Sabtu, 06 Juni 2009

DIA INGIN DICINTA

Allah SWT berfirman : Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.(QS 51 : 56)


Tuhan ingin dikenal, Dia ingin dicinta, oleh sebab itu Dia menciptakan dunia dan seisinya. Ibnu Abbas,ra., dan para sufi menafsirkan kata liya’buduun pada ayat diatas sebagai perintah untuk bermakrifat kepada-Nya. Dunia ini adalah tempat pengabdian (ubudiyah) sedangkan di akhirat nantinya adalah tempat kedekatan dengan-Nya, barang siapa tidak melakukan pengabdian yang benar maka tidak ada pula kedekatan baginya, pengabdian yang benar mewajibkan pengenalan yang benar (makrifat) pula terhadap sesuatu kepada-Nya ia mengabdi. Rasulullah,saw., bersabda : ‘Orang yang taat beribadah yang tak memiliki pengetahuan tentang Tuhan, bagaikan keledai yang menggerakkan jentera,’ yakni, ia tak akan pernah melangkah kemana-mana dan hanya berputar-putar ditempat saja. Seperti yang termaktub didalam hadits qudsi yang masyhur dikalangan para sufi : 'Aku adalah harta berharga yang tersembunyi dan Aku ingin dikenal, sehingga Aku menciptakan dunia. Kuntu kanzan makhfiyyan.' Namun, kebanyakan manusia tidak mengindahkan kewajiban ini, kecuali mereka yang telah menerima taufik dan hidayah-Nya serta yang qolbu-qolbu mereka Dia hidupkan dengan Diri-Nya sendiri. Tumbuh-tumbuhan, binatang-binatang semuanya dipaksa (jabar) oleh-Nya untuk selalu bertasbih memuji-Nya. Sedangkan manusia mempunyai posisi yang unik, niscaya ia diberikan 'kebebasan' memilih untuk beriman ataupun kafir. Penciptaan manusia begitu mengagumkan, penuh dengan kerahasiaan, keindahan, keperkasaan dan kesempurnaan. Sampai pada suatu tahap dimana manusia terpesona memandangi keindahan dirinya sendiri, dan merasa lebih elok daripada memandangi alam semesta yang fenomenal ini. Oleh karenanya, manusia dipenuhi oleh kesia-siaan, kecongkakan, dan kebanggaan atas pengakuan kehebatan dirinya sendiri. Keakuan-ego inilah yang menjadi hijab terbesar antara manusia dengan Tuhannya. Bagaimana tidak, dikatakan bahwa Allah SWT telah menciptakan jiwa (nafs) tujuh ribu tahun sebelum badan, dijadikan kedekatan antara jiwa dan badan bagai sepasang kekasih, dan menciptakan ruh tujuh ribu tahun sebelum jiwa dan dijadikannya kedekatan antara ruh dan jiwa itu seperti pengantin, serta menciptakan qolbi tujuh ribu tahun sebelum ruh dan menjaganya dalam derajat persatuan. Lalu, pada setiap harinya sebanyak tiga ratus enam puluh kali, Dia mengungkapkan keindahan-Nya dan menganugerahkan tiga ratus enam puluh penglihatan akan rahmat kepada qolbi, dan Dia menyebabkan ruh mendengar kata cinta dan menampakkan tiga ratus enam puluh nikmat kedekatan yang mendalam kepada jiwa. Sungguh! teramat mempesonakan sosok manusia itu, karena itulah Tuhan pun mengujinya! Dia memenjarakan qolbu didalam ruh, ruh di dalam jiwa dan jiwa di dalam badan. Kemudian Dia melengkapi ruh dengan akal dan jiwa dengan syahwat. Lengkaplah sudah peringkat manusia yang terdiri dari badan – jiwa (syahwat) – ruh (akal) – qolbi. Allah SWT berfirman : 'Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, (QS 091 : 8). Maka setiap Tuhan mengilhamkan jalan kefasikan dan ketakwaan. Akal, sebagai penasihat ruh akan mengolahnya terlebih dahulu, akal akan memilih jalan ketakwaan, lalu meneruskannya kepada jiwa. Ironisnya, Dia telah menciptakan jiwa selalu mengajak kepada kejahatan dan melengkapinya dengan syahwat sebagai panglimanya, sesuai dengan firman-Nya : 'Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. (QS 012 : 53). Oleh sebab itu jiwa akan memilih jalan kefasikan daripada jalan ketakwaan, lalu badan bergerak sesuai dengan perintahnya. Hal ini berlangsung terus menerus, yang mengakibatkan qolbi terjangkit penyakit kanker yang ganas. Para sufi, sebagai dokter spesialis qolbi mengelompokkannya menjadi 66 jenis penyakit hati (majmumah), dan dalam kondisi yang demikian, sempurnalah manusia pada peringkat ‘al-Nafs al-Ammaarah’. Untuk menyembuhkan satu jenis penyakit, membutuhkan ilmu pengetahuan yang benar tentang syariat, lalu bersungguh-sungguh dalam mengerjakannya (riyadhah) khususnya dalam pelaksanaan dzikir yang berkesinambungan (dawamudz dzikri) dan terus menerus melawan keinginginan-keinginan jiwa rendahnya (mujahadah), serta harus dibawah pengawasan seorang Syaikh. Setiap terbongkarnya satu penyakit hati, maka akan munculah sifat-sifat yang terpuji (mahmudah) didalam dirinya, begitulah seterusnya. Ciri-ciri seseorang pada peringkat al-Nafs al-Ammaarah mudah dikenali, bahwa ia akan selalu lupa kepada Tuhannya, lalu Tuhan membuat ia lupa kepada dirinya sendiri, sehingga ia fasik dan hanya berpaling kepada kesenangan dunia dan kegembiraan bagi jiwanya. Nah kalau sudah demikian, manusia akan tenggelam kedalam lautan dunia yang sahabatnya adalah nafs dan tuannya adalah syaithon.

