Minggu, 08 Agustus 2021

INSAN KAMIL

Bismillahir Rahmaanir Rahiim

“Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un, Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan kepada Allah jugalah kami kembali.” (QS 2 : 156)

Ayat Al Qur’an diatas selalu disebut oleh umat sebagai ungkapan duka atas kehilangan yang dicintainya, akan tetapi sedikit sekali yang mengetahui makna dan memetik hikmahnya. Sesungguhnya ayat ini bukan saja kalimat berita melainkan perintah, kita diingatkan bahwa kepada Allah jugalah kita akan kembali. Dikatakan ‘kembali’ bilamana diketahui asal mulanya, bila tidak, ingin kembali kemana? Sebagai contoh, kita berangkat mendaki gunung Pangrango melalui Cibodas, kita mengetahui Cibodas karena sering berada disana, maka disaat kita sudah berada dipuncak gunung atau ditempat yang dituju ataupun tersasar maka akan dikatakan kembali. Artinya bahwa kembali ketempat yang sudah betul-betul diketahuinya. Oleh sebab itu ayat diatas seolah-olah mengharuskan manusia mengetahui atau mengenal Allah sebagai yang dituju untuk kembali. Akan tetapi kebanyakan manusia merasa cukup mengucap saja tanpa memahami maknanya apalagi berusaha untuk mengenal-Nya, jadilah ayat ini sebagai kebiasaan untuk menyatakan turut berduka atau sebagai cerminan budaya saja. Padahal jika diselami maknanya akan membuat gemetar dan sulit memejamkan mata, karena kita tidak mengetahui dan mengenal jalan kembali disamping usia kita yang sudah tergolong tua, ironisnya kita biasa-biasa saja seolah-olah kita akan hidup seribu tahun lagi, jika keadaannya seperti ini, lalu jika sewaktu-waktu ruh kita dicabut dan meninggalkan jasad, ingin kembali kemana? Sesungguhnya Allah hanya bisa dikenali dengan ilmu bukan jahl dan hanyalah insanul kamil yang mengetahui jalan pulang dan tempat kembali.

Sedikit sekali ulama sufi yang mau menjelaskan pengalaman ruhaninya kedalam bahasa yang mudah dipahami oleh akal manusia. Khawatir disalah pahami dan menimbulkan fitnah, karena pengalaman ruhani tidak memerlukan bahasa melainkan rasa. Salah satunya adalah Imam Ibnu Arabi, qs, yang mengalami kasyaf atau syuhud atau penyaksian akan ketunggalan Tuhan. Belum ada seorang ulama pun seperti beliau yang begitu banyak ulama yang kontra dengan pendapatnya dan tidak sedikit pula yang mendukungnya. Membuktikkan bahwa tidak mudah memahami kitab-kitab karya beliau, sebagai contoh kitab syajartul al kaun, al-tajalliyat, al-wujudiyah, futuhat al-makiyah dan karya master piecenya fushush al-hikam, kesemuanya sangat sulit dipahami, kecuali bila ada ulama shahih yang menuntun dan mendidiknya. Berikut ini adalah setitik makna dari salah satu kitab karya beliau yang berjudul al insanul kamil yang tidak kalah menakjubkan dari kitab-kitab yang lain.

