Minggu, 08 Agustus 2021

PUJIAN

Bismillaahir Rahmanirr Rahiim

Alhamdulillah segala puji bagi Allah yang telah menjadikan semua makhluk memuji-Nya, ada yang benar-benar memuji yaitu memuji dengan segenap ruhaninya dan ada yang hanya memuji dengan ucapan lahirnya saja, keduanya tidak ada bedanya jika dilihat dari tampilan jahirnya, padahal perbedaannya seperti jarak timur dan barat. Oleh karena itu memandang orang hanya dari tampilan lahirnya saja dapat terperdaya. Orang memuji disebabkan apa yang mereka sangkakan yang ada pada diri kita, orang yang menyangka kita sholeh mereka akan memuji kita orang sholeh, orang yang menyangka kita dermawan akan mengatakan kita orang baik, sebaliknya orang yang menyangka kita buruk akan menghina kita, orang yang meminta tidak kita beri akan mengatakan kita kikir, jadi persoalannya kita ini orang baik atau buruk? Oleh karenanya jika ada orang memuji jangan lantas tinggi hati dan begitu pula sebaliknya jika ada orang yang membenci lantas jangan balas membecinya.

Jika ada orang memuji kita, maka ternyata yang mulia adalah orang memuji dan bukan kita, karena orang yang memberi itu pastilah punya sesuatu apa yang ingin diberikan dan orang yang tidak punya bagaimana dia mau memberi, dalam hal ini orang itu punya kemuliaan, itu sebab dia memberi kemuliaan dengan memuji orang lain. Cobalah berbaur kepada orang yang tidak punya sifat mulia atau yang sifatnya buruk, maka orang itu akan memburukkan orang, karena yang dia punya keburukan maka yang dia bisa berikan kepada orang lain adalah keburukan pula, bagaimana dia mau memberi kebaikan wong dia tidak punya. Jika Allah membuka apa-apa yang ada didalam diri kita, maka orang akan menghindar, karena keburukan kita sebesar langit dan kebaikan kita hanya sebesar biji sawi. Oleh karena itu, Allah menutup keburukan kita dengan cinta dan hormat-Nya agar orang lain mau berdekat dengan kita. Sekali-kali tanyakan kepada diri kita masing-masing, kenapa ada orang yang benci kepada kita tetapi dilain pihak ada orang lain yang suka sama kita, nah kita ini objek yang dibenci atau yang disukai, dan hal ini terus terjadi selama kita hidup di dunia ini. Ternyata orang itu adalah cermin kita, kalau kitanya baik orang itu baik pula kepada kita, maka kalau ada orang melihat kita lalu merengut itu berarti kita kurang berlaku baik kepadanya, maka rubahlah perlakuan kita kepadanya dan jangan menuntut orang agar merubah perilakunya kepada kita. Maka para sufi mengatakan jangan mencaci orang lain tetapi cacilah dirimu sendiri, karena kita tahu apa yang ada pada diri kita dan kita tidak tahu apa yang ada pada diri orang lain.

Banyak orang jatuh karena pujian dari orang lain, hal itu disebut maghrur, terpedaya oleh perkataan orang, apalagi kalau sampai di aku pujian itu padahal dirinya tidak punya. Hati-hati, begitu dipuji orang dan jika pujian itu tidak ada pada diri kita sendiri, atau dihina orang padahal tidak ada pada diri kita, maka kedua-duanya adalah ujian dari Allah, maka Nabi,saw pernah mengatakan begini ‘lemparkan debu ke muka orang yang memuji,’ artinya ketika ada orang memuji, kita jangan sombong segera lihat kepada diri, kalau memang ada sebagaimana apa yang disangkakan, lantas pujilah Allah, karena semua akhlak mulia itu adalah jelmaan sifat-sifat Allah kepada kita, misalnya sifat sabar, syukur, dermawan, tawakal, wara, ridho dan lain sebagainya, disebut sifatul Jamal. Tanda bahwa orang itu memperoleh akhlak yang mulia, akan selalu merasakan keagungan Allah dan bukan keagungan dirinya, kewujudan Allah dan ketiadaan dirinya, keindahan Allah dan kehinaan dirinya, kebesaran Allah dan kekerdilan dirinya, jika seorang ulama mengaku mempunyai akhlak mulia tetapi sombong itu pengaku-ngaku, tinggalkanlah dia.

Maka jadilah kamu pencaci dirimu, ini kan perintah, memang mula-mulanya kita mesti melatih diri. Ketika kita mendapat musibah, kita ingin sabar tetapi tidak bisa, oleh karenanya kita ingin mempunyai sifat sabar tetapi tidak punya, jika tidak dapat, lalu bagaimana mau menyabarin, meskipun kita mengetahui bahwa setiap ada musibah Allah menyuruh sabar, sebagaimana dalam Al Qur’an : “Yā ayyuhallażīna āmanuṣbirụ wa ṣābirụ wa rābiṭụ, wattaqullāha la'allakum tufliḥụn, Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung." (QS Ali Imran: 200) Ayat tersebut menyuruh kita sabar dan sabarilah, bertahanlah, nah maka cobaan atau musibah itu adalah bentuk tarbiyah dari Allah kepada kita agar mempunyai peluang mendapatkan sifat sabar. Faktanya untuk sabar itu teramat sulit, misalnya fitnah yang menimpa kita, atau cacian dan hinaan, maka suasana jiwa lantas berubah, jantung berdetak keras, mata dan telinga pun berubah, persis seperti proses kimia, maka ada istilah pegangan apa pun bisa patah saking menahan amarah. Sayyidatuna Aisyah,ra disaat diliputi rasa cemburu berkata bahkan telor ditangan pun bisa matang, tatkala Nabi,saw memuji-muji Sayyidatuna Khodijah,ra dihadapannya. Karena hakikatnya, kita itu tidak ada, karena kita ini mungkin dan karena kita ini ilusi atau katakan kita hanyalah majla Allah, maka sifat-sifat mulia atau akhakul karimah adalah hak Allah untuk memberikan kepada siapa yang Dia kehendaki, inilah pendidikan tauhid dan sebetulnya aqidah, tauhid dengan akhlak itu serupa meskipun tidak sama.