Dunia ini terdiri dari empat unsur (anasir), air, api, angin dan bumi, dan manusia berada didalamnya sebagai penghuni, oleh karenanya unsur-unsur yang ada didalam badan setiap anak cucu Adam,as., terdiri dari keempat unsur ini. Maka, karena unsur-unsurnya sama, badan dan dunia ini bersenyawa, menyatu dan lengket. Nah, dikarenakan Dia telah menciptakan peringkat kedekatan jiwa dengan badan laksana sepasang kekasih, maka hubungan jiwa dengan dunia laksana kekasih keduanya, dan sama pentingnya didalam pemenuhan syahwatnya, serta sangatlah sulit untuk dipisahkan. Apa pun yang menyenangkan bagi badan akan berlaku sama bagi jiwa, dan sebaliknya apa pun yang menyusahkan bagi badan maka akan tidak sedap pula bagi jiwa. Pengaruhnya terhadap qolbu dan ruh menjadi jelas, kesenangan jiwa akan menggelapkan qolbu, dan kesusahan jiwa akan mencahayai qolbu, dan qolbu inilah yang setiap saat ditilik oleh Allah SWT. Umur manusia begitu singkat dan harus kembali kepada pencipta-Nya, dengan mempertanggung jawabkan semua tindakan dan pemikiran-pemikirannya selama ia berada di alam dunia ini. Disinilah peran manusia menjadi jelas, dengan mengetahui bahwa sifat dunia yang begitu menakutkan namun mempesona bagi jiwa itu, ia harus berupaya dengan sekuat tenaga dan pemikirannya untuk memusuhi tempat dimana ia berpijak ini, dan berupaya melakukan pengabdian kepada Tuhan dengan sekuat tenaganya, agar beroleh kedekatan dengan-Nya.

Keberpantangan (penafian) dari kesenangan adalah pokok tasawuf, tidak saja kesenangan menikmati segala bentuk lahir dunia ini, melainkan kesenangan jiwa yang datangnya dari pujian atau sanjungan dari orang lain (riya) dan pujian yang datang dari nafs-nya sendiri (ujub dan takabur), sehingga ia menolak semua bentuk peribadatan yang ia lakukan atas upayanya sendiri, bahkan pada tingkat ruhaniyah tertentu ia akan menolak eksistensinya sendiri. Kesenangan adalah sifat dunia ini, oleh karenanya memusuhi dunia menjadi wajib hukumnya bagi orang-orang yang berkeinginan untuk mensucikan dirinya (mutashowif). Berarti ia melakukan peperangan terus menerus melawan jiwanya, bukankah ini jihad akbar? Banyak orang awam mempunyai kekhawatiran bahwa memusuhi dunia ini akan menjadi miskin. Mereka salah mengartikan hadits yang berkenaan dengan hal tersebut, antara lain yang telah diriwayatkan oleh Rasulullah.saw., : ‘Barang siapa yang mencintaiku maka aku akan membebaninya.’ Yakni, yang dimaksud dengan ‘membebaninya’, adalah kewajiban melaksanakan syariat agama dengan benar dan bersungguh-sungguh, menjauhi semua larangan-Nya serta ridho terhadap semua ketentuan-Nya. Karena didalam cinta ada kepatuhan, dan cinta bukan sekedar ucapan belaka melainkan perlu bukti-bukti yang berupa kepatuhan menjalankan perintahnya. Seseorang datang kepada Rasulullah.saw., dan berkata, ‘Wahai Nabi,saw., Aku mencintaimu,’ dan Nabi,saw., berkata, ‘Maka bersiaplah untuk menjadi miskin.’ Yakni, yang dimaksud dengan ‘miskin’ adalah keadaan yang terus menerus akan kebutuhan terhadap Tuhannya saja, bukan selainnya. Seperti halnya Nabi Ibrahim,as., ketika beliau dilemparkan ke dalam api dan Jibril datang dan bertanya : ‘Apakah kau perlu pertolongan?,’ dijawab : ‘Aku tak perlu meminta sesuatu, Dia Maha Tahu keadaanku.’ Kemiskinan merupakan pertanda penghancuran dan penghapusan atribut-atribut kebendaan dan keadaan miskin adalah orang yang di dalamnya selalu berjuang dan di luarnya selalu berada dalam ketenangan. Lalu seseorang datang kepada Rasulullah,saw., dan berkata, ‘Ya, Rasulullah, Aku mencintai Allah,’ dan beliau berkata, ‘Maka siapkanlah dirimu untuk penderitaan.’ Yakni, penderitaan dalam memusuhi jiwa (nafs) dan dunia (mujahadah) seperti yang telah baginda contohkan disepanjang kehidupannya, karena hal ini paling sulit dilakukan, karena manusia pada umumnya buta terhadapat penyakit jiwanya, lalu bagaimana ia mau memeranginya? Oleh karenanya ia membutuhkan pembimbing yang akhli terhadap seluk beluk dan gerak gerik jiwa (nafs) serta telah berhasil menaklukkannya, yaitu seorang Mursyid atau Syaikh dari tarekat yang mutabaroh. Sesungguhnya tidak ada kaitannya antara memusuhi dunia dengan kemiskinan, karena kekayaan atau kemiskinan adalah kehendak Allah SWT dan tidak dapat dipilih oleh manusia, sedangkan memusuhi dunia adalah sesuatu yang diperintahkan oleh-Nya. Seperti kisah seorang salik yang hidup di pedesaan dan diperintahkan oleh Syaikhnya untuk berziarah kepada Syaikh Ibnu al Arabi,qs. Setelah melakukan perjalanan berhari-hari, ia berhasil menemuinya, sang salik terheran-heran, bagaimana bisa seorang Syaikh yang disegani dan dikenal diseluruh pelosok penjuru dunia, hidup dengan kemewahan yang sedemikian rupa, tinggal di puri yang indah diatas bukit, dindingnya terbuat dari marmer, lantainya tertutup karpet-karpet yang indah, domba-dombanya banyak, ladang-ladangnya terawat baik. Segera ia memohon doa dan petuah dari Syaikh, lalu beliau berkata : 'Sampaikan kepada gurumu untuk lebih keras memusuhi dunia ini.' Sang murid tercengang mendengarnya, bagaimana tidak! gurunya tinggal sangat miskin di pedesaan sedangkan beliau hidup mewah di kota dan bersahabat dengan Sultan, dan petuahnya seperti itu adanya. Sang murid kembali ke desa dan ragu menyampaikan hal tersebut kepada gurunya. Karena didesak dan menjaga adab, akhirnya ia menyampaikannya juga. Mendengar itu, Syaikhnya mengangis tersendu-sendu sampai membasahi jenggotnya dan berkata kepada muridnya : 'Dia benar! Karena dia sudah tidak peduli dengan semua yang ada padanya. Sedangkan aku, disaat menyantap kepala ikan masih mengharapkan seekor ikan yang utuh.' Nah, selama hati tidak lagi terikat oleh sarana-sarana penghidupan di dunia ini, maka ia masuk dalam peringkat zuhud, terlepas ia kaya atau miskin.

