Senin, 03 Agustus 2009

MENDENGAR (SAMA) - NYANYIAN - MUSIK

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS 017 : 36)

Seorang salik terkejut melihat acara tv yang menampilkan nyanyian, musik dan tarian untuk memperingati mi’raj. Ada yang mengatakan bahwa 'agama’ sebagian besar kaum muda saat ini adalah Nyanian dan musik, terlihat mereka sangat patuh ketika mengikuti acaranya, apa yang diperintah oleh penyanyinya, maka seketika diikutinya. Lirik dan syairnya dihafal dan didendangkan terus menerus baik dari lisannya maupun hatinya, sebagaimana orang-orang yang beriman melantunkan ayat-ayat suci al-Qur’an. Bukankah modal utama suatu agama adalah kepatuhan? Allah SWT berfirman : “Dan (ingatlah), ketika aku ilhamkan kepada pengikut Isa yang setia: ‘Berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada rasul-Ku’. mereka menjawab: Kami telah beriman dan saksikanlah (wahai Rasul) bahwa Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang patuh (kepada seruanmu)". (QS 005 : 111) Mereka rela menunggu berjam-jam dan mengeluarkan uang guna menghadiri acara musik, mereka berjingkrak sambil meneriakkan yel-yel. Pakaian penyanyinya seronoh, sambil melenggak lenggokan badannya dan berjalan seperti unta. Bahkan, sang penyanyi berteriak, tahukah kalian hari apa ini? dijawab ‘mi’raj’! Pengikut mereka teramat banyak, semakin hari semakin bertambah jumlahnya, tidak luput wanita-wanita muda bahkan tua yang memakai jilbab, mereka pun larut dalam pesta musik ini. Sungguh ironis, mi’raj diperjuangkan dari mengekang syahwat dan jiwa rendah serta penafian terhadap eksistensinya, sedangkan dimasa kini, peringatannya justru mengumbar birahi. Seolah-olah mereka merasa telah berbakti kepada Tuhan dan mencintai Nabinya dengan cara yang demikian itu. Padahal sebaliknya, itulah kelompok yang menghormati Rajanya sambil mengepalkan tangan, itulah seruling-seruling syaithoon diatas dunia ini. Jika bermain musik, menyanyi dan menari dapat membersihkan jiwa, tentunya Rasulullah,saw., memerintahkan orang-orang yang beriman untuk melakukannya. Lalu apakah mendengar musik yang demikian itu diperbolehkan oleh agama?

Siapapun yang mendengarkan nyanyian dan musik akan memperoleh kesenangan, kecuali orang-orang yang rusak atau terganggu pancainderawinya. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) mengatakan bahwa : ‘Mendengarkan alat-alat musik bisa diperbolehkan dan bisa juga dilarang, tergantung siapa penunggangnya, seperti Kanjeng Dalem Cikundul, disiang hari beliau meminta diperdengarkan musik cianjuran, begitu mendengarnya, dipakailah bunyi-bunyian itu untuk muroqobah kepada Tuhannya, lalu langit berubah menjadi gelap dan binatang-binatang malam pun bersuka cita, bernyanyi layaknya malam hari.’ Seperti juga yang dialami oleh Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) disaat usia muda, tatkala beliau mendengar suara-suara hujan, hati beliau bergetar karena gembira, kegairahan menjadi semakin kuat, dan gelora ekstase tampak dan bentuk-bentuk eksistensi hilang, sehingga beliau keluar rumah dan melakukan sujud berulang-ulang meskipun dalam keadaan hujan deras dan tanah beliau pijak menjadi lumpur. Tetangga yang melihatnya (Ibu. Lubis namanya, dan setelah 30 tahun berselang, seorang salik berjumpa dengannya disaat berhaji, sambil jari telunjuknya diarahkan kepada Syaikh dan Ibu Lubis berkata ‘itu anakku!’) mengatakan bahwa ‘Cecep (nama Syaikh waktu muda)sudah gila’. Jadi bentuk tarian ataupun gerak gerik para syaikh dikala ekstase adalah gelora perasaan yang sangat kuat kepada Tuhannya, sama sekali bukanlah tarian dan gerak gerik biasa melainkan suatu peluruhan jiwa.

