Minggu, 19 Januari 2020

MENGENAL NAFSU

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim


Bab ini diawali dengan sebuah cerita. Seorang ayah mempunyai anak perempuan yang masih kecil, diajarinya jalan yang benar agar tidak membahayakan dirinya, maka sang ayah harus ‘turun’ bertingkah layaknya seperti anak kecil, sang anak berkata ‘Papah, aku bisa jalan.’ Lalu sang ayah mengajarinya berlari kecil dan dibuatnya agar sang anak sampai lebih dulu, sang anak berkata : ‘Horeee, aku menang.’ Sang anak merasa lebih hebat dari ayahnya! Begitulah analogi pendidikan ruhani dari seorang guru kepada murid-muridnya, setiap tarbiyah yang dilakukannya disesuaikan dengan keadaan murid. Sehingga terkadang nafsu sang murid membisikkan bahwa dirinya lebih baik dari gurunya. Sifat nafsu yang ada pada murid tidak salah! Karena Allah SWT yang menciptakannya, memang seperti itu adanya sebagai ujian baginya, untuk dikenali dan ditundukkannya lalu dikendarai untuk menuju Allah SWT, hal ini merupakan anugerah terbesar bagi manusia, karena tidak ada pada makhluk lain yang diciptakan-Nya. Tetapi yang perlu kita sadari bersama, bahwa tidak seorang pun yang mampu menundukkannya kecuali Allah SWT. Dia mewajibkan kita meminta tolong kepada-Nya, seperti yang selalu dibaca oleh setiap orang Islam yang terdapat pada suratul Fatihah,'Hanya kepada-Mu kami menyembah, dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan [al-Fatihah: 5]. Jika di umpamakan bahwa bisikan nafsu itu adalah kegelapan (dzulumat) maka sifat-sifat Allah adalah cahaya (nuur). Cahaya ini adalah sifat ruhani yang akan menerangi jalan manusia menuju-Nya. Sebuah ruangan yang gelap gulita jika ada sekilas cahaya, maka kegelapan akan lenyap. Oleh sebab itu, menjadi tugas pembimbing ruhani untuk mendidik muridnya melalui manhaj atau metodologi yang baku dan telah teruji sebelumnya, agar cawan ruhani sang murid terwujud, dengannya keniscayaan Allah mentajallikan sifat-sifat-Nya terbuka lebar. Akan tetapi ketaatan sang murid bukan penyebab langsung diperolehnya tajalli dimaksud, melainkan atas kehendak-Nya.

Perbincangan didalam tasawuf tidak akan pernah terlepas dari masalah nafs dan Allah, Sayyid Abdul Qodir al Jailani,qs pernah berkata kepada murid-muridnya : ‘Kalian berada di antara dua pilihan, yaitu Allah atau nafsumu.’ Begitu pula Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) selalu menyebut kata mujahadah disetiap pengajian, yang maksudnya adalah melawan atau memerangi nafsu. Nafsu memang hanya satu kata tetapi mempunyai banyak makna, insyaAllah kita akan membahasnya dari sudut pandang tasawuf saja. Imam Al-Ghazali,qs., mengatakan bahwa nafsu sebagai pusat potensi marah dan syahwat pada manusia.

Pemahaman tentang nafsu membutuhkan talenta spiritual, sebagaimana perkataan Imam Junaid,qs bahwa syarat utama bertasawuf adalah talenta, bila tidak akan sia-sia. Meskipun seseorang telah mengaji selama bertahun-tahun, ia akan tetap hidup dengan kendali nafsunya bukan ruhani. Jika nafsu saja tidak dapat dikenali bagaimana mampu melawanya? lalu bagaimana bisa mengenal Tuhannya? Sebuah hadist mengatakan : ‘Man arofa nafsahu faqod arofa robbahu,’ yang artinya barang siapa mengenal dirinya (nafsunya), dia akan mengenal Tuhannya.

Didalam al Qur’an dan al Hadist dikatakan bahwa nafsu dan syaithon adalah sebagai musuh. Kata musuh dalam agama diartikan sebagai menang dan kalah bukan baik dan buruk. Karena jika musuh diartikan sebagai baik dan buruk, maka istri dan anak pun termasuk didalamnya, karena Al Qur’an menyebut sebagian keduanya adalah musuh. Oleh sebab itu, melawan nafsu adalah memenangkan bisikan atau keinginannya dengan meletakkan akal atau nilai nilai akhlak di depan emosi. Sebagai contoh, jika seorang suami ingin memberikan uang kepada ibunya dan sang istri menolak. Maka penolakan istri adalah musuh yang harus dikalahkan dengan memberikan pemahaman agama, bahwa ibu atau saudara perempuannya yang tidak bersuami dan tidak bisa mencari nafkah merupakan tanggung jawabnya. Jika syaithon membisikan kepada suami untuk tidak melaksanakan kewajiban agama, bisikan ini pun adalah musuh dan wajib dilawan untuk dimenangkannya. Disetiap peristiwa, musuh manusia adalah bisikan atau keinginan nafsu dan syaithon, dan wajib dikalahkan dengan kepentingan Allah. Memeranginya merupakan jihad akbar dan barang siapa mati dalam keadaan berperang disebut sebagai syuhada.

