Jumat, 24 Januari 2020

LALAI

Bismillahir Rahmaanir Rahiim

Ada sebuah ayat Al Qur’an yang mengatakan bahwa perintah mendirikan shalat itu untuk mengingat-Nya, dan hanya dengan mengingat-Nya hati menjadi tenang. Faktanya banyak orang yang telah melakukan shalat dan dzikir lebih dari lima belas tahun, tetapi hatinya tidak tenang, maksiat tetap dilakukan. Apa yang salah? Bisa jadi sholat dan dzikirnya dalam keadaan lalai dari mengingat-Nya dan bukan untuk-Nya, melainkan untuk dirinya.

Lalai dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya merupakan kelalain orang awam, ibadah dilakukan karena ingin mendapatkan pahala pun masih dinilai lalai, apalagi jika tujuannya ingin dilihat orang, ingin mendapat status sosial sebagai orang yang dimuliakan. Meskipun seseorang sudah berilmu agama dan beramal sholeh pun masih ada kelalaian, yaitu kelalaian yang halus dan tidak disadarinya, yaitu lalai daripada mengesakan Allah, atau lalai dari tauhid, lalai dari meyakini bahwa apa yang terjadi atas kehendak Allah. Banyak orang yang hidup dalam lingkungan tasawuf pun pemahaman lalainya hanya dalam konteks syariah saja, bukan dalam konteks adab atau hakikat jiwa atau ruhani. Orang yang dewasa batinnya, malah selalu bertanya dalam hatinya apa yang Allah akan perbuat selanjutnya, keyakinanya selalu memberitahu bahwa kehendak dan perbuatan-Nya didalam ilmu-Nya. Sehingga yang dirasakan tidak lain hanya untuk menyaksikan kehendak Allah, menyaksikan ilmu-Nya pada dirinya atau diluar dirinya.

Kita terjebak pada kebiasaan dalam melakukan peribadatan dan tidak berdasarkan ilmu dan ma'rifat, itulah mengapa Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering berkata bahwa : ‘Mengajilah kepada banyak guru syariat.’ Karena kualitas ibadah itu berpangkal kepada ilmu, barulah peribadatannya akan membangun ruhani, akan membuahkan rasa (dzauq). Maka dari itu tahapannya adalah syariat, tarekat, hakikat dan ma’rifat. Kita tidak menguasai syariat atau fiqih tetapi sudah bertarekat dan malas membaca atau mengaji syariat, oleh sebab itu jangan pernah berharap akan memperoleh hakikat, jangan merasa sudah bertarekat lalu tabu membaca buku tentang syariah atau fiqih. Salah satu kitab yang fenomenal pun menggabungkan keduanya, yaitu karya Imam Al Ghazali,qs, yang berjudul Al Ihya ullumiddin yang didalamnya terdapat apa-apa yang dibutuhkan oleh ruhani.

Dalam kehidupan ini, apa yang dilihat oleh mata akan disimpan didalam otak, bila diperlukan maka akan muncul dalam ingatan terhadap apa-apa yang pernah dilihat dan diperbuat. Apakah yang dimaksud dengan dzikir itu mengingat apa yang pernah kita lihat? Jawaban ya, tetapi bukan yang pernah dilihat oleh mata, karena tidak mungkin Allah bisa dilihat oleh padangan mata, melainkan oleh mata batin atau syuhud. Oleh karenanya yang mengingat atau berdzikir itu adalah ruhani, bukan ucapan mulut dan pikiran atau bukan jasmani atau tubuh. Inilah yang dimaksud dengan membangun ruhani, agar mempunyai penglihatan batin yang tajam, atau basyirah. Oleh sebab itu dzikir jangan disamakan dan dianggap sebagai latihan vocal, hanya mementingkan cara dan iramanya saja. Kebanyakan, mengucap kalimat Laa ilahaa illallaah yang berguna untuk mengesakan-Nya malah lupa kepada-Nya, yang paling jauh adalah berusaha mengalahkan pikiran yang lain dengan pikiran tentang Allah. Meskipun berpahala tetapi masih jauh dari yang dimaksud dzikir, karena tidak akan merubah jiwa. Untuk membuang jauh-jauh pikiran yang ngelantur, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) menyarankan murid-muridnya agar merasakan seolah-olah sedang membersihkan hati, atau seolah-olah sedang merasakan rindu kepada yang dicinta. Karena tidaklah mungkin menjadi maestro pelukis tanpa latihan melukis, atau ahli panah tanpa latihan memanah, semua perlu riyadhah dan mujahadah atau dawamudz dzikri wa dawamun ubudiyah. Berbeda dengan para mursyid, selalu hudhur meskipun sedang dalam pembicaraan kepada orang lain.

