Senin, 14 September 2009

ADIL - ADL

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Meskipun terdengar absurb, memberikan analog adil sebagai jalan tol memang kurang tepat, namun tidaklah mengapa, guna memudahkan pembahasan lebih lanjut. Jika adil diibaratkan jalan tol, maka tidak ada bedanya seseorang yang baru mengambil karcis tol dengan orang yang berada diujung jalan tol. Keduanya berada dijalur adil, walaupun tingkatannya berbeda-beda. Yang satu baru melangkah sudah mengaku adil, sedangkan yang lainnya, harus melakukan keber-upaya-an yang sungguh-sungguh terlebih dahulu. Demikian sifat manusia, apa yang ia telah lakukan diangggapnya telah berlaku adil. Bagi manusia, adil menjadi sangat relative, bisa jadi yang satu menganggap adil, sedangkan yang yang lain menolak. Oleh karenanya sulit bagi seorang pemimpin untuk berlaku adil, padahal adil adalah syarat utamanya. Seorang salik menuturkan bahwa sudah banyak buku ditulis oleh profesor tentang keadilan, namun yang satu dengan yang lain tampak berbantahan. Seorang keturunan dari India, Amartya Sen, mendapatkan hadiah nobel lantaran memberikan gambaran tentang teori keadilan. Pada awalnya keadilan itu dinilai sebagai keadilan mendapatkan peluang (equal opportunity), kenyataannya peluang yang sama bermuara pada penghasilan yang berbeda, karena kemampuan manusia berbeda-beda. Lalu muncul teori keadilan pendapatan (equal income), kenyataannya pendapatan yang sama berujung pada kekayaan yang tidak sama, karena kebutuhan manusia berbeda-beda. Lalu muncul teori keadilan kekayaan (equal wealthiness), kenyataannya kekayaan yang sama berujung pada kebahagiaan yang tidak sama, karena materi ternyata tidak menjamin kebahagiaan. Teori tahapan keadilan bagi kaum intelektualitas ini bagus, walaupun pada akhirnya berujung pada kesalahan yang mendasar, yakni, 'kebahagiaan' sebagai ujung keadilan, sedangkan dalam ilmu kesufian 'kebahagiaan' atau 'suka cita' atau 'uns' dalam istilah tasawufnya, merupakan awal perjalanan, karena merupakan sebuah rasa yang masih bisa berubah-rubah dan belum menetap (tamkin). Uns (suka cita) kedudukannya diatas basth (kelapangan), dan basth diatas raja (harap). Teori 'kebahagiaan' sebagai akibat dari materi, ini mustahil, karena materi justru mendatangkan kesulitan, ketamakan dan kesombongan serta menjauhkannya dari Tuhan. Orang yang jauh dari Tuhan mustahil ada setitik kebahagiaan pada dirinya. Didalam al Qur'an ada beberapa kisah yang menuturkan bahwa orang-orang yang kaya itu menjadi sesat, yakni qorun dan fir'aun, sedangkan orang yang kaya namun shaleh hanyalah seorang nabi, yakni Nabiyullah Sulaiman,as. Seseorang bisa mengambil pelajaran disini, betapa kekayaan itu menjerat jiwa untuk berbuat sewenang-wenang, kecuali bagi orang yang ruh, jiwa, hati dan badannya dicipta dari lempung kenabian. Orang yang fakir, selamanya akan membutuhkan Tuhan, sedangkan orang yang banyak materi keduniawian, meskipun ia setiap saat berpikir membagikan hartanya kepada kaum miskin, menjadikan jauh dari tuhannya, karena ia sibuk dengan makhluk dan rencana-rencananya, keduanya merupakan dzikir dunia bukan dzikrullah, dan merupakan hijab-hijab sejati. Karena yang pertama sibuk dengan selainnya sedangkan yang kedua sibuk dengan Tuhannya. Para syaikh sufi sepakat, justru jalan untuk mendapatkan kebahagiaan sejati adalah berpaling dari 'kekayaan materi'. Karena orang yang bergantung kepada Tuhannya, tidak mungkin bergantung kepada selainnya. Sedangkan kekayaan adalah kendali syaithon yang utama selain wanita, guna menjerumuskan manusia kejurang kedzaliman yang paling dalam. Khususnya materi yang membuat orang bergantung kepadanya.