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Rukun Islam yang lima itu adalah sebuah sarana yang Allah SWT ajarkan kepada manusia untuk memusuhi dunia ini.’ Yang pertama adalah 'syahadat' yaitu mengesakan Allah se-esa-esanya disetiap waktu dan mengerjakan peribadatan dengan kualitas yang tinggi sesuai dengan syariat Yang Mulia Nabi Muhammad Rasulullah,saw. Yang kedua, shalat, berarti harus meninggalkan dunia beberapa waktu lamanya sebanyak lima kali dalam sehari. Yang ketiga, puasa, bermakna meninggalkan dunia selama tiga puluh hari dalam satu tahun mengharamkan sesuatu yang halal pada siang hari. Rasulullah,saw., bersabda bahwa Allah SWT berfirman : ‘al-shawm li wa-ana ajza bihi, puasa adalah untuk-Ku,’ merupakan suatu pernyataan bahwa sebenar-benar puasa adalah puasa dari segala sesuatu selain Allah. Yang keempat, zakat, Rasulullah,saw., bersabda : 'Sesungguhnya, Allah telah mewajibkan atasmu untuk membayar zakat dari kemuliaanmu, sebagaimana Dia telah mewajibkan atasmu untuk membayar zakat dari harta milikmu.' Dan beliau juga bersabda : 'Segala seuatu ada zakatnya, dan zakat dari sebuah rumah adalah ruang tamu.' Para sufi sepakat bahwa setiap anggota tubuh ada zakatnya, karenanya orang yang sehat harus menggunakan semua anggota tubuhnya untuk beribadah dan bukan untuk menikmati kesenangan. Kemudian yang kelima adalah pergi haji, berlilitkan kain kafan yang tidak berjahit, pertanda hatinya tidak terkait dengan dunia lagi kecuali hanya kepada Allah semata. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering berkata bahwa : 'Dunia ini ladang bagi akhirat.' Dunia memang penuh dengan hidangan-hidangan dan minuman-minuman yang memabukkan bagi syahwat, khususnya berupa kebanggaan menumpuk-numpuk harta lalu memamerkannya, mengejar jabatan atau kedudukan di tengah masyarakat agar dihormati, dan bergaul dengan wanita-wanita untuk meraih kesenangan dan pemuasan birahi. Orang-orang dari suku jawa percaya bahwa dengan menghindari harta, tahta dan wanita, maka keselamatan dan ketenangan hidup akan diperoleh. Oleh sebab itu, barang siapa yang mampu mengendalikan syahwat dan birahi ini (mujahadah), Tuhan memberikan hadiah yang begitu indah, yaitu cinta dan makrifat! Seperti yang termaktub didalam sabda Rasulullah,saw., : 'Man arofa nafsahu faqod arofa robbahu, barang siapa mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya.' Maka ia akan mencintai Tuhannya, ingatannya kepada Allah tanpa kelalaian, dan makrifatnya bukanlah kata-kata yang kosong melainkan perasaan yang aktual. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : 'Tidak ada cinta selama sifat insaniah masih bermain didalam hati dan apabila cinta mengejawantah maka orang awan tidak mengerti dan tak pelak lagi akan menjadi bodoh dan patuh tanpa memperhatikan keadaan diri karena terkungkung digenggaman cinta-Nya.' Dan juga beliau berkata : 'Cinta adalah ujung dari segala hal karena itu adalah pancaran cahaya ridha-Nya.' Cinta adalah anugerah Ilahi, bukan sesuatu yang bisa diusahakan untuk dicapai. Tanpa riyadhah dan mujahadah, maka cinta menjadi perasaan ingin meraih cinta saja, dan ini bukan cinta, walaupun ia dapat mengungkapkan dalam kata-kata yang bisa dimengerti oleh awam, karena cinta tidak melibatkan akal, bahkan akal tidak mampu mengenali dirinya sendiri, dan cinta tidak pula melibatkan syahwat, karena syahwat cenderung ingin menguasai, lalu bagaimana mungkin akal dan syahwat dapat mengenali cinta ? Maka, jika awam berkata cinta, itu adalah kebohongan belaka, karena cinta tidak berawal dari pandangan mata dan memanasnya birahi. Imam Junayd,ra., mengatakan : ‘Jika Tuhan berbicara kepadaku, pandanglah Aku,’ maka aku akan menjawab : ‘Aku tidak akan melihat-Mu.’ Karena, dalam cinta, mata itu adalah selain Tuhan dan asing. Rasa iri pada yang lain akan mencegahku dari melihat-Nya. Karena di dunia ini aku terbiasa melihat-Nya tanpa perantaraan mata. Bagaimana aku akan menggunakan perantaraan itu di akhirat ?

