Sabtu, 20 Juni 2009

WARA

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim.

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah,ra., bahwa Rasulullah,saw., bersabda : ‘Bersikaplah wara, dan kamu akan menjadi orang yang paling taat beribadat diantara umat manusia.’ (Hr. Ibnu Majah, Thabarani dan Baihaqi).
Untuk memasuki istana kesucian dibutuhkan terlebih dahulu kunci berupa ‘taubat yang murni, taubat yang sungguh-sungguh, taubatan nasuha’, barang siapa belum mencapai maqom taubat, maka jelas ia belum memasuki kedalam wilayah kesucian, belum masuk kedalam golongan orang-orang yang bertasawuf (muthasowif). Wara adalah tahapan selanjutnya dalam memasuki wilayah kesucian, dalam perjalan untuk mendekat kepada Allah, SWT.

Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) berkata dalam memimpin pengajian pada hari Sabtu sore : ‘Alhamdulillah wasyukru ala nia’millah, Allah SWT masih menautkan kita semua kedalam kholaqoh dzikir, Allah SWT masih menunjuk kita untuk masuk kedalam salahsatu taman daripada taman-taman surgawi. Kegembiraan dan keberuntungan itu telah berdatang kepada kita, sehingga dalam kehidupan ini, kita meraih ilmu pengetahuan dan memperoleh sebesar-besar pahala. Malaikat akan mencatat dan menjadi saksi atas kebaikan-kebaikan ini, semoga Allah memberkahi kita semua.’
Ustadz Yordanis Salam berkata bahwa Syaikh Abu Nasser as Sirraj,ra., menyatakan dalam kitab al Luma bahwa : ‘Wara adalah menghindari atau menjauhkan diri, yaitu orang yang menghindari hal yang subhat (yang diragukan), apa-apa yang diantara halal dan haram.’ Untuk bisa mengerti dan memahami sesuatu itu diharamkan, diragukan ataupun dihalalkan oleh agama, tentunya penguasaan ilmu tentang syariahnya sudah baik, khususnya tentang fiqih. Dan ini mudah dilakukan, bahkan anak-anak kecilpun sanggup melakukannya. Akan tetapi untuk bisa menolak sesuatu yang haram dan menghidari dari yang diragukan (subhat), apalagi hal ini sangat dibutuhkannya, tidaklah mudah. Karena memerlukan perjuangan mengalahkan keinginan-keinginan diri, peperangan mengalahkan syahwat, inilah yang disebut mujahididin sejati. Sedangkan maqom wara adalah ketegaran seseorang pejalan didalam menghindari hal-hal yang subhat, karena kesadarannya yang terus menerus bahwa ia sedang dalam ‘perjalanan menuju’ kedekatannya kepada Allah SWT. Jadi disini bisa dibedakan antara pengertian wara dengan maqom wara. Jika hal-hal yang subhat dihindarinya selagi ia tidak membutuhkan dan disaat lain tidak dihindarinya lagi, maka ini baru masuk belajar wara, walalupun sudah ada sebuah upaya, namun belum gigih, oleh karenanya ia terperosok lagi, seperti anak bayi yang sedang belajar mengambil mainannya, dan belum bisa disebut masuk kedalam maqom wara awal, karena masih jauh dari ketegaran, meskipun Allah SWT mempahalainya.