Nafs itu adalah diri, tetapi yang lebih dekat maknanya sebagai 'jiwa', adalah suatu realitas yang lembut (lathîfah) yang ditempatkan di dalam kerangka badaniah dan bahwa darinya muncul ciri-ciri watak dan sifat-sifat tercela. Dengan cara yang sama, ruh merupakan realitas yang lembut yang ditempatkan di dalam hati, dan darinya muncul ciri watak dan sifat-sifat yang terpuji. Sebagaimana mata merupakan lokus penglihatan, telinga lokus pendengaran, hidung lokus penciuman, dan mulut lokus pencicipan, keseluruhannya disebut jism atau tubuh, demikian pula jiwa itu merupakan lokus sifat-sifat yang tercela pada tubuh. Kumpulan dari keinginan dari setiap anggota tubuh disebut sebagai syahwat. Syahwat bertujuan untuk kesenangan dan kebahagiaan diri. Sebagai contoh, meskipun seorang kakek sudah berumur 80 tahun, tetap saja merasa senang manakala melihat wanita cantik, mobil dan rumah mewah. Hal ini tidaklah salah karena Allah SWT yang mencipta dan menghendaki demikian adanya. Nafsu tidak mengenal tua, tetapi tubuh yang mengalaminya. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Syahwat adalah keinginan yang menggebu-gebu untuk segera dikerjakan.’ Nah, yang harus dilawan adalah keinginannya (Al Khawatir) atau syahwatnya bukan anggota tubuhnya. Akan tetapi keinginan dari nafsu oleh syaikh sufi sering disebut nafsu saja. Di Indonesia kita mengenalnya sebagai hawa nafsu, kata hawa diambil dari kisah Nabi Adam,as dan Hawa yang mempunyai keinginan untuk mendekati pohon terlarang. Keinginan Hawa ini disebut sebagai nafsu, oleh sebab itu keinginan diri atau keinginan nafsu disebut sebagai hawa nafsu.

Sebagaimana ucapan Imam Al Ghazali,qs bahwa nafsu itu mempunyai dua keinginan, yakni syahwat dan marah. Syahwat adalah keinginan dari pemuasaan anggota tubuh, seperti makan, minum, tidur, malas, melihat yang indah-indah, hubungan biologis, dan lain sebagainya, sedangkan nafsu marah adalah sombong, dengki, iri, benci, adu domba, gibah, senang kalau orang menderita, merasa pintar, mengaku tau agama, ingin dihormati, dan lain sebagainya. Berkaca dari riwayat nabiyullah Adam,as dan Iblis, yang sama-sama berbuat salah karena nafsu. Nabi Adam,as tergelincir karena nafsu syahwatnya ingin memakan buah yang terlarang, sedangkan Iblis karena nafsu marahnya, yaitu menolak patuh karena dengki dan berkata 'Ana khairun minhum, aku lebih baik darinya.' Malaikat pun bertanya kepada Allah tentang penciptaan Adam,as, tetapi setelah diberi tahu hakikat-Nya langsung patuh. Hukuman bagi pelaku pengikut nafsu berbeda-beda, yang disebabkan oleh syahwat, di turunkan dari surga ke bumi untuk dimuliakan atau untuk lebih mengenal Allah, untuk diberi ampunan-Nya. Sedangkan pelaku nafsu marah langsung dilaknat (laknatullah) dan ini sebuah keniscayaan dan jahanam tempat kembalinya, naudzubillah mindzalik. Berapa banyak kita telah melakukan dengki, iri, sombong? Mengapa dalam tubuh kita ini muncul syahwat dan marah?

Yang paling menarik dari pengajian tasawuf adalah penjelasann tentang anasir dan hubungannya dengan diri. Guru kami Syaikh Waasi’ Achmad Syaehuddin (semoga Allah merahmatinya) mengatakan bahwa ‘Tubuh manusia ini dicipta dari unsur alam semesta, yaitu tanah, air, udara dan api.’ Atau bisa disebut terbuat dari saripati alam semesta, sehingga manusia disebut sebagai ringkasan alam semesta (micro kosmos), artinya sebanding dengan semua alam ini, namun dalam ukuran kecil. Dalam hal ini, jiwa itu diselimuti empat sifat yang berbeda. Yang pertama adalah makna dari sifat-sifat Kebesaran (rubúbiyyah), seperti sombong, tak terkalahkan, cinta akan puji-pujian, agung, dan merdeka. Ia juga diselimuti ciri-ciri watak dari syaithon, seperti menipu, kejam, iri, dan curiga. Dan ia juga diselimuti perangai hewan, yaitu suka akan makanan, minuman, dan perkawinan. Dan dengan semua ini, ia juga dianggap bertanggung jawab atas sifat-sifat hamba, seperti takut dan rendah hati. Hamba itu bukanlah hamba sejati sebelum dia disucikan dari ketiga makna pertama. Ketika dia menyadari sifat-sifatnya sebagai hamba, maka dia terbebas dari sifat-sifat kebesaran yang menyelimutinya. Oleh sebab itu, kita mesti menghormati manusia, karena satu manusia itu kekuatannya sama dengan alam semesta. Terdapat dalam hadist bahwa manusia akan dibangkitkan di Yaumil Akhir berdasarkan rupa binatang sesuai dengan sifat yang dominan ketika ia hidup. Semua sifat-sifat yang tumbuh dari Jasmani ini, adalah untuk mempertahankan kehidupan, adakah binatang yang lapar lalu diam saja? Tentu dia akan mencari, kalau tidak dapat akan mencuri, kenapa? karena untuk mempertahankan eksistensinya dan ingin mendapatkan Kesenangan. Juga, akan menolak sesuatu yang menyakitinya, sifat kebinatangan ini adalah sifat manusia. Manusia dihina pasti akan marah, meskipun ia salah, jadi jangan dianggap salah jika ada yang membela diri. Hal ini adalah anugerah Allah SWT dan itulah salah satu cara-Nya memelihara manusia. Tetapi dalam hubungannya dengan syariah Agama, nafsu itu adalah musuh, karena keinginan nafsu itu akan melampaui batas! Oleh sebab itu, harus diperangi sesuai aturan agama (mujahadah).