Maksud dari Insanul kamil adalah bersatunya antara insan dan kamil didalam diri manusia. Apakah setiap individu manusia ini bisa disebut insan kamil? Jawabannya sangat jelas yaitu, tidak! Mudahnya begini, Allah ingin dikenal, dan yang hanya bisa mengenal Allah adalah Allah sendiri, oleh sebab itu diciptakan manusia yang seolah-olah merupakan “jelmaannya” ini istilah saja untuk memudahkan pemahaman, seperti yang bercermin dengan yang ada didalam cermin, yang bercermin akan mengatakan bahwa Aku adalah engkau, akan tetapi yang didalam cermin tidak bisa mengatakan bahwa engkau adalah aku, tetapi boleh mengatakan bahwa aku bukan engkau tetapi bukan selain engkau. Sehingga yang bisa mengenal sesuatu yang bercermin adalah yang berada didalam cermin, dengan catatan bahwa cerminnya bersih dan bening. Atau dalam pemahaman lain bahwa Allah dalam kesendirian-Nya ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya. Lalu dijadikan alam ini yang merupakan cermin bagi-Nya, maka ketika Allah ingin melihat diri-Nya, Ia melihat pada alam, penampakkan Diri-Nya melalui penyingkapan diri disebut tajalli atau dalam bahasa lain disebut sebagai jelmaan. Oleh sebab itu tujuan diciptakan insan kamil ini tidak lain untuk mengenal Allah dan diberi tugas mengajak manusia yang tidak kamil untuk dapat mengenal Allah, agar bisa kembali kepada-Nya, sarananya adalah wahyu atau din (agama), oleh karenanya seluruh akhlak nabi Muhammad.saw adalah wahyu atau al Qur’an, sehingga beliau berkata: “Innama bu'istu liutammima makarimal akhlak, sesungguhnya aku diutus untuk membangun akhlak.”

Bahan penciptaan manusia terdiri dari wujud yang terpisah-pisah menjadi wujud yang bersatu. Oleh sebab itu ketika Nabi Adam,as diciptakan, dunia dan akhirat beserta isinya itu sudah lebih dahulu ada, akan tetapi meskipun manusia itu yang terakhir, namun Allah SWT memilihnya sebagai wakil Tuhan untuk mengurus alam semesta beserta isinya. Maka dapat dipahami bahwa bahan ciptaan manusia itu adalah seluruh unsur alam semesta ini, yang berarti manusia memiliki sifat alam semesta yang komprehensif dan universal sebagai bukti bahwa manusia merupakan ringkasan alam semesta, atau dalam bahasa filsafatnya alam semesta ini disebut makro kosmos atau alam besar sedangkan manusia adalah mikro kosmos atau alam kecil. Sebagai contoh bahwa sifat kerbau tidak ada pada anjing dan sebaliknya sifat anjing pun tidak ada pada kerbau, maka jika kerbau dengan anjing berkomunikasi tidak akan pernah sepaham sampai kapanpun, yang satu malas dan yang satu galak, akan tetapi jika anjing dan kerbau melihat manusia, mereka akan menyaksikan bahwa ada sifatnya pada diri manusia dan ada sifat-sifat lain yang tidak mereka kenal. Oleh sebab itu jika alam semesta ini menghadap kepada manusia atau katakan duduk di depan manusia (alam yang kecil ini), mereka akan berdecak kagum dan akan berkata tidak ada diantara kita yang setara dengan manusia. Itu sebab manusia punya kualitas energi atau potensi adaptasi yang tinggi dan eksploitasi yang mumpuni. Maka manusia secara fisik atau secara kauniah telah lengkap.

Disamping manusia itu terdiri dari sifat-sifat sesuatu yang bisa dilihat oleh mata indrawi atau benda, terdapat juga bahan dari sifat yang wujudnya tidak terlihat diantaranya adalah malaikat yang dibuat dari nur (cahaya) dan jin yang dibuat dari nar (api). Oleh karenanya dari segi kewujudan baik wujud yang berbenda dan tidak berbenda semuanya ada pada diri manusia, sehingga jika manusia ingin menjadi iblis maka akan lebih hebat dari iblis dan bila ingin menjadi malaikat akan lebih hebat dari malaikat, begitu pula bila ingin menjadi binatang manapun akan lebih hebat, bisa lebih buas (sabuiyah), bisa lebih serakah (ananiyah), oleh sebab itu sifat makan, minum, kawin, tidur itu adalah sifat manusia yang sama dengan binatang (hayawaniyah). Di dalam Al Qur’an pun dikatakan bahwa: “Ulaaa'ika kal an'aami bal hum adhallu, mereka seperti binatang ternak bahkan lebih sesat lagi.” (QS, Al A’raf :179). Ini menjelaskan bahwa manusia diciptakan dari wujud yang terpisah-pisah menjadi wujud yang bersatu. Timbulah pertanyaan, apakah manusia dalam tahap ini mempunyai kemampuan untuk mengenal Allah? Jawabnya tidak! Meskipun ia melakukan peribadatan, tetapi mesti hanya untuk kemaslahatan dirinya bukan untuk Allah. Walapun mulutnya berkata untuk Allah tetapi jiwanya mengikarinya, semua perbuatan ibadahnya untuk dirinya, sehingga tidak mewarnai ruhaninya. Meskipun paham tentang ilmu kesabaran, ridho, wara, zuhud dan piawai dalam penyampaiannya, akan tetapi bila musibah datang menimpanya maka tidak mampu bersabar, bahkan keluar dari mulutnya cacian, ini membuktikan bahwa ruhaninya belum ada sifat sabar, belum memperoleh tajalli Asma Illahi, belum ada maqomat ruhiyah, tidak mempunyai asror ilahiyah, apalah istilahnya.