Syaikh Ibrahim bin Adham,ra., berkata bahwa : ‘Wara adalah meninggalkan segala sesuatu yang meragukan, segala sesuatu yang tidak berarti, dan apapun yang berlebihan.’
Memasuki maqom wara, adalah bagi orang-orang yang berketat dalam peribadatannya, ketat dalam riyadhah dan mujahadahnya, karena dalam mujahadah, berjuang dalam melawan hawa nafsu, salah satunya adalah warna daripada wara itu. Wara akan selalu menguntit kepada para akhli mujahadah tingkat awal, setiap gerak-geriknya, setiap pandangan-pandangannya adalah sebuah penolakannya. Wara bukan malamat, karena malamat adalah penolakan secara ketat, membuat garis yang ketat. Sedangkan wara adalah penghindaran atas sesuatu yg diharamkan, termasuk bahkan ada keraguan didalamnya ‘subhat’ dan sesuatu yang halal namun berlebihan. Abu Bakar as-Siddiq,ra., berkata : ’Kami dahulu selalu meninggalkan tujuhpuluh perkara yang termasuk kedalam hal-hal yang dihalalkan, karena khawatir terjerumus kedalam satu hal yang haram.’ Diawali dulu dengan apa-apa yang dimakan dan diminum, adakah makanan ini haram atau halal atau meragukan? Rasulullah,saw., mengajarkan bahwa bila ada sesuatu yang meragukan tinggalkan saja. Tidak ada urusan besar atau kecil, enak atau tidak enak, murah atau mahal. Orang bodoh sering berkata bahwa ‘mencari nafkah yang haram saja susah apalagi yang halal,’ini adalah pernyataan orang dungu yg memasang buruk sangka kepada Allah SWT. Kalau menjumpai orang yang seperti itu, jauhi saja, tinggalkan! Orang yang seperti itu akan dimurkai oleh Allah SWT. Wara, didalamnya ada kewaspadaan, segala sesuatu yang dimakan dan diminum adalah sesuatu yg bersih, bersih dari keragu-raguan dan bersih dari keharaman. Sehingga apabila hal ini dilakukan terus menerus diiringi dengan beribadat yang ketat dengan membawa kewaspadaan, maka lahiriyah dan batiniyahnya akan menjadi suci. Sehingga, apabila ada sesuatu barang yang subhat termakan, maka tubuh akan segera memberi isyarat, berupa kegundahan yang didapat. Karena kegundahannya itu, lantas melakukan pertaubatan kepada Allah SWT. Begitulah keadaan kesucian, apabila ada isyarat-isyarat barang subhat, maka hatinya meronta, lalu banyak istigfar maka Allah SWT akan mengampuninya. Begitulah kesucian bisa sudah teraih, akan menolak berbagai macam kekotoran-kekotoran, karena orang-orang yang telah berada dimaqom wara telah melewati maqom taubat. Inilah yang dimaksud tatkala Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Wara adalah menolak segala sesuatu yang merusak kesucian.’
Syaikh Hasan al-Basri,ra., berkata : ‘Bobot sebutir wara yang cacat, adalah lebih baik ketimbang bobot seribu hari puasa dan shalat.’

Lalu bila sudah terbiasa terhadap sesuatu yang bersih, wara menjadi kewaspadaan yang tinggi. Wara akan terbawa terus didalam diri seseorang, meskipun ia berpangkat Waliyullah sekalipun. Karena barang siapa semakin tinggi maqom waranya, maka ia akan menguasai agama-agama. Wara akan membias kedalam dada orang-orang yang sering ngariung dengan seorang Waliyullah, sehingga dalam kehidupannya ia akan berhati-hati dalam mencari nafkah, berhati-hati atas apa yang akan dimakannya, dipakainya, waspada disetiap gerak langkah kehidupannya. Ahmad bin Hanbal,ra., berkata kepada saudara wanita Syaikh Bisyr al-Hafi,qs., : ‘Janganlah memintal disitu, karena cahaya ini berasal dari obor kaum dzahiriyah.’
Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata bahwa : ‘Wara adalah pintu gerbang zuhud.’ Bagi orang awam yang belum meperoleh isyarat dari Allah SWT bila makan makanan yang haram atau seuatu yg subhat. Maka Ia akan dirundung kegundahan disepanjang kehidupannya, karena sesatu yang haram masuk kedalam diri, akan membawa ketidak nyamanan dalam kehidupan. Jadi barang siapa ingin memperoleh ketenangan dalam kehidupan maka harus diisi dengan banyak mendawamkan dzikrullah dan dawamun ubudiyah. Orang yang memasuki maqom Wara mempunyai tanda-tanda dalam kehidupannya, antara lain beroleh rasa kecintaan dan jatuh hati terhadap ciptaan Allah SWT, dan ingin memelihara ciptaan-ciptaan itu dengan baik. Lalu keadaan wara itu ditujukan kepada orang lain, karena kewaspadaannya yang tidak ingin mengotori orang lain, atas tindak tanduknya atas perilakuknya. Walaupun hanya selembar kain, apakah karena selembar kain itu bila masuk kedalam rumah sahabatnya akan mengotori. Kemudian apakah sepatu atau sandalnya ini akan menjadikan najis. Begitulah pakaian-pakaian kesucian wara yang akan terbawa kemana-mana, sehingga orang-orang yang berdekat tidak ada setitik kekhawatiran pun malah mereka akan beroleh kenyamanan. orang wara selalu bertaut kepada Allah ta’ala dalam keadaan apapun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.