Jumat, 24 Februari 2017

BASTH (KELAPANGAN) DAN QABTH (KESEMPITAN)

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Keadaan ruhani yang disebut dengan uns (kedekatan) dan haybat (keseganan) berkaitan erat dengan keadaan kelapangan hati (basth) dan perasaan kesempitan hati (qabth).

Murid yang menapaki tangga awal cinta belum tentu bisa membedakan perubahan pada nafs dan hati. Mereka masih bergelut dalam tahap pengenalan tehadap tabiat nafs-nya, dan mencoba dengan sekuat tenaganya untuk memeranginya, akibatnya yang dirasakan adalah perasaan gembira dan sedih yang datangnya secara tiba-tiba tanpa diharapkan. Pelaksanaan dzikir yang tekun disertai dengan metode yang benar senantiasa akan menghadirkan kedua keadaan itu, seiring dengan teguhnya keimanannya. Teguhnya keimanan akan mendatangkan harapan (roja) dan takut (khauf). Jika daya rojanya lebih dominan ia akan merasakan kegembiraan dan jika daya khaufnya yang lebih bekuasa ia akan merasakan kesedihan. Sementara bagi murid yang menapaki pertengahan tangga cinta, mereka dapat merasakan keadaan basth dan qabth yang berkaitan dengan perubahan pada nafs dan hati, sebagai ganti dari harapan (roja) dan ketakutan (khauf) pada pencinta tahap awal.

Untuk menyederhanakan pengenalan terhadap perubahan pada hati dan nafs yang berkenaan dengan qabth dan basth, diawali dengan salah satu ujaran dari yang mulia Syaikh Abu Yazid al Busthami,qs., yang mempunyai makna yang tinggi, yaitu : ‘Penyempitan kalbu terletak dalam kelapangan atau keleluasaan nafsu, dan kelapangan kalbu terletak dalam penyempitan nafsu.’ Beliau adalah seorang sufi agung yang namanya diabadikan dari perkumpulan para sufi yaitu Taifuriyah yang sekarang menjadi tarekat Naqsyabandiyah. Hampir semua ujarannya yang bisa dijumpai dalam kitab-kitab, bermutu tinggi. Namun, jIka ujaran-ujarannya diartikan oleh orang yang tidak mempunyai otoritas dalam bidang ini atau secara jahiran saja maka akan menuduhnya sebagai orang yang zindik, oleh karenanya para syaikh sufi sangat berhati-hati dalam menjelaskan kepada muridnya makna-makna yang tersembunyi namun mempunyai kandungan yang murni dan tinggi. Wajar saja, karena doktrin beliau dalam meneguhkan kesucian adalah kemabukan lawan dari pada ketidakmabukan.

Hubungan kalbu dengan nafs seperti wajah yang bermuka dua, jika wajah nafs terang maka wajah kalbu gelap, dan sebaliknya jika wajah nafs gelap maka wajah kalbu terang. Nah, dorongan kejahatan terletak pada an-nafs, sedangkan dorongan kebaikan terletak pada ar-ruh, jika keduanya ditempatkan dalam satu kamar hati atau kamar kalbu, maka keadaan kamar kalbu itu bisa berubah-ubah sesuai dengan ‘pengaruh’ pemenang pertempuran antara ar-ruh dan an-nafs tadi. Jika seseorang mengikuti keinginan an-nafs maka akan mempengaruhi ruang kalbu menjadi gelap, dan sebaliknya jika seseorang mengikuti ajakan ar-ruh atau kebaikan maka kamar kalbu terpengaruh menjadi terang. Jika gelap disebut sebagai hijab, maka hati akan merasakan ‘kesempitan’ dan jika terang disebut sebagai penyingkapan atau kasyf maka hati akan merasakan kelapangan. Akan tetapi gelap atau terangnya kamar kalbu, atau sempit dan lapangnya tergantung kepada kebijaksanaan Tuhan, tanpa manusia bisa mengupayakannya. Manusia tidak mempunyai hak sama sekali terhadap hal itu, meskipun ia melakukan latihan spiritual yang ketat. Oleh karenanya riyadhah dan mujahadah bukan penyebab langsung akan diperolehnya ‘kelapangan’ dan ‘kesempitan’ dalam istilah tasawufnya disebut sebagai ‘qabth dan basth’, namun tanpanya jangan pernah bermimpi untuk memperolehnya.