Untuk apa dunia diciptakan serta isinya termasuk manusia dan untuk apa akhirat diciptakan termasuk neraka dan surganya? Jawabnya adalah tidak lain hanyalah untuk Insan Kamil. Pemahaman ini berangkat dari ayat al Qur’an “Wama kholaqtul jinna wal insa illa liya'budun, tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (QS, Adz Dzariyat :56) Dan terdapat hadits Qudsi yang dhaif tetapi dipegang erat oleh sufi dan tidak mau dilepas, karena maknanya sangat berkesesuaian dengan seluruh isi al Qur’an yaitu: “Kuntu kanzan makhfiyyan fa ahbabtu an u`rafa fa khalaqtul khalqa li kai u’raf, Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi, lalu Aku ingin dikenal, maka kuciptakan makhluk, agar Aku dikenal.” Mereka mengatakan “Kanallahu walam yakun ma’ahu syaiun,” maksudnya bahwa Allah ada dan tidak ada ‘ada’ yang bersamanya, sesuatu pun tidak ada yang bersamanya, jadi sifat ada hanya Allah, dan wujud Allah ghaib mutlak, tetapi jika tidak ada ‘ada’ maka siapa yang melihat Ada ini, maka karena hanya Dia yang ada berarti Dia ini kanzun makhfi tersembunyi tidak dapat diketahui, maka uridu an u’raf Aku ingin diketahui fa khalaqtul khalqa maka Aku ciptakan makhluk, li kai u’raf agar Aku dikenal. Maka pemahaman penciptaan bagi orang sufi adalah tajalliyat yang artinya jelmaan. Oleh sebab itu tujuan utama penciptaan ini adalah mengenal Allah, karena tadi fa khalaqtul khalqa Aku ciptakan makhluk li kai u’raf agar Aku dikenal, maka liya'budun, untuk beribadah ditafsirkan sebagai liya’rifun, untuk mengenal, sehingga dapat dipahami bahwa yang paling mengenal Allah adalah yang paling serupa dengan-Nya. Siapa yang serupa dengan-Nya?

Rasulullah,saw bersabda : “Innalloha kholaqol Adama ala surotihi, Allah menciptakan Adam berdasarkan citra Tuhan (rupa Tuhan).” Hadist ini mencerminkan bahwa manusia itu adalah sebagai jalan untuk mengenal-Nya, karena dicipta sesuai dengan citra-Nya atau rupa-Nya. Misalnya sifat Tuhan itu hidup (hayat), mengetahui (Ilmu), berkehendak (iradat), berkuasa (qudrat), berbicara (kalam), melihat (basar), mendengar (sama) maka semua sifat ini ada pada diri manusia, oleh sebab itu ada hadist yang mengatakan: “Man arofa nafsahu faqod arofa robbahu, barang siapa mengenal dirinya maka akan mengenal Tuhannya.” Maka manusia ini adalah definisi yang Allah kenalkan, ini Aku, seolah-olah begitu, ini shuroh-Ku, maka manusia Aku pilih menjadi khalifah untuk mengenal-Ku. Jadi tugas manusia sangat jelas harus mengenal dirinya sebagai jalan mengenal Tuhan.

