Rabu, 22 Januari 2020

MEMERANGI NAFSU

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Memerangi nafsu banyak cara, namun akan jitu manakala diperangi menggunakan metode yang dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kecerdasan spiritual, karena telah terbukti memenangkannya. Dikatakan bahwa ikuti keburukan dengan kebaikan, maka keburukan akan terhapus. Maksudnya jika telah memberi sesuatu dengan sombong, ikuti dengan memberi lebih banyak lagi agar sombong sirna meskipun masih ingin dipuji, oleh karenanya ikuti dengan memberi lagi karena Allah. Buruk adalah sifat nafsu sedangkan baik adalah sifat ruhani. Imam Al Ghazali,qs, pernah bercerita, bahwa seorang sufi pernah berkata : ’Berbuat ikhlas selama empat puluh hari maka akan memancar hikmah dari mulutnya,’ maka dilakukannya hal ini dengan baik, lalu disaat ingin berdawah, seolah-olah menjadi bisu karena tidak ada pemahan yang bisa disampaikan. Kemudian beliau bermimpi dan menemukan letak kesalahannya, yakni selama empat puluh hari itu yang dituju adalah ‘hikmah’ bukan ‘pemilik hikmah’. Lalu beliau sadar dan mencari guru tasawuf dan berkhalwat untuk meluruskan hatinya kepada Allah. Inilah perbedaan antara syariat dan tarekat, yang pertama mempelajari apa yang diperintah dan dilarang oleh Allah karena mengharapkan pahala dan menghindari siksa, sedangkan didalam tarekat meluruskan pandangan hatinya dengan dan karena Allah SWT tanpa memperdulikan pahala dan siksa.

Suatu hari, didalam khalwat Syaikh. Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) menyuruh murid-muridnya mengamalkan dzikir ataqoh, yaitu berdzikir dengan menjaharkan kalimat ‘Laa ilahaa Illallaah’ 70.000 kali banyaknya. Setelah tiga hari, semua murid ditanya apakah telah menyelesaikannya dijawab ‘ya’, hanya seorang murid yang mengatakan ‘belum’, lalu syaikhuna memberikan hadiah berupa minyak wangi kepadanya. Dalam hal ini, murid-murid yang lain melakukannya dengan nafsu, yang bertujuan ingin cepat selesai, sedangkan seorang murid melakukannya dengan meluruskan pandangan hatinya ‘hanya Allah saja’, dan tidak peduli terhadap bilangan.

Rasulullah,saw, selalu membaca doa sebelum salam dalam setiap shalatnya : ‘Allahumma a’inni ala dzikrika wa syukrika wa husni ibadatik, artinya Ya Allah, Tolong aku untuk mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu dan beribadah yang baik untuk-Mu.’ Syaikh, Waasi’ Achmad Syaechuddin (semoga Allah merahmatinya) berkata : ‘Perangilah nafsumu dengan dawamudz dzikri wa dawamun ubudiyah.’ Hadis yang mulia diatas dan perkataan Syaikhuna berbeda, namun mempunyai makna yang sama. Dzikir mendahului syukur dan ibadah. Mengapa dibedakan antara dzikir dengan ibadah, bukankah dzikir adalah salah satu bentuk dari peribadatan?

Kita pahami bahwa melawan nafsu adalah dengan cara menumbuhkan sifat-sifat ruhani. Berarti ada dua entitas yang menjadi pokok pembahasan, yakni sifat nafsu dan sifat ruhani. Dikisahkan ketika Allah menciptakan ruh dan kemudian bertanya : ‘Bukankah Aku ini tuhanmu? Ruh itu menjawab : ‘Betul Engkau Tuhan kami dan kami bersaksi.’ Berbeda ketika Allah bertanya kepada nafsu : ‘Siapa Aku dan siapa engkau?’ Dengan angkuhnya nafsu itu menjawab : ‘Ana ana anta anta, saya ya saya kamu ya kamu.’ Kemudian nafsu disiksa dibakar selama ratusan tahun, ketika ditanya masih menjawab dengan jawaban yang sama. Selanjutnya nafsu tidak diberi makan dan minum dalam waktu yang lama, barulah ia menyatakan : ‘Anta Rabbi ana 'abdi, Engkau Tuhanku dan aku hamba-Mu.’ Oleh karenanya Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata bahwa : ‘Melemahkan keinginan nafsu adalah dengan cara mengurangi kesenangan atau kebiasaannya, sedangkan menghidupan ruhani dengan banyak berdzikir,’ yakni Melemahkan nafsu dengan cara melemahkan tubuh dengan sedikit makan, mengurangi tidur atau menghidupan malam (ihya ullail), menghindari bergaul dengan orang dan mengurangi berbicara.

