tag:blogger.com,1999:blog-9965066573379302302024-03-13T23:14:21.937-07:00TASAWUFGus Sentothttp://www.blogger.com/profile/11940008067402109720noreply@blogger.comBlogger151125tag:blogger.com,1999:blog-996506657337930230.post-75384445111538703252021-08-08T18:14:00.001-07:002021-08-08T18:15:59.065-07:00DOA DAN HIJAB<p>Bismillaahir Rahmaanir Rahiim<p>
<P>Alhamdulillah segala puji bagi Allah yang selalu memancarkan cahaya-Nya kepada manusia untuk menyaksikan perkenalan-Nya dengan cara yang sangat misterius. Sehingga tidak semua manusia mampu menterjemahkan hikmah yang terkandung dibalik bentuk perbuatan-Nya. Sesungguhnya Allah menghendaki bahwa manusia mesti menyaksikan bahwa semua yang terjadi pada dirinya adalah jelmaan dari kehendak (irodah) Allah. Sehingga manusia tidak merasa ada atau turut campur dalam mengurus kehidupan ini. Ilustrasi cahaya Allah itu seperti matahari yang menyinari segala seuatu di bumi ini, namun kita tidak membuka pintu dan jendela rumah ruhani kita, sehingga cahaya ini tidak masuk, yang menyebabkan didalam rumah ruhani kita selalu gelap dan tidak dapat membaca hikmah-hikmah kehidupan ini. Seperti kebanyakan manusia selalu melantukan doa akan tetapi yang terjadi adalah tertangguhnya waktu pengkabulan atas doa yang telah dipanjatkan, lalu berputus asa. Orang berdoa mengharapkan sesuatu yang sesuai dengan kebutuhannya, ada yang meminta diperolehnya harta benda dan ada pula yang memohon diperolehnya akhlak yang mulia atau nurullah atau sifat-sifat mulia Allah.<P>
<p>Manusia melakukan sholat, puasa, zakat dan haji bisa meniru orang lain, dan begitupun kita sejak kecil melakukannya dengan meniru, akan tetapi apakah bisa meniru sabar, ridho, khusyuk, wara dan kemudian tawakal? Jawabnya tidak bisa, padahal hal ini pun dituntut atau diperintahkan juga didalam Al Qur’an. Ini membuktikan bahwa Al Qur’an adalah pendidikan ruhani (tarbiyah ruhiyah) bagi manusia. Yang berarti bahwa kehidupan kita ini sejak kecil hingga mati sesungguhnya adalah tarbiyah dari Allah, namun kita ingin hidup sesuai dengan apa yang kita ingini bukan apa yang dinginkan Allah. Kita beri makan jasmani kita agar sehat namun kita diamkan ruhani kita atau kita tidak siapkan untuk dapat menerima pancaran cahaya dari Allah.<P>
<P>Manusia menghadapi musibah tetapi tidak mampu bersabar, meskipun sudah banyak sholat, puasa, zakat, dzikir, mujahadah, bergaul dengan ulama, katakan sudah masuk kelompok pengajian selama lima belas tahun, tetapi belum mampu bersabar juga. Orang tidak sabar berarti tidak punya sifat sabar, tidak ridho berarti tidak punya sifat ridho, pelit berarti tidak punya sifat dermawan, karena seperti mata tidak harus disuruh melihat otomatis akan melihat, karena mata mempunyai sifat melihat, begitu pula telinga yang mempunyai sifat mendengar maka otomatis akan mendengar tidak perlu disuruh. Maka apabila manusia mempunyai sifat sabar maka jika ditimpa musibah akan otomatis sabar dan tidak bertingkah yang aneh, tidak marah-marah tidak keluar dari mulutnya caci maki, melainkan hadir pemahaman bahwa musibah ini adalah perbuatan Allah dan merupakan ujian baginya. Penyakit buruk akhlaq itu berbeda dengan penyakit phisik, obatnya adalah tauhid, Allah, syuhud, tidak ada yang lain. Orang yang punya sifat sabar maka dijanjikan oleh Allah tanpa hisab, artinya tanpa mengikuti proses yang panjang di yaumil akhir.<P>
<P>Ditangguhkannya pengabulan doa agar manusia itu merengek, memohon, menangis itu disebut ilhah dan Allah menyenangi-Nya, dalam hadist Rasulullah,saw menjelaskan bahwa Allah ingin mendengar dari hambanya bahwa dirinya merasa perlu Allah, itu yang Allah inginkan, karena Allah berfirman dalam Al Qur’an : ”Antum al-fuqara ilallah, Kamulah yang memerlukan Allah,” (QS 35 : 15) bahwasanya Allah ingin mendengar suara hambanya dalam meminta dan jangan putus asa atas tertundanya dipenuhinya doa, Allah berfirman : “Ud’uni astajib lakum, berdoalah kepada-Ku niscaya akan Aku kabulkan.” (QS Al Ghafir : 60) Artinya tidak ada doa yang tidak dikabulkan, jika tidak, maka kita akan keluar dari kaidah aqidah bahwa Allah selalu menepati janji, karena yang menakdirkan doa adalah Allah. Orang tertimpa musibah lalu lahirlah keperluan, itu Allah yang buat agar hamba itu sendiri merasakan perlu kepada Allah, dan sesungguhnya Allah pasti mengabulkan-Nya, akan tetapi pengkabulannya ikut kehendak Allah bukan ikut kehendak kita, karena kita tidak tahu kemaslahatan kita yang sebenarnya itu, kapan dan apa, itu yang terkadang Allah ingin mengajarkan bahwa apa yang terjadi itu yang terbaik.<P>
<P>Sesuatu yang datang bukan dari keinginan kita itu dari Allah, padahal semua dari Allah, yang dimaksud bahwa kekuatan itu ada pada Allah, jika kamu pasrah kepada kehendak-Nya, maka beratnya pun Allah akan menangani, tetapi pada apa yang Allah pilihkan untukmu, bukan apa yang engkau pilihkan untuk dirimu, jadi jangan keluar dari apa yang terjadi pada diri kita, karena mungkin tidak terkabulkannya keinginan kita adalah yang terbaik, artinya mungkin saja kegagalan itu yang terbaik. Atau dalam istilah lain berarti di hijab justru itu lebih baik, ini kalau kita maknakan kepada makna tarbiyah ruhiyah, bahwa ditangguhnya waktu pemberian yang kita ingini, karena kita sudah melakukan ilhah dalam doa dan sebagainya, tidak membuat kita putus asa, karena Allah pasti menjamin, ijabah, pengkabulan doa itu, namun pada apa yang Allah kehendaki, artinya ketika Allah tidak menghendaki kita masih di hijab lagi, maka itu yang terbaik agar kita terus berusaha sungguh-sungguh dalam beramal, dan dawam. Coba bagaimana orang mau disingkapkan hijab tetapi dia belum takut kepada Allah, karena banyak peristiwa manakala seseorang disingkapkan hijab tetapi belum mempunyai rasa takut kepada Allah, maka akan menjadi dukun atau pengaku-ngaku nabi atau wali. Maka kita betul-betul harus terus berusaha mengikut kehendak-Nya, Allah berfirman dalam Al Qur’an : “Wa 'asā an takrahụ syai`an wa huwa khairul lakum, wa 'asā an tuḥibbụ syai`an wa huwa syarrul lakum, wallāhu ya'lamu wa antum lā ta'lamụn, Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS Al Baqarah : 216) Artinya kita tidak tahu bahwasanya belum diijabahnya doa itu boleh jadi kebaikan, karena orang yang akan disingkapkan hijab adalah merupakan pemberian yang luar biasa ‘atho azim’ pemberian yang agung, mesti di terima oleh jiwa yang memang siap, oleh sebab itu Allah ingin siapkan kita untuk menerima yang agung, yang besar. Kapan dikabulkannya doa itu adalah Allah yang memilih bukan kita, berapanya, apanya, waktunya itupun Allah yang memilih, begitulah cara Allah mempersaksikan diri-Nya kepada kita atau dapat dikatakan begitulah cara mengenal Allah.<P>
<P>Wallahualam bisawab semoga ada manfaatnya.<P> Gus Sentothttp://www.blogger.com/profile/11940008067402109720noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-996506657337930230.post-42321530808762685422021-08-08T17:35:00.004-07:002021-08-08T17:39:01.534-07:00PUJIAN<P>Bismillaahir Rahmanirr Rahiim<P>
<P>Alhamdulillah segala puji bagi Allah yang telah menjadikan semua makhluk memuji-Nya, ada yang benar-benar memuji yaitu memuji dengan segenap ruhaninya dan ada yang hanya memuji dengan ucapan lahirnya saja, keduanya tidak ada bedanya jika dilihat dari tampilan jahirnya, padahal perbedaannya seperti jarak timur dan barat. Oleh karena itu memandang orang hanya dari tampilan lahirnya saja dapat terperdaya. Orang memuji disebabkan apa yang mereka sangkakan yang ada pada diri kita, orang yang menyangka kita sholeh mereka akan memuji kita orang sholeh, orang yang menyangka kita dermawan akan mengatakan kita orang baik, sebaliknya orang yang menyangka kita buruk akan menghina kita, orang yang meminta tidak kita beri akan mengatakan kita kikir, jadi persoalannya kita ini orang baik atau buruk? Oleh karenanya jika ada orang memuji jangan lantas tinggi hati dan begitu pula sebaliknya jika ada orang yang membenci lantas jangan balas membecinya.<P>
