Bismillahir Rahmaanir Rahiim
Burdah atau khirqoh adalah dua kata yang sama artinya, sekaligus mempunyai makna yang berbeda. Burdah bisa menunjuk kepada jubah kebesaran khalifah yang menjadi salah satu atributnya (kekhalifahan). Dikenakan bilamana ada acara kenegaraan dan acara-acara resmi lainnya, agar bisa tampak berbeda dari pemimpin-pemimpin negara lainnya, pejabat-pejabat pemerintahannya, dan kelihatan berwibawa dihadapan sahabat-sahabatnya, teman-teman dan rakyatnya. Burdah juga bisa bermakna, sebuah qasidhah yang dipersembahkan kepada Nabi,saw. Sedangkan khirqoh atau burdah dalam tradisi kesufian, bermakna penyematan jubah oleh seorang mursyid kepada muridnya, sebagai tanda bahwa ia telah diridhoi gurunya.
Para sultan terdahulu percaya, bahwa merawat dengan baik dan mengenakan burdah, jubah mulia Nabi,saw., (khirqa-i syarif), akan mengantarkannya kepada kejayaan. Dan demikian pula dengan membaca burdah (qasidhah) dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit, melapangkan dada dari kesempitan, dan melancarkan rizki, serta menjauhkan musuh dan terhindar dari orang-orang yang iri dan dengki. Sejarah mencatat bahwa Nabi,saw., pernah memberikan burdah kepada seorang penyair yang bertaubat. Atas karyanya yang fenomenal, berjudul banat su’ad (Su’ad telah pergi), berisi syair sanjungan kepada Nabi,saw., dan para sahabatnya, terdiri dari 59 bait ada yang mencatatnya sebanyak 58 bait. Tadinya ia kafir dan banyak membuat syair yang menentang Islam dan pemeluknya. Orang yang sangat beruntung itu bernama Ka’ab Ibn Zuhair,ra. Tidak saja jubah yang ia terima, bahkan tangannya pernah bersentuhan dengan tangan Nabi Muhammad,saw., yang suci. Setelah ia wafat, Muawiyah bin Abu Sufyan (sultan pertama dari dinasti umayyah) membeli Jubah dimaksud dari akhli warisnya dengan nilai yang sangat tinggi, dan selalu dipakainya dalam acara kenegaraan. Tradisi ini berlangsung hingga kesultanan Abbasiyah dan berakhir pada Kesultanan Ottoman. Burdah ini telah dipakai oleh para sultan atau penguasa Islam hampir 1.300 tahun lamanya. Sangat disayangkan setelah usai perang dunia pertama dan kedinastian Ottoman berganti menjadi republik, burdah ini tidak pernah dipakai lagi dan tersimpan rapi di Meseum Topkavi, Istanbul, Turki. Nasib burdah ini, persis seperti kejayaan Islam yang tinggal menyisakan cerita-cerita panjang, pemeluknya saling berebut ketenaran dan merasa benar sendiri, naluri dikedepankan sedangkan ruhani terpenjara rapat didalam hati. Semoga saja dikemudian hari, kepala negara Turki berkenan memakainya kembali, khususnya diacara kenegaraan agar dunia bisa melihatnya, bahwa Islam akan tetap besar dan murni sampai akhir zaman nantinya, agar Islam bisa bangkit kembali layaknya dinasti Ottoman terdahulu yang hampir menguasai setengah dunia.
Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) nyaris pingsan saat melihat burdah yang dimuliakan ini, tak kuasa menahan sebuah rasa yang datang secara tiba-tiba, beliau berlari kecil meninggalkan murid-muridnya dan menangis dengan kerasnya. Didekatnya ada pakaian yang biasa dipakai oleh Sayyidah Fatimah,ra., dan kedua puteranya, Sayyidina Hasan,ra., dan Sayyidina Husain,ra. Tidak masuk akal, anak dan cucu dari penguasa dua dunia, pemimpin para manusia dan Jin serta pemimpin Arab dan bukan Arab, mengenakan pakaian yang teramat sederhana. Seorang salik bahkan mendekap wajahnya karena malu disaat melihatnya, lalu berkata kepada salik yang lain : ‘Sungguh mengagumkan mereka yang diberkahi itu, pakaiannya amatlah sederhana,namun indah dan kokoh keimanannya. Sedangkan kita sebaliknya, memakai pakaian yang indah-indah namun lemah keimanan kita.’ Lalu ia menangis tersendu-sendu dan hampir-hampir ruhnya lepas dari jasadnya. Orang-orang yang hadir terheran-heran melihat kejadian yang demikian itu.
Peristiwa pemberiaan burdah oleh Nabi,saw., menjadi inspirasi bagi para sufi untuk menulis puisi, guna mengekspresikan rasa yang meluap-luap didalam dadanya atas kecintaan dan kekagumannya kepada Nabi,saw., yang sangat dihurmatinya itu (fana’u Rasul). Nyaris tidak ada kitab yang ditulis para sufi melainkan didalamnya terdapat puisi-puisi. Tidak ada bahasa yang dapat digunakan untuk mewakili pengalaman ruhani, alasan inilah mengapa mereka menuangkan dalam bentuk syair-syair yang elok. Yang tentunya hanya bisa diartikan dengan tepat oleh orang-orang yang menapaki jalan kesucian. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Bahasa ruh berbeda dengan bahasa alam syahadah, oleh karenanya isyarat dalam mimpi yang dialami para pejalan wajib hukumnya disampaikan kepada gurunya, syaikhnya, guna mendapatkan penjelasan yang memadai.’
