Senin, 15 Juni 2009

ZIARAH KE KONYA

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim.
Imam al-Hujwiri .qs., berkata dalam kitab yang masyhur Kasyful Mahjub : ‘Bilamana seorang darwisy mengembara, ia harus mengembara karena Allah semata-mata, bukan untuk kesenangan. Dan karena ia mengembara secara lahiriyah, maka ia harus secara batiniyah lepas dari ikatan-ikatan hawa nafsunya. Ia harus selalu menjaga dirinya sendiri agar tetap suci dan tidak boleh melalaikan ibadah-ibadahnya.’

Mendengar pemberitahuan jadwal penerbangan 'delay' untuk waktu yang belum ditentukan adalah sangat mengesalkan dan menyedihkan, apalagi penundaan itu dalam rangka keberangkatan ke Konya. Hati bercakap-cakap, lalu 'hawajis (kilatan hati yang datang dari syaithon)' atau 'was-was (bisikan hati yang datang dari hawa nafs)' berdatang, membuat suasana tidak menentu. Walaupun tangan selalu memegang tasbih, dan wiridan dihidupkan, namun buruk-buruk sangka mulai tercipta, lalu menjelma menjadi sikap dan percakapan yang mengotori alam semesta. Derajat murid memang masih seperti itu, sifat ketergesa-gesaan belumlah sirna dari jiwanya, keraguan acap kali muncul, kadang terlupakan bahwa Allah SWT telah merencanakan sesuatu yang teramat apik dan elok bagi hamba-hambanya. Dalam situasi yang seperti itu, yang paling aman adalah berdekat dengan guru, Syaikhnya, atau pembimbing ruhaninya, agar hati yang menerawang ini segera pergi, berganti dengan dzikir-dzikir yang berkesinambungan, karena seseorang, bila melihat atau berdekatan dengan seorang Syaikh maka kontan saja ia akan segera ingat kepada Allah SWT. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) bersikap tenang seolah-olah tidak terjadi apa-apa, selalu selaras dengan ketentuan kekasih-Nya. Seorang murid berkata dengan murid yang lain: 'Suatu ketika saat berziarah ke Banten terjadi gempa bumi, botol-botol minuman berterbangan, kursi dan meja bergeser, angin bertiup dengan murkanya, pohon-pohon kelapa bergoyang dengan kerasnya, namun Syaikh bersikap biasa-biasa saja, padahal murid-murid yang menyertainya tampak cemas dan takut. Apalagi hanya masalah penundaan keberangkatan, bagi Syaikh jadi atau tidak jadi berangkat akan sama maknanya, semuanya terserah bagaimana Allah mengaturnya.' Dalam keadaan yang serba belum menentu itu, seorang murid memecah kebisuan dengan berkata : 'Teramat yakin bahwa sebentar lagi kita akan terbang ke Konya, tidaklah mungkin Allah SWT akan mengecewakan para kekasihnya, apalagi ziarah kali ini dalam rangka memenuhi undangan dari Hadrat Maulana Jalaluddin Rumi.' Diberitakan, saat itu cuaca di Konya sangat tidak menentu, seluruhnya tertutupi oleh kabut putih, udara juga sangat dingin, sehingga tidaklah mungkin pesawat dapat beroperasi dengan baik, sangat membahayakan. Beberapa kelompok orang yang baru selesai menunaikan ibadah haji mengambil keputusan untuk kembali ke Konya melalui jalan darat, juga tampak beberapa rombongan yang bermaksud menghadiri puncak acara haul membatalkan penerbangan dan menyewa mobil, walaupun akan ditempuh selama 12 Jam atau 10 jam lebih lama bila melalaui jalan udara.