Allah SWT telah mengutus nabi-nabi guna menyampaikan risalah-Nya agar manusia bisa keluar dari belenggu syahwatnya, tiga kitab samawi telah diturunkan, Taurat, Zabur dan Injil, lalu ditambah satu kitab suci lagi sebagai penutup dan penyempurnaan dari kitab-kitab terdahulu, petunjuk bagi seluruh manusia dan jin kejalan yang lurus, yaitu Al Qur'anul Karim. Perilaku dan perkataan para nabi yang kepadanya kitab suci itu diturunkan dijadikan rujukan pula oleh para pengikutnya. Tidak ada lagi diatas dunia ini, perilaku dan perkataan yang terpuji (adab) para nabi-nabi itu, yang terdokumentasikan secara otentik, terpelihara dari perubahan-perubahan dan pemalsuan serta rapi, kecuali adab, akhlak atau budi pekerti yang agung dari penutup para nabi-nabi terdahulu (khataman anbiyai) yang mulia Baginda Muhammad Rasulullah,saw. Disusun oleh beberapa ulama agung terkemudian, diantaranya Imam Bukhari,ra., Imam Muslim,ra., Imam Abu Dawud,ra., dan Imam at-Tirmidzi,ra.. Lalu karena dunia dicipta terdiri dari bangsa-bangsa yang berbeda-beda kultur budayanya, masing-masing mempunyai ulama yang dipanutinya yang berpegang teguh kepada Al Qur'an dan Al Hadits serta secara kosisten mematuhi dan mengerjakannya. Oleh karenanya terbagilah menjadi mahzab-mahzab, diantaranya mahzab Imam Abu Hanifah,ra., (80-150H), Imam Maliki,ra., (93-179H), Imam Syafi'i,ra., (150-204H), dan Imam Hambali,ra., (164-241H). Syah hukumnya bagi seorang muslim menganut salah satu dari ke empat mahzab ini, seperti kebanyakan masyarakat muslim di Indonesia menganut mahzab Imam Syafi'i.ra., nama lengkapnya Abu Abdallah Muhammad bin Idris al-Syafi’i,ra., semula beliau tidak tertarik kepada orang-orang yang menempuh jalan tasawuf, dan berguru kepada Imam Malik,ra., di Madinah. Barulah setelah menjadi Imam di Irak, beliau diterima dalam kelompok sufi oleh Syaikh. Sulayman Ra’i,qs., beliau terus mencari kebenaran dimana pun ia pergi, beliau berkata : ‘Bilamana engkau melihat seorang ulama menyibukkan dirinya dengan kepentingan-kepentingan pribadi, tidak ada hal yang baik yang dapat diberikan olehnya.’ Muridnya yang paling cermelang adalah Imam Ahmad bin Hanbal,ra., dan beliau ini bergabung dengan sufi-sufi agung pada zamannya antara lain Imam Sari as-Saqothi,qs., pamam dari Imam Junayd al Bagdadi,ra., Syaikh. Ma’ruf al-Karkhi,qs., Syaikh. Bisyr al-Hafi.qs., dan Syaikh. Dzun Nun al-Misri.qs.

Di abad yang ke 21 ini, jumlah kaum muslim diseluruh dunia mencapai lebih dari satu milyar orang, dan komunitas Islam terbesar di dunia adalah negeri tercinta kita ini, Indonesia, yaitu hampir mencapai 200 juta orang, atau seperlimanya. Ironisnya, dinegeri kita ini, hukum suci Islam kalah kedudukannya dibandingkan dengan hukum yang dibuat oleh manusia, dan yang lebih menyedihkan justru orang-orang Islam sendiri yang menolaknya sebagai satu-satunya hukum yang tertinggi kedudukannya, padahal mereka mengetahui bahwa syariat agama adalah hukum suci, hukum yang sempurna, yang langsung diturunkan oleh Tuhan penguasa semesta alam, Tuhan yang menggenggam jiwa-jiwa manusia yang membuat hukum-hukum di dunia, Yang Maha Menghidupkan dan juga Maha Mematikan dengan seketika.


Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) telah memberikan nasihat kepada murid-muridnya berkenaan dengan keadaan ini, agar lebih berhati-hati dan meningkatkan kewaspadaan, tetap dalam keadaan bersuci dimanapun berada dan melakukan dawamudz dzikri dawamun ubudiyah. Alam telah menunjukkan akibat dari fenomena aneh di negeri tercinta kita ini, berupa gerhana matahari 'cincin' yang terjadi pada tanggal 26/1/2009 tepat pada jam 16.50 wib, matahari, bulan dan bumi berada pada satu garis lurus, sehingga cahaya matahari ke bumi seluruhnya tertutup oleh bulan kecuali hanya menyisakan pinggirnya saja, berbentuk seperti cincin. Rasulullah,saw., telah memperingatkan bahwa bila terjadi gerhana segera berlindung kepada Allah SWT, lalu mengeluarkan sedekah (shadaqoh), berdzikir sebanyak-banyaknya, dan melaksanakan sholat sunat gerhana dua rakaat banyaknya, dan setiap satu rakaat dilakukan ruku dua kali banyaknya, setelah al-Fatihah membaca surat al Qur’an yang panjang dan dibaca dengan suara yang keras. Lalu telah terjadi dua kali berturut-turut menjelang waktu magrib langit berwarna kuning pucat, khususnya pada tanggal 14/03/2009 jam 18.01 Wib, orang sunda menyebutnya ‘layung koneng’. Jelas ini bukan pertanda yang baik, kalau tidak mau dikatakan buruk. Angkara murka meraja lela, cahaya ilmu dan iman akan menjadi redup, kebenaran jelas-jelas terhalang oleh kemunafikan, sehingga perbantahan mereka sebut 'perbincangan', melalaikan syariat Nabi,saw., mereka sebut 'tasawuf', ketamakan dan keinginan untuk berkuasa mereka sebut 'hukum atau undang-undang', serta kebanggaan mereka sebut 'kehormatan’. Al hasil, orang yang ingin beragama dengan benar menjadi bingung, kelompok mana yang akan diikutinya? Lalu, bagaimana manusia bisa mengenal dan mencintai Tuhannya dalam keadaan yang seperti ini? Apa yang akan dibawa jika manusia berpulang menemui Tuhannya? Didalam hadist qudsi Allah SWT berfirman : 'Man ahabba liqoo Allahi ahabballahu liqooahu, wa man kariha liqoo Allahi karihallahu liqooahu, barang siapa yang senang bertemu dengan Allah, maka Allah senang bertemu dengannya, dan barang siapa yang benci bertemu dengan Allah, maka Allah benci bertemu dengannya.'

Syaikh Waasi' Achmad Syaechudin bin Aminudin (semoga Allah merahmatinya), salah seorang ulama sufi yang terkemuka di abad ini dan disepakati sebagai seorang yang mempunyai pengaruh ruhani dan zuhud, piawai dalam ilmu fiqih dan ilmu tasawuf. Pemimpin segala lapisan manusia, yang selalu mengutamakan kebahagiaan murid-muridnya diatas kebahagiaanya sendiri, baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Beliau laksana sumber listrik yang besar, yang membuat nyala bohlam lampu spiritual murid-muridnya, sehingga bisa mengetahui keadaan tingkat spiritual murid-muridnya, baik yang sedang berdekat ataupun yang berjauhan, juga yang berterus terang maupun yang berpura-pura. Syaikh Nuurunaum (semoga Allah merahmatinya), salah seorang gurunya terdahulu memberinya gelar sebagai yang luas ilmunya, dan juga sebagai cahaya yang tersembunyi. Prinsip doktrinnya adalah dawamudz dzikri dawamun ubudiyah, adalah pengejawantahan dari perintah Tuhan yang berbunyi : 'Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu keyakinan.' Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Pada mulanya adalah ibadat, lalu ubudiyah, dan akhirnya abudah. Ibadat adalah amalan kaum awam, ubudiyah adalah amalan kaum terpilih (khawash), dan abudah adalah amalan kaum yang sangat terpilih (khawashul khawash). Ibadat adalah untuk orang yang memiliki ilmul yaqin, ubudiyah untuk orang yang memiliki ainul yaqin, dan abudah untuk orang yang memiliki haqqul yaqin’. Dan beliau sering mengutip sebuah hadits yang mengatakan : 'Man amiila bimaa alimaa warosa’hullahu ilma ma'lam ya'lam, barang siapa mengamalkan ilmu yang dimilikinya, maka Allah akan mewariskan ilmu yang belum diketahuinya.' Allah SWT berfirman : 'Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan Kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, Maka Malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu". (QS 41 : 30). Dawamudz dzikri dapat berupa dzikrullah yang terus menerus pada setiap kesempatan dan keadaan, baik yang bersifat formal ataupun informal, yang bersifat formal adalah dzikir wajib bagi para salik, yang berupa dzikir dhorob dan dzikir lathif, sedangkan yang informal adalah dzikir-dzikir khusus dan aurad (wirid-wirid) tambahan. Dawamun ubudiyah adalah beribadah dengan kualitas yang tinggi dan murni, tanpa pernah mengaku-ngaku bahwa ibadahnya atas kemampuan dirinya sendiri. Karena Tuhan sajalah yang bisa menolong seseorang untuk melakukan amalan baik dan berkualitas. Bilamana seseorang mengerjakan peribadatan dalam hal ini dawamudz dzikri dan dawamun ubudiyah, maka Tuhan akan mengkaruniai kekuatan yang semakin bertambah, dan begitulah seterusnya, 'ma'lam ya suklam ya’rif, kerjakan dahulu baru rasakan manfaatnya', sehingga maqom-maqom teraih dan terjewantahkan dalam kehidupan sehari-harinya, badan gemar melakukan shalat dan puasa, jiwa menggapai cinta, dan ruh sampai pada 'persatuan' dengan-Nya. Pada prinsipnya, semua tindakan atau upaya dan tidak bertindaknya atau tidak berupayanya manusia adalah tindakan dan ciptaan Tuhan. Oleh sebab itu, kekuatan manusia untuk melakukan dawamudz dzikri dan dawamun ubudiyah diperoleh dari Tuhan, tanpa manusia bisa menolaknya bila datang dan meraihnya bila pergi. Inilah doktrin yang khas dari pengajian Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah Bogor Baru, dibawah bimbingan sang Mursyid Hadrat Syaikh Waasi' Achmad Syaechudin bin Aminudin, semoga Allah memanjangkan umurnya, meninggikan derajatnya, meridhoi dan menyanginya, amiin yaa Allah yaa Rabbal Alamiin.

