Rabu, 24 Juni 2009

MUJAHADAT - MUSYAHADAT

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim.
Allah SWT berfirman : ‘Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.’ (QS 029 : 69)
Rasulullah,saw., bersabda : ‘Sejahat-jahat musuhmu adalah jiwa rendahmu, yang berada diantara dua sisimu.’ Dan beliau juga telah menetapkan bahwa peperangan melawan jiwa rendah lebih unggul atau lebih luhur daripada perang suci melawan kaum kafir, karena yang pertama memerangi musuh yang tidak kelihatan dan berada dalam dirinya sendiri, sedangkan yang kedua, musuh yang jelas-jelas bisa dilihat oleh mata inderawi dan berada diluar dirinya, jelas yang pertama lebih sulit dan memerlukan perjuangan yang sungguh-sungguh. Selama manusia mengikuti jiwa rendahnya ia akan menjadi penghuni tetap dunia ini, sedangkan bila ia menentangnya dan memeranginya ia akan mempunyai kedudukan yang tinggi dan meraih kesucian malaikat. Bedanya malaikat sudah dalam kedudukan kesucian tanpa melakukan peperangan, sedangkan manusia harus melakukannya terlebih dahulu, oleh sebab itu manusia yang demikian lebih mulia derajatnya. Kaum sufi menyebut ‘peperangan melawan jiwa rendah atau hawa nafsu’ sebagai mujahadat.
Jalan mujahadat sungguh nyata dan sangat jelas, hampir semua agama menganut doktrin ini, dan telah diamalkan oleh masyaikh terdahulu. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata bahwa : ‘Riyadhat dan mujahadat adalah hak manusia sedangkan musyahadat adalah hak Tuhan.’ Dan dilain kesempatan beliau mengatakan bahwa: ‘Mujahadat bayarannya kontan.’ Yakni, Allah SWT akan membayar dengan segera bagi orang-orang yang yang melakukan tindak mujahadat berupa musyahadat. Sehingga secara kacamata awam bisa terlihat seolah-olah terjadi hukum sebab akibat, atau dengan kata lain bahwa mujahadat adalah tindak upaya manusia sepenuhnya, dan merupakan penyebab langsung dari musyahadat. Karena dalam hal ini tindakan mujahadat oleh manusia selaras dengan kehendak Tuhan, karena Tuhan memerintahkan manusia untuk memerangi hawa nafsunya, sedangkan mengikuti hawa nafsu adalah tindakan yang tidak selaras (menentang) dengan kehendak Tuhan. Lalu yang jadi pertanyaan, apakah dengan daya upayanya sendiri manusia dapat melakukan tindakan yang selaras dengan kehendak Tuhan, dalam hal ini mujahadat? Allah SWT berfirman : ‘Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. dan Barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.’ (QS 006 : 125) Dan Rasulullah,saw., bersabda : ‘Tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah.’
Syaikh Abu Ali ad-Daqqaq,ra., mengatakan bahwa : ‘Barangsiapa menghiasi lahiriyahnya dengan mujahadat, Allah akan memperindah rahasia batinnya melalui musyahadat. Siapa yang permulaannya tidak memiliki mujahadat dalam tarekat ini, ia tidak akan menemui cahaya yang memancar darinya.’
Syaikh Abu Utsman al-Maghriby mengatakan : ‘Adalah kesalahan besar bagi seseorang membayangkan bahwa dirinya akan mencapai sesuatu di jalan-Nya atau bahwa sesuatu di jalan-Nya akan tersingkap baginya, tanpa bermujahadat.’
Murid-murid Syaikh Sahl bin Abdallah al-Tustari,ra., mempunyai pandangan bahwa barang siapa menaklukkan hawa nafsunya sendiri, akan mencapai musyahadat. Karena kitab-kitab suci samawi terdahulu didalamnya terdapat peraturan-peraturan keagamaan, yang menjadi kewajiban atas manusia untuk memenuhinya. Hal ini berarti melibatkan tindak mujahadat, semua menjadi keliru dan sia-sia jika mujahadat bukanlah sebab bagi musyahadat. Bukankah di akhirat nanti, segala sesuatu berkaitan dengan prinsip-prinsip dan sebab-sebab yang terjadi di dunia? Karenanya, ada dua malaikat yang mempunyai tugas berbeda untuk mencatat segala kebaikan dan kemaksiatan yang selalu menyertai manusia. Jika dikatakan bahwa prinsip-prinsip tidak punya sebab-sebab, maka semua hukum dan tatanan berakhir. Kewajiban-kewajiban keagamaan tak dapat dibenarkan, dan makanan juga bukan sebab kenyang dan minuman bukan sebab hilangnya dahaga. Karena itu, menganggap tindakan sebagai sesuatu yang disebabkan, adalah Pengesaan, dan mengingkarinya adalah peniadaan. Ia yang menyatakannya, membuktikkan keberadaan musyahadat, dan ia yang menolaknya, menolak keberadaan musyahadat. Bukankah latihan (riyadhat) mengubah kualitas-kualitas kebinatangan dan menggantikannya dengan kualitas-kualitas yang terpuji?
Yang lain, sebaliknya mempunyai pandangan bahwa tak ada sebab langsung bersatu dengan Tuhan, dan barang siapa sampai kepada-Nya, yang demikian karena kemurahan Tuhan, yang tidak membutuhkan tindakan-tindakan manusia. Oleh sebab itu, mereka berpendapat tujuan mujahadat ialah meluruskan keburukan-keburukan jiwa rendah, bukan mencapai kedekatan yang sesungguhnya, dan karena mujahadat dirujukkan kepada manusia, sementara musyahdat dirujukkan kepada Tuhan, maka tidak mungkin yang satu disebabkan oleh yang lain.
Imam al-Hujwiri,ra., mengatakan bahwa : ‘Mujahadat orang-orang yang Tuhan cintai adalah tindakan Tuhan didalam diri mereka diluar kehendak mereka sendiri, ia menguasai dan melebur mereka, tetapi mujahadat orang-orang yang bodoh, adalah tindakan mereka sendiri didalam diri mereka sendiri dengan kehendak mereka sendiri, ini membahayakan dan menyedihkan mereka, sedangkan kesedihan disebabkan oleh keburukan.’

