Bismillaahir Rahmaanir Rahiim
Pengajian tentang syauq telah berlangsung sejak bulan January 2017, satu bulan lamanya guru kami Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) menjelaskan makna terdalam dari syauq ini berdasarkan kitab al Luma karya Syaikh abu Nasr Al Sarraj,qs., dan pengalaman ruhani pribadinya.
Meskipun rindu ini adalah maqom syarif atau kedudukan yang mulia yang hanya dikenakan oleh ahli-ahli ruhani yang tangguh dan dipilih oleh Tuhan, tidak ada salahnya jika dibawah ini diuraikan sekelumit tentang pengetahuannya. Karena tidaklah mungkin menjelaskan keadaan rindu tanpa menjelaskan pengetahuannya terlebih dahulu. Para ahli tarekat percaya bahwa rindu adalah sebuah tangga yang mungkin bisa didaki dan ditapaki dengan sebuah upaya yang sungguh-sungguh (riyadah) dan terus menerus memerangi hawa nafsu (mujahadah).
Kata syauq dan syauk dalam Bahasa Arab hanya berbeda satu huruf, yang pertama berarti rindu dan yang kedua duri. Hal ini mencerminkan bahwa derita karena rindu seperti hati yang tertusuk-tusuk duri. Derita rindu hanya dirasakan oleh pecinta yang terpisah dari yang dicinta. Dari penderitaan ini lahirlah gerak tarian dan syair-syair yang mempesona. Salah satu pecinta yang menggemparkan dunia kesufian adalah Hadrat Maulana Jalaluddin Rumi,qs., yang secara menakjubkan menjalin sulaman kata-kata yang rumit menjadi rangkaian sajak yang bermutu tinggi, laksana mutiara yang baru lepas dari rumahnya, seperti juga ketika ia berputar-putar dalam tarian darwisnya. Sejarah kesufian mencatat bahwa penganut doktrin cinta yang pertama kali adalah seorang sufi wanita yang bernama Rabiyah al Adawiyah,qs., yang sezaman dengan Hasan al Basri,ra, yang menganut doktrin kezuhudan. Dari ketiga karya Hadrat Maulana Jalaluddin Rumi,qs., yaitu Fihi ma fihi, Matsnawi dan Diwani Syamsi Tabrizi semuanya bercorakkan cinta dan kerinduan yang tiada duanya. Sebagai tanda penghurmatan, Syaikh kami (semoga Allah merahmatinya) telah beberapa kali ziarah ke Konya, Turkiye tempat beliau dimakamkan dan mengikuti perayaan haul disana. Dalam perjalanan spiritual ini disampaikan sejarah kehidupannya yang begitu memikat kepada murid-murid yang menyertainya.
Salah satu syair Hadrat Maulana,qs., yang apik dan dikenal dibelahan dunia barat sekalipun, mengisahkan kerinduan seruling bambu yang terpisah dari rumpun bambu, yang tangisnya di ilustrasikan sebagai alunan suara seruling, sebagai gambaran kerinduannya kepada Tuhan. Seperti ruh yang terpenjara oleh pesona alam dunia yang ingin kembali kepada pencipta-Nya. Menjadi perbincangan yang hangat bagi kelompok pencinta seni dan kesucian yang tiada henti-hentinya.
Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) pernah berkata bahwa : 'Tanda kerinduan adalah mencintai kematian.' Wejangan ini begitu tinggi kandungan maknanya, karena hanya dengan kematian perjumpaan dengan yang dicinta bakal terwujud. Baginda Rasulullah,saw., pernah bersabda : ‘Mutu qobla anta mutu,’ yang artinya matilah engkau sebelum engkau mati, atau mati secara maknawi sebagai manusia yang telah terbebaskan dari hawa nafsu atau keinginan diri. Orang yang ghaybah (terpisah) dari hawa nafsunya maka ia akan hudhur (hadir) bersama Tuhannya, orang yang hudhur akan terbebas dari belenggu penderitaan karena sirna kerinduannya.
Cinta dan kerinduan letaknya di hati atau latifatil qolbi, oleh karenanya bagi murid yang telah diijazah dzikir lataif oleh Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya), dianjurkan untuk selalu menghadirkan kedua rasa ini manakala memulai pelaksanaan dzikir. Meskipun terdengar absurb, dan dirasakan begitu sulit melakukannya, namun disuatu saat, jika sang murid beruntung memasuki alam muroqobah akan mengetahui manfaat dari pekerjaan tersebut.
Rindu murid kepada guru mursyidnya, karena pesonanya yang begitu hebat bersarang didalam hati. Tidak ada sesuatu pun yang mempesona kecuali gurunya. Perasaan ini mendominasi ruang hati yang membuat sang murid selalu dalam keadaan rindu dan ingin berjumpa dengan mursyidnya. Ikatan batin yang begitu kuat ini, menjadi modal utama bagi sang murid untuk menapaki jalan kesucian. Tanpa disadari, dalam keadaan yang demikian jalur cahaya ke ratai emas silsilah tarekatnya selalu terbuka, sehingga amal-amal yang dilakukannya dapat dengan cepat sampai ketujuan. Dengan berkah gurunya, lama kelamaan perasaan rindu kepada mursyidnya akan ditransformasikan menjadi rindu kepada baginda Rasulullah,saw., dan seterusnya sampai kepada Allah SWT dengan rasa dan kadar rindu yang berbeda.
Betapa indah jenis kerinduan seperti ini, yang merobek-robek hati dan memaksa air mata bercucuran, khususnya manakala api rindu berkobar didadalam dada dan membakar segalanya kecuali yang dirindukan. Airmata kerinduan yang menetes mempunyai kualitas yang berbeda dengan airmata biasa. Suatu ketika Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berada di Kalimantan Timur tepatnya di Penajam, sedang diatas perahu bersama dua orang muridnya, saat itu mendung begitu gelap dan hujan, ajaib hujan hanya berputar-putar disekeliling, tanpa menyentuh sedikitpun orang-orang yang berada diperahu. Ditanya penyebabnya, Syaikhuna (semoga Allah meramatinya) menjawab : 'Itu bisa terjadi karena bias kecintaan dan kerinduan murid kepada gurunya, yang menjadikan alam merunduk karenanya.' Di zaman kini, kejadian yang seperti ini, yang dapat mengguncangkan alam semesta, yang membuat iri makhluk-makhluk ghaib lainnya, sudah langka! Wajar bila seorang Ibu yang sudah sepuh berkata bahwa kita hidup di zaman edan dan zaman yang hanya berisikan kekosongan.
Semoga Allah menyayangi kita semua.
Selasa, 28 Februari 2017
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.