Jika mendengar untuk tujuan yang menyimpang dilarang, dan jika jiwa tidak menjadi buruk karenanya, diperbolehkan. Ada sebuah riwayat bahwa Aisyah,ra., berkata : ‘Seorang gadis budak sedang menyanyi dirumahku ketika Umar,ra., minta izin untuk masuk. Begitu mendengar langkah Umar,ra., gadis budak itu lari. Umar,ra., masuk dan Rasulullah,saw., tersenyum. ‘Ya Rasulullah,’ seru Umar,ra, ‘Apa gerangan yang membuatmu tersenyum?’ Rasul menjawab, ‘seorang gadis budak sedang menyanyi disini, tapi ia lari begitu mendengar langkah kakimu.’ ‘Aku tak akan meninggalkan rumah ini, sampai aku mendengar apa yang Rasul dengarkan,’ kata Umar,ra. Lalu Rasulullah,saw., menyuruh gadis itu agar kembali. Gadis itupun segera menyanyi lagi dan Rasulullah,saw., mendengarkannya. Syaikh Abdur Rahman Al-Sulami,ra., mengatakan bahwa : ‘Yang diinginkan kaum sufi dalam mendengarkan ialah untuk memperoleh manfaat-manfaat ruhani, tidak seperti orang awam. Kebebasan itu cocok bagi binatang, tapi manusia yang terkena kewajiban-kewajiban agama harus mencari manfaat ruhani dari tindakan-tindakan mereka.’ Imam al Hujwiri,ra., sedang berada di Merw, salah seorang pemuka hadis (Ustadz) mengatakan : ‘Aku telah menyusun sebuah karya mengenai dibolehkannya mendengarkan (sama).’ Beliau menjawab : ‘Suatu bencana besar bagi agama jika Ustadz menghalalkan suatu hiburan yang menjadi akar bagi semua kerusakan akhlak.’ Lalu sang ustadz bertanya : ‘Jika engkau tidak menghalalkannya, mengapa engkau melakukannya?’ Beliau menjawab : ‘Kehalalannya tergantung pada keadaan-keadaan. Tidak bisa dinyatakan secara mutlak. Jika mendengar musik menghasilkan pengaruh yang baik pada jiwa, maka itu halal. Diharamkan jika pengaruhnya tidak baik.’

Satu-satunya perintah untuk semua orang dan jin, baik yang beriman ataupun kafir adalah mendengarkan Kalam Allah. Karena Al-Qur’an mempunyai kualitas yang menakjubkan sehingga orang tidak pernah bosan membaca dan mendengarnya. Sehingga orang yang mendengarkan bacaan Al-Qur’an akan memperoleh manfaat bagi kalbu, pikiran dan kenikmatan bagi telinganya. Allah SWT berfirman : ‘Dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.’ (QS 007 : 204). Sebagaimana orang-orang Qurasy yang kagum terhadap bacaan shalat yang dilakukan oleh Rasulullah,saw., yang mereka dengar secara sembunyi-sembunyi dimalam hari. Bahkan Utbah pingsan ketika mendengar Rasul membaca sebuah surat Al-Qur’an, dan berkata kepada Abu Jahl : ‘Aku yakin bahwa ini semua bukanlah kata-kata makhluk.’ Para Jin juga datang dan mendengarkan Kalam Allah dan berkata : ‘Sesungguhnya kami mendengarkan suatu bacaan yang mengaggumkan, yang menunjuki kejalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya, dan kami tidak akan mempersekutukan apa pun dengan Tuhan kami.’ (QS 072 : 1-2) Diriwayatkan bahwa Imam Sybli,ra., mengatakan, setelah mendengar ayat : ‘Dan ingat kepada Tuhanmu apabila engkau lupa’ (QS 018 : 24) Ingat kepada Allah membuat lupa kepada diri sendiri dan seluruh dunia berhenti ketika mengingat-Nya. Kemudian ia berteriak dan jatuh tak sadarkan diri. Zurarah bin Abi Awfa,ra., salah seorang sahabat terkemuka Rasul, selagi ia memimpin shalat berjamaah, membaca salah satu ayat Al-Qur’an dengan keras, lalu meninggal dunia. Ahmad bin Abil Hawari,ra., meriwayatkan kisah berikut ini : Aku melihat seorang pemuda di padang pasir, memakai jubah kasar, berdiri dimulut oase. Ia berkata kepadaku : ‘Wahai Ahmad, engkau datang pada saat yang baik, karena aku perlu mendengarkan Al-Qur’an, agar aku bisa melepaskan jiwaku. Bacalah satu ayat kepadaku.’ Tuhan mendorongku untuk membaca : ‘Sesungguhnya, orang-orang yang mengatakan,’Allah adalah Tuhan kami, dan kemudian meneguhkan pendirian mereka.’ (QS 041 : 30). ’Wahai Ahmad,’ katanya, ‘demi Tuhannya Ka’bah, engkau telah membaca aya yang sama seperti yang malaikat bacakan kepadaku baru saja,’ dan setelah berkata-kata begini, lepaslah jiwanya. Abu Ja’far Juhani,ra., seorang tabi’in terpandang, ketika mendengar ayat yang dibacakan Shalih Murri,ra., kepadanya, menangis keras dan lalu meninggal dunia. Ibrahim Nakha’i,ra., meriwayatkan bahwa selagi ia melewati sebuah kampung di Kufah, ia melihat seorang wanita tua sedang shalat, karena tampak nyata tanda-tanda kesucian pada wajahnya, dia menunggu sampai wanita tua itu selesai shalat. Kemudian ia memberi salam kepadanya agar memperoleh berkahnya. Wanita tua itu berkata kepadanya : ‘Tahukah engkau Al-Qur’an?’ Dia menjawab : ‘Ya.’ Perempuan tua itu mengatakan : ‘Bacakan satu ayat.’ Dia pun membacanya. Perempuan tua itu pun menjerit mendengar Al-Qur’an dibaca dan mengantarkan jiwanya untuk melihat Tuhan.