Mengurangi makan kita kenal sebagai puasa, oleh karenanya umat Islam diwajibkan puasa satu bulan lamanya dalam satu tahun untuk melatih melawan nafsu guna menghadapinya sebelas bulan kedepan. Tidak heran jika Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata bahwa : ‘Puasa itu nisfu thariq, atau setengah jalan.’ Maksudnya adalah senjata yang terampuh untuk menghadang laju pertumbuhan dan penguasaan nafsu. Bahkan para sufi melakukan puasa tarbiyah pada setiap kehidupannya, yaitu berhenti makan yang bernyawa dan dalam porsi yang sangat sedikit, dalam adat jawa disebut sebagai ‘mutih’.

Mendawamkan dzikir sulit dilakukan, berbeda bila dzikir dilakukan hanya menggunakan mulut dan akal, ini adalah dzikir bersama dirinya, akalnya mencoba mengesakan, siapapun bisa melakukannya. Dzikir yang dimaksud oleh Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) adalah dzikir yang dilakukan oleh ruhani, atau sudah menjadi karakter ruhaninya, dalam istilah tasawuf disebut sebagai maqom yang tamkin. Sehingga yang berdzikir dan yang didzikiri adalah satu. Ditahun 1999 Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) pernah berkata bahwa : 'Kalau saya boleh menyebut maqom kepada Rasulullah,saw, maka maqom beliau adalah dzikir.' Sehingga tidak akan pernah lupa kepada Allah seditikpun, sedangkan maqom kita adalah maqom lupa, sehingga banyak lupa dan sedikit sekali ingat. Hanya dengan dzikir yang dilakukan oleh ruhani inilah yang mampu memerangi nafsu dan akan menentramkan hati. Oleh sebab itu jangan pernah bertanya mengapa saya sudah dzikir ratusan ribu, tetapi hati tidak tenang? Hidupnya dzikir sebagai sifat ruhani diperoleh dari suhbah kepada Guru, sehingga sifat-sfat ruhani yang ditajallikan oleh-Nya kepada Guru berpindah kepada sang murid. Suhbah tidak harus berkumpul secara jasmani saja, melainkan diazaskan oleh rasa cinta (hub), sehingga rabithoh pun akan mengalirkan sifat-sifat mulia ini. Janganlah bersuhbah dan berqudwah kecuali kepada orang yang kamu mendapatkan daripada perkataannya, harum semerbak Ma'rifat, dan buah-buah cinta. Karena tidaklah seorang Arif itu berbicara mengenai politik dan bisnis atau berbicara yang bukan hakiki, melainkan hanya yang dicintainya saja yaitu Allah, kata-katanya bersumber dari kedalaman hati yang paling dalam, yang menumbuhkan hati pendengarnya bunga-bunga hikmah dan buah-buah ibroh pelajaran.

Sesungguhnya yang melakukan ibadah itu adalah ruhani, karena ada tubuh dan berbagai keinginannya, maka dengan terpaksa tubuh ikut dan merasa berat. Itulah mengapa tubuh harus dilemahkan, agar tubuh beribadah atas kendali ruhani. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata bahwa : ‘Ibadah haji adalah ibadah phisik, banyak keluh kesah, padahal dibalik ini pelemahan tubuh akan terbit cahaya ruhani yang menguatkan ibadah.’ Ciri-ciri orang yang mempunyai ruhani yang bersih, apapun yang keluar dari lisannya manakala tertimpa musibah adalah hikmah, bukan makian atau sumpah serapah, karena tidak ada lagi khazanah buruk didalam dirinya.

Itulah makna perkataan Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) : 'Dawamudz dzikri wadawamun ubudiyah.'

Semoga bermanfaat, wallahualam bisawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.