Tuhan ingin dikenal, tetapi tidak ada sesuatupun yang dapat mengenal-Nya kecuali oleh tak keberdayaan mengenal-Nya, sarana ilmu (pengetahuan) pada awalnya hanyalah salah satu sebab tak langsung, sedangkan sebab langsung adalah inayah-Nya. Allah SWT berfirman : 'Dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya (QS 2 : 255). Karena Tuhan mempunyai sifat mukhalafatuhu li al-hawadits, bahwa Dia berbeda dengan ciptaan. Perbedaannya meliputi dalam segala hal, seperti hidup, cara bertindak, cara berbicara, cara mendengar dan cara melihat. Seandainya Dia menyerupai ciptaan-Nya, maka berarti Dia memiliki kelemahan karena membutuhkan sarana lain, seperti makanan, tempat dan waktu, hal ini mustahil bagi-Nya, karena Dia adalah Dzat laisa kamislihii syaiun atau tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya. Tidaklah mungkin yang baru mendekati yang Terdahulu, atau yang hudust mendekati yang Qodim, atau yang fana mendekati yang Baqa. Ini berarti tingkat intelektualitas makhluk ciptaan dibatasi sedemikian rupa untuk dapat mengenal-Nya. Nah, jika ilmu pengetahuan menjadi satu-satunya sarana untuk dapat 'mengenali' Allah SWT, walaupun bukan sebab langsung, maka mencari ilmu pengetahuan menjadi wajib hukumnya baik bagi laki-laki ataupun perempuan, walaupun harus pergi kenegeri Cina sekalipun. Rasulullah,saw., bersabda : ‘Jika seseorang melakukan perjalanan untuk mencari ilmu, Allah akan membuatnya berjalan di salah satu dari jalan-jalan Surga, dan para Malaikat akan merendahkan sayap mereka karena bahagia dan gembira pada ia yang mencari ilmu, dan para penduduk langit dan bumi serta ikan-ikan di kedalaman lautan akan memohonkan ampunan bagi seorang pencari ilmu! Keutamaan dari seorang yang berilmu atas orang beriman kebanyakan, adalah bagaikan terangnya bulan purnama di kegelapan malam atas segenap bintang-gemintang! Ulama adalah pewaris-pewaris para Nabi, dan para Nabi tidaklah memiliki dinar maupun dirham, mereka hanya meninggalkan ilmu dan pengetahuan; dan ia yang mengambilnya sungguh telah mengambil bagian yang banyak.’ Oleh sebab itu sarana mi’raj bagi Rasulullah,saw., adalah buroq perlambang ilmu, baginda mengendarai ‘ilmu’ dengan membawa-bawa ‘kerinduan’. Karena, seseorang bila telah mengenal sesuatu, maka hanya sesuatu itulah yang dikaguminya, dan bila, seseorang telah mencintai sesuatu, maka hanya sesuatu itulah yang dipandangnya, serta meniadakan perselisihan dengan-Nya dan ikut campur dalam ketentuan-ketentuan dan tindakan-tindakan-Nya. Allah SWT telah berfirman tentang Rasulullah,saw., pada saat mi’raj : 'Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya, (QS 053 : 17), karena kerinduannya yang sedemikian kepada Tuhan. Bilamana sang pecinta memalingkan diri dari benda-benda ciptaan, termasuk dirinya sendiri, ia tentu akan melihat Sang Pencipta dengan hatinya. Allah SWT telah berfirman : 'Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya” (QS 24 : 30), yakni menutup mata jasmaniah mereka terhadap benda-benda ciptaan dan mata ruhaniah mereka terhadap hawa nafsu. Rasulullah,saw., telah memberitahu Aisyah,ra., bahwa beliau tidak melihat Tuhan pada malam Mi’raj, tapi Ibnu Abbas,ra., meriwayatkan bahwa Rasulullah,saw., memberitahukan kepadanya bahwa beliau melihat Tuhan pada kesempatan itu. Ini sangat bijaksana, karena menurut pandangan beliau, Aisyah,ra., adalah seorang zhahiri, sehingga mata inderawi mustahil dapat melihat Tuhan, sedangkan Ibnu Abbas,ra., adalah seorang spiritualis, sehingga yang dimaksud melihat adalah dengan mata hatinya. Beliau telah berbicara kepada masing-masing mereka menurut kadarnya. Perbedaan pandangan apakah baginda mi’raj dengan atau tanpa jasadnya, itu tak soal. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Rasulullah,saw., adalah manusia tersuci yang pernah diciptakan Allah SWT, tidak saja suci batinnya, bahkan juga jasadnya, maka saya berkeyakinan beliau Mi’raj berikut jasadnya yang diberkahi itu.’ Allah SWT berfirman : 'Kemudian Dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi. Maka jadilah Dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). (QS 053 : 8-9). Yang dimaksud dengan ‘berjarak’ atau ‘dekat’ disini, bukan berarti ada jarak dan didalam ruang serta dibatasi waktu, karena hal ini hanya berlaku bagi materi yang sama unsurnya. Benda-benda yang dzatnya sudah diketahui, bisa dikatakan dekat satu dengan yang lainnya atau berjarak seperti batu dengan besi (sama-sama benda padat), namun apakah bisa dikatakan dekat antara batu dengan udara? Jawabnya tidak!, karena udara mempunyai sifat yang hubungan antar partikelnya renggang, sehingga udara akan menyesuaikan bentuknya dengan benda padat, dimanapun benda padat itu berada, maka udara akan menyelimutinya. Allah SWT berfirman : 'Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud, (QS 15 : 29). Pada ayat ini digunakan bahasa ‘meniupkan kedalamnya ruh’, agar manusia bisa memahami bahwa bersatunya ruh dengan badan laksana udara dengan tubuh, sehingga meleburnya dapat dikatakan bahwa ruh itu meliput tubuh, sepertinya juga Tuhan meliput segala sesuatu. Allah SWT berfirman: 'Dan Sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu,( QS 65 : 12). Secara dzahiran, hidup manusia membutuhkan cahaya matahari dan udara, dimana udara masuk dan keluar ke dan dari dalam tubuh melalui hidung, para sufi menyebutnya nafas. Udara yang masuk disaring oleh paru-paru, lalu yang berupa oksigen akan bercampur dengan darah dan menyebar keseluruh tubuh yang dipompa oleh jantung. Oksigen sangat diperlukan bagi tubuh karena berfungsi sebagai pembakaran atas glukose dan makanan untuk menjadi energi, sedangkan yang tidak berguna berupa CO2 akan dibuang atau dikeluarkan kembali dari dalam tubuh, oleh karenanya orang-orang yang terganggu paru-parunya mempunyai kemungkinan yang besar akan terkena racun CO2. Proses udara didalam tubuh manusia, mirip sekali dengan keberadaan ruh didalam badan, ia menyebar bagaikan darah yang berisi oksigen keseluruh tubuh dan membuatnya hidup, yang ‘dipompa’ oleh qolbi. Begitu oksigen dalam darah tiada maka matilah badan itu, demikian pula bila ruh meninggalkan badan maka wafatlah ia. Karenanya, penggunaan kalimat ‘meniupkan kedalamnya ruh’ pada ayat diatas, menjadi semakin jelas. Tetapi jangan pernah berpikir bahwa, bila jari tangan seseorang terpotong lantas ruhnya ikut terpotong pula, misteri bagaimana ruh meliput jasad masih menjadi rahasia hingga kini. Jadi bisa dipahami adanya kesamaan antara bagaimana cahaya matahari yang membuat udara mengandung oksigen diperlukan tubuh untuk hidup, dan bagaimana badan bisa hidup dengan adanya ruh dan yang membuat ruh hidup adalah Tuhan, meskipun unsur-unsur dzat-nya tidak dapat diketahui dan tidak dapat dilihat dengan mata lahiriyah. Dalam hal ini Allah SWT berfirman : 'Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, .... (QS 24 : 35). Dan para sufi mengatakan bahwa ruh bagai udara, bila ia melewati wewangian ia akan harum dan bila ia melewati bangkai ia berbau busuk. Lalu bagaimana mungkin bisa dikatakan dekat antara makhluk dengan Tuhannya yang Dzat-Nya tidak mungkin bisa diketahui oleh makhluk? Nah, kedekatan manusia dengan Tuhannya bukan merupakan kedekatan laksana benda-benda tadi, melainkan sebagaimana sabda Rasulullah,saw., dalam hadits qudsi : ‘Tidaklah para hamba-Ku dapat mendekatkan diri kepada-Ku, kecuali dengan melaksanakan apa yang telah aku wajibkan kepada mereka. Dan hamba-Ku yang ingin lebih mendekat kepada-Ku tidak akan bergeser dari tempatnya dengan cara mengerjakan amalan-amalan sunat, kecuali sampai Aku mencintainya. Maka apabila Aku telah mencintainya, Aku akan menjadi penglihatannya yang ia pergunakan untuk melihat, dan menjadi lidahnya yang ia gunakan untuk berbicara, dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan.’