Orang kalau sudah beriman bertauhid kepada Allah kalau dipuji dia malu, karena sesungguhnya sifat Allah Yang dipuji, ya Allah sifat yang Engkau berikan kepadaku dia memujinya, padahal saya tidak punya apa-apa, begitulah bahasa jiwanya yang otomatis keluar. Nah itulah sifat seorang mukmin, mukmin di sini adalah mukmin yang Hakiki, mukmin yang kamil. Seumpama kita diberi perintah oleh raja untuk membagi-bagi sandang dan pangan, lalu kita membaginya maka yang dipuji kita padahal dari sang raja. Kita mengetahui itu bukan punya kita, maka kita tidak akan mengaku, seharusnya seperti itu. Sedangkan para wali ketika dia mempunyai sifat baik lantas dia berbuat baik, dia menyadari betul bahwa itu sifat Allah, artinya orang itu selalu bersama Allah, kalau orang selalu bersama Allah bagaimana mau mengaku dirinya kecuali Allah.

Para Aulia Allah itu ingat Allah terus menerus tidak terputus, kenapa? Karena baginya durasi ingat didunia ini itu cuma satu detik, karena pemahamannya tentang kehidupan ini seperti film, bahwa cerita film dilayar itu berasal dari jutaan klise yang diputar oleh proyektor, baginya durasi hidup itu seperti satu klise, begitu proyektor dihidupkan maka klise-klise itu akan berputar menjadi film kehidupan. Itu sebab dia selalu ingat, karena di dunia ini waktunya tidak panjang. Contohnya begini orang sholat dari takbir sampai salam, mustahil bagi orang biasa mampu mengingat Allah, karena orang yang memang tidak biasa dzikir tidak ingat maksudnya bukan dzikir ucapan, maka dia tidak dapat membayangkan bagaimana shalat dalam keadaan terus menerus mengingat Allah, itu tidak akan terbayangkan yang memang bukan ahli dzikir, tetapi jangan berprasangka bahwa jika tidak bisa melakukan maka hal itu tidak ada, ini menyalahi aqidah. Itu sebab kata orang sufi kalau aku lupa kepada Allah rasanya kafir, kenapa karena dosa melanggar syariah akan diampuni oleh Allah, tetapi jika dosa karena tidak ingat kepada Allah itu tidak ada ampunannya, pahami hal ini dan jangan salah paham. Karena ingat itu Allah yang memberi dan kalau Allah tidak memberi ‘ingat’ dimana mencarinya, gantinya apa, karena detik berikutnya adalah ingat untuk hak waktu itu, jika shalat karena ketiduran dan terlewat maka kita bisa ganti di waktu lain, tetapi kalau ingat bagaimana, seperti tertinggal kereta yang tidak ada kereta selanjutnya, karena ingat itu hak waktu, itu sebab dikatakan sufi ibn waqt (putra waktu), dia bisa ingat sepanjang-panjangnya, dia hanya ingat kepada Allah. Di jawa tengah ada istilah yang penting ingat, sebenarnya ini bukan agama eling, yang penting eling tapi tidak shalat, tidak puasa, bukan seperti itu, tetapi itu hakikat ibadah. Mereka ingat 24 jam atau selama dia tidak tidur, dia ingat terus sampai dia tidak terucap dalam bibirnya dzikir, orang kalau sudah cinta tidak lagi menyebut namanya, tetapi otomatis ingat, makanya kata mereka bagaimana aku mengingatmu sedangkan aku tidak pernah lupa kepadamu. Adapun yang kita lakukan dengan menyebut ismudzat Allah Allah atau kalimat thoyibah laa ilahaa illallaah itu sedang merapikan pikiran, melatih konsentrasi agar tidak melantur kemana-mana, karena hati memang senang ngelantur kemana-mana meskipun sedang mengucap. Maka ketika dipuji dia tidak menyaksikan bawa itu punya dia, karena dia punya Allah. Sama juga orang tadi yang bagi-bagi duit, rajanya datang mendapinginya, orang kan tidak kenal dengan rajanya yang dikenal kan dia, yang dipuji-puji dia, yang diangkat-angkat dia, rajanya dibiarkan saja, coba bayangkan hal ini jika menimpa kita, seketika kita akan malu dan mengatakan bukan aku, bukan aku, bukan aku, begitulah perasaan para Aulia ketika dipuji, itulah adab yang tinggi, inilah yang ingin di bentuk oleh tasawuf di dalam diri umat Islam agar menjadi hamba Allah bukan menjadi Tuhan.

Wallahualam bisawab semoga ada manfaatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.