Selepas shalat magrib, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata kepada murid-muridnya : ‘Semua sepakat bahwa bacaan Ustadz Marwan sebagai Imam shalat hari ini sangatlah indah, akan tetapi barang siapa hanyut dalam mendengarnya maka shalatnya sampai kepada sang Imam, begitu pula sang Imam bila hatinya mengharapkan pujian dari makmum atas keindahan suaranya, maka shalatnya hanya sampai ke makmum bukan kepada Allah SWT.’ Para murid yang mendengarnya tertunduk sedih, meratapi keadaannya, teramat sulit memang untuk mencapai shalat yang ‘khusyu’, meskipun mendengarkan ayat-ayat suci itu pun sudah merupakan kebaikan. Mendengar bacaan sang Imam bisa membuat salik terpecah kosentrasinya, terkadang tertuju kepada Allah SWT dan terkadang tertuju kepada bacaan sang Imam, dilain pihak pengaruh baik dalam mendengar bacaan shalat adalah ‘menunggangi’ suara itu untuk terbang mendekati Allah SWT, namun keadaan ini hanya dimiliki oleh para syaikh saja. Sehingga genaplah pelaksanaan mendirikan shalat guna mengingat Allah SWT, yakni : ‘Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.’ (QS 020 : 14)

Sebagaimana pengaruh baik dalam mendengarkan Kalam Allah, maka ada pula pengaruh buruk dalam mendengar nyanyian dan musik. Bahkan seseorang setelah mengambil air wudlu pun masih sempat-sempatnya mendendangkan lagu-lagu disaat menuju keruang shalatnya. Ini sebuah bukti bahwa nyanyian dan musik itu melekat kepada jiwa, karena memang jiwa sangat senang terhadap hal ini, dan dijadikannya nyanyian dan musik itu sebagai ornamen-ornamen bangunan istana jiwanya dan di pihak lain tanpa disadarinya qolbu menjadi gelap karenanya. Itulah kehebatan indera pendengaran, karena yang pertama kali dilakukan oleh manusia, sebelum maupun sesudah dilahirkan di atas dunia ini adalah ‘mendengar’, sebagaimana firman-Nya : ‘Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)", (QS 007 : 172) Untuk menghilangkan ornamen-ornamen buruk yang melekat pada jiwa dan mengotori qalbu, maka Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering berkata sebelum melakukan dzikir jahr dengan suara yang keras, bahwa : ‘Allah Maha Mendengar, Dia tidak butuh suara keras ataupun lembut dari manusia, akan tetapi hati ini yang sudah kadung tuli, oleh karenanya dilakukan dzikir Jahr, dzikir dengan suara keras agar hati ini menjadi bersih dan mampu mendengar ke-esa-an Tuhannya, ‘Laa Ilahaa Illallaah’.