<P>Jika ada orang memuji kita, maka ternyata yang mulia adalah orang memuji dan bukan kita, karena orang yang memberi itu pastilah punya sesuatu apa yang ingin diberikan dan orang yang tidak punya bagaimana dia mau memberi, dalam hal ini orang itu punya kemuliaan, itu sebab dia memberi kemuliaan dengan memuji orang lain. Cobalah berbaur kepada orang yang tidak punya sifat mulia atau yang sifatnya buruk, maka orang itu akan memburukkan orang, karena yang dia punya keburukan maka yang dia bisa berikan kepada orang lain adalah keburukan pula, bagaimana dia mau memberi kebaikan wong dia tidak punya. Jika Allah membuka apa-apa yang ada didalam diri kita, maka orang akan menghindar, karena keburukan kita sebesar langit dan kebaikan kita hanya sebesar biji sawi. Oleh karena itu, Allah menutup keburukan kita dengan cinta dan hormat-Nya agar orang lain mau berdekat dengan kita. Sekali-kali tanyakan kepada diri kita masing-masing, kenapa ada orang yang benci kepada kita tetapi dilain pihak ada orang lain yang suka sama kita, nah kita ini objek yang dibenci atau yang disukai, dan hal ini terus terjadi selama kita hidup di dunia ini. Ternyata orang itu adalah cermin kita, kalau kitanya baik orang itu baik pula kepada kita, maka kalau ada orang melihat kita lalu merengut itu berarti kita kurang berlaku baik kepadanya, maka rubahlah perlakuan kita kepadanya dan jangan menuntut orang agar merubah perilakunya kepada kita. Maka para sufi mengatakan jangan mencaci orang lain tetapi cacilah dirimu sendiri, karena kita tahu apa yang ada pada diri kita dan kita tidak tahu apa yang ada pada diri orang lain.<P>
<P>Banyak orang jatuh karena pujian dari orang lain, hal itu disebut maghrur, terpedaya oleh perkataan orang, apalagi kalau sampai di aku pujian itu padahal dirinya tidak punya. Hati-hati, begitu dipuji orang dan jika pujian itu tidak ada pada diri kita sendiri, atau dihina orang padahal tidak ada pada diri kita, maka kedua-duanya adalah ujian dari Allah, maka Nabi,saw pernah mengatakan begini ‘lemparkan debu ke muka orang yang memuji,’ artinya ketika ada orang memuji, kita jangan sombong segera lihat kepada diri, kalau memang ada sebagaimana apa yang disangkakan, lantas pujilah Allah, karena semua akhlak mulia itu adalah jelmaan sifat-sifat Allah kepada kita, misalnya sifat sabar, syukur, dermawan, tawakal, wara, ridho dan lain sebagainya, disebut sifatul Jamal. Tanda bahwa orang itu memperoleh akhlak yang mulia, akan selalu merasakan keagungan Allah dan bukan keagungan dirinya, kewujudan Allah dan ketiadaan dirinya, keindahan Allah dan kehinaan dirinya, kebesaran Allah dan kekerdilan dirinya, jika seorang ulama mengaku mempunyai akhlak mulia tetapi sombong itu pengaku-ngaku, tinggalkanlah dia.<P>
<P>Maka jadilah kamu pencaci dirimu, ini kan perintah, memang mula-mulanya kita mesti melatih diri. Ketika kita mendapat musibah, kita ingin sabar tetapi tidak bisa, oleh karenanya kita ingin mempunyai sifat sabar tetapi tidak punya, jika tidak dapat, lalu bagaimana mau menyabarin, meskipun kita mengetahui bahwa setiap ada musibah Allah menyuruh sabar, sebagaimana dalam Al Qur’an : “Yā ayyuhallażīna āmanuṣbirụ wa ṣābirụ wa rābiṭụ, wattaqullāha la'allakum tufliḥụn, Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung." (QS Ali Imran: 200) Ayat tersebut menyuruh kita sabar dan sabarilah, bertahanlah, nah maka cobaan atau musibah itu adalah bentuk tarbiyah dari Allah kepada kita agar mempunyai peluang mendapatkan sifat sabar. Faktanya untuk sabar itu teramat sulit, misalnya fitnah yang menimpa kita, atau cacian dan hinaan, maka suasana jiwa lantas berubah, jantung berdetak keras, mata dan telinga pun berubah, persis seperti proses kimia, maka ada istilah pegangan apa pun bisa patah saking menahan amarah. Sayyidatuna Aisyah,ra disaat diliputi rasa cemburu berkata bahkan telor ditangan pun bisa matang, tatkala Nabi,saw memuji-muji Sayyidatuna Khodijah,ra dihadapannya. Karena hakikatnya, kita itu tidak ada, karena kita ini mungkin dan karena kita ini ilusi atau katakan kita hanyalah majla Allah, maka sifat-sifat mulia atau akhakul karimah adalah hak Allah untuk memberikan kepada siapa yang Dia kehendaki, inilah pendidikan tauhid dan sebetulnya aqidah, tauhid dengan akhlak itu serupa meskipun tidak sama.<P>
<P>Orang kalau sudah beriman bertauhid kepada Allah kalau dipuji dia malu, karena sesungguhnya sifat Allah Yang dipuji, ya Allah sifat yang Engkau berikan kepadaku dia memujinya, padahal saya tidak punya apa-apa, begitulah bahasa jiwanya yang otomatis keluar. Nah itulah sifat seorang mukmin, mukmin di sini adalah mukmin yang Hakiki, mukmin yang kamil. Seumpama kita diberi perintah oleh raja untuk membagi-bagi sandang dan pangan, lalu kita membaginya maka yang dipuji kita padahal dari sang raja. Kita mengetahui itu bukan punya kita, maka kita tidak akan mengaku, seharusnya seperti itu. Sedangkan para wali ketika dia mempunyai sifat baik lantas dia berbuat baik, dia menyadari betul bahwa itu sifat Allah, artinya orang itu selalu bersama Allah, kalau orang selalu bersama Allah bagaimana mau mengaku dirinya kecuali Allah.<P>
<P>Para Aulia Allah itu ingat Allah terus menerus tidak terputus, kenapa? Karena baginya durasi ingat didunia ini itu cuma satu detik, karena pemahamannya tentang kehidupan ini seperti film, bahwa cerita film dilayar itu berasal dari jutaan klise yang diputar oleh proyektor, baginya durasi hidup itu seperti satu klise, begitu proyektor dihidupkan maka klise-klise itu akan berputar menjadi film kehidupan. Itu sebab dia selalu ingat, karena di dunia ini waktunya tidak panjang. Contohnya begini orang sholat dari takbir sampai salam, mustahil bagi orang biasa mampu mengingat Allah, karena orang yang memang tidak biasa dzikir tidak ingat maksudnya bukan dzikir ucapan, maka dia tidak dapat membayangkan bagaimana shalat dalam keadaan terus menerus mengingat Allah, itu tidak akan terbayangkan yang memang bukan ahli dzikir, tetapi jangan berprasangka bahwa jika tidak bisa melakukan maka hal itu tidak ada, ini menyalahi aqidah. Itu sebab kata orang sufi kalau aku lupa kepada Allah rasanya kafir, kenapa karena dosa melanggar syariah akan diampuni oleh Allah, tetapi jika dosa karena tidak ingat kepada Allah itu tidak ada ampunannya, pahami hal ini dan jangan salah paham. Karena ingat itu Allah yang memberi dan kalau Allah tidak memberi ‘ingat’ dimana mencarinya, gantinya apa, karena detik berikutnya adalah ingat untuk hak waktu itu, jika shalat karena ketiduran dan terlewat maka kita bisa ganti di waktu lain, tetapi kalau ingat bagaimana, seperti tertinggal kereta yang tidak ada kereta selanjutnya, karena ingat itu hak waktu, itu sebab dikatakan sufi ibn waqt (putra waktu), dia bisa ingat sepanjang-panjangnya, dia hanya ingat kepada Allah. Di jawa tengah ada istilah yang penting ingat, sebenarnya ini bukan agama eling, yang penting eling tapi tidak shalat, tidak puasa, bukan seperti itu, tetapi itu hakikat ibadah. Mereka ingat 24 jam atau selama dia tidak tidur, dia ingat terus sampai dia tidak terucap dalam bibirnya dzikir, orang kalau sudah cinta tidak lagi menyebut namanya, tetapi otomatis ingat, makanya kata mereka bagaimana aku mengingatmu sedangkan aku tidak pernah lupa kepadamu. Adapun yang kita lakukan dengan menyebut ismudzat Allah Allah atau kalimat thoyibah laa ilahaa illallaah itu sedang merapikan pikiran, melatih konsentrasi agar tidak melantur kemana-mana, karena hati memang senang ngelantur kemana-mana meskipun sedang mengucap. Maka ketika dipuji dia tidak menyaksikan bawa itu punya dia, karena dia punya Allah. Sama juga orang tadi yang bagi-bagi duit, rajanya datang mendapinginya, orang kan tidak kenal dengan rajanya yang dikenal kan dia, yang dipuji-puji dia, yang diangkat-angkat dia, rajanya dibiarkan saja, coba bayangkan hal ini jika menimpa kita, seketika kita akan malu dan mengatakan bukan aku, bukan aku, bukan aku, begitulah perasaan para Aulia ketika dipuji, itulah adab yang tinggi, inilah yang ingin di bentuk oleh tasawuf di dalam diri umat Islam agar menjadi hamba Allah bukan menjadi Tuhan.<P>
