Bismillaahir Rahmaanir Rahiim
Allah SWT berfirman :
Maka serahkanlah (ya Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan Perkataan ini (Al Quran). Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui, (QS 068 : 44)
Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa. (QS 006 : 44)
Makna ayat-ayat diatas dapat diketahui bahwa ‘istidraj’ adalah pemberian Allah SWT kepada seseorang atas apa yang ia inginkan di dunia ini, agar ia menikmatinya dan tenggelam didalam lautan kesenangan, mereka tidak menyadari bahwa apa-apa yang mereka sangka kesenangan itu adalah sebuah hukuman yang diulur-ulur, agar ia semakin jauh dari Allah SWT. Terlalu banyak di negeri kita ini, orang-orang yang bila mendapatkan jabatan baru, lalu ia bersujud karenanya seolah-olah ia merasa telah mendapatkan karunia dari Allah SWT, ia tidak menyadari bahwa hal itu akan menyusahkannya dikemudian hari. Berbeda dengan para sahabat Nabi,saw., misalnya Salman al Farisi,ra, yang ditunjuk untuk menjabat sebagai gubernur di suatu daerah, ia menangis karenanya, khawatir bila ia tidak dapat menjalankan amanah itu dengan baik, dan tidak lama kemudian ia dicopot dari jabatannya, justru ia melakukan sujud syukur, karena lepas dari tanggung jawab yang sedemikian besar itu. Jadi istidraj adalah pisau yang bermata dua, satu sisi berupa sesuatu yang menggembirakan hati, sedangkan sisi yang lain berupa ketidak sadaran bahwa pemberian itu akan mencelakakannya. Oleh sebab itu bagi para salik, wajib hukumnya untuk selalu merapat kepada gurunya, guna mendapatkan bimbingan yang terus menerus, sehingga bila ada istidraj yang datang akan segera dapat diatasinya berkat barokah dari sang guru. Disebut istidraj, apapun bentuknya baik itu yang dhahir ataupun yang batin akan sulit dikenali. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Musibah adalah, bilamana seseorang diberi harta yang banyak lalu tidak mampu menggunakannya dijalan agama, diberikan pangkat yang tinggi namun tidak mampu menegakkan syariat, Allah SWT menyelipkan didalam hatinya istidraj.’ Dan beliau juga berkata : ‘Celakalah orang yang berdakwah merasa bagai orang suci, pandai berbicara dan mengajak orang lain untuk banyak beribadah, padahal dalam diri orang itu tidak banyak ibadahnya dan peribadatannya tidak bernilai tinggi. Dia menukar ilmunya dengan sesuatu yang bersifat duniawi, yang sejak dari rumah memang sudah diharapkannya. Jelas! Itu bukan peribadatan, itu adalah istidraj.’
Imam Abul Hasan an-Nuri, atau yang dikenal dengan Imam Nuri,qs., menceritakan kisahnya : ‘Bertahun-tahun aku berjuang, menahan diriku dalam penjara dan berpaling dari orang-orang lain. Betapapun wara-nya aku, jalan yang ingin kutempuh tidak juga terbuka untukku. Aku harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki diriku. Aku mendengar bahwa hati para mistik dapat mengetahui rahasia dari apa pun yang mereka lihat dan dengar. Sedangkan aku tidak begitu, aku berkata : ‘Benar apa yang diucapkan oleh para nabi dan para wali. Mungkin aku munafik dalam perjuanganku, dan kerusakannya berdampak pada diriku sendiri. Disini tak ada tempat bagi perbedaan pendapat.’ Aku melanjutkan, ‘Sekarang aku akan mencermati diriku sendiri dan mencari tahu apa yang salah.’ Aku memandangi diriku sendiri. Dan aku pun menemukan apa yang salah pada diriku, yakni jiwa badaniahku menyatu dengan hatiku. Bila jiwa badaniah menyatu dengan hati, itu namanya bencana, karena apapun yang berkilau di hati, jiwa badaniah akan mengambil bagiannya. Aku pun menyadari bahwa inilah penyebab dilemma yang aku hadapi, segala yang memasuki hatiku dari Istana Tuhan, jiwa badaniahku akan selalu mengambil bagiannya. Sejak saat itu, aku menjauhi apa pun yang memuaskan jiwa badaniyahku, dan mengambil sesuatu selainnya. Misalnya, jika salat atau puasa atau sedekah atau mengasingkan diri atau bergaul dengan para sahabatku memuaskan jiwa badaniahku, maka aku akan memotong dan mebuang jauh-jauh segala kepuasan itu. Akhirnya rahasia-rahasia mistis mulai terwujud dalam diriku. Lalu aku berjalan menyusuri sungai Tigris dan berdiri diantara dua sampan. ‘Aku takkan pergi, kataku, sampai seekor ikan terjerat jalaku.’ Akhirnya, seekor ikan terjerat jalaku. Saat aku mengambil ikan itu, akau memekik, ‘Segala puji bagi Allah, urusan-urusanku telah berjalan dengan baik!’ Aku pergi menemui Imam Junayd,ra., dan berkata padanya, ‘Sebuah karunia telah dianugerahkan padaku!’ ‘Abul Hasan,’ ujar Imam Junayd,ra., ‘Jika seekor ular yang terjerat jalamu, dan bukannya seekor ikan, itu baru suatu tanda karunia. Namun karena dirimu sendiri terlibat, itu adalah muslihat bukan karunia. Karena tanda dari suatu karunia adalah engkau tidak terlibat sama sekali.’
Kisah diatas sungguh hebat, istidraj tidak saja hinggap kepada orang awam, tetapi hinggap juga kepada penempuh jalan kesucian, namun kesadarannya dapat segera bangkit, karena mereka bersahabat dengan para sufi yang lain, yang mempunyai kedudukan yang mulia. Berkat persahabatannya dijalan Allah itu, maka yang satu dengan yang lain akan saling membantu dan mengingatkan. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering berkata kepada para murid-muridnya : ‘Jika engkau merasa sedang dalam tekanan kehidupan yang keras, lalu engkau berdoa agar segera berlalu, namun Allah malah menekannya lebih keras lagi, itu tanda sebuah karunia besar yang sedang engkau hadapi.’ Oleh karenanya Imam Sibly,qs., murid dari Imam Junayd,ra., pernah berdoa : ‘Yaa Allah aku berlindung kepada-Mu dari-Mu.’ Yakni, untuk dapat membedakan apakah pemberiaan dari Allah SWT itu merupakan istidraj atau anugerah. Jika imamnya para syaikh sufi saja berdoa seperti ini, bagaimana kita bisa mengenali sebuah istidraj yang datang kepada kita? Mari para sahabat, segera kita berlidung kepada Allah SWT dari fitnah-fitnah dunia ini, berharap kiranya Allah menghinggapkan nadam (daya sesal) atas dosa-dosa yang secara sengaja dilakukan ataupun yang tidak sengaja, yang terlihat maupun tidak terlihat dan yang terasa ataupun yang tidak terasa serta memberikan kegagahan kepada kita didalam melakukan pertaubatan. Semoga Allah SWT mensucikan dan mengampuni dosa-dosa kita, amiin ya Allah ya Rabbal Alamiin.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.