Waktu Subuh tiba, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) memimpin shalat di emperan airport Istanbul, setelah itu beliau mengakat tangannya, mulut yang diberkahi itu melantunkan doa-doa yang berupa puji-pujian bagi kekasihnya, Allah SWT. Dengan penuh rasa harap yang tinggi murid-muridnya mengaminkan. Tak lama berselang, terdengar bahwa penerbangan dapat segera diberangkatkan. Hati berubah menjadi gembira, rasa syukur dan pujian kepada Allah dilantunkan terus menerus. Seorang murid teringat bagaimana seharusnya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan tarekat sewaktu didalam pesawat, salah satunya adalah membaca surat Al Fatihah saat nafas dikeluarkan (satu hembusan nafas) dan demikian pula saat menarik nafas (satu tarikan nafas), hal demikian dilakukan masing-masing sebanyak 50X jadi jumlahnya menjadi genap 100X, setelah itu, disaat pernafasan dan detak jantung mulai teratur dilanjutkan dengan mengerjakan dzikir lathif, dzikir yang halus, hati menyebut Allah … Allah … Allah sebanyak-banyaknya. Dengan berdzikir seperti itu, waktu (waqt) menjadi miliknya, tenggelam didalam hadirat yang Agung. Beberapa saat sebelum mendarat di Konya, Syaikhuna berkata kepada seorang muridnya : 'Semuanya tampak putih tertutup kabut, tak ada sesuatupun yang dapat dilihat,' Perkataan ini mempunyai makna bahwa tak ada yang lain di Konya, kecuali keagungan cahaya cinta Hadrat Maulana Jalaluddin Rumi, sejak ratusan tahun yang lalu telah menerangi bukan hanya dunia Islam di Asia Tengah saja, melainkan juga merambat ke dunia barat. Ketinggian kewaliannya menakjubkan, menggetarkan jiwa yang kadung terbenam dilautan materi, semua murid merasakan kehadiran rasa-rasa yang aneh, seperti tak ada kekuasaan menahan gejolak hati yang tiba-tiba haus akan belaian kasih sayang seorang ibu, air mata mengucur dengan deras, sambutan selamat datangnya berupa musyahadah, mendadak semua penglihatan berubah menjadi terjemahan pesan Maulana kedalam bahasa bisunya sendiri.

Konya, dahulu disebut Iconium, Conium, Conie, Konieh, Konia atau dalam bahasa Arabnya ‘Guniye’, adalah pengejewantahan dari Hadrat Maulana Jalaluddin Rumi, apapun yang didengar, dilihat dan dirasa disana semuanya tertuang didalam bahasa kerinduan dan cinta Maulana yang misterius. Sebelum Attaturk di tahun 1925 menutup semua asrama darwis dan melarang semua kegiatan tarekat Maulawiyah, kota ini menjadi pusat ziarah bagi umat Islam, tidak saja bagi para pria, bahkan para wanita dari golongan bangsawan kelas atas ataupun wanita yang berprofesi kurang terhormat. Karomahnya tersebar ke pelosok-pelosok penjuru dunia yang terjauh dan terpencil sekalipun, banyak orang-orang dari agama lain pun berdatang kesini untuk memberikan penghormatan yang tinggi. Seseorang yang ingin bergabung dengan para darwis dari tarekat ini, harus melayani selama seribu satu hari, mulai dari tugas-tugas yang paling kasar, yang kemudian mempelajari penafsiran Matsnawi (kitab yang berisi puisi-puisi cantik karya Maulana), barulah syah hukumnya menjadi anggota persaudaraan para darwis. Terlalu banyak karomah-karomah yang disaksikan oleh murid-muridnya, juga oleh masyarakat Konya pada umumnya, namun salah satu yang membuat semua manusia dan jin tercengang tatkala orang-orang Mongol yang tadinya kejam dan bengis membantai masyarakat Islam berduyung-duyung memeluk agama Islam, agama yang hanif ini, agama yang telah disempurnakan dan diridhoi-Nya.