<P>Wallahualam bisawab semoga ada manfaatnya.<P>
Gus Sentothttp://www.blogger.com/profile/11940008067402109720noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-996506657337930230.post-30390690219668826402021-08-08T15:51:00.006-07:002021-08-08T17:27:09.282-07:00INSAN KAMIL<p>Bismillahir Rahmaanir Rahiim<p>
<P>“Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un, Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan kepada Allah jugalah kami kembali.” (QS 2 : 156)<P>
<P>Ayat Al Qur’an diatas selalu disebut oleh umat sebagai ungkapan duka atas kehilangan yang dicintainya, akan tetapi sedikit sekali yang mengetahui makna dan memetik hikmahnya. Sesungguhnya ayat ini bukan saja kalimat berita melainkan perintah, kita diingatkan bahwa kepada Allah jugalah kita akan kembali. Dikatakan ‘kembali’ bilamana diketahui asal mulanya, bila tidak, ingin kembali kemana? Sebagai contoh, kita berangkat mendaki gunung Pangrango melalui Cibodas, kita mengetahui Cibodas karena sering berada disana, maka disaat kita sudah berada dipuncak gunung atau ditempat yang dituju ataupun tersasar maka akan dikatakan kembali. Artinya bahwa kembali ketempat yang sudah betul-betul diketahuinya. Oleh sebab itu ayat diatas seolah-olah mengharuskan manusia mengetahui atau mengenal Allah sebagai yang dituju untuk kembali. Akan tetapi kebanyakan manusia merasa cukup mengucap saja tanpa memahami maknanya apalagi berusaha untuk mengenal-Nya, jadilah ayat ini sebagai kebiasaan untuk menyatakan turut berduka atau sebagai cerminan budaya saja. Padahal jika diselami maknanya akan membuat gemetar dan sulit memejamkan mata, karena kita tidak mengetahui dan mengenal jalan kembali disamping usia kita yang sudah tergolong tua, ironisnya kita biasa-biasa saja seolah-olah kita akan hidup seribu tahun lagi, jika keadaannya seperti ini, lalu jika sewaktu-waktu ruh kita dicabut dan meninggalkan jasad, ingin kembali kemana? Sesungguhnya Allah hanya bisa dikenali dengan ilmu bukan jahl dan hanyalah insanul kamil yang mengetahui jalan pulang dan tempat kembali.<p>
<P>Sedikit sekali ulama sufi yang mau menjelaskan pengalaman ruhaninya kedalam bahasa yang mudah dipahami oleh akal manusia. Khawatir disalah pahami dan menimbulkan fitnah, karena pengalaman ruhani tidak memerlukan bahasa melainkan rasa. Salah satunya adalah Imam Ibnu Arabi, qs, yang mengalami kasyaf atau syuhud atau penyaksian akan ketunggalan Tuhan. Belum ada seorang ulama pun seperti beliau yang begitu banyak ulama yang kontra dengan pendapatnya dan tidak sedikit pula yang mendukungnya. Membuktikkan bahwa tidak mudah memahami kitab-kitab karya beliau, sebagai contoh kitab syajartul al kaun, al-tajalliyat, al-wujudiyah, futuhat al-makiyah dan karya master piecenya fushush al-hikam, kesemuanya sangat sulit dipahami, kecuali bila ada ulama shahih yang menuntun dan mendidiknya. Berikut ini adalah setitik makna dari salah satu kitab karya beliau yang berjudul al insanul kamil yang tidak kalah menakjubkan dari kitab-kitab yang lain.<P>
<P>Maksud dari Insanul kamil adalah bersatunya antara insan dan kamil didalam diri manusia. Apakah setiap individu manusia ini bisa disebut insan kamil? Jawabannya sangat jelas yaitu, tidak! Mudahnya begini, Allah ingin dikenal, dan yang hanya bisa mengenal Allah adalah Allah sendiri, oleh sebab itu diciptakan manusia yang seolah-olah merupakan “jelmaannya” ini istilah saja untuk memudahkan pemahaman, seperti yang bercermin dengan yang ada didalam cermin, yang bercermin akan mengatakan bahwa Aku adalah engkau, akan tetapi yang didalam cermin tidak bisa mengatakan bahwa engkau adalah aku, tetapi boleh mengatakan bahwa aku bukan engkau tetapi bukan selain engkau. Sehingga yang bisa mengenal sesuatu yang bercermin adalah yang berada didalam cermin, dengan catatan bahwa cerminnya bersih dan bening. Atau dalam pemahaman lain bahwa Allah dalam kesendirian-Nya ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya. Lalu dijadikan alam ini yang merupakan cermin bagi-Nya, maka ketika Allah ingin melihat diri-Nya, Ia melihat pada alam, penampakkan Diri-Nya melalui penyingkapan diri disebut tajalli atau dalam bahasa lain disebut sebagai jelmaan. Oleh sebab itu tujuan diciptakan insan kamil ini tidak lain untuk mengenal Allah dan diberi tugas mengajak manusia yang tidak kamil untuk dapat mengenal Allah, agar bisa kembali kepada-Nya, sarananya adalah wahyu atau din (agama), oleh karenanya seluruh akhlak nabi Muhammad.saw adalah wahyu atau al Qur’an, sehingga beliau berkata: “Innama bu'istu liutammima makarimal akhlak, sesungguhnya aku diutus untuk membangun akhlak.”<P>
<P>Bahan penciptaan manusia terdiri dari wujud yang terpisah-pisah menjadi wujud yang bersatu. Oleh sebab itu ketika Nabi Adam,as diciptakan, dunia dan akhirat beserta isinya itu sudah lebih dahulu ada, akan tetapi meskipun manusia itu yang terakhir, namun Allah SWT memilihnya sebagai wakil Tuhan untuk mengurus alam semesta beserta isinya. Maka dapat dipahami bahwa bahan ciptaan manusia itu adalah seluruh unsur alam semesta ini, yang berarti manusia memiliki sifat alam semesta yang komprehensif dan universal sebagai bukti bahwa manusia merupakan ringkasan alam semesta, atau dalam bahasa filsafatnya alam semesta ini disebut makro kosmos atau alam besar sedangkan manusia adalah mikro kosmos atau alam kecil. Sebagai contoh bahwa sifat kerbau tidak ada pada anjing dan sebaliknya sifat anjing pun tidak ada pada kerbau, maka jika kerbau dengan anjing berkomunikasi tidak akan pernah sepaham sampai kapanpun, yang satu malas dan yang satu galak, akan tetapi jika anjing dan kerbau melihat manusia, mereka akan menyaksikan bahwa ada sifatnya pada diri manusia dan ada sifat-sifat lain yang tidak mereka kenal. Oleh sebab itu jika alam semesta ini menghadap kepada manusia atau katakan duduk di depan manusia (alam yang kecil ini), mereka akan berdecak kagum dan akan berkata tidak ada diantara kita yang setara dengan manusia. Itu sebab manusia punya kualitas energi atau potensi adaptasi yang tinggi dan eksploitasi yang mumpuni. Maka manusia secara fisik atau secara kauniah telah lengkap.<P>
