Senin, 15 Juni 2009

NADAM

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim.

Pengajian tanggal 4-5 & 12 Juni 2009.

Di dunia bisnis, ada istilah-istilah yang hanya dimengerti oleh kalangan mereka yang menggelutinya. Begitu pula didalam tasawuf banyak istilah-istilah khusus yang dipergunakan untuk mengungkapkan keadaan ruhani masing-masing pejalan yang bersumber dari al Qur’an dan al Hadits agar mudah dipahami oleh kelompoknya dan rahasia-rahasia mereka tidak diketahui oleh orang lain. Seperti pengajian tentang ‘nadam’ yang akan diuraikan dibawah ini, bersumber dari kitab tasawuf tua (386H) yang berjudul Qutul Qulub karya Syaikh Abu Thalib al-Makki,ra. Yang telah disampaikan terjemahan bebasnya secara apik oleh Ustadz Yordanis Salam, lalu Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) menjabarkannya dengan gamblang dan mudah dimengerti, laksana raja menuangkan anggur pengetahuan kedalam cawan para hamba sahaya yang hadir, sehingga dahaga akan ilmu pengetahuan terpenuhi pada malam itu. Namun rasa tenang dan sejuk saat masuk kedalam kholaqoh dzikir, lama kelamaan lenyap tatkala meninggalkan rubat, tatkala makan dan minum, ketika perhatiannya telah berpaling kepada yang lain selain Allah, begitu pula daya ingat atas ilmu pengetahuan yang diperolehnya. Maka, sehubungan dengan itu, kami, insya Allah menuangkannya kedalam bentuk tulisan, agar para sahabat mudah mengingatnya, agar para sahabat yang tidak mengikuti pengajian dapat mengetahui dan mudah mencernanya. Meskipun wejangan dari Syaikhuna berlangsung sekitar 30 menit, didalamnya terkandung samudera ilmu pengetahuan yang tidak bertepi, yang bilamana diurai akan menjadi sebuah kitab tersendiri.

Nadam adalah penyesalan, dan menyesali kesalahan merupakan suatu taubat, begitulah Sabda baginda Rasulullah,saw. Tidak semua manusia lantas menyesal setelah ia melakukan tindakan tercela (dosa), bahkan ada yang merasa senang dan ingin mengulanginya lagi, yang demikian karena Allah SWT telah mengunci mati hati orang itu. Penyesalan adalah sebuah ‘rasa’ yang hinggap didalam hati, yang datang dan pergi atas sekehendak Allah SWT. Namun demikian, para Syaikh sufi meyakini bahwa rasa sesal niscaya dapat diupayakan dengan jalan melakukan perenungan (kontemplasi) dan muhasabah, Hadrat Syaikh Muhammad Bahauddin Syah Naqsyabandi,qs., menyebutnya wuquf zamani, yakni memeriksa waktu yang telah lampau apakah waktunya dihabiskan untuk bersama dengan nafs-nya atau bersama dengan Tuhannya, diawali dari waktu yang panjang lalu semakin diperketat menjadi lebih pendek, dari setiap hari menjadi setiap jam, dan dari setiap jam menjadi setiap menit, lama kelamaan lebur didalamnya. Oleh sebab itu, penyesalan pada awalnya adalah ‘perolehan’ dan pada akhirnya adalah ‘anugerah’, perolehan disebabkan oleh sebuah upaya sedangkan ‘anugerah’ tanpa upaya. Bisa jadi, seseorang tidak menganggap tindakannya tercela bila ia lupa berdzikir, namun tidak demikian bagi orang lain, karena hal itu merupakan kealpaan. Demikian pula, bagi seseorang yang merasa mampu telah melakukan sholat malam empat puluh hari berturut-turut bukanlah merupakan tindakan yang tercela, namun sebagian yang lain menganggapnya tercela, karena adanya pengakuan atas kehebatan dirinya. Akan tetapi semua sepakat bahwa meninggalkan hal-hal yang fardu adalah tindakan yang tercela. Nah, perbedaan pandangan ini disebabkan oleh kadar ilmu yang berbeda-beda, keadaan ruhaniyah yang berjenjang-jenjang, dan tingkat makrifat yang berlainan pula. Oleh karenanya ilmu sangat berperan didalam ‘memperoleh’ daya sesal yang besar dan berkepanjangan, sehingga pertaubatannya terus-menerus dengan qualitas yang tinggi.