Banyak menyebut kalimat laa ilahaa illallaah, bertujuan untuk menghilangkan kemajemukan dan menunggalkan Allah saja didalam hati, disebut sebagai penafian dari yang lain dan mengistbatkan Allah saja. Yang artinya masih sibuk dengan meniadakan yang lain, oleb sebab itu dzikir yang dilakukan oleh para muqorrobin adalah, Allah … Allah ... Allah atau disebut ismu Dzat. Dzikir 'Allah' itu mujarob, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) menyampaikan wejangan mengapa ketika dzikir 'Allah' itu harus membayangkan huruf Allah kedalam pikiran, kemudian dimasukkan atau dipahat kedalam hati, agar seolah-olah dihati terukir kata Allah guna membuang segala sesuatu selain-Nya. Rasulullah,saw, pernah berkata ketika seorang hamba melakukan dosa maka akan ada satu titik hitam di hatinya, lalu berapa banyak titik hitam didalam hati kita? Maka lafal Allah itu menghapusnya. Oleh sebab itu, ketika berdzikir jangan ada tujuan lain, jangan merasa sedang mempersembahkan amal, atau bahkan merasa bahwa amalnya banyak, ini bukan berdzikir malah ujub dan akan menghapus fadhilah dzikir. Merasa seperti itu membuat dzikir tidak menghapus, maka harus murni untuk Allah saja. Berpikir menghapus atau membersihkan pun Jangan, lalu kemudian merasa senang, lega setelah dzikir, itu nafsu sedang menipu.

Nafsu akan menikmati ketika dibawa maksiat, sebaliknya ruhani tidak. Sedangkan rasa ruhani ketika dzikir, akan merasakan tiada, itu yang membuat merasa aman karena bukan dia yang berdzikir kecuali kehendak-Nya, rasa tidak khawatir, was-was hilang karena dia tidak ada, tidak dapat berbuat apa-apa, hanya Allah yang Maha Agung itulah rasa tenteram (tathmainnul qulub), seperti istri disamping seorang suami yang gagah dan kaya raya, artinya kalau ada musibah apapun ada suami yang menanganinya. Dzikir juga bukan untuk menangis, apalagi jika sang Ustadz pandai membuat tangis, ini bukan tidak berguna tetapi emosional, tidak sedikitpun menyentuh ruhani meskipun berpahala. Tapi bagi tasawuf jangan berhenti di situ, itu belum melangkah dalam kesucian.

Ada satu rasa yang tak dapat dilukiskan, ketika dzikir 'Allah' meskipun belum menjadi maqomnya, belum menjadi karakter jiwanya, katakan masih mencoba untuk menghancurkan hijab. ketika hijab itu robek, maka yang mengingat itu bukan dari pikiran, tetapi dari dalam ruhani lalu keluar kepikiran, dia merasa tidak ada, bahkan tidak 'merasa' lagi. Bisa diilustrasikan seperti orang yang dibuang ke jurang dan tidak dapat berpegangan apapun ada 'ingat' yang deras dari dalam lalu keluar.

Dzikir bukan membesarkan ingat oleh ucapan, kalau pemula memang harus begitu guna mencerahkan. Terlalu banyak hambatan yang bersifat subjektif yang terkadang kita sendiri tidak merasa dan sulit untuk dilepaskan, oleh karenanya istilah tasawuf hilangkan rasa (penafian), inipun hanya sebuah 'bahasa', karena jika berdzikir lalu merasa menghilangkan rasa, maka rasa menghilangkan ini lebih tebal daripada rasa yang sedang diupayakan untuk dihilangkan, atau malah mempertebal hijab. Oleh sebab itu wejangan Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) saat akan dimulainya dzikir jahr berjamaah mengatakan : 'Lupakan yang lain dan ingat Allah saja, atau rasakan seolah-olah sedang membersihkan hati,' perlu dimaknai secara bijaksana, karena dalam kholaqoh dzikir dihadiri oleh jamaah yang beraneka ragam keadaan spiritual dan keinginannya, yang seharusnya hanya ingin 'Allah' saja.

Demikian semoga bermanfaat, wallahualam bisawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.