<P>Disamping manusia itu terdiri dari sifat-sifat sesuatu yang bisa dilihat oleh mata indrawi atau benda, terdapat juga bahan dari sifat yang wujudnya tidak terlihat diantaranya adalah malaikat yang dibuat dari nur (cahaya) dan jin yang dibuat dari nar (api). Oleh karenanya dari segi kewujudan baik wujud yang berbenda dan tidak berbenda semuanya ada pada diri manusia, sehingga jika manusia ingin menjadi iblis maka akan lebih hebat dari iblis dan bila ingin menjadi malaikat akan lebih hebat dari malaikat, begitu pula bila ingin menjadi binatang manapun akan lebih hebat, bisa lebih buas (sabuiyah), bisa lebih serakah (ananiyah), oleh sebab itu sifat makan, minum, kawin, tidur itu adalah sifat manusia yang sama dengan binatang (hayawaniyah). Di dalam Al Qur’an pun dikatakan bahwa: “Ulaaa'ika kal an'aami bal hum adhallu, mereka seperti binatang ternak bahkan lebih sesat lagi.” (QS, Al A’raf :179). Ini menjelaskan bahwa manusia diciptakan dari wujud yang terpisah-pisah menjadi wujud yang bersatu. Timbulah pertanyaan, apakah manusia dalam tahap ini mempunyai kemampuan untuk mengenal Allah? Jawabnya tidak! Meskipun ia melakukan peribadatan, tetapi mesti hanya untuk kemaslahatan dirinya bukan untuk Allah. Walapun mulutnya berkata untuk Allah tetapi jiwanya mengikarinya, semua perbuatan ibadahnya untuk dirinya, sehingga tidak mewarnai ruhaninya. Meskipun paham tentang ilmu kesabaran, ridho, wara, zuhud dan piawai dalam penyampaiannya, akan tetapi bila musibah datang menimpanya maka tidak mampu bersabar, bahkan keluar dari mulutnya cacian, ini membuktikan bahwa ruhaninya belum ada sifat sabar, belum memperoleh tajalli Asma Illahi, belum ada maqomat ruhiyah, tidak mempunyai asror ilahiyah, apalah istilahnya.<P>
<P>Untuk apa dunia diciptakan serta isinya termasuk manusia dan untuk apa akhirat diciptakan termasuk neraka dan surganya? Jawabnya adalah tidak lain hanyalah untuk Insan Kamil. Pemahaman ini berangkat dari ayat al Qur’an “Wama kholaqtul jinna wal insa illa liya'budun, tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (QS, Adz Dzariyat :56) Dan terdapat hadits Qudsi yang dhaif tetapi dipegang erat oleh sufi dan tidak mau dilepas, karena maknanya sangat berkesesuaian dengan seluruh isi al Qur’an yaitu: “Kuntu kanzan makhfiyyan fa ahbabtu an u`rafa fa khalaqtul khalqa li kai u’raf, Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi, lalu Aku ingin dikenal, maka kuciptakan makhluk, agar Aku dikenal.” Mereka mengatakan “Kanallahu walam yakun ma’ahu syaiun,” maksudnya bahwa Allah ada dan tidak ada ‘ada’ yang bersamanya, sesuatu pun tidak ada yang bersamanya, jadi sifat ada hanya Allah, dan wujud Allah ghaib mutlak, tetapi jika tidak ada ‘ada’ maka siapa yang melihat Ada ini, maka karena hanya Dia yang ada berarti Dia ini kanzun makhfi tersembunyi tidak dapat diketahui, maka uridu an u’raf Aku ingin diketahui fa khalaqtul khalqa maka Aku ciptakan makhluk, li kai u’raf agar Aku dikenal. Maka pemahaman penciptaan bagi orang sufi adalah tajalliyat yang artinya jelmaan. Oleh sebab itu tujuan utama penciptaan ini adalah mengenal Allah, karena tadi fa khalaqtul khalqa Aku ciptakan makhluk li kai u’raf agar Aku dikenal, maka liya'budun, untuk beribadah ditafsirkan sebagai liya’rifun, untuk mengenal, sehingga dapat dipahami bahwa yang paling mengenal Allah adalah yang paling serupa dengan-Nya. Siapa yang serupa dengan-Nya?<P>
<P>Rasulullah,saw bersabda : “Innalloha kholaqol Adama ala surotihi, Allah menciptakan Adam berdasarkan citra Tuhan (rupa Tuhan).” Hadist ini mencerminkan bahwa manusia itu adalah sebagai jalan untuk mengenal-Nya, karena dicipta sesuai dengan citra-Nya atau rupa-Nya. Misalnya sifat Tuhan itu hidup (hayat), mengetahui (Ilmu), berkehendak (iradat), berkuasa (qudrat), berbicara (kalam), melihat (basar), mendengar (sama) maka semua sifat ini ada pada diri manusia, oleh sebab itu ada hadist yang mengatakan: “Man arofa nafsahu faqod arofa robbahu, barang siapa mengenal dirinya maka akan mengenal Tuhannya.” Maka manusia ini adalah definisi yang Allah kenalkan, ini Aku, seolah-olah begitu, ini shuroh-Ku, maka manusia Aku pilih menjadi khalifah untuk mengenal-Ku. Jadi tugas manusia sangat jelas harus mengenal dirinya sebagai jalan mengenal Tuhan.<P>
<P>Nah jika insan hayawaniyah belum bisa mengenal Allah, maka kemudian Allah berikan atau tajallikan Asma-Nya, “Wa allama adamal asma, dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama,” (QS 2 : 31) seolah-olah Allah berkata: ‘Ini lo paket untuk mengenal-Ku melalui dirimu, maka hidupmu, suratanmu, takdirmu, lauhil mahfudzmu, ketentuan-Ku tentangmu itu adalah definisi-Ku untukmu, engkau perlu Aku kepada paket pengenalan-Ku pada dirimu.’<P>
<P>Berarti tujuan penciptaan itu mengenal Allah dan yang paling mengenal adalah insan yang paling banyak menerima Asma Illahiyah, yaitu Sayyidina Muhammad,saw maka berarti tujuan diciptakannya alam semesta ini adalah Rasulullah,saw, terdapat hadits yang mendukung pemahaman tentang hal ini : ”Lawlaka lawlaka maa kholaqktul aflaq, kalau bukan karena engkau (wahai Muhammad) tidak aku ciptakan alam semesta ini.” Ilustrasinya begini, kalau dalam film ada peran utama, dan peran utama mesti satu, maka yang berhubungan dengan peran utama disebut peran pembantu, nah kita ini adalah peran pembantu, meskipun demikian peran pembantu akan memperoleh bayaran juga. Peran utama inilah yang menjadi judul kisah hidup ini, yaitu Sayyidina Muhammad,saw, jadi sangat jelas bahwa tujuan penciptaan alam adalah (Insan Kamil) manusia sempurna, dan karena manusia sempurna hanya satu, lalu diciptakan manusia yang tidak sempurna sebagai pasangan, karena kalau tidak ada pasangan, tidak akan diketahui nilai sesuatu itu, misalnya bahagia akan mempunyai makna manakala ada derita, jika kita tidak pernah merasakan derita maka bahagia tidak ada artinya, atau cahaya tidak akan bermakna manakala tidak ada gelap, jika tidak ada gelap maka cahaya kehilangan makna, oleh sebab itu tidak ada dosa atau salah yang abadi, semua itu hikmah, pendosa atau orang yang berbuat salah tidak bisa dicibir dan dikutuk, tetapi harus kembali kepada Allah, atau taubat. Tidaklah mungkin manusia mampu bersabar sebelum Allah tajallikan sifat sabar-Nya kepadanya, dan mustahil manusia bisa memberi sebelum sifat dermawan Allah ditajallikan kepada ruhaninya.<P>
<P>Jadi singkatnya bahwa manusia diciptakan dari wujud yang terpisah-pisah artinya mutafadiddah, mutafariqoh, berserakan, terpisah-pisah di seluruh alam semesta, maka di dalam diri kita ini ada neraka ada surga, ada malaikat ada jin, ada dunia ada akhirat, ada seluruh sifat binatang, sifat tumbuh-tumbuhan yang kelihatan dan tidak kelihatan, itulah manusia berarti sangat mulia, kemudian bagi yang beruntung akan memperoleh tajalli sifat-sifat Mulia-Nya, itu barangkali orang sufi memuja-muja manusia, karena dinyatakan oleh Al Qur’an sebagai khalifatulloh, yang malaikat saja tidak diangkat, berarti manusia inilah makhluk yang paling mulia, lebih mulia dari akhirat serta isinya, lebih mulia dari dunia serta isinya. Gara-gara Allah berkeinginan menciptakan manusia, maka disediakan semuanya itu, berarti dosa dan taat pun Allah ciptakan untuk kita, malaikat dan jin nya juga diciptakan untuk kita, dengan begitu seharusnya kita dapat mengenal kita, karena semua sifat yang ada pada kita ada disekitar kita, maka kita mampu beradaptasi dan mampu mengenal Tuhan, maka misi mengenal Tuhan itu hanya ada pada manusia, itu sebabnya yang menyakiti manusia sama artinya dengan menyakiti Tuhan, meskipun manusia itu non-muslim, karena tidak ada satu manusia pun diciptaan oleh tuhan lain, semuanya Allah yang menciptakan. Dan sama sempurnanya secara fisik antara manusia yang satu dengan yang lainnya atau dengan wali sekalipun. Nah, perbedaannya ada pada kesempurnaan ruhani, untuk itulah syariah agama diturunkan, karena syariah itu bajunya, perilakunya, perilaku hakekat ruhani ini, maka barang siapa memperoleh Asma Ilahiyah didalam ruhaninya, maka makin ringan melaksanakan syariat, karena sesungguhnya hakikat dan syariat itu satu kesatuan, seperti durian dengan