Orang-orang yang berjasa mengantarkan Maulana sampai pada derajat yang sedemikian tingginya, yang pertama adalah ayahnya sendiri, Syaikh Bahauddin Walad,qs., yang melimpahkan permata-permata ilmu kesufian sejak Maulana berada di dalam perut ibunda tercintanya tanpa Maulana sendiri menyadarinya. Khirkoh tarekatnya diperoleh dari gurunya yang bernama Imam Sarakhsi,qs., murid dari Syaikh al-Khatibi,qs., ayah kandung Syaikh Bahaudin Walad,qs. Tiga ratus orang alim di kota Balkh pernah mengalami mimpi yang sama berkenaan dengan ketinggian ilmunya, lalu dengan suara bulat para ulama memberikan gelar kepada Syaikh Bahauddin Walad,qs., sebagai 'Sulthan Al-Ulama atau Sultan Para Ulama', dan ada juga yang menyebutnya sebagai 'Mawlanayi Buzurg atau Tuan Besar.' Beliau secara terang-terangan menentang bid'ah-bid'ah raja dan pegawai tinggi istana, seraya mendesak agar kembali kepada ajaran Islam yang benar. Raja menawarkan kepadanya kekuasaan, namun ditolaknya. Sebelum meninggalkan Balkh beliau mengatakan bahwa : 'Akan datang orang-orang Mongol yang akan menghancurkan kerajaan.' Dalam safarnya, beliau singgah di Bagdad, disambut oleh Syaikh Agung Syahabuddin Umar Suhrawardi,qs., penulis Hikmah as-Israq karya yang menggemparkan dan fenomenal yang tidak bisa dimengerti oleh para ulama dzahiran. Beliau menolak berkunjung kepada khalifah Musta'zhim (dinasti Abassiyah pada waktu itu) serta menampik hadiah berupa tiga ribu mata uang emas kuno, namun beliau bersedia menyampaikan khutbah di Masjid Jami'. Dalam khutbahnya yang dihadiri oleh khalifah, beliau menegur gaya hidup khalifah yang tidak terpuji dan memperingatkan bahwa khalifah akan dibunuh oleh orang-orang Mongol dengan sangat keji dan kejam dikemudian hari. Sebelum meninggalkan Bagdad guna melaksankan ibadah haji di Makkah diterima berita bahwa Balkh sudah dikepung oleh tentara Mongol dibawah komando Jengiz Khan sendiri. Sebuah ungkapan ekstase terdapat didalam salah satu kitab karyanya : 'Pergilah ke pangkuan Tuhan, dan Tuhan merengkuhmu ke dada-Nya dan menciummu dan menampakkan diri-Nya hingga engkau tak mungkin melepaskan diri dari-Nya, melainkan manaruh segenap hatimu pada-Nya, siang dan malam.'
Lalu yang kedua adalah Sayyid Burhanuddin Muhaqqiq,qs., salah seorang murid Syaikh Bahauddin Walad.qs. Yang melakukan uzlah (menyendiri) di Tirmidz, yang kemudian selang beberapa lama ia mulai berceramah mengenai makna-makna pengetahuan. Di suatu pagi pada hari Jum'at 18 Rabi' Al-Tsani 628H, tiba-tiba ia memekik sedih dengan air mata bercucuran : 'Allah .. Allah .. Allah … Guruku telah meninggalkan dunia debu ini menuju tempat kesentosaan. Putra guruku, penggantinya, kini sendirian dan berkeinginan menemuiku. Aku harus pergi ke Konya untuk menjadi pelayannya, sekaligus untuk menyampaikan amanat guruku (ilmu kesufian).' Bersamaan dengan itu, semua penduduk di Konya mengalami duka yang dalam selama 40 hari, karena Sultan Para Ulama telah meninggalkan mereka untuk selamanya. Setelah pertemuan dengan Maulana dan melakukan percakapan