Bismillaahir Rhamaanir Rahiim
Pada pengajian Jum’at malam Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Al-khawatir mempunyai pengertian yang berbeda antara para penempuh jalan kesucian dengan orang awam. Awam berpendapat bahwa khawatir adalah hal-hal yang bernada negatif, mencemaskan kejadian dimasa mendatang yang akan berakhir dengan hal-hal buruk, sedangkan yang dimaksud al-khawatir dalam ilmu kesufian adalah bisikan-bisikan jiwa, yang menghujam kedalam rasa. Penekanannya terletak pada pembawanya, bila bisikan-bisikan jiwa itu datangnya dari syaithon disebut was-was, jika muncul dari hawa nafsu disebut hawajis. Dan bila datangnya dari malaikat disebut ilham. Sedangkan bisikan jiwa yang langsung dari Allah SWT disebut Khatir Haq atau bisikan kebenaran.’
Dikatakan bahwa, orang yang terlalu banyak makan makanan haram tidak akan bisa membedakan antara ilham dan was-was. Setiap bisikan yang tidak bisa disaksikan kebenarannya secara lahir, adalah bisikan batil. Apabila bisikan itu datangnya dari syaithon, rata-rata mengundang pada kemaksiatan. Begitu pun yang datang dari hawa nafsu, lebih cenderung mengajak pada sikap menuruti syahwat.
Imam Junayd,ra., membedakan antara hawajis dengan was-was : ‘Bahwa nafsu itu (hawajis), apabila menuntut anda terhadap suatu perkara, ia akan menempel, dan akan kembali lagi walaupun berlalu dalam jarak waktu, sampai bisikan nafsu itu benar-benar meraih kemauannya dan mencapai tujuannya. Kecuali bagi orang-orang yang meujahadahnya benar, maka bisikan itu tidak akan kembali. Kemudian nafsu itu selalu memusuhi anda. Sementara syaithon (was-was), ketika menjerumuskan anda melalui godaannya, kemudian anda menentangnya, maka syaithon akan kembali mempengaruhi anda dengan godaan lainnya. Sebab secara keseluruhan, sikap kontra adalah sama. Yang penting bagi syaithon, anda bisa mengikuti ajakannya yang menjerumuskan. Dan baginya tidak ada peringanan dalam penjerumusan itu.’
Kisah dibawah ini merupakan bentuk prosa dari puisi Syaikh Jalaluddin Rumi,ra., yang mendukung ujaran Imam Junayd,ra., yakni : “Seorang wanita miskin dari suku Bedouin mengeluh : ‘Suamiku, sadarkah engkau akan keadaan kita yang makin hari semakin terpuruk? Orang lain menikmati hidup, mereka bahagia, kita menderita, kita sengsara. Apa gunanya berguru kepada seorang Darvish yang tidak bisa memberi apa-apa, dia malah menjadi tanggunganmu. Saya tidak melihat cahaya Allah dalam dirinya, dia hanya mengutip para sufi. Sudah bertahun-tahun kamu mengikuti dia, apa yang kau peroleh? Hidupmu terlewatkan begitu saja, apa untungnya?’
Setelah mendengarkan keluhan istrinya, sang suami menjawab : ‘Untung rugi apa yang sedang kaubicarakan? Apa pun yang kau lakukan hidup ini tetap akan terlewatkan begitu saja. Dengarkan kicauan burung, mereka sedang memuliakan Nama Allah. Hanya kepada Allah mereka berserah diri. Siapa yang memberi makan kepada mereka? Allah Maha Besar, Allah Maha Suci, begitu pula dengan binatang-binatang lain. Keluhanmu berasal dari keinginan-keinginan yang tak terpenuhi, dari hawa nafsu yang tak terkendali. Sebagai manusia, kesadaranmu seharusnya melebihi kesadaran para binatang. Engkau adalah istriku, dan suami istri ibarat sepasang sepatu. Dua-duanya harus berukuran sama. Jika yang satu berukuran lebih kecil atau lebih besar, maka tidak akan nyaman dipakai. Bahkan tidak bisa dipakai.’
Sang istri tambah berang : ‘Apa yang ingin kau buktikan dengan kata-katamu yang muluk itu? Bahwasanya kau sudah berserah diri sepenuhnya? Jujur saja, puaskah engkau dengan keadaan kita saat ini?’
Jawab sang suami : ‘Ya aku puas, aku cukup puas dengan keadaanku. Aku puas dengan kemiskinanku. Harta kekayaan bagaikan sorban, bagaikan penutup kepala yang digunakan oleh mereka yang berkepala botak. Untuk menutupi kebotakan diri, mereka harus bersorban. Kepalaku tidak botak, aku tidak membutuhkan sorban. Aku tidak perlu menutupi kepalaku. Tuhan Maha Tahu dan Dia mengetahui isi hatiku, rasa puas itulah yang ada dalam hati ini. Engkau tidak dapat melihatnya, karena tidak ada kepuasaan dalam dirimu. Ketidak puasan yang kau bicarakan berasal dari dalam dirimu sendiri. Engkau sendiri tidak puas dan berpikir bahwa aku pun tidak puas. Sepertinya sudah tidak ada lagi kecocokan lagi antara kita. Caramu berpikir dan caraku sudah berbeda. Dan kalau memang sudah demikian, lebih baik kita berpisah saja.’