baunya, jika hanya ada bau durian sedangkan duriannya tidak ada ini cuma perasa, sehingga manusia yang tidak punya hakekat sama kualitasnya seperti perasa, bahkan kalau kebanyakan jadi penyakit, maka syariat dengan hakikat umpama sinar dengan cahayanya, tidak bisa dipisahkan, oleh sebab itu jika manusia tidak mempunyai hakekat memang berat melaksanakan syariat, karena akan selalu merasa dirinya yang melaksanakannya, akan tetapi apabila mempunyai hakikat, mempunyai asma Ilahiyah dalam rohani itu, maka akan ringan melakukan peribadatan dan akan berkata “araftu rabbi birabbi, aku kenal Tuhan dengan Tuhan” atau “al abid wal ma’bud, yang menyembah adalah yang disembah,” karena ada qudroh ruhiyah, ada kemampuan rohani itulah yang disebut orang hidup didalam Tuhan, ini istilah saja, kalau sudah paham buang istilah ini. Maka berarti manusia ini adalah khasanah alam semesta, didalam diri kita ini tersimpan seluruh sifat alam semesta, maka manusia mudah sekali mengenal Allah, karena ciptaan itu sebuah jelmaan Asma dan Sifat Allah, ilustrinya bercermin tadi, kalau manusia memiliki Asma dan Sifat Tuhan maka kapasitas untuk mengenal Tuhan sangat efektif, sangat mudah, itu sebab Allah tidak membebankan di luar kemampuan kita, kalau Allah membebankan binatang untuk mengenal Allah maka tidak akan mampu, tapi manusia memang tepat, karena manusia ini khasanah alam semesta ini, maka wajah seluruh alam semesta itu menghadap kekhasanah kemanusiaan ini. Itu sebab alam semesta mudah ditundukkan oleh manusia dan setiap bagian dari alam semesta ini akan mengatakan “laisa kamislihi syaiun, tidak ada yang serupa dengannya.” Nah jika alam semesta melihat manusia dan mampu berkata seperti itu, lantaran manusia itu sempurna, maka seharusnya manusia pun mampu berkata yang sama disaat menyaksikan Tuhan.<P>
<P>Orang sufi meyakini bahwa suratan hidupnya dari a sampai z, takdir yang dia alami hari demi hari sampai mati, itu adalah definisi atau penjelasan Tuhan tentang diri-Nya, maka semuamu itu adalah tema penjelasan Tuhan tentang diri Tuhan kepadamu, maka kita tidak boleh ikut campur orang lain, meskipun istri, suami atau anak, kita tidak bisa mengatakan kenapa engkau berbuat buruk, tidak bisa, namun bagaimana menghadapi ketentuan, suratan, takdir, pernyataan, urusan, tajalli, tanazul itu istilahnya banyak sekali, pada diri kita itu, bagaimana untuk mengenalnya bahwa itu semua dari Allah. Dan Allah yang akan memberikan paket ma'rifatnya yang disebut sebagai Asma Ilahiyah (maqomat ruhiyah, akhlak nurkarimah, asror ilahiyah, Nur Muhammad, dan lain sebagainya) kepada manusia yang dipilihnya, dengannya manusia baru sadar bahwa semuanya dari Allah, itulah yang menyebabkan lahirnya akhlak yang sangat sempurna dan tinggi, sama seperti akhlak Tuhan yaitu, memaafkan, mencintai, melupakan, menyayangi, tidak memandang buruk dan lain sebagainya. Jika sudah demikian baru boleh membawa orang lain kepada Allah agar tahu jalan kembali.<P>
<P>Wallahualam bisawab semoga ada manfaatnya.<P>
Gus Sentothttp://www.blogger.com/profile/11940008067402109720noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-996506657337930230.post-8682547906340474892021-06-28T19:59:00.006-07:002021-06-28T20:05:54.521-07:00MAKNA AKHLAK YANG SEBENARNYA<p>Bismillaahir Rahmaanir Rahiim, Alhamdulillah segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan akhlak kepada semua makhluk melalui Nabi terkasihnya sayyidina Muhammad,saw. InsyaAllah tulisan ini menjelaskan makna sebenarnya dari akhlak, karena akhlak dipahami hanya sebagai perilaku lahir yang baik dari manusia, padahal bisa saja manusia itu berperilaku baik tetapi mempunyai pamrih atau maksud lain yang memberikan keuntungan kepada dirinya. Hal ini jauh dari kisi-kisi ruhani dan makna akhlak yang hakiki dan lahir dari produk pemahaman yang salah.<p>
<p>Pertama-tama yang perlu dipahami bahwa salah satu kriteria yang paling penting yang wajib dimiliki oleh setiap muslim adalah tauhid dan ittiba. Ittiba adalah mengikuti Nabi,saw baik secara lahir maupun batin. Sedangkan tauhid secara praktikal atau konkritnya adalah ibadah dan istianah, istianah adalah mohon pertolongan kepada Allah. Hubungan tauhid dengan ibadah itu bagaikan dzat dengan sifat, sehingga tidak dapat dipisahkan. Tauhid itu sesuatu yang abstrak, namun dapat dibuktikan melalui ungkapan atau perbuatan. Sebagaimana cinta yang juga abstrak yang dapat dibuktikan pula dari ungkapannya, seorang lelaki jika mengatakan kepada wanita ‘aku cinta padamu’, maka yang ditunggu oleh wanita itu adalah ungkapannya sebagai bukti cinta, dalam bentuk perhatian, memberi hadiah, belaian, pujian dan lain sebagainya, jika tidak maka wanita tentunya akan marah karena merasa dibohongi, sedangkan ungkapan tauhid berupa ibadah, shalat, puasa, zakat, dan lain-lain, oleh karenanya setiap amalan dalam agama apapun itu lahir dari keyakinannya. Ada syair orang Arab yang sangat popular yang mengatakan bahwa ‘barang siapa menyukai sesuatu maka dialah hambanya’, maka bisa dikatakan bahwa ibadah itu berupa penghambaan, perhikmatan, pelayanan. Akan tetapi ibadah tanpa istianah tidak sempurna, kenapa tidak sempurna, karena ibadah yang dilakukan oleh tubuh dan pikiran bukan atau belum karena Allah, sehingga belum bertauhid dengan benar, akan tetapi jika ibadah disertai dengan istianah maka sempurnalah tampilan tauhid itu. Ketika Rasulullah,saw didatangi oleh malaikat yang berwujud manusia, yang bertanya akhbirni anil Islam, akhbirni anil Iman, akhbirni anil Ihsan, Nabi,saw menjawab Islam adalah rukun Islam yang lima, Iman adalah rukun iman yang enam dan ihsan adalah ibadah dengan menyaksikan Allah, maka di akhir hadits itu ceritanya selepas malaikat yang berupa manusia itu balik, Rasulullah,saw bertanya kepada sayidina Umar,ra taukah siapa yang bertanya tadi, itulah sayidina Jibril,as datang mengajarkan agama (din), Nabi,saw menyebut Islam, Iman, Ihsan adalah agama (din). Maka agama (din) itu adalah Islam, Iman, dan ihsan, atau mempunyai tiga rukun. Agama (din) jika dilihat dari praktik jahir disebut Islam yang amalannya berupa shalat, puasa, zakat dan pergi haji, akan tetapi amalan ini tidak berdiri sendiri melainkan keluar dari pada keyakinan, dari iman. Oleh sebab itu orang yang beriman atau berkeyakinan atau bertauhid mengungkapkannya dengan cara Islam. Maka dari itu pelakunya disebut sebagai muslim atau mukmin.<p>
<p>Jika cinta mempunyai ungkapan berupa perhatian, memberi hadiah, membelai, memeluk dan mencium, karena cinta bukan akal melainkan emosional. Maka jika ada seorang pria mengungkapkan cinta kepada wanita namun tidak mempunyai cinta ini disebut dengan istilah buaya atau playboy. Oleh karenanya jika orang puasa, shalat, berbuat baik ternyata bukan keluar dari iman ini pun muslim buaya, dia berbuat karena ada pamrih, karena ingin diaku orang lain bahwa dia orang sholeh, ingin kedudukan atau ingin menjaga kepercayaan orang, hal ini menjunjukkan bahwa belum Ikhsan. Maka sesungguhnya tauhid adalah Iman, ibadah adalah Islam dan Istianah adalah Ihsan, nah semuanya ini adalah cinta! istianah cinta, ibadah cinta dan tauhid adalah cinta, oleh sebab itu ada ungkapan bahwa agama itu cinta dan cinta itu adalah agama.<p>