langit, beliau berkata kepada Maulana : “Seratus kali engkau mengungguli ayahmu dalam semua pengetahuan tentang sastra, sejarah, dan filsafat. Namun ayahmu adalah seorang akhli dalam misteri-misteri ekstase dan realitas. Sejak hari ini, aku menghendaki agar engkau juga menguasai pengetahuan itu, yaitu pengetahuan yang dimiliki oleh para nabi, wali, yang disebut dengan ilmu tentang ilham Ilahi, ilmu yang difirmankan Allah SWT : 'Kami telah mengajarinya sebuah ilmu dari Diri Kami.' Ilmu seperti inilah yang aku dapatkan dari ayahmu (guruku). Dapatkanlah ilmu itu dariku, sehingga engkau akan meneruskan kedudukan ayahmu dalam masalah-masalah ukhrawi maupun hal-hal yang bersifat duniawi. Dengan demikian engkau akan menjadi dirinya yang kedua.” Di usia yang ke 24, tahun 1231 secara resmi Maulana dituntun oleh beliau melewati segenap tangga latihan mistik yang telah dikembangkan selama empat abad yang lalu oleh para sufi terdahulu. Latihan ruhani ini berlangsung selama 9 tahun (1231-1240). Sehingga resmilah Maulana sebagai penerus rantai emas dari tarekat ini yang bermula dari Sayyidina Ali bin Abu Thalib,ra., Hasan Basri,ra., Habib al Ajami,ra., Dawud Thai,ra., Syaikh Ma'ruf al Karkhi,ra., Imam Sirri as Saqoti,ra., Imam Junaid al Bagdadi,ra., Syaikh Abu Bakar as Syibli,ra., Syaikh Abu 'Amr Muhammad,ra., Syaikh Abu Bakar bin Abdullah artartusi,ra., Syaikh Abu Ahmad,ra., (putra Imam al Ghazali), Syaikh Al-Khatabi,ra., (kakek Maulana), Imam Sarakhsi,ra., Syaikh Bahaudin Walad,ra., (ayah Maulana), Sayyid Burhanuddin Muhaqqiq al Tirmidzi,qs., Hadrat Maulana Jalaluddin Rumi,ra., Syaikh Syamsuddin at-Tabrizi,ra., Syaikh Sultan Walad,ra., (putra Maulana). Kemudian Sayyid Burhanuddin Muhaqqiq,qs., memperkenalkan karya ayahnya, Ma'arif, dan kitab Hadiqat al-Haqiqah karya seorang penyair istana yang fasih di Ghazna bernama Sana'i.
Yang ketiga adalah Syaikh Syamsuddin at-Tabrizi,qs., yang mempunyai beberapa julukan : Sultan Pengemis, Misteri Allah dimuka bumi, Yang sempurna kata dan perbuatannya, Sultan pengembara. Beliau telah mengembara di belahan dunia guna mencari sahabat ruhnya, akhirnya pencarian itu berakhir di Konya pada hari Sabtu 28 Nopember 1244. Saat itu Maulana sebagai guru besar pada empat perguruan tinggi. Pada pertemuan pertamanya beliau mengajukan pertanyaan kepada Maulana, sebuah pertanyaan yang membuat Maulana jatuh pingsan : “Siapa yang lebih besar, yang pertama mengucap ‘Subhani – Mahasuci aku’ atau yang kedua mengucap ‘Aku tidak mengenal-Mu sebagai Engkau seharusnya dikenal.’” Simpang siur siapa sesungguhnya yang menjadi murid dan guru sudah terjadi sejak dahulu kala, karena kedua-duanya saling memanggil dengan sebutan ‘guru’, mereka begitu dekat dan tawadhu, serta santun dan saling menghormati diantara keduanya. Namun bila dilihat dari rantai emas atau silsilah tarekat Maulawiyah Syaikh Syamsuddin at-Tabrizi,qs mendapatkan khirkoh dari Maulana. Sebuah riwayat mengatakan bahwa suatu ketika Syaikh Syamsuddin at-Tabrizi menganjurkan Maulana untuk melakukan telaah terhadap “karya ayahnya terdahulu – ma’arif” dan dilarang berbicara dengan siapapun. Perintah ini dipatuhinya, ia bungkam dan mengunci dirinya di rubat. Murid-murid Maulana banyak yang tidak sependapat dan melakukan protes, karena kata-kata, pikiran-pikiran Maulana merupakan makanan dan minuman bagi murid-muridnya, sedangkan mereka itu selalu dalam keadaan lapar dan haus. Lalu setelah sekian lama, Syaikh Syamsuddin at-Tabrizi,qs melarang Maulana untuk tidak mempelajari lagi tulisan-tulisan ayahnya, dan ini pun dipatuhinya. Namun disuatu hari Maulana di tegur : ‘Bagaimana kamu sampai berani mempelajari buku itu lagi ?’ Maulana menjawab : ‘Sejak engkau melarangku, aku tidak pernah lagi membuka karya-karya ayahku dan kitab-kitab itu sudah tidak ada padaku.’ ‘Ya’ jawab Syaikh Syamsuddin at-Tabrizi,qs, ‘ada belajar lewat membaca, dan ada juga belajar lewat perenungan, hentikan perenungan tentang karya-karya ayahmu itu.’ Sejak saat itu Maulana tidak lagi menyibukkan diri dengan karya-karya ayahnya baik melalui membaca atau perenungan selama Syaikh Syamsuddin at-Tabrizi,qs masih hidup. Lalu disuatu kesempatan Syaikh Syamsuddin at-Tabrizi,qs dengan maksud menguji, meminta Maulana untuk memberikan hamba sahaya guna melayaninya. Maulana segera menjemput istrinya yang bernama Kira Khatun, yang amat cantik dan shaleh untuk dipersembahkan kepadanya. Melihat tindakan yang mengandung arti penolakan itu, beliau berkata : ‘Dia itu kan saudaraku yang paling kuhormati, yang aku inginkan adalah seorang muda usia untuk melayaniku.’ Lalu Maulana membawa putranya sendiri, Sultan Walad, yang menurutnya sangat tepat untuk melayaninya, lagi, Syaikh Syamsuddin at-Tabrizi,qs keberatan dengan berkata : ‘Dia itu seperti putraku sendiri, tetapi barangkali, engkau mau memberiku anggur, aku sudah terbiasa meminumnya, dan sudah lama aku tidak meminumnya.’ Permintaan ini dipatuhinya, ia pergi ke daerah Yahudi dengan membawa sebuah kendi, dan kembali dengan kendi berisi penuh anggur, kemudian diletakkan dihadapannya. Tiba-tiba Syaikh Syamsuddin at-Tabrizi,qs. Memekik dengan kerasnya, bersimpuh di kaki Maulana, tenggelam dalam kekaguman melihat sikap kepatuhannya, kemudian berkata : ‘Demi kebenaran Yang Mahaawal, yang tidak berawal, Yang Mahaakhir, yang tidak berakhir, belum pernah ada, dari awal diciptakannya makhluk, dan tidak akan pernah ada, sampai akhir zaman, di alam semesta ini, seorang tuan dan guru, yang mempesonakkan hati dan menyerupai Rasulullah,saw., seperti engkau.’ Lalu dia menyatakan diri menjadi murid Maulana seraya berkata : ‘Aku telah menyaksikkan sepenuhnya ketabahan guru kami, kudapati kemuliaan dan kebesaran hatinya, benar-benar mengagumkan.’ Diriwayatkan bahwa Syaikh Syamsuddin at-Tabrizi,qs dan Maulana mengunci diri selama enam bulan dalam ruangan di rubat, keduanya tidak makan daging dan tidak ada seorang pun diperbolehkan masuk dalam ruangan itu, kecuali Sultan Walad dan seorang murid lainnya. Keduanya tidak pergi meninggalkan ruangan sekejap pun, kecuali untuk melaksankan hukum syariat.