Ini sudah umum terjadi bahwa bila seseorang melakukan perjuangan dan peperangan maka keberhasilannya akan diakuinya dan kebanggaan merasuk jiwanya, walaupun ia telah bersyukur atas kemenangannya itu, seolah-olah ini suatu kesempurnaan, karena ia telah mensyukurinya dan mengingat kebesaran Tuhan. Nah, keadaan seperti ini bisa menjadi biang keladi hapusnya amal, karena adanya pengakuan dalam dirinya bahwa peperangannya atas upayanya sendiri, inilah 'hawa nafsu' yang tersembunyi, pengakuan inilah yang merobohkan bangunan keimanannya, kebanggaan inilah yang tersulit diperangi. berarti jauh dari mujahadat yang sesungguhnya, karena mujahadat adalah peperangan melawan hawa nafsunya sendiri. Sejatinya syukur ditujukan kepada Allah SWT atas karunia-Nya meneguhkan upayanya bukan kemenangannya saja, lalu bersyukur bahwa ia diberikan kemampuan oleh-Nya untuk bersyukur, sehingga nikmat dari-Nya pun tidak berhenti sampai disini saja, malah semakin lama semakin besar, sebagaimana firman-Nya : ‘Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.’ (QS 014 : 7)
Sesungguhnya hal ini telah diterangkan didalam bab-bab lain terdahulu. Bahwa mencari menjadi sebab dari menemukan dan menemukan menjadi sebab dari mencari. Yang pertama adalah mujahadat untuk tujuan mencapai musyahadat, dan yang kedua adalah musyahadat untuk mencapai mujahadat. Hubungan mujahadat dengan musyahadat sama dengan hubungan karunia Ilahi (taufiq) dengan kepatuhan (tha’at), karena mustahil mencari ketaatan tanpa karunia Ilahi, demikian pula mencari karunia Ilahi tanpa ketaatan. Karenannya tidak mungkin ada mujahadat tanpa musyahadat, demikian pula tidak mungkin ada musyahadat tanpa mujahadat. Manusia dibimbing menuju mujahadat dengan Cahaya Keindahan Ilahi, dan karena cahaya itu menjadi sebab adanya mujahadat, namun demikian petunjuk Ilahi (hidayat) mendahului mujahadat. Semua pemenuhan atas kewajiban-kewajiban keagamaan bergantung pada petunjuk Ilahi (hidayat), dan tindak-tindak mujahadat hanyalah bertindak meneguhkan hujah-hujah Tuhan, bukan menentukan persatuan hakiki dengan Tuhan. Allah SWT berfirman : ‘Kalau Sekiranya Kami turunkan Malaikat kepada mereka, dan orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka dan Kami kumpulkan (pula) segala sesuatu ke hadapan mereka, niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (QS 006 : 111), Nah, yang menjadi sebab keimanan adalah kehendak Allah, bukan bukti-bukti atau mujahadat. Dengan demikian wahyu-wahyu para Nabi dan peraturan-peraturan agama adalah sarana (asbab) untuk mencapai persatuan, tapi bukan menjadi sebab langsung. Jadi mujahadat bagi manusia adalah sarana untuk melahirkan kualitas-kualitas yang tersembunyi dalam diri manusia dan tidaklah akan mungkin lahir kualitas-kualitas yang terpuji itu tanpa tindak mujahadat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.