Senin, 21 September 2009

TIDUR

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Rasulullah,saw., bersabda : ‘Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah.’

Setelah bulan Ramadhon berlalu, orang awam akan berusaha mengganti waktu tidur dan makannya yang berkurang selama satu bulan penuh, karena merasa berat badannya turun dan wajahnya agak memucat. Jarang sekali yang mempertahankan pekerjaan malamnya, yakni shalat dan tidur sedikit, lalu disiang harinya berpuasa. Meskipun Rasulullah,saw., mengingatkan agar tidak mengendur bermujahadah dibulan Syawal, dengan mengerjakan puasa sunat paling tidak enam hari lamanya, boleh dikerjakan berturut-turut sejak hari lebaran kedua, ataupun dihari lainnya. Rasulullah,saw., juga bersabda bahwa orang yang mengerjakan puasa sunat dibulan Syawal enam hari lamanya, nilainya sama dengan berpuasa selama satu tahun penuh. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) pernah berkata bahwa : ‘Beberapa rukun kewalian tercermin pada pekerjaan dibulan Ramadhon, yakni terjaga dimalam hari, shalat malam, sedikit bicara, dzikir yang terus menerus dan berpuasa disiang hari.’ Maka orang-orang yang istiqomah mengerjakan pekerjaan-pekerjaan ini, tidak saja dibulan Ramadhon, tetapi juga dibulan-bulan lain, maka ia telah bersender kepada kewalian. Para syaikh, pemimpin tarekat sufi, biasa membimbing murid-muridnya untuk selalu tidak lengah dalam melakukan serangkaian tindak ibadah ini. Agar mereka merasakan kegaiban hatinya tatkala tersinari oleh cahaya kewalian, agar merasakan musyahadat, agar merasakan kehadiran Tuhan (hudurul Haq), agar merasakan selalu diawasi oleh Allah SWT, dan merasakan kebersamaan dengan-Nya. Tetapi awas! jangan pernah berburuk sangka, bahwa dengan memberitakan sebagian tentang rukun kewalian, ingin diakui bahwa ia yang memberitakannya adalah seorang wali Allah, seperti halnya hadits yang mengatakan bahwa mimpi yang benar adalah satu dari empat puluh enam tanda kenabian, dan bukan berarti orang yang telah mimpi kebenaran itu adalah seorang nabi.

Dua sifat yang tidak ada pada Allah SWT namun dominan pada manusia adalah makan dan tidur, Allah tidak makan malah Dia yang memberi makan semua makhluk, dan juga Allah tidak tidur tapi Dia yang menidurkan semua makhluk. Semua syaikh sufi sepakah bahwa makan banyak adalah tindakan tidak terpuji, dan orang yang hanya berpikir tentang apa yang masuk kedalam perutnya, hanya seharga dengan apa yang keluar darinya (kotoran). Maka makan berlebihan adalah tindakan paling berbahaya bagi penempuh jalan tasawuf, khususnya bagi pemula, karena bila perutnya penuh ia menginginkan kebodohan dan nafsunya bertambah besar, serta jiwa rendahnya bangkit mencari kesenangan-kesenangan.

Seseorang mestilah melihat kedalam diri, apakah ia pernah berperang kepada musuh yang paling nyata baginya, yakni syaithon, apakah ia pernah membuat syaithon bersedih karena tindakannya? Tanpa disadari, ketika ia ‘tidur’, syaithon jengkel dan geram kepadanya, oleh sebab itu, ia mengganggu orang awam dalam tidurnya dengan mimpi-mimpi yang buruk, agar segera bangun dan berbuat kejahatan. Karena bila orang awam tidur, orang-orang akan terhindar dari tingkah laku kejahatannya, yang berarti ia berhenti mendurhakai Tuhannya. Jadi jelas sekali bahwa bagi orang awam, tidur lebih baik dari terjaganya, karena ada hadist yang meriwayatkan bahwa pena tidak mencatat (kelakuan-kelakuan buruk) orang yang tidur hingga ia bangun. Sedangkan tidurnya orang arif adalah suatu tindak ibadah, karena hati orang arif terkendalikan oleh Tuhan baik ketika dia tidur atau bangun, dan bilamana hati terkendalikan, badan pun terkendalikan juga. Karena itu, kalbu yang dikendalikan oleh kuasa Tuhan lebih baik daripada hawa nafsu manusia yang mengendalikan gerakan-gerakan lahiriyahnya dan tindak-tindak peniadaan nafsu diri. Bukankah saat Nabiyullah Adam,as., tertidur tiba-tiba Hawa sudah ada disamping kirinya, dan hawa adalah sumber semua penderitaannya. Secara simbolik kisah ini dikaitkan dengan terciptanya ‘jiwa (nafs)’ mewakili Hawa manakala ‘Ruh’ mewakili Adam,as., tertidur. Dan ‘jiwa (nafs)’ ini dipercaya sebagai tempat berkumpulnya semua keinginan-keinginan manusia yang selanjutnya oleh masyarakat Islam identik dengan sebutan ‘hawa nafsu’ atau keinginan diri.

