menerus dan selama sifat-sifat manusia yang yang lebih rendah digantikan oleh sifat-sifat Ilahiah yang lebih tinggi. Inilah gagasan para ulama dibalik peribahasa yang mengatakan 'Sifatilah dirimu dengan sifat-sifat Tuhan'. Nah, barang siapa mampu melakukannya dengan penuh kehatian, maka ia masuk dalam tindak mujahadah, masuk kedalam tindak penyucian diri, sebaliknya bagi yang tidak menyadarinya atau yang lalai, maka ia hanya berlilitkan kain kafan saja tanpa tindak mujahadah tanpa adanya penyucian diri, inilah orang-orang yang masuk dalam golongan wisata ruhani bukan safar, akan tetapi pengurbanan harta dan waktunya insya Allah tetap mendapatkan pahala.’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.