Nah jika insan hayawaniyah belum bisa mengenal Allah, maka kemudian Allah berikan atau tajallikan Asma-Nya, “Wa allama adamal asma, dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama,” (QS 2 : 31) seolah-olah Allah berkata: ‘Ini lo paket untuk mengenal-Ku melalui dirimu, maka hidupmu, suratanmu, takdirmu, lauhil mahfudzmu, ketentuan-Ku tentangmu itu adalah definisi-Ku untukmu, engkau perlu Aku kepada paket pengenalan-Ku pada dirimu.’

Berarti tujuan penciptaan itu mengenal Allah dan yang paling mengenal adalah insan yang paling banyak menerima Asma Illahiyah, yaitu Sayyidina Muhammad,saw maka berarti tujuan diciptakannya alam semesta ini adalah Rasulullah,saw, terdapat hadits yang mendukung pemahaman tentang hal ini : ”Lawlaka lawlaka maa kholaqktul aflaq, kalau bukan karena engkau (wahai Muhammad) tidak aku ciptakan alam semesta ini.” Ilustrasinya begini, kalau dalam film ada peran utama, dan peran utama mesti satu, maka yang berhubungan dengan peran utama disebut peran pembantu, nah kita ini adalah peran pembantu, meskipun demikian peran pembantu akan memperoleh bayaran juga. Peran utama inilah yang menjadi judul kisah hidup ini, yaitu Sayyidina Muhammad,saw, jadi sangat jelas bahwa tujuan penciptaan alam adalah (Insan Kamil) manusia sempurna, dan karena manusia sempurna hanya satu, lalu diciptakan manusia yang tidak sempurna sebagai pasangan, karena kalau tidak ada pasangan, tidak akan diketahui nilai sesuatu itu, misalnya bahagia akan mempunyai makna manakala ada derita, jika kita tidak pernah merasakan derita maka bahagia tidak ada artinya, atau cahaya tidak akan bermakna manakala tidak ada gelap, jika tidak ada gelap maka cahaya kehilangan makna, oleh sebab itu tidak ada dosa atau salah yang abadi, semua itu hikmah, pendosa atau orang yang berbuat salah tidak bisa dicibir dan dikutuk, tetapi harus kembali kepada Allah, atau taubat. Tidaklah mungkin manusia mampu bersabar sebelum Allah tajallikan sifat sabar-Nya kepadanya, dan mustahil manusia bisa memberi sebelum sifat dermawan Allah ditajallikan kepada ruhaninya.