Pada tingkat mujahadah bagi pemula, tidur dibolehkan tatkala rasa kantuk yang berat mengusiknya, atau paling tidak ia sudah beberapa kali tertidur disaat mengerjakan pekerjaan-pekerjaan tarekatnya, meskipun para syaikh menyebutnya sebagai mujahadahnya anak kecil. Tetapi lebih baik tertidur dalam keadaan berperang daripada tidur tanpa berperang. Dikatakan bahwa tidur adalah saudara kematian, dan Allah SWT menggenggam ruh orang yang tidur. Maka orang yang mengharapkan musyahadat merasa malu jika tidur tanpa didahului oleh tindak mujahadah. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) pernah berkata : ‘Pada awalnya, penjelajahan kedalam 18.000 alam ghaib terjadi disaat antara tertidur dan terjaga.’ Tertidur dalam peperangan adalah keberserahan diri kepada Tuhan, karena keinginannya adalah tetap dalam keadaan terjaga, namun kehendak Tuhan menggantikan kehendaknya, sedangkan tidur sebelum perang adalah menuruti hawa nafsunya, karena keinginannya adalah tidur. Oleh sebab itu, meskipun dalam keadaan mengantuk, para pejalan tetap mengambil air wudlu lalu shalat malam dan mengerjakan dzikir-dzikirnya khususnya dzikir yang tidak berbunyi dengan menyebut ismudzat Allah ... Allah .... sampai ia tertidur dalam keadaan duduk bersila. Dalam hal ini Rasulullah,saw., pernah bersabda : ‘Barang siapa tidur dalam keadaan bersuci (berwudhlu), ruhnya diperkenankan mengelilingi singasana (Arasy) dan bersujud dihadapan Tuhan.’ Dan “Sesungguhnya Allah bangga dengan hamba-Nya yang tidur selagi ia bersujud dalam shalat. Dan Dia mengatakan kepada para malaikat-Nya, ‘Lihatlah hamba-Ku, yang ruhnya ada ditempat keramah tamahan rahasia (najwa) sementara badannya ada di atas sajadah.’” Seseorang bisa bercermin dari keterangan diatas, apakah ia termasuk orang yang tidurnya lebih baik dari terjaganya, atau sebaliknya terjaganya lebih baik dari tidurnya, yakni tidurnya akan menganiaya agama dan terjaganya akan menyingkirkan kezaliman.

Kisah, seorang syaikh selalu dalam keadaan terjaga diamalam hari selama empat puluh tahun, namun ia belum juga ‘bertemu’ dengan Tuhannya. Lalu Syaikh Dzun Nun al-Mishri,qs., memerintahkan ia untuk tidur dimalam hari, perintah ini dikerjakannya, dan pada saat ia tertidur, ia bermimpi ‘bertemu’ dengan Tuhan dan ia bertanya kepada Tuhan : ‘Yaa Tuhan mengapa selama empat puluh tahun aku bermujahadah dengan terjaga dimalam hari untuk bertemu dengan-Mu namun tak kunjung tiba, tetapi begitu aku tertidur dimalam hari ini saja justru engkau berkenan menemuiku? Tuhan menjawab : ‘Engkau tidak akan menemui-Ku disini jika tidak mencari-Ku disana.’ Ini sebuah bukti bahwa keberserahan kepada Tuhan mestilah diawali dengan tindak mujahadah yang sungguh-sungguh, dan jika seseorang berserah kepada Tuhan tanpa tindak mujahadah adalah sia-sia. Nah, bila seseorang menyadari bahwa ia adalah pemula dijalan tasawuf, maka ia wajib bermujahadah terlebih dahulu sebelum tidur, paling tidak ia dalam keadaan berwudlu dan telah menyelesaikan pekerjaan yang fardhu dan dzikir jaharnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.