Yang keempat adalah Syaikh Salahuddin Zerkubi,qs., dari keluarga miskin, si penempa emas, bersama-sama dengan Maulana menjadi murid Sayyid Burhanudddin Muhaqqiq,qs. Maulana mengetahui bahwa gurunya menaruh rasa hormat yang tinggi kepadanya, karena kecerdasannya dan kegagahannya didalam riyadhah dan mujahadah. Karena itu, ketika Maulana khirkoh sebagai Syaikh, guru, atau mursyid, dan menjadi panutan di Konya, ia pun memperlakukan Syaikh Salahuddin dengan sangat baik seperti saudaranya sendiri. Setelah menghilangnya Syaikh Syamsuddin at-Tabrizi,qs., beliau pun diangkat menjadi asisten tarekat Maulawiyah untuk mengajar murid-muridnya. Fathimah, putrinya menikah dengan Sultan Walad, putra tertua Maulana, maka lengkaplah persaudaraanya. Sebuah riwayat mengatakan, bahwa Maulana bersahabat dengan raja Seljukid yang bernama Alaeddin Kaykobad (w.1236). Untuk menghormati persahabatan itu, dibangun sebuah mesjid diatas bukit, Alauddin Hills, mesjidnya tampak luar biasa-biasa saja tanpa adanya hiasan apapun, namun didalamnya sangat mengagumkan, ornamennya sangat indah, mihrabnya sungguh menggetarkan hati. Persis seperti keadaan orang yang dicintainya, jasadnya seperti manusia kebanyakan namun keadaan ruhaniahnya sangatlah indah dan tinggi. Setelah Alaeddin wafat, kedudukannya digantikan oleh Gayasuddin Key-Khusraw. Suatu hari, raja berjalan di kebun anggur, dia memungut seekor ular kecil lalu memasukkannya kedalam kotak emas dan menguncinya, kemudian ia menyelenggarakan sayembara, agar siapapun diperkenankan menebak isi kotak tersebut. Sampailah berita ini kepada kaisar Rum, Konstaninopel dan berkata : ‘Jika agama Islammu itu keimanan sejati, maka seseorang dari orang-orang arifmu akan dapat mengetahui isinya tanpa merusak segelnya.’ Raja lalu menyuruh seluruh menteri dan pejabat istananya namun tidak ada satupun yang bisa memecahkannya, kemudian semua guru teologi di Anatolia pun tak sanggup dan hasilnya nihil. Akhirnya seorang pejabat istana menyampaikannya kepada Maulana, dan Maulana memerintahkan Syaikh Salahuddin untuk menjawabnya, dan beliau pun langsung berkata : ‘Bukan tindakan terpuji bagi raja memenjarakan seekor ular kecil didalam kotak emas, menyegelnya seolah-olah itu paket, dan kemudian berbohong kepada para pejabat tinggi istananya, para menterinya dan orang-orang alim. Namun seorang wali bukan saja mengetahui tipu daya murahan ini, tetapi juga mengetahui setiap pikiran dalam benak raja, dan juga segenap rahasia bumi dan langit.’ Ketika jawaban itu sampai kepada raja, dia langsung bergegas datang ke rubat dan menyatakan diri sebagai murid. Syaikh Salahuddin nenjadi asisten Maulana selama sepuluh tahun.