Mendengarkan nyanyian dan musik membuat jiwa bergelora, menjadi benar (haqq) jika keadaan jiwa seseorang telah mencapai ‘ketenangan’, jiwa yang tenang ‘muthmainah’, karena semua yang didengar adalah makna ruhainya dan menjadi palsu (bathil) jika keadaan jiwa seseorang masih menyerupai binatang, jiwa yang mengajak kepada kejahatan (nafsul imarah) dan jiwa yang menyesali dirinya sendiri (nafsul lawamah), karena yang didengar adalah makna materialnya saja. Sehingga untuk kehidupan ruhani dan karena keadaan jiwa kita masih buruk, maka yang dicari dalam mendengar adalah bukan suara-suaranya melainkan pemilik suaranya. Jika suara itu berasal dari manusia kebanyakan maka tinggalkan saja, karena subtansi yang buruk akan menjadi buruk pula bagi yang mendengarnya, dan jika suara itu keluar dari mulut seorang Syaikh yang diberkahi maka dengarkan dan simaklah, karena akan mencahayai keruhanian. Hal tersebut tercermin dalam kisah nabiyullah Dawud,as., yang telah dikaruniai suara dan tenggorokan menjadi seruling yang merdu, sehingga semua binatang ternak, binatang liar berdatangan untuk mendengarkannya, serta air berhenti mengalir dan burung-burung yang terbang berjatuhan. Orang-orang yang berkumpul disekitarnya dipadang pasir tidak makan apa-apa selama sebulan. Para bayi berhenti menangis dan menyusu. Banyak orang yang mati disebabkan perasaannya terhanyut, jumlah yang mati pernah mencapai tujuh ratus orang gadis dan dua belas ribu orang tua. Kemudian Allah SWT memperkenankan iblis melakukan tipu muslihat dengan memperagakan mandolin dan seruling serta mengambil tempat berhadapan dengan tempat dimana nabi Dawud,as., sedang menyanyi. Pendengar suara nabi Dawud,as., lalu terbagi menjadi dua golongan, orang yang diberi rahmat dan orang yang dilaknat. Orang-orang yang dilaknat mendengarkan musik iblis dan sementara orang-orang yang menerima kebahagiaan tetap mendengarkan suara nabi Dawud,as.
Imam Sybli,ra., berkata : ‘Mendengar itu secara lahiriyah adalah godaan (fitnah) dan secara batiniah pelajaran (ibarat). Ia yang mengenal tanda mistikus (isyarat) boleh mendengarkan pelajaran itu. Jiak tidak, ia mengundang godaan dan membiarkan dirinya terkena bencana,’ Artinya bahwa mendengar itu bersifat merusak dan sumber keburukan bagi seseorang yang segenap hatinya tidak tenggelam dalam tafakur tentang Tuhan.

Karena manfaat ruhani dalam mendengar nyanyian dan musik hanya bisa dilakukan oleh para Syaikh, maka dengan mengharapkan pertolongan dari Allah SWT kita wajib menghindarinya. Rasulullah,saw., pernah mengecam Syirin, budak perempuan Hasan bin Tsabit, Beliau melarangnya menyanyi. Umar bin Khatab,ra., juga mengecam sahabat-sahabat yang yang biasa mendengarkan musik. Sayyidina Ali bin Abi Thalib,ra., pernah menegur Muawiyah karena memelihara gadis-gadis penyanyi. Juga beliau tidak memperkenankan putranya Sayyidina Hasan,ra., melihat wanita Habsyah (Etiopia) yang biasa menyanyi. Sayyidina Ali,ra., menyebutnya ‘teman setan’. Seorang Syaikh melarang murid-muridnya untuk mendengarkan nyanyian dan musik serta mengisahkan : ‘Suatu malam seseorang datang ketempat penyepianku dan mengatakan bahwa sejumlah pendamba Tuhan ingin bertemu denganku. Aku pergi bersamanya dan tak lama kemudian tiba di tempat sejumlah pendamba Tuhan itu. Mereka menerimaku dengan penghormatan yang luar biasa. Seorang laki-laki tua, yang mereka kelilingi berkata kepadaku : ‘Dengan perkenanmu, akan kubacakan puisi’. Aku setuju. Lalu salah seorang dari mereka mulai menyanyikan bait-bait puisi tentang masalah keterpisahan dari sang kekasih. Mereka semua bangkit dalam ekstasi, melontarkan pekik-pekik melodius dan membuat isyarat-isyarat yang amat menarik, sementara aku terpesona pada tingkah laku mereka. Mereka terus melakukannya dengan penuh semangat hingga menjelang fajar. Kemudian laki-laki tua itu berkata : ‘wahai Syaikh, apakah engkau tidak ingin mengetahui siapakah aku dan sahabat-sahabatku ini? Aku menjawab bahwa penghormatanku yang kurasakan terhadapnya mencegahku dari menanyakan persoalan itu. Orang tua itu berkata : ‘Aku sendiri, dulu adalah Azra’il dan sekarang Iblis, dan yang lainnya itu adalah anak-anakku. Kupetik dua keuntungan dari pertunjukkan-pertunjukkan semacam itu, pertama, aku meratapi keterpisahanku dari Tuhan dan mengenang hari-hari kemujuaranku, dan kedua, aku telah menyesatkan orang-orang suci dan mencampakkan mereka kedalam lembah kekeliruan.’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.