Jumat, 04 September 2009

MAKNA BERPUTAR

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Thawaf adalah berjalan mengelilingi Ka’bah tujuh kali banyaknya, diawali dengan menyebut Bismillahi Allahu Akbar di Hajar Aswad dan berakhir disitu pula. Seperti gerakan berputar yang berlawanan dengan arah jarum jam. Bagaikan perjalanan menelusuri waktu yang telah lalu, melihat asal-usul diri dan kejadian alam semesta ini. Pada akhirnya akan ditemui bahwa riwayat alam semesta dan seisisnya ini, tertuang dalam al Qur’anur Kariim. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) pernah berkata bahwa : ‘Inti daripada al Qur’an ada pada suratul Fatihah, sedangkan inti suratul Fatihah ada pada Basmallah, dan inti Basmallah ada pada huruf ‘Ba’, dan inti dari huruf ‘Ba’ ada pada titiknya.’ Yakni, Allah SWT menyimpan ilmu pada titik Ba dalam ungkapan yang berbunyi : ‘Bi kana ma kana, Bi yakunu ma yakunu, yakni hanya dengan Aku segala sesuatu yang telah ada itu dapat terwujud dan hanya dengan Aku saja semua yang akan ada dapat terwujud.’ Dengan demikian wujud alam dan seluruh isinya hanyalah karena izin Allah dan hakikat segala perwujudan ini adalah atas nama Allah. Begitu pula bahwa yang pertama-tama diucap oleh manusia adalah huruh ‘Ba’, tatkala Allah SWT berfirman : ‘Alastu Birrabbikum, Bukankah Aku Tuhan kalian,’ kemudian manusia menjawabnya dengan : ‘Bala, Benar (Engkau Tuhan kami).’ Kalimat ‘Bala’ tersebut diawali dengan huruf ‘Ba’. Seperti seseorang yang menggoreskan pena diatas kertas, apapun yang ditulis, ataupun digambar, akan dimulai dan berakhir pada sebuah titik. Ini bermakna ‘Huwal Awwalu Huwal Akhiru’, Dia Yang Maha Awal dan Dia Yang Maha Akhir, tidak ada sesuatupun yang mengawali-Nya dan keabadian-Nya tidak akan pernah berakhir. Orang yang thawaf, adalah orang yang menghargai sejarah dan selalu menarik i’tibar dari kejadian-kejadian terdahulu, khususnya yang dicontohkan oleh para rasul dan nabi-nabi. Sudah banyak kaum yang dimusnahkan oleh Allah SWT disebabkan kejahatan yang dilakukannya, karena tidak menggubris peringatan yang datangnya dari para nabi. Seperti yang telah terjadi kepada kaum Syu’aib di Madyan dan Ashhabu’l Aikah. Allah memusnahkannya dengan petir dan gempa bumi yang hebat serta hawa yang sangat panas. Begitu pula sebelumnya telah terjadi hal yang serupa kepada kaum Nuh, Hud, Shalih, dan sebab-sebab kehancuran kaum Luth yang sebenarnya mempunyai ciri-ciri yang serupa dengannya.

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) beserta murid-muridnya pernah berziarah kemakam Nabiyullah Syu’aib,as., dan menyaksikan bekas-bekas azab yang masih terlihat menempel didinding bukit bebatuan disana. Inilah bukti bahwa orang-orang yang diberkahi itu sesungguhnya berjalan berputar berlawanan dengan arah jarum jam, meskipun phisiknya berada dimasa kini namun hati dan fikirnya selalu melayang dan mengambil I’tibar atas kejadian-kejadian masa lampau. Ruhnya yang suci selalu ingin kembali ‘berkumpul’ kepada yang dicintainya seperti tatkala ia menyebut ‘Bala’. Jiwanya selalu dicerahkan dengan dzikir-dzikir yang berbunyi, dzikir nafi isbat ataupun dengan dzikir yang lembut (dzikir khafi), dimanapun ia berada, dalam keadaan sehat ataupun sakit, dalam keadaan gembira ataupun bersedih. Sehingga dzikir menjadi makanan utamanya, karena satu-satunya makanan yang halal diatas dunia dan akhirat nantinya adalah dzikir yang didalamnya tidak ada keharaman sama sekali.

Perubahan iklim di dunia saat ini (global warming), mempunyai tanda-tanda persis seperti kejadian-kejadian yang menimpa umat-umat terdahulu, yang tidak mengindahkan peringatan para rasul dan nabi. Bedanya kaum terdahulu melakukan kejahatan dan tidak mau beriman, sedangkan kaum yang sekarang mengaku beriman akan tetapi kehidupannya diisinya dengan kesenangan-kesenangan. Sepertinya mereka berkata : ‘Kami telah beriman, tapi biarkanlah kami bersenang-senang diatas dunia ini.’ Sehingga keimanannya hanyalah sebuah kedok belaka. Lihat saja di tv, anak muda, tua, laki-laki maupun perempuan semua bersenang-senang dan pengikutnya banyak sampai ke kampung-kampung dan ujung desa sekalipun. Bagaimana bisa manusia hidupnya hanya bersenang-senang saja lalu mampu melakukan peribadatan dengan baik? Mustahil, karena kesenangan merupakan akar biang keladi robohnya bangunan keimanan. Karena sifat yang menonjol daripada nafs adalah pemuasan keinginan yang berupa kesenangan badaniyah. Berarti orang-orang yang bersenang-senang adalah pengikut nafs-nya dan tanpa disadari bahwa nafs itu selalu mengajak kepada kejahatan. Makanya terlalu naif bila ingin memperbaiki perilaku alam terhadap manusia hanya menanam kembali pepohonan, sedangkan akhlak manusia tidak diperbaiki dan selalu menikmati kesenangan-kesenangan. Ajakan para Rasul, para suci tidak diindahkan namun ajakan pemimpin dunia diikuti.