Yang kelima adalah Syaikh Husamuddin Shalabi,qs., penganut mahzab Imam Syafi’i beliau menjadi asisten Maulana setelah wafatnya Syaikh Salahuddin selama sepuluh tahun. Maulana dapat dengan baik membaca pikiran-pikiran muridnya itu dan berkata : ‘Tetaplah pada mahzab Imam Safi’i,ra., walaupun engkau ingin hijrah kedalam mahzab Imam abu Hanifah,ra., seperti mahzab yang aku anut, akan tetapi ajarkan kesemua orang doktrin cinta Ilahi, seperti yang aku ajarkan.’ Ketika masih muda ia bertemu dengan Syaikh Syamsuddin at Tabrizi,qs., yang berkata kepadanya : ‘Husam, ini bukan jalannya, agama adalah masalah uang, berilah aku sedikit, dan berikan pengabdianmu kepada Tuhan, semoga engkau termasuk dalam tarekat kami.’ Husam bergegas pulang ke rumah, mengumpulkan semua miliknya yang berharga dan uang, beserta permata-permata milik istrinya, dan semua bekal kebutuhan rumah tangga, lalu membawanya dan meletakkannya di kaki Syaikh. Selanjutnya dia menjual sebidang kebun anggur dan vilanya, menyerahkannya kepada syaikh seraya berterimakasih kepadanya karena telah mengajari tentang suatu kewajiban dan karena telah sudi menerima sedikit pemberiannya yang tidak berarti itu. Syaikh berkata : ‘Ya Husam, semoga dengan rahmat dan doa para wali, kamu akan mencapai maqom yang tinggi, sehingga hamba Allah yang paling sempurna merasa iri hati dan akhli-akhli ikhlas menunduk hormat. Memang wali-wali Allah tidak memerlukan apa-apa, tidak memerlukan dua dunia. Namun pada awalnya tidak ada cara lain untuk menguji keikhlasan orang yang kita cintai dan cinta kasih seorang sahabat, selain dengan menyuruh mengorbankan harta-harta duniawinya. Lalu menyuruhnya melepaskan segala yang bukan Tuhannya. Tidak ada murid yang ingin mencuat yang pernah membuat kemajuan dengan mengikuti cara-caranya sendiri. Kemajuan dapat dicapai melalui pengabdian dan pengorbanan di jalan Allah. Setiap murid yang mengorbankan miliknya demi memenuhi seruan gurunya, juga akan mengorbankan hidupnya, jika memang diperlukan. Tidak ada pecinta Allah yang dapat mempertahankan kekayaan di dunia dan agama secara bersama-sama.’ Syaikh kemudian menyerahkan kepada Husam segenap miliknya, menyisakan hanya satu keping perak. Dari awal sampai akhir dia memberikan kepada Husam sebanyak sembilan kali. Akibat dari segala sesuatu ada di tangan Allah, Husam pun akhirnya menjadi penguasa para wali Allah, dan Maulana menjadikannya penjaga perbendaharaan Allah. Dialah yang menulis 24.666 untai sajak dalam enam buku dari Matsnawi.

Minggu tanggal 6/6/672 H (17/12/1273), ruh suci itu kembali ke hadirat-Nya, setelah sekian lama Ia mengalami kemabukan yang hebat, menjadikan tubuhnya berputar bak sebuah poros bumi, seluruh anasir di alam semesta ini tersedot oleh putaran harmonis yang semakin lama semakin cepat, terbang bersama Maulana menghadiri perjamuan yang suci. Bagaimana bisa kematian yang ditakutkan oleh kebanyakan orang, justru ditunggu-tunggu olehnya, karena, katanya kematian bukanlah pemisahan, akan tetapi pembebasan bagi burung ruh. Sebelum wafat, beliau menghibur seluruh sahabatnya dengan berkata : “Bagiku, inilah saat pertemuan suka cita. Jangan katakan ‘selamat tinggal’ tatkala aku dimasukkan ke liang kubur. Disana adalah tirai bagi rahmat yang kekal.” Bukan saja semua murid-muridnya yang berduka, bahkan orang-orang kristen pun berkata “Ia adalah ‘Isa kami’” dan orang-orang Yahudi berkata “Ia adalah Musa kami’”, juga seekor kucing kesayangan Maulana meratap pilu dan menolak makan selama beberapa hari, yang akhirnya kucing itu pun mati sepekan kemudian. Oleh putri Maulana, kucing itu dikuburkan berdekatan dengan makamnya sebagai tanda hubungan yang mesra antara Maulana dengan segenap makhluk Tuhan.