Adil adalah salah satu asma-Nya, sifat daripada Dzat-Nya, artinya Dia yang adil, dan Dialah yang selalu bentindak adil. Dan karena Allah itu Qadim, maka Dia tidak terbatas, karena Dia tidak terbatas maka demikian pula sifat-sifat-Nya. Nah, karena adil tidak terbatas, maka tak satupun manusia dapat berlaku adil, sebab manusia dicipta terbatas, sehingga keadilannya pun terbatas, sesuai dengan sifat dzatnya. Semakin besar pengakuan terhadap keadilannya atas apa yang telah ia lakukan, maka semakin besar pula kebohongannya, semakin besar egonya dan semakin jauh ia dari Tuhannya. Oleh karenanya, bila engkau sebagai seorang pemimpin ditanya, sudah adilkah engkau? Maka sebaiknya diam, Bila dijawab 'ya' engkau telah berbohong, dan jika dijawab 'tidak' engkau seorang pemimpin dan syarat untuk menjadi pemimpin adalah 'adil'.

Seorang sufi mengatakan bahwa adil itu meletakkan setiap sesuatu pada tempatnya, dan yang mempunyai kemampuan melakukan ini hanyalah Allah saja. Sebagai contoh Allah telah menciptakan alam semesta sedemikian luasnya dan mengaturnya dengan sempurna, bumi ditempatkan yang paling bawah, diatasnya ada air, diatas air ada udara dan langit diatas udara. Dan jika salah satu susunannya terbalik, maka tatanannya tidak dapat dipertahankan. Lalu kita lihat pada diri manusia, ada tulang, daging dan kulit. Dia menciptakan tulang sebagai penopang, daging sebagai pembukusnya untuk melindungi tulang dan kulit yang membukus daging. Jika tatanan ini dibalik, maka susunannya tidak dapat dipertahankan. Demikian pula penempatan jawarih pada diri manusia, yakni, mata, hidung, telinga, mulut, tangan dan kaki. Dengan menempatkan anggota tubuh dengan tepat, maka Dia itu adil. Pendeknya tidak ada yang diciptakan kecuali ditempat yang memang dimaksudkan untuk apa yang diciptakan itu. Tidak bisa dibayangkan bila, hidung ditempatkan didahi dan mulut dibelakang kepala, maka kecacatannya itu akan mengurangi kemanfaatanya. Maka segala sesuatu ciptaan-Nya tidak ada yang tidak seimbang, oleh sebab itu ada kelompok yang menggambarkan keadilan itu dengan lambang timbangan, mungkin ini yang mereka maksud.

Apakah keadilan itu harus memberikan manfaat kepada pihak lain? Jawabnya tidak! Karena bila buku-buku diberikan kepada tentara atau senjata kepada para ulama, maka ia telah meletakkan segala sesuatunya bukan pada tempatnya, dan ini bukanlah keadilan melainkan kedzaliman. Sebaliknya, bisa jadi memberikan kemudaratan merupakan keadilan, seperti memberi hukuman mati kepada penjahat, atau memotong salah satu anggota tubuh mereka atau dengan mencambuk mereka. Karena ia telah menempatkan mereka pada tempatnya yang tepat.

Tingkat tertinggi keadilan bagi manusia, bila susunan yang halus (lathif) pada diri manusia sudah berada ditempat sebagaimana ia harus berada, yakni, jiwa (nafs) dibawah bimbingan akal (aql), sehingga syahwatnya (tabiat) tidak lagi beringas dan tidak ditaati lagi oleh jiwanya (nafsnya), serta ruhnya tidak kuatir lagi akan pemberontakan oleh jiwanya (nafsnya), sehingga pada akhirnya iderawi manusia bergerak sesuai dengan ketentuan hukum agama. Susunan yang demikian bisa diupayakan, dengan melakukan dawamudz dzikri dan dawamun ubudiyah secara berkesinambungan dan wajib hukumnya dibawah bimbingan seorang mursyid. Seseorang yang tenggelam didalam dzikir-dzikirnya ia akan menyerap sifat-sifat Tuhan, sifat-sifat manusia menjadi sirna dan tergantikan dengan sifat-sifat-Nya. Nah, bila sudah demikian, adil berada di genggamannya. Seseorang yang mempunyai kedudukan yang demikian sudah tidak mau lagi menjadi pemimpin bangsa, kecuali bagi dirinya dan murid-muridnya saja. Karena baginya, kegembiraannya terletak pada memimpin manusia berdekat kepada pencipta-Nya. Jadi untuk para pemimpin bangsa ini bila ingin berlaku adil, seringlah mengunjungi para guru mursyid, datangi mereka dan pasanglah rasa takzim. Jangan banyak bicara dihadapannya dan jangan pernah mengundang untuk datang ke istana negara, karena, kalau ia benar-benar sorang mursyid pastilah ditolaknya, tetapi datanglah ke rubatnya yang sederhana itu, karena rumah Tuhan yang hakiki berada disana, bersama-sama dengan para guru mursyid. Dan keadilan ada pada khazanah hatinya, datang .. datanglah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.