Bismillaahir Rahmaanir Rahiim
Seorang salik bertanya kepada salik yang lain : ‘Apa kriteria menjadi salik yang baik, saya merasa telah begitu banyak bermaksiat kepada Syaikhuna.’ Salik yang lain menjawab : ‘Pertanyaanmu terlalu luas, karena mencakup seluruh perilaku yang baik (hus al-adab) dalam bertarekat, sedangkan adab adalah bagian dari iman, dan adab bergantung kepada kedisiplinan diri dalam menjalankan riyadhah dan mujahadah. Karena keindahan adab bersumber dari dalam diri, yang mengejewantah didalam tindak tanduk lahiriyah (jawarih).’ Tidaklah diperlukan orang yang membungkukkan badan dan menundukkan kepala dihadapan Syaikhnya, namun sesungguhnya hatinya menolak dan tidak ada rasa takzim. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering berkata : ‘Seorang salik dapat bercermin kepada sebuah riwayat yang dikatakan oleh Rasulullah,saw., kepada Umar bin Khatab,ra., bahwa cintanya kepada Rasulullah,saw., wajib melebihi cintanya kepada dirinya sendiri.’ Cinta adalah ujung perjalanan dan sangat didambakkan oleh semua pejalan. Akan tetapi, cinta mempunyai sebuah tanda, yakni kepatuhan. Nah, salah satu tanda Salik yang baik adalah patuh karena cinta didalam mengamalkan pekerjaan tarekat, mendisiplinkan diri dalam memenuhi amanah dari gurunya, dan kepatuhannya melibatkan penghurmatan yang hakiki. Hal inipun banyak yang salah mengartikannya, beberapa orang salik bahkan, enggan untuk memakai gamis dan sorban tatkala waktu mengaji tiba, hal ini berlangsung lebih dari sepuluh tahun lamanya, meskipun Syaikh sering menegurnya, ia tetap tidak bergeming dengan sikapnya, angkuh dan arogan. Alasannya sederhana, ia beranggapan bahwa memakai gamis dan sorban adalah tanda kemunafikan, tanda kepura-puraan, karena tidak sesuai dengan perilaku kesehariannya, tidak sesuai dengan keadaan jiwanya, lantas jiwanya menolak! Pendapat ini salah kaprah, kepatuhan justru menanggalkan kebiasaan-kebiasaan, orang yang mendirikan shalat walaupun terasa berat karena jiwa tidak menyukainya, bukan berarti munafik. Melawan keengganan jiwa rendah atas pelaksanaan suatu perintah suci adalah tindak mujahadah, dan tindak mujahadah akan dibayar kontan oleh Allah SWT, berupa musyahadah. Semua bentuk kewajiban pastilah tidak mengenakkan bagi jiwa, namun mencahayai hati bila dilaksanakan secara istiqomah.