Gandum tumbuh dari debunya, tungku terbuat dari tanah lempungnya, yang menyanyikan hymne-hymne estatik, cintanya pun menjadi api. Untuk menjadi roti, adonan gandum pun harus dibakar didalam tungku, dengan membawa-bawa rasa rindu, cinta dan takzim kepada Maulana, barokah akan turun yang menjadikan si pembuat roti tak kuasa membedakan antara roti dan dirinya. Tujuh ratus tiga puluh lima (735) tahun kemudian tepatnya 17/12/2008 Hadrat Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) diiringi beberapa murid terkasihnya berziarah ke Konya, Turki, dahulunya sebagai pusat pemerintahan dinasti Seljuk, tempat dimana Tuan Syaikh Maulana Jalaludin Rumi dimakamkan. Ziarah kali ini sungguh istimewa, guna memenuhi undangan sebagai tamu agung dari sang Maulana, yang hadir didalam muroqobah Syaikhuna, yang dengan bahasa kecemburuan mengatakan : ‘Engkau ke Turki namun tidak menziarahiku.’ Tepat pada hari itu adalah puncak haul tuan Syaikh Maulana Jalaludin Rumi yang diadakan berturut-turut selama tujuh belas hari, berlangsung dari tanggal 1 hingga 17 Desember 2008, dalam bahasa Turki dikatakan ‘hz. Mevlana ‘nin 735. Vuslat yildonumu uluslararasi anma torenleri 1-17 aralik 2008.’ Nyaris di setiap pojok kota terlihat kata-kata yang puitis yang dipersembahkan teruntuk sang Maulana, seluruh unsur pemerintahan berbaur dengan masyarakat Konya dan negara lain hadir didalam perayaan itu. Semuanya menantikan tarian berputar yang magis itu, yang semasa beliau hidup sering terlihat di sepanjang jalan bersama dengan sahabat terkasihnya Salahuddin Zarkub yang dikenal pada masanya sebagai pandai emas, melakukan tarian berputar dalam keadaan ekstasi, setelah mendengar palu-palu si pandai emas, dengan nada yang aneh memasuki telinga beliau yang diberkati. Tarian berputar (Sema) ini menjadi tradisi dan ritual Tarekat Maulawiyah di Konya, Turky. Lalu di Indonesia, baru belakangan ini, tarian berputar ini sering terlihat diperagakan oleh kelompok tarekat Nasyabandi Haqqani. Padahal tarekat Naqsyabandiyah pada umumnya justru melakukan ritualnya secara sirri (tersembunyi, halus), khususnya pada pelaksanaan dzikir-dzikirnya, dan tidak pernah ada ritual atau tradisi melakukan tarian sema ini.

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) beserta murid-muridnya turut hadir dalam perayaan haul itu. Upacara perayaan diadakan pada malam hari dengan udara yang sangat dingin. Terlihat disekitar rubat, semuanya berwarna putih, begitu pula bukit-bukit dan jalan-jalan semuanya tertutupi es, jarak pandang hanya sekitar lima meter, semuanya putih. Seperti orang yang terhalang dari cahaya dan kehangatan mentari, duduk didalam keremangan, laksana es dan salju, yang berteriak sepanjang waktu musim dingin : ‘Aku akan lebur menjadi arus air yang deras, bergulung menuju lautan, karena aku adalah bagian dari lautan’. Sungguh menyedihkan! Salju dan es menggambarkan makhluk-makhluk yang terkurung dalam materi, walaupun terkadang mereka rindu untuk dibebaskan kembali menjadi air, unsur asli mereka, demikianlah bak hati manusia yang terasing dan rindu untuk kembali ke Samudera Ilahi. Karena barangsiapa yang membayangkan bahwa salju dan es dapat berubah bentuk kembali menjadi air, tanpa riyadhah dan mujahadah yang berkesinambungan adalah angan-angan belaka. Menjadi air adalah dambaan setiap salju dan es, agar dapat menyuburkan bumi sebagai Air Kehidupan yang nyata, sehingga bunga-bunga dan tunas-tunas hijau tumbuh dari tanah, yang kini memuji-muji kuasa sang mentari.
Di Konya aku hilang, tubuhku terbungkus kesedihan, jiwaku terselimuti kerinduan, ruh dan hatiku melebur entah kemana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.