<p>Caranya bagaimana? Tauhidnya, ibadahnya, istianahnya harus seperti Nabi,saw, maka mesti ittiba baik ittiba secara jahir dan ittiba secara batin. Sebagai contoh jika seseorang menyukai orang lain, maka akan mengikuti gayanya, gerakannya, pakaiannya. Dan suka atau tidak bahwa gerak lahir seseorang adalah ungkapan dari jiwanya. Oleh sebab itu dengan mengikuti lahiriyah seseorang itu yang nyata-nyata sebetulnya mengikuti jiwanya, maka disebut ittiba atau dapat dikatakan cinta, karena jika tidak cinta dia tidak akan mengikuti. Sebagai contoh, seorang perempuan menikah dengan lelaki, selama ada cinta kepada lelaki itu maka sang wanita akan mengikuti, maka mengiktui (ittiba) itu cinta. Allah menyebut agama yang dibawa oleh Nabi,saw itu rahmat, rahmat itu pun cinta. Nabi,saw bersabda, Iman kamu tidak sempurna kecuali engkau mencintai untuk saudaramu seperti yang kau cintai untuk dirimu, nah disini jelas bahwa cinta adalah Iman, bahkan Nabi,saw bersabda tidak ada iman kecuali aku dicintai lebih dari anaknya, lebih dari orang tuanya dan lebih dari semua manusia, ini semakin jelas bahwa cinta itu mengikuti (ittiba) kepada Nabi,saw. Bahkan Allah,SWT berfirman jika engkau cinta kepada Allah ikuti nabi, seolah-olah jika engkau mentauhidkan Allah maka ittiba kepada Nabi,saw.<p>
<p>Rasulullah,saw bersabda dibuat cinta kepadamu iman dan dihiasan iman itu dihatimu, jadi iman itu cinta dan ada hiasan iman, dan hiasan iman itu adalah akhlak. Orang jika mempunyai cinta pasti sabar, biasanya seorang gadis ketika berusia lima belas tahun sampai tujuh belas tahun, pemalas, pemarah, tidak sabar, kalau ingin minta sesuatu kepada orang tua dengan memaksa, tidak membantu pekerjaan rumah, tidak ridho, tetapi apabila mempunyai cinta kepada seorang lelaki, maka mulailah tumbuh sifat penyabar, ridho, tidak marah, pemaaf, ternyata cinta telah merubah jiwanya, maka cinta adalah pertolongan atau dapat dikatakan istianah. Ada kisah di satu daerah Jawa Barat, jika seorang mau melamar perempuan, seorang ayah menguji kesetiaan calon menantunya, maka disuruhnya menebang pokok asam dalam waktu satu hari, kalau gagal maka akan ditolak, meskipun pekerjaan yang nyaris tidak mungkin, namun sang lelaki dengan semangat mengerjakannya sebagai bukti cinta kepada anak gadisnya, pada tengah hari yang terik calon mertua menyuruh anak gadisnya berdandan dan disuruh membawa kopi dan makanan untuk diberikan kepada calon menantu yang sudah terlihat letih karena sejak pagi tanpa istirahat menebang pohon asam, begitu terlihat sang wanita datang maka hilanglah rasa letih dan hausnya bahkan ada tambahan tenaga baru, ini sesuatu yang tidak masuk akal dari mana itu datangnya semangat dan tenaga baru seperti ada pertolongan tenaga dan kekuatan dalam jiwanya, inilah cinta yang bukan tumbuh dari akal tetapi dari emosional. Maka manusia beribadah perlu pertolongan kalau tidak akan malas, lemah, berat. Ibadah itu mesti jelas bahwa yang dituju adalah Allah, itu sebab "anta'budallah kaanaka taroh, engkau beribadah seolah-olah melihat Allah,'" maka mesti konsentrasinya adalah melihat Allah (rukyatullah) bukan yang lain, inilah pertolongan yang dahsyat untuk melakukan ibadah, itulah ihsan, itulah cinta. Inilah satu kesatuan cinta, cinta itu adalah man ahabba syaian fahuwa abduhu, orang apabila menyukai sesuatu dia jadi hambanya. Penghambaan itu ibadah yang keluar dari cinta, maka tauhid itu adalah cinta, karena bentuk tauhid itu ibadah dan pertolongan (istianah), yang kesemuanya ini adalah jelmaan cinta. Maka jika tidak punya cinta, tidak punya agama, nah semoga sekarang paham bahwa beragama ini mesti ittiba kepada Nabi,saw, kalau tidak punya cinta bagaimana bisa mengikuti Nabi,saw, jika tidak dapat mengikuti Nabi,saw maka tidak dapat agama.<p>
<p>Apa itu ibadah, ibadah ada dua, ada ibadah khusus dan ada ibadah awam atau umum, ibadah khusus yang ada dalam rukun Islam yang lima sedangkan ibadah yang umum adalah dalam bentuk muamalah kepada makhluk, berbuat baik kepada anak, istri, suami, tetangga, tamu, kawan yang memerlukan yang perlu pertolongan, ini semua adalah ibadah umum. Lalu apa istianah, Istianah itu kongkritnya adalah akhlak, iIstianah ini yang menolong kita untuk melakukan ibadah yang benar, sebagaimana dalam suratul Al Fatihah dikatakan “iyyāka nabudu wa iyyāka nastaīn, kepada Engkau kami ibadah kepada Engkau pun kami minta tolong.” Lalu kita sering mendengar La haula wala quwwata illa billahil aliyil azim, ulama memberikan tafsirannya La haula tidak ada daya untuk melakukan ibadah taat walakuata dan tidak ada kekuatan untuk menjauhi larangannya, maksiat, illa billa kecuali dengan, dalam bahasa Arab ‘ba’ ini adalah istianah atau pertolongan Allah, Maka ibadah itu perlu kesabaran, perlu kekhusyuan, perlu keikhlasan, perlu kejujuran, semua yang disebut ini adalah akhlak, maka jika tidak sabar, memberi tidak ikhlas, tidak khusyu maka ibadahnya tidak jadi, oleh karenanya kita perlu kepada akhlak-akhlak itu, dan akhlah-akhlak itu tidak mungkin didapat kecuali adanya pertolongan Allah (istianah) kepada kita yang berguna untuk dapat menjalankan hidup ini. Nabi,saw bersabda jika engkau minta tolong, minta tolonglah kepada Allah, maka apa yang kita minta kepada Allah adalah kesabaran, keridhaan, keikhlasan, kewaroan, dan lain sebagainya, pun Nabi,saw berdoa Rabbana afrigh alainaa shabran ya Allah kucurkanlah kesabaran padaku. Allah,SWT memberi musibah kepada manusia dan jika Allah SWT tidak menolong atau tidak bagi sabar maka hancurlah manusia itu.<P>
<p>Ini yang paling penting, yang sudah hampir punah dalam beragama, karena kebanyakan manusia mengikuti Nabi,saw (ittiba) hanya ibadah jahirnya saja tanpa mengikuti batinnya. Sedangkan ibadah itu adalah istianah, yang hakikatnya adalah minta tolong kepada Allah agar kita memperoleh akhlak Nabi,saw, yaitu diantaranya adalah sifat sabar, ridho, jujur, syukur, dan lain sebagainya yang kesemuanya adalah akhlak Nabi,saw dalam istilah lain disebut anwar, nuurullah atau asror. Maka jelas sekali bahwa kita bisa beribadah dari Nabi,saw dapat Istianah pun dari Nabi,saw, maka Nabi,saw adalah perantara yang agung, yang Allah turunkan untuk kita. Bagaimana cara mendapatkannya? Cinta itu emosional bukan akal, contohnya cinta seorang Ibu kepada anaknya, melihat anaknya kecebur kedalam sungai, tanpa berpikir panjang sang Ibu menceburkan diri, ini kan tanpa akal yang berarti emosional, inilah cinta. Contoh lagi bahwa cinta lelaki kepada perempuan adalah emosional, sehingga sering kali sang lekaki melantunkan syair-syair yang indah yang sebelumnya tidak bisa. Cinta itu mesti ada senandungnya ada nyanyinya, orang bercinta mesti bernyanyi, orang bercinta mesti memuji, orang bercinta mesti merayu. Jika lelaki mecintai seorang perempuan lalu diam saja, maka tidak akan jadi, tetapi mesti mengatakan syair-syair yang meluncur dari lubuk hatinya ‘kamu tercantik di dunia ini, kamu adalah bidadari yang turun dari Firdaus, engkau adalah jodohku yang tertulis di Lauhul Mahfudz, dihatiku hanya ada namamu, kalau tidak percaya ambilah pisau dan belahlah dadaku, engkau akan tahu di sana tidak ada selain engkau, pastilah memuji, kalau tidak marah lah sang perempuan. Nabi,saw bersabda cintai aku lebih dari anakmu, istrimu, ayahmu, maka semua orang yang mencintai maka akan memuji nabi, karena emosional. Lalu mengapa kita tidak dapat memuji Nabi dan kalua memuji pun tanpa emosional dan tanpa rasa? Begini mudah-mudahan bisa dipahami, orang jika punya sifat dermawan maka setiap mempunyai sesuatu dia akan memberi tanpa pamrih dan niatnya hanya untuk Allah saja. Dermawan ini sifat yang sudah menjadi karakter, dan kalau sudah menjadi karakter, tabiat atau watak tidak akan berubah. Nah jika demikian maka sifat dermawan yang ada pada dirinya itu disebut akhlak, yang tadinya dia belum punya sifat ini lalu Allah beri punya sifat dermawan ini, maka dia jadi punya karakter ini, itulah dirinya. Didalam dunia tasawuf jika sudah menjadi karakter disebut maqam. Seseorang akan mengetahui orang yang punya sifat sabar jika dia punya sifat sabar, orang alim bisa mengetahui siapa yang alim, seorang wali hanya dia yang tahu siapa wali yang lain, mudahnya dapat dikatakan yang tahu wali hanya wali, yang tahu orang alim hanya orang alim, yang tahu orang sabar hanya orang sabar, yang tahu orang ikhlas hanya orang ikhlas, karena sesungguhnya manusia itu berinteraksi itu dengan jiwa bukan dengan fisik, physical itu hanyalah rupa dari ekspresi ungkapan jiwa.<p>