Taubat adalah daya sesal yang diikuti oleh datangnya kesadaran akan dosa yang telah ia lakukan dan ketakutannya (khauf) atas siksa atau hukuman dari Allah SWT, lalu datanglah sebuah harapan (raja) akan pengampunan dari Allah SWT, seketika ia mohon ampunan kepada Allah SWT dan berniat serta berusaha dengan sekuat tenaganya untuk tidak kembali melakukan perbuatan itu lagi serta terus menerus melakukan tindakan amal sholeh. Sedangkan apabila seseorang merasakan daya sesal yang tinggi atas kealpaannya melakukan peribadatan-peribadatan sunah, yang disertai dengan kesadaran akan lepasnya kedekatan dengan Allah SWT maka keadaan ini disebut inabah. Sedangkan apabila daya sesal berdatang akibat dari kesadaran atas pengakuan terhadap perbuatan baiknya sendiri, sehingga rasa keterpisahan dengan-Nya mengusik hatinya, maka keadaan ini disebut awwab. Taubat adalah bagi orang awam, inabah bagi orang khawas dan awwab bagi orang khawasul khawas.

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata didalam kholaqoh dzikir : ‘Alhamdulillah wa syukru ala ni’amillah, Allah turunkan rahmat berupa hujan, hujan yang menyegarkan segala makhluk yang memerlukannya, Alhamdulillah kita sampai juga di kholaqoh dzikir ini, Allah telah memberikan kesempatan untuk menyembah dan menyebut-nyebut nama-Nya serta dibukakannya pintu taubat. Apabila kita tidak bersyukur atas hidayah ini, maka itu termasuk dosa.’ Dosa ada yang berupa terang-terangan dan ada pula yang sirri (halus atau tersembunyi). Bahkan ada dosa yang di gemari manusia, ada yang memang tertarik berbuat dosa, ada dosa yang tidak disengaja lalu kemudian tersadarkan, ada dosa yang memang sudah diketahui tetapi tidak mampu menahannya lalu terlepas, ini termasuk dosa-dosa yang jelas dilakukan, jenis dosa-dosa yang menyenangkan jawarih atau inderawi. Sedangkan dosa-dosa yang tidak diketahui, disebut dosa-dosa sirri dan terlalu banyak jenis dosa sirri ini, namun manusia awam tidak akan menyadarinya, karena membutuhkan keadaan ruhani yang tinggi untuk dapat mengetahuinya. Dari kitab Tadkhirat al-Auliya karya Syaikh. Fariduddin Aththar,ra. Mengisahkan : ‘Seorang lelaki bangkit dan mulai mengemis di majlis Imam Junaid,ra. ‘Lelaki itu benar-benar sehat, seharusnya ia mampu bekerja guna memenuhi kebutuhan hidupnya, namun mengapa ia mengemis dan menghinakan dirinya sendiri?’ Pikir Imam Junaid,ra. Malam itu beliau bermimpi, dihadapannya ada hidangan yang tertutup. ‘Makanlah’ beliau ditawari, saat dibuka tutup hidangan itu, dilihatnya pengemis tadi, terbaring mati diwadah itu, ‘Aku tidak makan daging manusia’ protesnya. ‘Lalu mengapa engkau berbuat demikian di mesjid kemarin?’ beliau ditanya. Imam Junaid,ra., akhirnya sadar bahwa ia bersalah karena telah menghujat dalam hatinya, da ia telah ditegur karena pikiran buruknya itu. Lalu beliau terjaga dan mengambil wudhu serta mendirikan sholat sunah dua rakaat, kemudian beliau pergi mencari pengemis tadi, dan dijumpainya di tepi sungai tigris, sedang memunguti sisa sayuran yang sedang dicuci oleh orang-orang disana dan ia pun memakannya. Pengemis itu mengangkat kepalanya dan berkata kepada Imam Junaid,ra., : ‘Wahai Junaid, apakah engkau telah bertaubat atas pikiran-pikiranmu mengenaiku?’ Beliau menjawab : ‘Ya, aku telah bertaubat.’ Kalau begitu pergilah, ‘Dialah yang menerima taubat dari hamba-hambanya, kali ini jagalah pikiran-pikiranmu.’ Kisah ini memperlihatkan bahwa dosa sirri sangat sulit dikenali, kecuali bagi orang-orang yang dijaga dari noda oleh Allah SWT.

