Selasa, 28 Januari 2020

CARA MENGENAL ALLAH

Bismillahir Rahmaanir Rahiim

Dalam pengajian Syaikh. Waasi Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) mendadak terdiam, kemudian beliau berkata : ‘Tidak ada bahasa apapun untuk disampaikan.’ Maksudnya, ilham yang beliau terima atau syuhudnya tidak dapat dikiaskan kedalam kata-kata yang bisa diterima oleh akal. Karena beliau menerima atau menyaksikan dengan ruhaninya atas sesuatu yang ghaib, sedangkan sesuatu yang ghaib itu tidak bisa dipahami dan dilihat oleh akal inderawi.

Seseorang mengkhayal membuat mobil, kerangkanya terbuat dari air dan mesinnya dari angin. Meskipun ini khayal, tetap harus menggunakan benda yang dikenali didalam dunia ini, dan tidak mungkin yang tidak dikenalinya. Bagaimana kalau ‘sesuatu’ itu tidak ada dalam khayal atau pikiran yang mampu mendekati maknanya? Didalam pembukaan surat al Baqoroh dikatakan bahwa salah satu makna takwa itu percaya kepada yang ghaib. Apa itu ghaib? Para ulama mengelompokkan ghaib menjadi dua macam, yaitu Ghaib Mutlak dan ghaib majazi atau bukan hakiki. Ghaib Mutlak atau Hakiki itu Allah sedangkan selain-Nya adalah ghaib majazi. Allah itu wujud (ada) sedangkan yang lainnya ternasuk manusia itu tidak ada.(adam). Bagaimana mungkin yang tidak ada mengenal yang Ada? Oleh karenanya, yang dimaksud dengan mengenal Allah bukan mengenal bilangannya, bukan mengenal sosoknya, melainkan meng-esa-kan-Nya dengan cara yang shahih.

Sebelum mengenal-Nya, seseorang hanya melakukan praktek ibadah secara jahir saja. Mengenal Allah dapat diawali dengan menggunakan akal, karena akal adalah suatu alat untuk menandakan atau mengikat kepada benda yang menjadi objek pikirannya. Al Qur’an pun demikian, ketika menerangkan hakikat atau sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh mata inderawi, menggunakan bahasa yang bisa dipahami oleh akal, artinya yang telah diikat dengan nama-nama dan istilah yang logis. Ada penerangan tentang Allah, maka akal menerima bahwa Allah yang menciptakan, mengatur, memberi rizki, menghidupkan dan mematikan dan masih banyak yang bisa diterima dan dipahami menurut akal, bahkan menjadi azas akal, azas pikiran, sehingga apa yang dilakukan berdasarkan azas pikiran ketuhanan ini. Selanjutnya mengenal Allah ‘memandang’ bahwa segala sesuatu tidak ada dan yang ada hanyalah Allah, disebut sebagai tauhid atau hakikat dari pada pengesaan Allah, maka sudah bukan lagi akal tetapi sudah bersifat hakiki, akal akan berhenti berpikir manakala jiwa telah mengesakan Allah menunggalkan Allah itulah mengenal-Nya. Lalu bagaimana cara mengesakan-Nya? Imam Junaidi al Bagdadi,qs, Imam Ibnu Arabi,qs, Imam Jilly,qs, dan Syaikh Waasi Achmad Syaechudin (semoga Alah merahmatinya) telah membuat manhaj untuk mengenali-Nya, yang disesuaikan dengan keadaan pengikutnya agar mudah dipahami dan dikerjakannya.

Allah berifirman kepada Rasulullah,saw, : ‘Kuntu kanzan makhfiyyan fa ahbabtu an u'rafa fa khalaqtu al-khalqa fabi 'arafuni,’ yang artinya Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, Kuciptakanlah makhluk maka melalui Aku mereka kenal Aku.