<p>Nabi,saw adalah manusia yang tidak sama dengan semua manusia, beliau memiliki akhlak yang Allah SWT katakan “Wa innaka laala khuluqin adzim, sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang agung,”(QS Al Qalam:4). Akhlak Nabi,saw satu persatu itu agung, sabarnya agung, syukurnya agung, ridhonya agung, dermawannya agung, khusyuknya agung, jujurnya gung dan lain sebagainya. Analoginya demikian, dibutuhkan satu milyar bohlam lampu untuk menerangi seluruh rumah yang ada di benua ini, setiap bohlam lampu mempunyai kapasitas watt yang berbeda-beda, nah akhlak Nabi,saw seperti sumber listrik itu yang dibagi kepada satu milyar bohlam lampu. Mana ada bohlam lampu yang mampu memuat seluruh sumber listrik itu? Nabi,saw yang memiliki akhlak semua yang dibagi-bagi kepada manusia ini, itu sebab Nabi,saw bersabda innama buistu liutammima makarimal akhlak, sesungguhnya aku diutus untuk membagikan akhlak, beliau berkata Allah yang memberi sedangkan aku yang mendistribusikan. Oleh sebab itu, para sahabat yang hidup bersama Nabi,saw terus berubah akhlaknya, maqomnya menjadi terpuji. Maka jika seseorang tidak mempunyai akhlak tentu tidak akan dapat memberi, contoh orang tua yang tidak mempunyai sifat sabar, apakah dia bisa memberi sabar kepada anaknya, tentunya tidak. Para wali itu yang punya akhlak Nabi,saw atau katakan mendapat warisan akhlak, maka dia kenal Nabi,saw maka dia memujinya, meskipun dia mengatakan aku tak dapat memuji Nabi,saw berdasarkan hakikatnya, karena Nabi,saw di atas segala-galanya, maka kita perlu mengikuti Nabi,saw itulah ittiba, bukan hanya mencontoh ibadah lahiriyahnya saja, tetapi Istianah atau pertolongan untuk akhlak, maka orang sufi mengatakan madad ya Rasulullah, artinya minta tolong kepada Allah agar bisa mengikuti Rasulullah,saw dan mendapatkan apa yang Rasulullah,saw dapat, itulah rahasianya! Maka perbanyaklah memuji Nabi,saw dengan bershalawat, karena Allah juga memujinya sebagai tanda cinta, maka Nabi,saw disebut sebagai Habibi (yang dicinta). Inilah cinta dan kita pun berupaya untuk mewarisi batinnya yaitu akhlak, nah untuk mendapatkan warisan ini maka dengan cinta, karena kalau tak cinta kita tidak dapat ittiba. Seseorang mencintai bintang film atau penyanyi, maka wajahnya, pakaiannya, geraknya, bicaranya mengikuti yang dicintainya. Jika Man ahabba syaian fahuwa abduhu, barangsiapa yang mencintai sesuatu dialah hambanya maka ibadah itu adalah cinta (hub) dan istianah itu juga cinta (hub), maka kita mesti memiliki cinta (hub) dari Nabi,saw. Allah SWT berfirman cinta sebetulnya berasal dari Allah, itu sebab Allah memanggil Nabi,saw dengan Habibi yaitu kekasih-Ku dan Nabi,saw adalah sang cinta.<p>
<p>Bahwa dengan mencintai seseorang maka akhlak seseorang itu akan pindah kepada kita, inilah yang disebut sebagai waris ruhani, itulah mengapa Nabi,saw minta dicintai, karena cinta itu adalah sarana beragama, bahkan agama itu cinta, tanpa cinta kita tak dapat berbuat apa-apa, tanpa cinta pun kita tak dapat mengikuti, cinta itu dari Allah dan mintanya dengan ungkapan cinta kepada Nabi,saw karena contohnya cinta itu Nabi,saw dan Nabi,saw itu sang cinta dan distributor cinta. Apabila kita telah dapat cinta Nabi,saw yang hakikatnya dari Allah SWT, maka dialah orang yang bertauhid kepada Allah, karena hakikat cinta itu tidak ada beda antara pencinta dan yang dicinta dan yang namanya kekasih tidak mau diduakan, itu sebab Allah tidak boleh disyarikatkan, itulah tauhid. Alhamdulillah al-Fatihah.<p>
<p>Walauhualam bisawab, semoga ada manfaatnya.<p>
Gus Sentothttp://www.blogger.com/profile/11940008067402109720noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-996506657337930230.post-10553152294036246182021-03-23T16:54:00.005-07:002021-03-24T15:40:46.471-07:00TAUHIDBismillahir Rahmaanir Rahiim
<p>Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang menjahirkan nama-nama dan sifat-sifat-Nya, jika tidak maka Allah tidak akan bisa dikenal. Nama dan sifat itu abstrak, tidak ada materinya, yang ada materinya adalah Dzat, sedangkan Dzat Allah adalah ghaib mutlak, maka jika bicara Dzat maka tanzih, murni, qudus, artinya tidak ada yang menyentuh dan membayangkannya meskipun khayal, pikiran, paham, apalagi mata jahir, Al Qur’an mengatakan ‘laisa kamislihi syaiun, tidak ada sesuatupun yang serupa dengan DIA.’ Maka Allah tajjalikan, Allah berikan, Allah jelmakan, Allah wujudkan pada salah satu makhluk-Nya yang paling sempurna. Dan mazhar yang paling sempurna ini, Allah jadikan pola wujud, asal wujud, sehingga semua yang wujud asalnya dari pola ini, dan menjadi ringkasan atau intisari untuk setiap yang ada di alam semesta ini, asal wujud ini adalah sayyidina Muhammad,saw, yang bertugas untuk memberi petunjuk kepada semua makhluk dan menjahirkan Haq, maka disebut sebagai suratul Haq, oleh karenanya manusia adalah ‘suratul Haq’. Oleh karena itu apapun yang manusia jahirkan atau munculkan dari tubuh ini, adalah Allah yang menjahirkan, dan sebetulnya yang dijahirkan itu adalah sifat dan asma-Nya. Maka oleh sebab itu ada hadist yang mengatakan : ‘Man arofa nafsahu faqod arofa rabbahu, siapa yang mengerti bahwa dirinya adalah mazhar Allah maka dia mengenal Allah.’ Jika sifat dan nama abstrak serta wujud adalah ghaib mutlak atau dalam dunia tasawuf disebut tanzih, lalu dimana dan bagaimana manusia bisa melihat Allah? Sesungguhnya tidak ada pesaing untuk dapat melihat Allah kecuali pada dirinya sendiri, artinya manusia diperintah untuk melihat Allah pada semua nasib dan takdir masing-masing. Ilustrasinya seperti projector, bahwa bayangan yang muncul di layar, adalah bentangan yang menyambung ke projector, bahwa manusia hanyalah bayangan yang dibentangkan dari zaman azali. Oleh karenanya untuk melihat kesempurnaan Allah, maka lihatlah asal wujud yaitu baginda Rasulullah saw, maka ketika ditanya akhlaknya Nabi,saw adalah khuluquhul Qur'an, seolah-olah khuluquhu Allah, maka orang sufi punya ibaroh, ‘berakhlaklah dengan akhlak Allah, bersifatlah dengan sifat Allah,’ ini maksudnya berakhlak dengan akhlak yang mulia, dan akhlak mulia itu berasal dari Allah seperti sabar, syukur, tawakal, ridho dan lain sebagainya, sebagaimana dalam Al Qur’an dikatakan ‘radiallahu anhum’ Allah ridho kepadanya berarti Allah mempunyai sifat ridha dan warodhuan baru orang bisa ridha kepada Allah, yang demikian itu untuk orang yang hatinya takut (khosyiah) kepada Tuhanya. Maksudnya tak seorangpun mampu ridho kecuali bila sifat ridho Allah ditajjalikan kepada orang itu.<p>
<p>Baginda Nabi Muhammad,saw itu sebagai perantara rangkaian tali, bayangan azali yang dibentangkan, maka manusia menyembah Allah mesti seperti Rasulullah saw, menjalankan perintah Allah mesti seperti Rasulullah saw secara syariat dzahir maupun batin. Sehingga apa yang baginda Nabi Muhammad, saw katakan dan lakukan mesti mengungkapkan tentang Keagungan dan Keindahan Allah, oleh sebab itu orang yang mengikutinya, akan dapat pula menyaksikan keagungan Allah, karena memperoleh waris ruhani. Sahabat Bilal,ra, seorang budak berkata ‘Ahad … Ahad … Ahad’ saat disiksa bukan Muhammad … Muhammad … Muhammad, meskipun cintanya kepada baginda Nabi,saw sangat dalam. Karena tarbiyah yang dilakukan oleh sayyidina Muhammad,saw, benar dan menunjukkan bahwa dirinya sebagai wasithoh, sehingga sahabat-sahabatnya menerima kebenaran dengan benar, persis seperti makna pada shalawat Fatih.<p>
