Sabtu, 12 September 2009

TARI TOPENG

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Rasulullah,saw., bersabda : 'Ia yang diam selamat.'

Di Cirebon, Indonesia, adalah tempat asal tari topeng, penarinya seorang wanita. Tarian ini sudah ada sejak masa Sunan Gunung Jati,ra., salah satu wali songo yang masyhur itu, yang merebut Banten dan jakarta dari tangan penjajah. Beliau membiarkannya, karena pada tarian itu penuh dengan makna ajaran tasawuf. Keunikannya terletak pada, sang penari yang memakai beberapa topeng sekaligus, baik yang menutupi wajahnya atau dibelakang kepalanya, begitu satu dibuka masih menempel topeng yang lain. Persis seperti sifat-sifat manusia pada umumnya. Wanita mewakili nafs pada diri manusia, sedangkan topeng demi topeng adalah tingkah laku dan ucapan-ucapan yang penuh dengan kepalsuan. Sesungguhnya tingkah laku dan pembicaraan itu penuh dengan topeng pretensi, dan dimana kenyataan-kenyataan terkukuhkan, topeng pretensi sia-sia. Menjadi pretensi karena setiap tingkah laku dan pembicaraan mengandung harapan-harapan akan diakui oleh lawan bicaranya, bahwa ia adalah orang yang baik, manusia yang tinggi ilmunya, atau seseorang yang dekat dengan Tuhannya, dan tujuan akhirnya adalah berharap memperoleh hal-hal yang bersifat keduniawian. Baik secara terang-terangan atau secara isyarat-isyarat, ada yang secara sadar dan ada yang tidak menyadarinya, sebagaimana tarian topeng itu yang penuh dengan lenggak-lenggok memamerkan kebolehannya untuk memikat mangsanya. Bagi yang belum sadar, ia akan terus dimanapun dan dengan siapapun berhadapan, selalu memakai topeng kepura-puraan, sedangkan yang sudah sadar, ia mencoba mengatasinya dengan berbagai cara, agar topeng kediriannya dilepaskan dan tampil sebagaimana adanya. Tidak saja orang awam yang memakai topeng-topeng ini, namun juga dipakai oleh orang-orang yang menekuni bidang keagamaan. Padahal, menolak berbicara, bukan berarti ia tidak paham tentangnya, dan bukan pula mengurangi esensi kedudukannya. Tetapi, seseorang tidak pernah dimaafkan hanya karena pernyataan (pretensi) yang tidak mengandung kenyataan, yang menjadi prinsip orang munafik. Pernyataan tanpa kenyataan adalah kemunafikan dan kenyataan tanpa pernyataan adalah kejujuran. Rasulullah,saw., bersabda : 'Yang terburuk yang kutakuti menimpa umatku adalah lidah.' Syaikhuna (semoga Allah merahamatinya) pernah berkata bahwa : 'Berbicara itu bagai minum khamar, sulit untuk menghentikan berbicara saat didepan umat, layaknya orang yang mabuk.' Ujaran ini bagus sekali, berbicara itu memabukkan pikiran, dan orang-orang yang mulai merasakannya, tidak bisa meninggalkannya, karena jiwa tersenangkan, seperti sebuah tarian topeng dihadapan orang banyak. Oleh sebab itu, para syaikh sufi, yang mengetahui bahwa berbicara itu berbahaya, tidak pernah berbicara kecuali bilamana diperlukan, yakni mereka mempertimbangkan awal dan akhir dari pembicaraan itu. Jika seluruhnya demi keridhaan-Nya, mereka berbicara, jika tidak, mereka diam saja, karena mereka selalu dalam keadaan muroqobah, dan diliput rasa bahwa Tuhan mengetahui pikiran-pikiran rahasia manusia. Dalam berbicara banyak terdapat keburukan-keburukan, sedangkan dalam diam terdapat banyak manfaat dan nikmat-nikmat ruhani. Orang yang diamnya kepada Tuhan adalah emas, dan bicaranya kepada selain Tuhan adalah sepuhan emas.