Seorang salik tidak boleh menilai kebijaksanaan seorang Syaikh dari segi luarnya, karena kebijaksanaannya itu sangat halus dan tersembunyi maknanya. Bisa saja ia memuji seorang salik, padahal sesungguhnya ia mengujinya, atau bisa saja ia mengizinkan seorang salik berguru kepada Syaikh yang lain, padahal itu tanda keberpisahannya, dan bisa saja ia memarahi seorang salik padahal ia sedang menyiraminya dengan barokah-barokah. Seperti kejadian pada peringatan mawlid yang lalu, Syaikhuna memberikan kesempatan kepada kelompok dzikir dari salah satu daerah untuk mengisi acara, agar kelompok itu merasa mendapatkan perhatian yang khusus. Dengan antusias mereka memainkan rebana sambil mengalunkan Qashidah Barzanji, setelah selesai Syaikhuna memujinya, meskipun banyak jamaah yang menggerutu karena tidak bisa mengikuti Qasidhah Barzanji yang masyhur itu. Karena sejak awal berdirinya pengajian, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) selalu mengisi peringatan maulid dengan membaca asroqol dari kitab Qasidhah Syaraf al-Anam karya Ahmad Ibn al-Qasim al-Hariri,ra. Disamping itu, beliau sering mengulang-ngulang sebuah riwayat tatkala Imam Syafi’i berziarah kepada gurunya, Imam Abu Hanifah,ra., beliau shalat subuh dengan tidak melakukan doa qunut, seperti yang biasa dilakukan oleh Imam Abu Hanifah,ra., padahal beliau telah memerintahkan murid-muridnya untuk melakukannya. Ini sebuah tanda bahwa, dihadapan guru, seorang murid dilarang memperlihatkan perbedaan-perbedaan. Seorang murid wajib mengikuti apa yang gurunya biasa lakukan, wajib menanggalkan keakuan, melepaskan egonya, tidak boleh merasa lebih baik dalam hal apapun. ikutilah guru tanpa keraguan, karena dia ‘hidup’. Seorang murid bagaikan kegelapan malam, meskipun ia sarjana agama, walaupun ia hafiz al-Qur’an, maupun ia pejabat negara. Syaikh adalah bulan yang meneranginya. Syaikhuna khirkoh sejak usia muda namun sesungguhnya beliau ‘Tua’, ‘Tua’ karena kebenaran, bukan karena waktu. Anggur tua dinilai lebih tinggi mutunya. Syaikh adalah pemandu jalan bagi para murid-murid. Dengan adanya pemandu, perjalanan akan menjadi lebih cepat dan tepat. Yang perlu disadari adalah bahwa, perjalanan ini baru pertama kali ditempuh. Jangan pernah mengabaikan panduan sang pemandu, jika tidak ingin tersesat. Seperti keledai yang tergiur oleh rerumputan dipinggir jalan, begitu pula kenikmatan duniawi bisa menyibukkan, sampai lupa menempuh perjalanan yang seharusnya ditempuh. Pada saat tersesat, hanya seorang pemandu yang bisa menyadarkan diri. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata kepada murid-muridnya yang tersesat : ‘Segera merapatlah kepadaku.’ Nabi,saw., pernah bersabda kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib,ra., : ‘Dekatkan dirimu dengan para pengabdi Allah yang terpilih dan bijak, maka kau akan lebih awal sampai ditujuan.’ Lalu sabdanya lagi : ‘Ali, engkau adalah seorang pemberani yang bernyali. Kendati demikian jangan terlalu percaya pada nyali. Turutilah nasihat seorang pemandu yang bisa menemanimu dalam perjalanan. Sebagaimana Nabiyullah Musa,as., menuruti nasihat Nabiyullah Khidir,as. Jangan menyangsikan kebijakannya, seperti Nabiyullah Musa,as., menyangsikan kebijakan Nabiyullah Khidir,as. Jangan sampai pemandumu meninggalkan kamu, seperti Nabiyullah Musa,as., ditinggalkan Nabiyullah Khidir,as.’
Awam berpendapat bahwa bisa saja sampai ketujuan tanpa pemandu, seperti Imam Uways al-Qurni,ra., dan Syaikh Ibrahim bin Adham,ra. Pendapat ini salah, karena kepada Imam Uways,ra., Nabiyullah Muhammad,saw., pernah berkata : ‘Aku mencium Nafas al-Rahman dari Yaman.’ Ini adalah bentuk hubungan secara ruhaniyah, wujud bimbingan secara spiritual, dalam istilah tasawuf disebut ‘uwaysi’. Sedangkan para syaikh sufi mengatakan bahwa Syaikh Ibrahim bin Adham,ra., dibimbing secara langsung oleh Nabiyullah Khidir,as., dan Syaikh Fudhail Bin Iyad,ra.