Pendeknya qabth dan basth adalah akibat dari pengaruh ruhani semata, yang datangnya dari Tuhan, dan memenuhi hati dengan kegembiraan serta menundukkan jiwa rendah, atau menundukkan hati dan menundukkan jiwa rendah dengan kegembiraan. Oleh sebab itu dalam qabth ada kesedihan dan dalam basth ada kegembiraan. Nafs yang sempit tercegah dari kemudharatan dan sebaliknya hati yang lapang tercegah dari kerusakan.

Guru kami tercinta, Syaikh Waasi' Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) pernah mengatakan bahwa : ‘Kegembiraan yang hakiki dirasakan manakala hanya dalam persatuan dengan objek pengetahuan dan kesedihan hanya dalam keterpisahan dengan objek keinginan.’ Wejangan ini sangat dalam maknanya, karena pengetahuan dan keinginan adalah dua hal yang sangat berbeda. Yang pertama letaknya bersama akal dan yang terakhir berada pada jiwa berupa angan-angan. Pengetahuan dalam hal ini diperoleh dari mengamalkan pengetahuan yang sudah diketahuinya dengan cara yang benar, sebagaimana sabda baginda Rasulullah,saw., : “Man ‘amila bima ‘alima, warotsallahu ‘ilma ma’lam ya’lam yang artinya barang siapa mengamalkan ilmu yang sudah diketahuinya, maka Allah akan mewariskan ilmu yang belum diketahuinya.” Allah akan mewariskan ilmu pengetahuan tentang diri-Nya, sebagai dasar dari semua barokah di dunia dan di akhirat nantinya. Hanya dengan ilmu pengetahuan ini saja Allah bisa dikenal dan bukan dengan keinginan. Persatuan dengan objek pengetahuan ini merupakan kegembiraan yang tiada taranya atau suka cita yang amat sangat (uns). Orang yang dimuliakan Tuhan dengan ilmu pengetahuan tentang Tuhan sungguh sangat beruntung, karena hal ini merupakan anugerah Tuhan. Dan tidaklah mungkin orang yang dimuliakan dengan anugerah Tuhan akan terhina karena tindakannya sendiri. Tuhan memuliakan nabi Adam,as, dengan pengetahuan dan tidak menghinakannya karena dosanya

Ada dua orang yang bernama Yahya didalam sejarah keagamaan, yang sama-sama mempunyai riwayat yang hebat, yang pertama adalah nabiyullah Yahya,as., yang selalu menangis sejak dilahirkan, karena beliau,as., berada dalam kesempitan (qabdh), yang biasa berkata kepada nabiyullah Isa,as., : ‘Wahai Isa, apakah kau tidak takut terputus dari Tuhan?’ dan nabiyullah Isa,as., dalam keadaan basth mengatakan : ‘Wahai Yahya, apakah kau tidak punya harapan akan kasih sayang Tuhan?.' Yang kedua adalah Syaikh Yahya bin mu’adz,qs., yang menempuh jalan harap sehingga dia mengikat erat semua pengikutnya dengan doktrin harap. Beliau,qs., berkata : ‘Dunia ini adalah sebuah tempat dukacita dan akhirat tempat ketakutan yang mencekam, dan manusia tidak pernah terlepas dari keduanya hinga dia masuk surga atau neraka. Berbahagialah jiwa yang yang terlepas dari duka cita dan ketakutan yang mencekam, dan yang telah membebaskan pikiran-pikirannya dari kedua alam, dan yang telah sampai kepada Tuhan.’ Dari ujaran ini dapat disampaikan bahwa akhir daripada qabth adalah basth dan akhir daripada basth adalah fana, oleh karenanya dalam fana tidak adalagi qabth dan basth atau tidak adalagi dukacita dan ketakutan yang mencekam.

Hijab sebagai penyebab 'kesempitan' antara hati dengan nafs begitu banyak dan halus laksana awan yang berlapis-lapis. Untuk mengenal dan menundukkannya, hati harus berpaling dari segala sesuatu dan berlindung hanya kepada Allah SWT, dengan penuh kesungguhan dan penyesalan. Terjadinya hijab adalah perilaku yang buruk dan kedurhakaan kepada Tuhan, sedangkan pengangkat hijab hanyalah Allah SWT semata. Mustahil hijab terangkat tanpa ketaatan atau kesungguhan dalam melakukan riyadhah dan mujahadah.

Demikian para sahabat semoga ada manfaatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.