Sang istri menyadari kesalahannya dan sambil menangis ia minta maaf : ‘Aku menyadari kesalahanku, aku memang kurang sabar. Tetapi, suamiku yang kucintai, sesungguhnya selama ini aku hanya memikirkanmu. Aku tidak tega melihatmu dalam keadaan melarat. Aku tidak tega melihat kantongmu kosong. Sekarang, terserah kamu, ikutilah kemauan hatimu. Tetapi jangan sekali-kali berkipikir untuk meninggalkan aku. Jangan! Mendengarkannya saja, aku tidak tahan. Maafkan aku, atau beri aku hukuman, seberat apa pun akan kupikul, tetapi jangan meninggalkan aku.’
Tangisan istri membuat hari sang suami meleleh. ‘Maafkan pula aku, sesungguhnya aku pun bersalah. Selama ini hanya memikirkan diri. Sampai lupa urusan rumah tangga. Tidak, aku tidak akan meninggalkanmu. Aku tidak akan berpisah darimu. Mulai saat ini, aku akan berusaha, akan mencari nafkah.’
Kisah diatas memperlihatkan bahwa sang istri mewakili bisikan-bisikan jiwa yang datangnya dari hawa nafsu dan syaithon, yang seperti dikatakan Imam Junayd,ra., ia akan terus menempel dan menggunakan segala cara agar seseorang takluk dan mengikuti kemauannya, seperti sang suami walaupun diawalnya ia menolak, tapi pada akhirnya ia terkapar dengan tangisan buaya sang istri.
Jika kisah diatas tentang keburukan al-Khawatir, maka kisah dibawah ini sebaliknya. Nabiyullah Sulaiman,as., setiap paginya mendatangi masjid, setiap melewati pekarangan dan melihat tanaman baru, beliau selalu bertanya, ‘Apa namamu? Dan apa kegunaanmu? Tanaman-tanaman itu selalu menjawab, memberitahu namanya dan kegunaan serta khasiat mereka. Setiap tanaman merupakan obat bagi penyakit tertentu dan sebaliknya merupakan racun bagi penyakit yang lain. Uraian-uraian dari sang Nabi,as., itu dikumpulkan oleh para bijak. Disusun dalam sebuah buku dan menjadi pegangan bagi para akhli pengobatan. Ilmu-ilmu lain, khususnya ilmu tentang ketuhanan juga diturunkan dengan cara yang sama. Bedasarkan ilham yang diterima oleh para nabi. Tidak berdasarkan pikiran, dan tidak bersumber dari panca-indera (jawarih).
Intelek manusia, pikiran manusia tidak dapat menciptakan ilmu. Hanya bisa menerima ilmu. Itu pun bila mendapatkan bimbingan dan pengajaran. Dan yang bisa membimbing dan mengajar hanyalah para penerima ilham. Bahkan ilmu-ilmu yang sangat sederhana pun, seperti cara mengubur jasad diperoleh lewat ilham. Setelah membunuh Habil, Qabil menjadi bingung untuk menyembunyikan jasadnya. Akhirnya ia melihat seekor gagak yang menguburkan gagak mati, dengan kukunya yang panjang ia menggali lubang dan meletakkan jasad temannya didalam lubang. Kemudian lubang itu ditutupi kembali dengan tanah. Demikian manusia belajar menggali liang kubur bagi manusia lain yang sudah mati. Ia yang diberkahi tahu persisi bahwa intelek berasal dari iblis. Seperti Kan’an putra Nabiyullah Nuh,as., ia menolak ajakan ayahnya untuk menaiki kapal, ia menggunakan pikiran dan intelektualitasnya : ‘Untuk apa naik perahu segala? Kalau banjir, aku bisa naik keatas gunung.’ Katanya. Apabila tidak mampu berenang. Kan’an sudah pasti menerima ajakan Nabi Nuh,as. Seperti seorang anak yang masih kecil. Dia belum bisa melakukan apa-apa dan harus bergantung sepenuhnya pada ibunya.
Demikian, seandainya para salik tidak membawa pengetahuan intelektualitasnya dihadapan para Syaikh, niscaya mereka akan dapat mendengarkan dan mengikuti petuah para wali. Petuah yang berasal dari hati, dari ilham. Dan tidak akan bernasib seperti Kan’an yang akhirnya tenggelam ditelan oleh banjir yang teramat besar.
Kamis, 03 September 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.