Kembali kepada peringatan mawlid, pujian Syaikh atas pelaksanaan Qasidhah Barzanji berarti petaka bagi sang murid, karena pujian akan merusak amal, seorang murid bisa besar kepala bila dipuji, biasanya Syaikh akan menyimpan pujian itu yang ditukar dengan doa-doa mustajabnya, agar amal sang murid bersih mengangkasa. Seperti yang beliau lakukan terhadap para murid yang hampir tiga hari tiga malam tinggal di Masjid guna mempersiapkan kelancaran pelaksanaan Maulid. Kepada murid-murid ini Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata kepada seorang salik yang lain : ‘Aku akan simpan pujian untuk mereka didalam hatiku, semoga Allah meridhoinya.’Semoga saja, perilaku kita yang secara sengaja ataupun tidak sengaja telah melanggar adab-adab dalam bertarekat, khususnya adab kepada guru tercinta kita, maka dengan Qasidhah Barzanji yang telah dibacakan secara apik oleh para sahabat, Allah SWT berkenan mensucikan dan mengampuni semua dosa kita.
Syaikh Jalaluddin Rumi,ra., mengatakan dalam matsnawinya : ‘Salju dan es tidak membahayakan tanaman anggur yang siap panen, tetapi sangat membahayakan buah yang belum matang.’ Peringatan yang keras datang dari Syaikh Rumi,ra., bagi murid-murid yang ingin cepat-cepat menjadi bunga teratai, namun tidak pernah melihat bahwa dirinya berada di tumpukan jerami bukan ditengah lumpur. Tidaklah mungkin tumbuh bunga teratai diatas jerami melainkan diatas lumpur. Jerami ego mudah terbakar sedangkan lumpur kesabaran yang tampaknya kotor menjadi tempat tumbuhnya teratai. Semoga dengan pujian kepada Habibullah yang telah menghiasi peringatan mawlid, khususnya bait dibawah ini, Allah SWT berkenan melapangkan dada kita :
Purnama Muhammad telah bersinar kepada kami, maka semua cahaya lain menjadi redup. Tidak pernah sama-sekali kami melihat orang sebagus engkau, wahai wajah berseri-seri menggembirakan. Engkau adalah matahari, engkau adalah bulan purnama, engkau adalah cahaya diatas cahaya. Engkau adalah emas dan lebih berharga. Engkau adalah penerang dada.
Kebijaksanaan Syaikh laksana doa Nabiyullah Sulaiman,as., : ‘Yaa Allah jangan sampai ada orang lain yang memiliki kekuasaan serta kerajaan seperti yang aku miliki.’ Doa ini tampaknya egois, tidak boleh ada orang lain yang menyamainya, padahal tidak demikian, karena Nabiyullah Sulaiman,as., mempunyai kesadaran yang teramat tinggi bahwa tahta dan kekuasaan sangat berbahaya, bahwa rasa angkuh yang muncul oleh karenanya bisa mempengaruhi imannya. Sekuat-kuat iman, kadang-kadang masih saja terhanyutkan oleh arus keduniawian. Kesadarannya bisa terkubur bersamaan dengan sanjungan-sanjungan dari orang lain, dengan begitu dunia semakin kuat mengikatnya. Doa Nabiyullah Sulaiman,as., tidak muncul dari hati yang dangkal, yang penuh dengan rasa iri, tetapi dari jiwa dan hati yang bersih, yang penuh dengan belas kasih. Permohonannya kepada Allah muncul dari kepeduliannya terhadap orang lain. jangan sampai ada yang merosot kesadarannya, imannya, hanya karena tahta dan kekuasaan. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) pernah berkata bahwa : ‘Tasawuf adalah kesadaran.’ Yakni, membongkar kesadaran yang terkubur rapat-rapat oleh nafs, yang letaknya berada didalam latifatul qolbi, ruh, sir, khofi dan akhfa, yang dijaga sangat ketat oleh binatang-binatang buas serta ular yang sangat mematikan bisanya (racunnya). Oleh karenanya mari bersama-sama kita berharap agar Allah SWT berkenan memberikan kepada kita semangat dan ketangguhan didalam melaksanakan dawamudz dzikri dan dawamun ubudiyah, dan semoga Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) meridhoi kita semua, amiin yaa Allah yaa Rabbal Alamiin.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.