Jumat, 30 Oktober 2015

ADAB KEPADA ALLAH

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Pengajian tanggal 30 Oktober 2015 membahas tentang adab kepada Allah SWT dari kitab Kasyful Mahjub karya Imam Al Hujwiri,qs., yang masyhur itu. Meskipun Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering mengatakan bahwa pengajian ini terlalu jauh, namun pada kenyataannya belum juga dilakukan perubahan. Ini merupakan contoh adab yang buruk dalam bertasawuf, karena tidak bergegas mengganti kitab yang dibaca dengan kitab yang lain. Kitab ini ditulis dengan gaya mutholaah dari seorang syaikh yang agung, semua mengatakan bahwa kitab ini sulit dipahami, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) menyebut sebagai kitab klasik tasawuf. Beliau mempunyai adab yang tinggi, dalam tulisannya tidak pernah menyalahkan pendapat para syaikh sufi, bahkan banyak memujinya, meskipun pada akhir bab beliau selalu menyampaikan pendapatnya. Uniknya, kitab ini menjelaskan tentang 12 mahzab dalam tasawuf yang tidak bisa dijumpai dalam kitab tasawuf yang lain, indah, rinci dan selalu memberikan ilmu yang lain ketika membacanya. Semoga Allah mensucikan ruhnya.

Guru kami tercinta, Syaikh Waasi Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) bila menegur murid-muridnya menggunakan bahasa isyarat yang lembut, kadangkala dengan bahasa pujian, hal ini yang sering membuat para murid salah menerimanya. Kita harus bijaksana menyikapi hal ini. Pengajian tadi malam juga mempunyai makna yang sangat dalam. Karena adab kepada Yang Maha lembut, Yang Maha Tersembunyi sangat sulit dilakukan, meskipun dengan cara dipaksa melakukannya, tetapi bila keadaan ruhaninya belum sampai, maka akan sia-sia saja upayanya. Bagaimana seseorang bisa memasang adab kepada yang belum dikenal? Sedangkan kepada yang sudah dikenal saja sulit dilakukan. Bagaimana akal bisa mengenal yang lain? Sedangkan mengenal dirinya saja tidak bisa. Orang yang sudah mengenal dirinya adalah orang yang mempunyai keadaan ruhani yang tinggi. Karena ada sebuah hadis yang mengatakan bahwa : ‘Man arofa nafsahu faqod arofa robbahu, barang siapa mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya.’ Oleh karenanya, mengenal dalam terminology tasawuf disebut sebagai ma’rifat.

Orang yang sudah mengenal Tuhannya maka ia akan mencintai-Nya, ada istilah tua yang mengatakan bahwa ‘Tak kenal maka tak sayang,’ yang berarti bahwa bila kenal maka ia akan sayang atau akan mencintai-Nya. Tanda cinta adalah akan selalu mengingat dan menyebut-nyebut nama-Nya. Dalam terminology tasawuf mengingat dan menyebut-nyebut nama-Nya disebut sebagai dzikrullah. Mengingat-Nya berarti melupakan yang lain. Oleh karenanya, dzikrullah bisa disebut sebagai tanda cinta. Nah, barang siapa melakukan dzikrullah namun masih mengingat yang lain, maka ia belum melakukannya secara benar, melainkan mengingat dunia. Orang yang mengingat dunia akan terwarnai jiwanya oleh dunia, ada sabda dari Rasulullah,saw.,:'Ad-dunya ma'ulatun,' jika diartikan seacara bebas bahwa 'dunia itu dilaknat.' Kenapa? Karena dunia memenuhi pikiran hamba-hamba Tuhan dan menjauhkan mereka dari pengabdian kepada Ilahi serta memperbudaknya. Begitu pula orang yang mengingat Allah akan terwanai jiwanya oleh Allah SWT, sebagaimana yang tertulis dalam ayat Al Qur'an yang mengatakan bahwa : 'Karena itu, ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku ingat pula kepadamu,' (QS 002 : 152). Orang yang benar berdzikirnya maka akan benar pula adabnya, tetapi orang yang salah dzikirnya akan merasa benar adabnya tetapi buruk perilakunya. Jika adab para murid terlihat mundur, maka Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) segera memerintahkannya untuk berkhalwat. Khalwat adalah salah satu obat yang mujarob dan sangat cepat untuk memperbaiki adab para murid. Khalwat bisa juga dikatakan sebagai latihan keruhanian yang sangat jitu, memasang adab kepada Allah dalam kewaspadaan yang tinggi. Meskipun dalam berkhalwat sudah diberikan menu yang sangat ketat agar para salik tidak lepas dari mengingat Allah, salah satunya dengan mendatangkan sebuah rasa seolah-olah menjemput kematian, namun para salik masih bisa juga lalai dalam dzikirnya, dan dalam keadaan berdzikir para salik masih bisa lepas dari dzikirnya, karena ia mengingat dunia. Oleh karenanya, untuk menolong para murid agar tidak jenuh dan tidak tersesat dalam perjalanannya, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) memberikan berbagai kaifiat dalam berkhalwat. Begitu juga Kwaja Abdul Kholiq Al Ghujdawani,qs., menyusun delapan prinsip dalam bertasawuf. Yang intinya adalah berpindah dari kehidupan biasa kedalam kehidupan kesucian, dengan mengisi seluruh pikiran, nafas dengan dzikrullah dan bila lupa berdzikir lalu ingat akan kewajibannya maka ia akan mengawali dzikirnya dengan membaca doa ‘Illaahi anta maqsudi, waridhoka matlubi a'tini mahabbataka wa mari'fataka Yaa Arhamar Rohimiin,' lalu dilanjutkan dengan berdzikir, muhasabah dan muroqobah.