Jadi singkatnya bahwa manusia diciptakan dari wujud yang terpisah-pisah artinya mutafadiddah, mutafariqoh, berserakan, terpisah-pisah di seluruh alam semesta, maka di dalam diri kita ini ada neraka ada surga, ada malaikat ada jin, ada dunia ada akhirat, ada seluruh sifat binatang, sifat tumbuh-tumbuhan yang kelihatan dan tidak kelihatan, itulah manusia berarti sangat mulia, kemudian bagi yang beruntung akan memperoleh tajalli sifat-sifat Mulia-Nya, itu barangkali orang sufi memuja-muja manusia, karena dinyatakan oleh Al Qur’an sebagai khalifatulloh, yang malaikat saja tidak diangkat, berarti manusia inilah makhluk yang paling mulia, lebih mulia dari akhirat serta isinya, lebih mulia dari dunia serta isinya. Gara-gara Allah berkeinginan menciptakan manusia, maka disediakan semuanya itu, berarti dosa dan taat pun Allah ciptakan untuk kita, malaikat dan jin nya juga diciptakan untuk kita, dengan begitu seharusnya kita dapat mengenal kita, karena semua sifat yang ada pada kita ada disekitar kita, maka kita mampu beradaptasi dan mampu mengenal Tuhan, maka misi mengenal Tuhan itu hanya ada pada manusia, itu sebabnya yang menyakiti manusia sama artinya dengan menyakiti Tuhan, meskipun manusia itu non-muslim, karena tidak ada satu manusia pun diciptaan oleh tuhan lain, semuanya Allah yang menciptakan. Dan sama sempurnanya secara fisik antara manusia yang satu dengan yang lainnya atau dengan wali sekalipun. Nah, perbedaannya ada pada kesempurnaan ruhani, untuk itulah syariah agama diturunkan, karena syariah itu bajunya, perilakunya, perilaku hakekat ruhani ini, maka barang siapa memperoleh Asma Ilahiyah didalam ruhaninya, maka makin ringan melaksanakan syariat, karena sesungguhnya hakikat dan syariat itu satu kesatuan, seperti durian dengan baunya, jika hanya ada bau durian sedangkan duriannya tidak ada ini cuma perasa, sehingga manusia yang tidak punya hakekat sama kualitasnya seperti perasa, bahkan kalau kebanyakan jadi penyakit, maka syariat dengan hakikat umpama sinar dengan cahayanya, tidak bisa dipisahkan, oleh sebab itu jika manusia tidak mempunyai hakekat memang berat melaksanakan syariat, karena akan selalu merasa dirinya yang melaksanakannya, akan tetapi apabila mempunyai hakikat, mempunyai asma Ilahiyah dalam rohani itu, maka akan ringan melakukan peribadatan dan akan berkata “araftu rabbi birabbi, aku kenal Tuhan dengan Tuhan” atau “al abid wal ma’bud, yang menyembah adalah yang disembah,” karena ada qudroh ruhiyah, ada kemampuan rohani itulah yang disebut orang hidup didalam Tuhan, ini istilah saja, kalau sudah paham buang istilah ini. Maka berarti manusia ini adalah khasanah alam semesta, didalam diri kita ini tersimpan seluruh sifat alam semesta, maka manusia mudah sekali mengenal Allah, karena ciptaan itu sebuah jelmaan Asma dan Sifat Allah, ilustrinya bercermin tadi, kalau manusia memiliki Asma dan Sifat Tuhan maka kapasitas untuk mengenal Tuhan sangat efektif, sangat mudah, itu sebab Allah tidak membebankan di luar kemampuan kita, kalau Allah membebankan binatang untuk mengenal Allah maka tidak akan mampu, tapi manusia memang tepat, karena manusia ini khasanah alam semesta ini, maka wajah seluruh alam semesta itu menghadap kekhasanah kemanusiaan ini. Itu sebab alam semesta mudah ditundukkan oleh manusia dan setiap bagian dari alam semesta ini akan mengatakan “laisa kamislihi syaiun, tidak ada yang serupa dengannya.” Nah jika alam semesta melihat manusia dan mampu berkata seperti itu, lantaran manusia itu sempurna, maka seharusnya manusia pun mampu berkata yang sama disaat menyaksikan Tuhan.

Orang sufi meyakini bahwa suratan hidupnya dari a sampai z, takdir yang dia alami hari demi hari sampai mati, itu adalah definisi atau penjelasan Tuhan tentang diri-Nya, maka semuamu itu adalah tema penjelasan Tuhan tentang diri Tuhan kepadamu, maka kita tidak boleh ikut campur orang lain, meskipun istri, suami atau anak, kita tidak bisa mengatakan kenapa engkau berbuat buruk, tidak bisa, namun bagaimana menghadapi ketentuan, suratan, takdir, pernyataan, urusan, tajalli, tanazul itu istilahnya banyak sekali, pada diri kita itu, bagaimana untuk mengenalnya bahwa itu semua dari Allah. Dan Allah yang akan memberikan paket ma'rifatnya yang disebut sebagai Asma Ilahiyah (maqomat ruhiyah, akhlak nurkarimah, asror ilahiyah, Nur Muhammad, dan lain sebagainya) kepada manusia yang dipilihnya, dengannya manusia baru sadar bahwa semuanya dari Allah, itulah yang menyebabkan lahirnya akhlak yang sangat sempurna dan tinggi, sama seperti akhlak Tuhan yaitu, memaafkan, mencintai, melupakan, menyayangi, tidak memandang buruk dan lain sebagainya. Jika sudah demikian baru boleh membawa orang lain kepada Allah agar tahu jalan kembali.

Wallahualam bisawab semoga ada manfaatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.