Pembangunan agama kepada diri manusia, bertujuan agar terjadi keseimbangan antara lahir dan batin antara sifat jasad dan sifat Ruhani. Karena selain jasad atau tubuh atau diri, Allah SWT juga meniupkan ruh-Nya kedalam jasad ini. Apa yang dimaksud dengan melawan nafsu? artinya tumbuhkan di dalam diri ini sifat-sifat ‘Ruhani’. Jika jasad punya sifat seperti yang sudah disampaikan diatas, maka ruhani juga mempunyai potensi sifat-sifat seperti sabar, ridha, syukur, tawakkal, siddiq, amanah, marifah, wara, yaqin, sifat-sifat ruhani itulah sifat agama. Didalam hadis dikatan bahwa wanita dinikahi karena empat perkara, yang terkahir adalah ‘agamanya’, maksudnya adalah akhlak agamanya, yaitu sifa-sifat ruhani yang ada pada dirinya. Jika seseorang mempunyai istri yang akhlaknya baik, maka itulah surga dunia, dan sebaliknya jika akhlaknya buruk maka itulah neraka dunia. Sekarang kita bisa memahami wejangan Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) tentang mujahadah, yaitu memerangi nafsu dengan ruhani, atau menangani musibah dengan sifat-sifat ruhani. Dikatakan musibah manakala keinginan dari salah satu anggota tubuh tidak diperoleh, menanganinya harus dengan ruhani. Jika tidak, maka sifat binatang buas yang ada pada diri akan muncul kepermukaan, pukul saja, hina saja, gigit saja, curi saja kalau sudah demikian nasihat pun tidak didengar. Kebuasan sifat nafsu ini bukan seperti sifat anjing saja, melainkan sebanyak binatang buas di bumi dan di lautan. Jika bukan dengan Ruhaninya tidak akan tunduk manusia itu.

Manusia bisa saja memimpin menggunakan hartanya, jika hartanya habis maka dia akan ditinggal pengikutnya, demikian pula jika menggunakan jabatan dan jika jabatan dicopot maka akan dijauhi. Nah, jika orang memimpin menggunakan ruhaninya, atau sifat-sifat Tuhan yang di jelmakan kepadanya, maka siapa yang tidak tunduk kepada Tuhan? Oleh karenya ulama itu dihurmati meskipun miskin, meskipun sudah wafat karena ia hidup dengan ruhani, hidup dengan sifat-sifat Tuhan.

Maksud hidup dengan ruhaninya adalah hidup dengan sifat-sifat mulia itu. Inilah yang dikatakan bahwa hidupnya dengan Allah, karena sifaf-sifat Allah ada pada dirinya. Seperti kita mencintai seorang kekasih, meskipun ia jauh keberadaannya tetapi terasa dekat, terasa ada ketersambungan dan terasa bersamanya, karena sifat-sifatnya ada pada diri kita. Jika dalam kehidupannya terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan atau musibah maka dihadapinya dengan sifat ruhani untuk mengalahkan sifat nafsu, jika terjadi begini harus ridho, atau jika begitu harus sabar, tawakal, zuhud, dan seterusnya, ini yang dinamakan melawan nafsu. Allah SWT bersabda bahwa sholat itu berat bagi jasad, kecuali yang hatinya tunduk, maksudnya sholatlah dengan sifat ruhani. Makanya Nabi saw berkata mudahkan agama jangan susahkan, maksudnya miliki keruhanian nanti jadi mudah agama itu.

Syaikh. Achmad Syaechudin (semoga ALlah merahmatinya) berkata kepada murid-muridnya : 'Perangilah nafsumu dengan mendawamkan dzikir dan mendawamkan ubudiyah.' Apa yang diamksud dengan perkatan ini? InsyaAllah akan disampaikan pada bab berikutnya.

Semoga bermanfaat wallahualam bisawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.