Baik dosa yang secara terang-terangan maupun dosa sirri, keduanya menggelapkan hati, yang berakibat datangnya kegundahan-kegundahan, dan menjadikan berbagai penghalang didalam kehidupan. Karena selain dosa itu dicatat oleh malaikat, juga tercatat dialam semesta ini dan menghadang sipembuatnya, kadang-kadang berupa was-was, bimbang, rasa tidak kepastian dimasa depan, dan lain-lain yang tidak mengenakkan hati. Obatnya adalah harus istiqomah dalam melakukan perbuatan baik, karena perbuatan baik akan mengganti kejahatan yang telah dilakukan, lahir maupun batin. Perbuatan baik yang berkualitas adalah yang dilakukan secara sirri, tidak ada yang mengetahui selain Allah SWT, yang paling mudah adalah berdoa, yakni mendoakan orang-orang yang sering berbuat jahat kepada diri kita. Yang kedua adalah gemar bershodaqoh, memberi makan anak yatim, menyekolahkan dan menggembirakan hatinya. Kisah, di Bagdad ada seorang janda yang mempunyai beberapa anak (yatim), sering mendapatkan sekarung gandum didepan rumahnya, sekian lama tidak diketahui siapa yang melakukannya. Setelah Imam Ali Zaenal Abidin,ra., cicit Rasulullah,saw., wafat, tidak ada lagi gandum didepan rumah janda tadi. Barulah si janda menyadari dan mengetahuinya bahwa Imam Ali,ra., yang selama ini melakukannya. Ketiga banyak berpuasa, karena puasa akan mensucikan seseorang, Allah SWT berfirman : ‘Al shawm li wa-ana ajza bihi, puasa adalah milik-Ku, dan Aku yang paling berhak memberikan ganjaran untuknya.’ Maksudnya adalah, bahwa puasa yang berkualitas adalah puasa dari segala sesuatu selain Allah SWT, dipuasakan perhatian lahir dan batinnya dari yang lain dan hanya ditujukkan bagi Allah SWT. Barulah ganjaran puasanya tidak ada seorangpun yang mengetahuinya kecuali hanya Allah SWT. Keempat terus menerus dalam keadaan berdzikir dan kelima membawa daya harap yang tinggi menurut kadarnya dan terus memohon ampunan kepada Allah SWT.

Nadam, sesuai dengan namanya, bila tanpa huruf ‘Nun’ maka akan dibaca ‘Adam’, maka pemilik daya sesal yang pertama kali dengan kualitas yang sangat tinggi adalah Nabiyullah Adam,as., daya sesal atau rasa bersalah kepada Alah SWT inilah yang mendorongnya melakukan tindakan-tindakan yang terpuji dan amal sholeh, sebagai bukti pertaubatannya guna memperoleh pengampunan-Nya, Allah SWT telah berfirman sehubungan dengan hal ini : ‘Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, Maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.’ (QS 2 : 37) Oleh karenanya Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata bahwa : ‘Taubat itu datangnya dari Allah SWT.’ Diriwayatkan dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah,saw., bersabda : ‘Orang yang bertobat dari dosa seperti orang tidak berdosa dan jika Allah mencintai seorang hamba, niscaya dosa tidak melekat pada dirinya.’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.