Senin, 20 Januari 2014

KULTUS

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Marhaban, wahai ampunan bagi dunia
Marhaban, wahai syafaat bagi para pendosa

Seorang bocah melihat ritual dzikir dari salah satu tarekat, didengarnya suara bergemuruh menyebut ‘ih oh .. ih oh .. ih oh’. Si bocah merasa senang mendengarnya, karena ada kenyamanan meskipun ia tidak mengerti bahwa yang dimaksud adalah menyebut kalimat ‘Laa Ilaaha Illallaah’, karena penyebutannya cepat maka terdengarlah seperti itu. Pemimpin tarekat itu dikenal dengan sebutan ‘Abah’. Maka setelah si bocah sampai dirumah, ia pun meniru-nirunya dengan menyebut ‘a bah .. a bah .. a bah .. a bah’ sambil menggerak-gerakkan kepalanya. Sontak seisi rumah tertawa melihat dan mendengar suara aneh keluar dari mulutnya. Tetapi si bocah tidak memperdulikan, malahan ia dengan semangat terus bercerita tentang kehebatan Abah, dari cara berpakaian, berbicara, cara menyambut dan melayani murid-muridnya serta wibawanya. Cerita itu tidak saja disampaikan kepada keluarganya tetapi juga disampaikan kepada teman-temannya. Karena kekagumannya semakin hebat, maka semakin menjadi pula ia memuja-mujanya. Cerita tentang Abah diulang-ulanginya pada setiap hari, teman-temannya yang sering mendengar mengatakan : ‘Wah dia sudah mengkultuskan Abah.’ Adakah yang salah dari mengkultuskan seseorang?

Si bocah menyebut Abah dan ingatannya kepada wajah Abah
Inilah tanda hurmat
Kita menyebut Allah tetapi ingatan kita kepada dunia
Inilah penghinaan

Buah daripada melakukan dzikrullah yang sesuai dengan petunjuk seorang pembimbing ruhani dari sebuah tarekat adalah, yang pertama akan terasa tiada yang lain kecuali syaikh, yang diingat, yang dibicarakan, yang dikagumi, yang dipuja hanya syaikh saja, dalam istilah tasawuf disebut sebagai fana’u syaikh atau lebur didalam diri syaikhnya, hilangnya dualitas antara dirinya dengan syaikhnya. Yang kedua, dengan kasih sayang yang begitu tinggi dari seorang syaikh, dengan cara yang unik sesuai dengan sunah, dituntunnya murid-muridnya memindahkan anak panah kekagumannya kepada Baginda Nabi Muhammad,saw., (fana’u Rasul). Jika sudah demikian, sebagaimana yang dikatakan didalam Al Qur’an barang siapa taat kepada Rasulnya maka dia pun taat kepada Tuhannya, barang siapa mengikuti Rasulnya dia pun mengikuti Tuhannya. Maka yang ketiga, niscaya atas karunia Ilahi kecintaan kepada Tuhannya akan tumbuh subur, laksana tanaman padi yang menguning, selain indah untuk dipandang, berasnya enak untuk dinikmati, begitulah, akhlak akan terbentuk secara benar menjadi indah dan bermanfaat bagi semua makhluk. Demikianlah tradisi tarekat dalam mengantarkan murid-muridnya berdekat kepada Allah SWT.
Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata, ‘Seorang Syaikh mengataka bahwa, dzikrul Anbiya minal ibadah, dzikrul salihin kafarah, mengingat Nabi itu ibadah, sedangkan mengingat orang-orang saleh menjadikan gugurnya dosa-dosa.’ Nabi dan orang saleh itu ibarat cahaya yang mencahayai, nuur alaa nuur, oleh karenanya barang siapa berdekat, menyebut-nyebut namanya, mengingatnya, mematuhinya, menghurmatinya, akan memperoleh cahayanya yang mengantarkannya menjadi bersemangat untuk melakukan peribadatan dan karenanya akan gugurlah dosa-dosanya. Jika hal ini disebut mengkultuskan, maka pada suatu kesempatan Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) mengatakan : ‘Aku adalah termasuk orang yang mengkultuskan guru-guruku, mengkutuskan Baginda Rasulullah,saw., selama yang dimaksud mengkultuskan itu tidak menjadikannya menjadi Tuhan, karena makhluk adalah makhluk yang selamanya tetap makhluk dan tidak akan pernah menjadi Tuhan.’

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.