Pada saat Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) melakukan safar ke Istanbul, seorang guide memberikan saran bahwa sebaiknya langsung saja pergi berziarah ke makam Abu Ayyub al Anshori.ra., mendengar itu, seorang murid memperhatikan dan melihat bahwa Syaikhnya memberikan isyarat untuk menanggapinya, lalu sang murid berkata : 'Sebaiknya kita ganti pakaian terlebih dahulu, memakai wangian, sebagai rasa hurmat kepada sahabat Rasulullah,saw., yang istimewa ini' Guide berkata : 'Tidak perlu ganti pakaian, toh tidak ada yang melihat.' Sang murid menjawab : 'Allah melihat dan mengawasi dimanapun kita berada.' Guide dengan nada sinis berkata : 'Semua orang juga tahu.' Kisah ini mengindikasikan cara pengenalan terhadap Tuhan yang berbeda-beda, keduanya sepakat bahwa Tuhan mempunyai sifat bashar, yakni melihat segala sesuatu, baik yang telah, sedang dan akan terjadi. Dia melihat yang terjadi secara terang-terangan maupun secara rahasia dan tidak satu pun kejadian di alam ini yang lepas dari penglihatan-Nya. Selain itu penglihatan-Nya tidak dibatasi oleh waktu dan tanpa alat apa pun, sebagaimana makhluk-Nya. Pada peristiwa itu, sang guide meskipun ia mempunyai pengetahuan ('ilm) yang benar tentang Tuhan tetapi tidak mempunyai rasa hurmat, dalam hal ini Allah SWT telah berfirman : 'Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya (QS 006 : 91). Berbeda dengan sang murid, ia mempunyai rasa hurmat yang sedemikian tingginya yang muncul dari perasaan yang benar (hal) terhadap Tuhan, para sufi menyebutnya 'makrifat'. Oleh karenanya, perasaan (makrifat) lebih utama dari pada pengetahuan ('ilm), sedangkan perasaan yang benar (makrifat) adalah hasil dari pengamalan pengetahuan yang benar ('ilm). Seperti istilah-istilah yang telah akrab pada telinga kita, yakni, syariat, tarekat, hakikat dan makrifat, atau riyadhah, mujahadah, musyahadah dan mukasyafah. Jadi, bisa saja orang yang mempunyai pengetahuan tentang Tuhan ('ilm) tanpa menjadi akhli makrifat, seperti sang guide tadi., dan orang yang tidak mempunyai pengetahuan tentang Tuhan ('ilm) pastilah bukan akhli makrifat. Imam Junayd,ra., ditanya : ‘Apakah engkau ingin melihat Tuhan?’ Beliau menjawab : ‘Tidak.’ Mereka bertanya : ‘Mengapa?’ Beliau menjawab : ‘Ketika Nabi Musa,as., ingin, dia tidak melihat-Nya, dan ketika Rasulullah,saw., tidak ingin, dia melihat-Nya.’ Karena, keinginan adalah tabir terbesar yang menyembunyikan kita dari melihat Tuhan, karena dalam cinta eksistensi kehendak diri adalah ketidaktaatan, dan ketidaktaatan adalah tabir. Bilamana kehendak diri lenyap di dunia ini, musyahadat pun tercapai.