Terjadi di pinggiran kota Bagdad, selagi Imam Sibly,qs., berjalan, seseorang berkata : 'Diam lebih baik daripada berbicara.' beliau menjawab : 'Diammu lebih baik daripada bicaramu, tetapi bicaraku lebih baik daripada diamku, karena bicaramu sia-sia dan diammu adalah lelucon, sementara diamku adalah kesopanan dan bicaraku adalah pengetahuan.' Pendeknya, jika orang berbicara benar, bicaranya lebih baik daripada diamnya, tapi jika orang bicara palsu, diamnya lebih baik daripada bicaranya. Ia yang berbicara bisa mencapai tujuan dan bisa jadi tidak mencapainya, tetapi ia yang dipaksa bicara, terpelihara dari kefasikan.

Oleh sebab itu, tujuan berbicara haruslah sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan ruhani, jika tujuannya hanya untuk keduniawian, meskipun bicaranya tentang agama, maka diam lebih baik baginya. Sebaliknya, bila bicaranya tentang keduniawian, namun tujuannya untuk mengkukuhkan syariat, bicaranya lebih baik daripada diamnya. Berbicara itu, seperti melempar umpan kedalam kolam yang penuh dengan ikan, ia bermaksud memberi makan keruhanian kepada ikan-ikan itu, atau ia justru akan memperoleh daging ikan yang gurih itu.

Seorang salik mengisahkan : “Dalam sebuah acara keagamaan, sang ustadz berbicara kepadaku, 'Aku ingin membeli rumah yang engkau tawarkan.' 'Apakah ustadz mempunyai uang?' tanyaku. Sambil menunjuk ke jamaahnya ia berkata 'Inilah uangku.'” Kisah ini menjijikkan, jamaahnya dijadikan komoditas untuk mendapatkan uang. Fenomena yang demikian menjamur dinegeri kita ini, ada yang secara terang-terangan dan ada pula yang sembunyi-sembunyi. Ada yang dijaharkan dan ada pula yang berupa isyarat-isyarat. Cara-cara yang demikian memang sudah ada sejak jaman dahulu kala, bedanya, saat ini agama dikomersialkan dan dijadikan profesi, dan senjata yang ampuh untuk mewarnai jamaah adalah dengan berbicara dan bertingkah bagai orang suci. Lebih baik berpura-pura munafik padahal ia alim, daripada berpura-pura alim padahal ia munafik, dan dalam kesufian yang pertama dibolehkan dan dianut oleh banyak syaikh sufi, mereka menyebutnya ma'lamat. Seperti tarian topeng itu, tidak ada yang tahu apakah penarinya gadis muda atau nenek-nenek, sang gadis bertingkah seperti nenek, sedangkan sang nenek berlagak seperti seorang gadis.

Tari topeng, akan mendatangkan keduniawian, karena orang-orang yang menonton telah terwarnai, ada yang secara terpaksa dan ada yang sukarela membayar. Tinggalah sang penari dengan dunia yang diperolehnya, ia mewakili nafs, dan semua tahu apa yang akan dilakukannya. Karena setiap topeng dilepaskan, dibaliknya ada topeng yang baru.

Umar bin Khatab,ra., mendapat gelar al Faruq, karena beliau tidak pernah memakai topeng. Ketegasan dan kejujurannya sugguh luar biasa, seperti sebuah kisah meriwayatkan, utusan dari Rum tiba di Madinah, ia masih harus bertanya, 'Dimanakah istana sang Khalifah?'Seorang warga kota menjawab : 'Beliau tidak mempunyai istana, jiwanya yang besar, megah dan bercahaya itulah istananya.' Setelah 'istana' ditemukan, ternyata hanya sebuah tempat tinggal biasa yang tidak lebih mewah daripada rumah warganya yang paling miskin. Utusan dari Rum itu meneteskan air mata sambil berkata kepada temannya, 'Bukan pedang yang tajam dan bukan pula kuda yang gagah,inilah senjata yang ampuh yang bisa menaklukkan kebesaran kekaisaran Bizantium.' Ini sebuah contoh bahwa para sahabat dan para pewaris nabi, pastilah mengikuti jejak yang melimpahkan hak warisnya, yakni tidak berpaling kepada keduniawian, dan tidak berdalih bahwa kaya itu boleh yang penting hati ini tidak terkait kepada benda-benda dunia. Selama ia terkait dengan benda-benda dunia, pastilah ia penari topeng dan bukan ulama, karena hati hanya mempunyai satu ruang, dan tidak bisa tinggal bersama antara mencintai Tuhannya dengan mencintai selainnya, baik berupa harta benda, istri atau anak-anaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.