Akal mampu memahami ketika seseorang bercermin, maka akan terlihat dirinya didalam cermin, tetapi bukan dirinya dan bukan selain dirinya, artinya bahwa semua perbuatan yang didalam cermin mengikuti kehendak yang diluar cermin, dalam hal ini yang didalam cermin kita sebut ‘jelmaan’. Kalimat ini, boleh diganti bahwa manusia dari Allah, tetapi bukan Allah dan bukan selain Allah. Begitulah Allah menciptakan makhluk seolah-olah sebagai sesuatu yang berada didalam cermin, sebagai shuroh_nya, sebagai majlah-Nya. Karena ada ego atau nafsu maka manusia mengaku bahwa semua upayanya adalah perbuatan dirinya. Manusia terhijab dengan pengakuan ini, semakin lama semakin tebl dan menjadi lupa bahwa segala sesuatu yang diperbuatnya bertujuan agar digunakan untuk mengenal-Nya. Manusia yang sempurna atau insan kamil, bukan lagi merasakan bahwa manusia itu berbuat sesuai dengan khendak-Nya, melainkan hilangnya dualitas, yaitu Allah saja.

Dalam hal ini Allah tidak memilih malaikat sebagai jelmaan untuk menjadi objek dalam mengenal-Nya dan bukan ciptaan yang lain, kecuali hanya manusia. Manusia tidak dibebankan untuk menilai perbuatan orang lain, kecuali kepada dirinya sendiri. Sedangkan kaitannya dengan orang lain adalah untuk berkhidmat kepada-Nya. Manusia bermuamalah, beribadah semuanya untuk Alah untuk menyembah dan melaksanakan perintah-Nya, jika untuk selain-Nya itu salah menyusun ideologi bertauhid, salah arah, kenapa melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan, mengerjakan sesuatu yang sebenarnya ada pelaku-Nya, yakni Allah. Kita hanya diperintahkan untuk mengenal Allah, untuk menyaksikan semua dari Allah, maka manusia akan mengabdi kepada Allah, kepada semua yang Allah perintah melalui ciptaan-Nya. Maka setiap individu adalah objek untuk mengenal dirinya sendiri, namun tidak akan mampu mengenal dirinya, jika Allah tidak membagi alat untuk mengenalnya, dalam hadis dikatakan ‘Man arofa nafsahu.’ Alat untuk mengenal-Nya adalah ada di ruh yang ditiupkan oleh-Nya saat manusia berusia empat bulan pada rahim ibunya. Di dalam ruh Ini ada sifat-sifat mahmudah atau sifat terpuji atau akhlak karimah atau maqomat ruhiyah. Agama yang kita laksanakan bertujuan untuk menghasilkan sifat-sifat ini dengan istilah lain membentuk kepribadian, membentuk keruhanian, membentuk manusia yang baik, manusia yang sempurna. Karena jasad manusia sudah sempurna, tapi ruhnya belum sempurna. Oleh sebab itu, jika shalat atau ibadah dan berbuat kebaikan jangan berpikir pahala, lakukan karena Allah. Nanti Allah akan tukar dengan sifat-siaft-Nya sifat Jamal-Nya, sifat terpuji, akhlak mulia.

Teruslah shalat meskipun belum khusyuk, tetapi selalu memohon pertolongan-Nya, kita mulai dari pikiran yang diarahkan kepada-Nya sebatas yang dipahami, nanti Allah akan tukar dengan khusyu dengan sifat malu, dengan khauf, dan lain sebagainya, apabila Allah sudah beri sifat ini, maka sifat-sifat inilah yang memancarkan cahaya makrifat atau syuhud atau dzauq. Jadi yang disebut dzauq atau syuhud atau cahaya, terbit dari sifat-sifat yang diperolehnya yang menjadi karakater hatinya, maqomnya, maka setelah itu semua, apa yang menjadi suratan takdir adalah jelmaan-Nya, shurah, perkenalan atau pertunjukan Allah kepadanya.

Maka mengenal Allah itu dari Allah dengan Allah untuk Allah, 'Huwa yakrifu nafsahu binafsihi linafsihi', Dia mengenal diri-Nya dengan diri-Nya untuk diri-Nya. Oleh sebab itulah mengapa guru kami tercinta Syaikh Waasi Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) memberikan penjelasasn tentang muroqobah Ahadiyah yang merupakan muroqobah pertama dari tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah, bahwa tidaklah sah muroqbah Ahadiyah manakala masih menyadari dirinya ada.

Semoga bermanfaat, wallahualam bisawwab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.