Pekerjaan utama bagi orang-orang yang bertasawuf adalah dzikrullah, dan kita sudah memahami betapa sulit melakukannya. Apalagi bentuk peribadatan yang lain yang berupa muroqobah. Oleh karenanya adab yang indah merupakan musyahadah, dan musyahadah berada dalam genggaman Allah SWT. Atau buah dari melakukan pekerjaan tarekat dengan benar, meskipun bukan merupakan penyebab langsung.

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) dalam pengajian ini berkata bahwa : ‘Kerjakan dawamudz dzikri wa dawamun ubudiyah selama 30 hari tanpa putus dan melakukan muroqobah awal berupa merasa diawasi oleh Allah SWT terus menerus, maka insya Allah akan diperoleh kejelasan tentang adab.’ Wejangan ini tinggi sekali maknanya dan perlu penjelasan secara rinci, karena hal tersebut adalah pekerjaan menyeluruh bagi orang-orang yang bertasawuf. Dilain kesempatan beliau berkata bahwa : ‘Tasawuf adalah ilmu tahapan bukan ilmu anjuran.’ Nah kita sudah mengetahui betapa sulitnya mendawamkan dzikir dengan benar, lalu mendawamkan ubudiyah dan muroqobah? Imam Qusyairy,qs., mengatakan bahwa ubudiyah adalah sebuah maqom yang tinggi. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata bahwa : ‘Ubudiyah adalah melakukan peribadatan yang berkualitas tinggi.’ Maksudnya adalah bukan dari banyaknya berdzikir, sholat malam dan berpuasa saja, melainkan ada sesuatu yang berbeda didalam hatinya, yaitu secara teguh ‘merasa’ bahwa semua bentuk tindak peribadatannya adalah bukan karena kemampuannya melainkan karena Allah SWT. Lalu agar ‘merasa’ diawasi terus menerus oleh Allah SWT, bukankah ‘rasa’ itu adalah musyahadah dan musyahadah berada digenggaman Allah SWT? Dan bukankah ini adalah ihsan? Sebagaimana sebuah hadis yang meriwayatkan ketika Rasulullah,saw., ditanya oleh sayyidina Jibril,as., : 'Katakanlah kepadaku, apakah ihsan itu?' Beliau,saw., menjawab : 'Ihsan yaitu hendaknya engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, namun jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.' Sayydina Jibril,as., berkata : 'Engkau benar.' Kesadaran merasa diawasi terus menerus merupakan mawas diri, dan teguhnya mawas diri merupakan muroqobah kepada Allah SWT. Seseorang sampai pada keadaan ini setelah sepenuhnya melakukan wuquf adadi, wuquf zamani dan wuquf qolbi atau sepenuhnya melakukan muhasabah mengenai apa yang telah terjadi dimasa lampau, memperbaiki keadaannya dimasa kini, tetap teguh dijalan yang benar, memperbaiki hubungannya kepada Allah sepenuh hati dan menjaga diri dalam setiap kondisi selalu berdzikir. Seluruh tahapan itu harus dilakukan dengan kaifiat yang benar. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata bahwa : 'Barang siapa dapat melakukan muroqobah dengan benar dalam jangka waktu 6 bulan, maka orang itu termasuk jenius dalam bertasawuf.' Dikarenakan, pengetahuan tentang muroqobah, kaifiat atau tata cara mengerjakannya, melakukan pekerjaannya dan muroqobah itu sendiri adalah hal yang berbeda. Apa yang disampaikan disini adalah pengetahuan tentang muroqobah bukan muroqobah itu sendiri.

Dawamudz dzikri wa dawamun ubudiyah adalah pekerjaan orang-orang yang bertarekat, begitu pula muroqobah. Sesungguhnya hal ini tidak perlu dianjurkan, karena sudah merupakan pakain para ahli tarekat. Oleh karenanya wejangan Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) pada malam itu, perlu direnungi maknanya dengan bijaksana, jangan-jangan beliau mencium bahwa kita tidak secara istiqomah melakukan pekerjaan tarekat yang telah diperoleh melalui ijazah. Jangan-jangan kita tidak pernah bertanya cara berdzikir, ubudiyah dan muroqobah yang benar kepada yang mulia Syaikhuna, jangan-jangan kita hanya bertanya tentang keluh kesah tentang kehidupan dunia. Jangan-jangan kita tidak bersyukur atas apa yang kita peroleh dalam pengajian ini, sebagaimana hujan yang turun dengan deras beberapa jam sebelum kholaqoh dzikir dimulai dan ada yang mengeluh karena terganggu acaranya, tanpa menyadari apalagi mensyukuri bahwa hujan adalah rahmat. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) selalu memerintahkan murid-muridnya untuk bersyukur tatkala hujan turun. karena hujan merupakan analogi bagi Al Qur'an yang dapat menghidupkan hati yang mati sebagaimana hujan menghidupkan bumi yang telah mati. Guntur itu seperti ayat-ayat Al Qur'an yang mengancam dan menakut-nakuti bagi pembuat dosa, sementara kilat bagaikan kesaksian pada keimanan. Orang kafir meletakkan jari-jarinya ditelinga agar tidak mendengar suara guntur, sebagaimana mereka mendengar ayat-ayat al Qur'an, yang membocorkan rahasia mereka. Meraka takut hati mereka akan cenderung padanya, bahwa itu akan membawa mereka menuju kepasrahan (Islam) dan iman. Wallahualam, hanya Allah saja yang mengetahuinya, semoga Allah mengampuni kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.