Allah SWT memerintahkan kepada orang-orang yang mengaku beriman dengan ‘puasa’, atau dengan makna lain adalah perangilah kesenangan-kesenangan badaniyah dan batiniyah, bahkan yang halal pun di haramkan di siang hari. Namun golongan ‘penghibur’ yang mengisi acara-acara di tv tidak peduli dengan perintah ini. Mereka hanya berpantang dari lapar dan haus saja, persis seperti puasanya anak kecil, lalu kesenangannya tidak ditinggalkan, malah mengajak umat di pelosok desa sekalipun untuk bernyanyi dan menari-nari, tak peduli itu waktu berbuka puasa ataupun waktu sahur. Lebih ironis lagi, golongan penghibur ini dijadikan ikon-ikon pemerintahan, badan dunia pun (PBB) memilihnya sebagai duta bangsa. Seorang nenek yang usianya 90 tahun pun berkata : ‘Penghibur kok dijadikan panutan, bahkan bila ia disewa oleh orang buta untuk menari dan menyanyi ia akan melakukannya, selama ia dibayar.’ Pantas bila Syaikh Jalaluddin Rumi,ra., mengatakan bahwa manusia itu laksana keledai yang bersayapkan malaikat. Barang siapa mengikuti nafs-nya, derajatnya jauh dibawah keledai, meskipun ia bergelimangan dengan harta bendawi dan sanjungan-sanjungan, karena keledai hanya bersuara saat ia lapar dan birahi saja, dan al Qur’an mengatakan bahwa seburuk-buruk suara adalah suara keledai. Sebaliknya barang siapa memerangi nafs-nya, derajatnya melebihi malaikat, kesuciannya tiada tara dan kedekatan dengan Allah SWT tidak berjarak.

Tidak sedikit ulama yang prihatin dengan keadaan ini, dan mencoba menyampaikan nasihat, tetapi tidak ada yang menggubrisnya. Akan tetapi tidak sedikit pula ulama yang justru mengambil manfaat dari para penghibur, mereka melebur walaupun ucapannya tentang ayat-ayat suci dan hadis-hadis shahih, persis seperti keledai yang menggendong al Qur’an. Kehidupan ini menjadi jelas, apakah ia sedang berputar mengikuti arah jarum jam, mengikuti angan-angannya, atau sebaliknya berlawanan dengan arah jarum jam, yang selalu melakukan mawas diri (muhasabah).
Sejarah mencatat, tak satupun penguasa yang berhasil dalam kehidupannya bila hatinya condong kepada penghibur, dan sebaliknya para sultan yang bersahabat dengan para sufi akan memperoleh kejayaan, sebagai contoh pada dinasti Umayyah ada Sultan Umar bin Abdul Aziz,ra., lalu pada dinasti Abbasiyah ada sultan Harun al Rasyid,ra., yang bersahabat dengan para sufi, khususnya kepada Syaikh Fudhail Bin Iyad,ra., lalu sultan Salahuddin al Ayyubi,ra., sang penakluk tentara salib itu, bersahabat dengan Syaikh Ahmad Rifai,ra. Pemimpin tarekat Rifaiyah yang bersahabat pula dengan Sulthonul Auliya Sayyidi Syaikh Abdul Qodir Jailani,ra., pemimpin tarekat Qodiriyah. Oleh karenannya, bila penguasa tidak ada kemampuan untuk berdekat kepada Allah SWT, maka berdekatlah kepada orang-orang yang dekat dengan Allah SWT, paling tidak dari kedekatan itu para penguasa akan memperoleh barokah-barokah yang lebih berharga daripada semua kekayaan yang ada diatas dunia ini. Namun para penguasa juga harus jeli, karena bila ada ulama yang mengetuk pintu para penguasa, itu adalah ulama palsu, ulama maling, demikian menurut pendapat Syaikh Jafar ash-Shadiq,ra., cicit dari Rasulullah,saw., yang sangat tinggi ilmunya. Oleh sebab itu, penguasa wajib mendatangi ulama, bukan ulama mendatangi penguasa. Seperti makna berputar, jika ia berputar berlawanan dengan arah jarum jam ia akan selamat, sebaliknya bila ia berputar mengikuti arah jarum jam ia akan terjungkal.


Inilah warna warni kehidupan di dunia ini, hakikatnya kejahatan yang dibuat manusia akan disusul dengan gejolaknya alam ini, semakin besar kejahatannya semakin besar pula bencana alamnya. Namun, nyaris tidak ada yang menarik pelajaran dari kejadian dan gerak gerik alam semesta ini, bahkan syaithon pun malu melihat kejahatan manusia masa kini. Sejak zaman dahulu kala hingga kini tidak pernah berubah, selalu saja kesenangan dikedepankan dan agama ditinggallkan, kalaupun ada hanya sebagai hiasan laksana lukisan yang menempel pada dinding rumah. Bersyukurlah bila takdir membawa kepada kehidupan yang penuh kebajikan, yang selalu mawas diri, yang selalu mendawamkan dzikir-dzikirnya (dawamudz dzikiri) dan menegakkan ubudiyahnya (dawamun ubudiyah), serta melakukan perenungan (kontemplasi) ataupun melakukan muroqobah (meditasi) disepanjang kehidupannya sampai matinya. Bila tidak, berdoalah untuk segera dimatikan, itu lebih baik daripada menjadi arang kemarahan alam semesta ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.