Mencintai dan mengenal Tuhan, adalah jalan tersulit untuk ditempuh diatas bumi ini, namun bukan hal yang mustahil. Karenanya, orang-orang yang mengenal-Nya mendapat gelar penghormatan yang begitu tinggi, yakni, makrifatullah atau arifbillah. Penafian terhadap ciptaan dan dirinya telah sempurna, walaupun secara phisik ia berada bersama keluarganya dan manusia lain untuk bermasyarakat, namun ruhnya berada dilangit, ia dalam keadaan muroqobah sepanjang kehidupannya, baik dalam keadaan terjaga ataupun tertidur. Ibarat mencari burung elang ditengah hutan, jika tidak dapat menemukannya, maka bergaullah dengan orang-orang yang akhli mengenali dan menangkapnya, maka ia akan mengantarkan untuk menemukannya. Selama kepatuhan mengerjakan dawamudz dzikri damawun ubudiyah serta kekaguman terhadap Syaikh terus bersarang didalam dada, lalu tidak mengizinkan keberpalingan terhadap sesuatu apapun (fana’u syaikh), maka keridhaan dari seorang Syaikh tergapai, jika telah tergapai, jalan menjadi lapang dan terbentang serta terang berderang, yang akan mengantarkan kepada bertambahnya ketaatan melaksanakan hukum syariat dan rasa kecintaan kepada baginda Rasulullah,saw., (fana’u Rasul) serta peperangannya melawan hawa nafsu menjadi pekerjaannya, disaat itulah ‘kedekatan’ dengan-Nya pun terwujud (fana fillah). Allah SWT berfirman : 'Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (QS 29 : 69). Semoga saja, Allah SWT berkenan mengampuni dan mensucikan kita semua, Ilahi anta maksudi waridhoka mathlubi a’tini mahabbataka wama’rifataka yaa arhamarrahimiin.

1 komentar:

  1. sungguh tulisan yg memberi pencerahan bagi jiwa yg butuh jalan keluar spt sy, semoga penulis diberi kesehatan & dirahmati 4jJ SWT agar dapat selalu membagi ilmu yg 4jJ berikan pd nya..

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.