Kisah, di Mesir kira-kira tahun 608 H/1213, seorang yang berperawakan kecil dan kurus, mempunyai talenta menulis pujian berupa syair yang indah. Keakhliannya digunakan untuk mencari nafkah dengan menulis pujian kepada para pejabat. Allah SWT membuatnya terkena penyakit lumpuh total, dan harus terbaring ditempat tidur. Dalam keadaan yang demikian, ia baiat kepada tarekat Sadziliyah dibawah bimbingan seorang mursyid yang agung, Syaikh Abu al-Abbas al-Mursyi,qs., murid dari Imam Abu al-Hasan al-Sadzili,qs. Ia melakukan dengan ketat latihan-latihan spiritual, riyadhah dan mujahadah dilakukannya dengan gigih meskipun ia lumpuh. Di saat rasa kecintaan kepada Nabi,saw., meluap-luap (fana’u Rasul), beliau tuangkan didalam puisi yang demikian indahnya, yang diberi judul Al Kawakib ad-Durriyyah fi al-Madh alaa Khair al-Barriyah (Bintang-bintang gemerlap tentang pujian terhadap sang Manusia Terbaik). Suatu malam beliau bermimpi, ubun-ubun kepalanya diusap oleh Nabi,saw., dan menyelimuti tubuhnya dengan burdah. Penghargaan yang sedemikian tingginya itu, diperolehnya atas karyanya tentang puji-pujian dalam bentuk puisi itu. Ajaib, keesokan paginya segala macam penyakitnya lenyap, beliau dapat berjalan layaknya anak muda. Masyarakat disana menjadi gempar, dan tersiarlah ihwal mimpinya itu. Sejak saat itu, kitab beliau lebih dikenal dengan nama burdah. Lalu kaum muslimin percaya bahwa, dengan membaca burdah dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit, baik penyakit lahiriyah ataupun penyakit batiniyah. Orang yang sangat mulia dan ditakdirkan menulis burdah itu, bernama Abu Abdillah Syaraf ad-Din Muhammad Ibn Sa’id Ibn Hammad Ibn Muhsin Ibn Abdillah Ibn Shanhaj Ibn Mallal al-Bushiri, dikenal dengan nama Imam Bushiri,qs. Di lingkungan tarekat Sadziliyah, beliau hidup sejaman dengan Syaikh Ibnu Athaillah,qs., penulis karya agung al-Hikam.
Di Indonesia burdah sangat dikenal luas, tidak saja masyhur dilingkungan pesantren, melainkan juga di sejumlah besar kalangan masyarakat. Karena syair-syairnya indah, berisi shalawat dan kisah tentang keagungan Nabi,saw., serta sarat dengan pelajaran tasawuf, khususnya tentang nafs. Kakek buyut Syaikhuna dari garis ibundanya, mendapatkan gelar dari masyarakat di Banjarsari, Jawa Barat sebagai Ajengan Burdah, karena begitu piawainya melantunkan burdah ini dan karomahnya sangatlah menonjol. Jumlah syair burdah 163 bait, setiap baitnya berkahir dengan huruf ‘mim’. Dikalangan komunitas pesantren mempunyai tradisi yang sudah mendarah daging dalam pembacaan sejarah hidup (tarikh), shalawat dan puji-pujian terhadap Nabi Muhammad,saw., yang mereka sebut dengan istilah syi'iran. Semua sufi sepakat bahwa didalamnya terkandung nilai sastra yang sangat tinggi. Keistimewaan lain dari burdah ini, adalah dapat dibaca dengan irama tertentu, dimana masyarakat Indonesia gemar akan bunyi-bunyian yang seperti ini. Setiap malam Jum’at syair ini dibaca secara berjamaah dengan nada yang indah. Masyarakat kota pun masih membacanya, khususnya bila menempati rumah baru, atau adanya bencana banjir, atau penyakit yang mewabah, maka burdah ini dibaca sebagai wirid ataupun hizib yang diyakini mujarab. Kepopuleran burdah ini hanya bisa disamai dengan Qashidah Barzanji, Qashidah Diba'iyyah, Qashidah Syaraf al-Anam dan Dalail al-Khairat. Beliau wafat di Iskandaria dan dimakamkan di dekat bukit al-Mughaththam tidak jauh dari Cairo, Mesir. Makam beliau berdekatan dengan makam Muhammad Ibn Idris asy-Syafi’i atau dikenal dengan nama Imam Syafi’i.ra. Jika makam Imam Syafi’i,ra., menyimpan qadam syarif (jejak kaki yang mulia) atau kadang disebut qadam Rasul, maka makam Imam Bushiri dipenuhi dengan kaligrafi burdah.Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya)pernah berziarah ke makam kedua Imam yang mulia ini. Bersama sahabatnya melantunkan ayat-ayat suci al-Qur'an serta dzikir jahr (dzikir yang berbunyi) dihadapan pusara Imam Syafi'i, sedangkan di hadapan pusara Imam Bushiri, beliau terlihat diam seribu bahasa, dan hanya meninggalkan butir-butir air mata sucinya sebagai hahasa syair yang tinggi nan elok yang dihadiahkan teruntuk Imam Bushiri.qs.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.