<p>Semoga ada manfaatnya wallahualam bisawab.<p>
Gus Sentothttp://www.blogger.com/profile/11940008067402109720noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-996506657337930230.post-30043478064229396782021-03-23T16:43:00.002-07:002021-03-23T16:46:35.313-07:00HAMBA - MERDEKABismillahir Rahmaanir Rahiim
<P>Tidak ada sesuatu apapun yang dapat memimpin, membimbing atau bahkan menyeret manusia sebagaimana yang dilakukan oleh angan-angan kosong (wahm). Inilah yang membuat manusia tidak pernah merasa puas atau menjadi tamak. Maksudnya begini selain Allah itu wahm, manusia ini hakekatnya jelmaan Sifat dan Asma Allah atau shurotul Haq, apabila manusia melakukan sesuatu bukan untuk Allah, berarti memandang ada selain Allah, padahal itu wahm, itu penyakit. Mengapa bisa demikian, karena di dadanya, di hatinya belum ada hakikat yang masuk ke dalamnya, yang berupa anwar, asror, maqomat, akhlak, atau apalah namanya, jadi tidak punya alat untuk melihat hakikat, maka yang dia lihat itu dianggap semuanya ada, padahal tidak ada. Persis seperti yang disabdakan oleh baginda sayidina Muhammad,saw, bahwa ‘'Annaasu niyamun fa'idza matu intabahu, sesungguhnya semua manusia ini tidur dan ketika mati baru bangun.” Maka jangan heran manakala ada seorang sufi yang mengatakan bahwa istrimu wahm, anakmu wahm, engkau berbuat untuk istri berarti untuk wahm, seharusnya untuk Tuhannya istri, untuk Tuhannya anak, untuk Tuhannya suami, barulah tidak wahm. Tipis sekali perbedaannya, hanya perlu memindahkan kecondongan hati, atau dalam istilah tasawuf dikatakan sebagai tawajjuh atau mudhoha. Apabila seseorang memiliki atau mempunyai hakikat di dalam dirinya, barulah condongnya hati ke hakikat dan bukan wahm. Apabila manusia mempunyai sifat-sifat mulia, anwar, tawakal, wara, kemudian qonaah, maka hilang sifat tamak, karena dia tawakal kepada hakikat, menerima apa yang diberikan oleh Pencipta. Maka gugur dihatinya hubungan kepada makhluk dan tidak kepada rezeki melainkan kepada Ar-Rozak, sehingga dikatakan orang yang ragu akan rezekinya berarti dia ragu kepada yang Maha Memberi Rizky.<P>
<P>Ironis, manusia mengejar sesuatu yang dianggap besar padahal hakitkatnya tidak ada atau wahm, lalu berputus asa pula disaat tidak memperolehnya. Maka manusia yang seperti ini disebut sebagai hamba wahm. Oleh karenanya untuk bisa sebagai manusia yang merdeka dan bukan hamba sahaya putuskan harapan dari angan-angan atau lepaskan harapan dari yang tidak ada. Dimasa perang, orang munafik menggoda istri-istri sahabat Rasulullah,saw, dengan mengatakan ‘Bagaimana bisa engkau membiarkan suamimu ikut perang, jika engkau menjadi janda siapa yang akan memberimu makan dan anak-anakmu?’ Dijawab : ‘Benar mereka yang memberiku makan, tetapi Allah yang memberi rizky.’ Orang yang merdeka dari segala sesuatu selain Allah, akan merasa ada dan tak ada sama saja, oleh sebab itu apabila orang tamak kepada sesuatu berarti dia hamba sesuatu itu, jika dia putus asa dari sesuatu itu berarti dia merdeka. Nah, kita ini sebetulnya hamba siapa dan merdeka dari siapa? Jika berharap kepada selain Allah dan putus asa dari Allah, berarti kita bukan hamba Allah melainkan hamba wahm, berarti kita selamanya tidur dan tidak pernah bangun, sebagaimana yang dikatakan baginda sayidina Muhammad,saw, : ‘'Annaasu niyamun fa'idza matu intabahu, sesungguhya semua manusia itu tidur, ketika mati baru bangun.”<P>
<P>Semoga ada manfaatnya wallahualam bisawab.<P>
Gus Sentothttp://www.blogger.com/profile/11940008067402109720noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-996506657337930230.post-51902640485884319202021-03-22T16:29:00.001-07:002021-03-23T15:26:59.964-07:00TAMAK - WARABismillahir Rahmaanir Rahiim
<p>Di dunia tasawuf pengertian tamak bukan saja ditujukan bagi orang yang rakus terhadap harta benda saja, melainkan rakus terhadap keinginan selain Allah, seperti ingin dihormati orang, ingin dipuji orang, ingin dimuliakan orang. Tamak ini sangat berbahaya, karena sifatnya seperti minuman keras (khamr) yang memuaskan jiwa tetapi mematikan hati. Oleh sebab itu Syeikh Ibnu Athoilah,qs, mengatakan bahwa tidak akan tumbuh cabang-cabang kehinaan kecuali diatas benih ketamakan. Sifat-sifat yang hina dan rendah pada diri seseorang adalah akibat dari sebab menanam bibit ketamakan, seperti riyadhah dan mujahadah yang di aku sebagai perbuatannya dan bukan karena Allah, sehingga mereka menuntut kepada Allah akan balasannya. Oleh karena itu, meskipun mereka telah melakukan riyadhah dan mujahadah bertahun-tahun lamanya, yang didapat malah mempertebal hijab bukannya membersihkan noda-noda nafsu (atsaar). Orang yang seperti ini jauh dari ma’rifat tetapi merasa ma’rifat, ini sesat dan menyesatkan. Orang yang hina dan rendah itu bukan direndahkan orang lain, melainkan merasa dirinya hebat dan ingin menjadi panutan dan selalu ingin dimuliakan orang. Persis seperti seorang peminta-minta yang minta mulia karena dia tidak punya mulia. Padahal ahli hakikat memandang hidup ini sudah selesai, sudah jadi, sudah siap, lengkap dengan sebab akibatnya, semua telah ditetapkan di zaman azali oleh-Nya dan tertulis rapi di Lauhil Mahfudz, lalu bagaimana bisa manusia mengaku peribadatan itu atas upayanya? Seharusnya merasa malu mengakui sesuatu yang bukan miliknya. Itulah mengapa keinginan selain Allah dalam melakukan peribadatan disebut tamak.<p>
<p>Akal selalu membisikkan kedalam jiwa bahwa peribadatan ini atas jerih payahnya atas upayanya. Demikianlah sifat akal manakala ia sebagai penasihat jiwa atau nafsu, berbeda manakala ia sebagai penasihat ruhani. Itu sebab akal hanya meletakkan kaidah berdasarkan kebanyakan, kesamaan lalu disusun kaidah untuk menilai sesuatu. Dalam hal ini syeikh sufi mengatakan bahwasanya tajalli Allah itu berbeda setiap saat, bagi satu orang dan antara satu dengan lainnya, semata-mata hanya untuk menunjukkan kekuasaan mutlak itu ditangan Allah. Sehingga sangat penting memeriksa diri ini pada setiap melakukan ibadah sosial atau amal baik apapun, masih adakah keinginan selain hanya menjalankan perintah karena Allah? Maka sebesar mana dalamnya benih ketamakan itu, maka sebesar itu pula kerendahan amal itu. Bahkan seseorang yang keadaan ruhaninya tinggi mengatakan bahwa beribadah karena surga pun masih tergolong tamak. Pernyataan ini bernada pendidikan atau meletakkan istilah-istilah tarbiyah guna memurnikan tauhid kepada Allah. Seolah-olah janganlah engkau menanam benih di dalam hatimu keinginan selain Allah, karena jika di dalam hatimu ada tamak, maka yang keluar yang tumbuh itu mesti kehinaan.<p>
<p>Orang yang tamak kepada dunia pasti tidak wara, orang wara adalah orang yang apik, bersih, tidak ada keinginan apapun selain Allah. Orang yang mempunyai ilmu disebut alim, akan tetapi tidak sedikit orang yang alim tidak wara, inipun masih disebut tamak. Maka apabila seseorang itu alim dan sekaligus wara maka yang tampak adalah kebijaksanaan, semua yang dikatakan dan dilakukannya penuh hikmah yang menunjukkan Kebesaran dan Kasih Sayang Allah SWT. Sedangkan ciri-ciri orang yang hanya mempunyai ilmu saja tanpa wara, adalah dia akan selalu memaksakan orang lain menurut pikirannya, pahamnya dan apa yang diamalkannya. Sedangkan ciri-ciri orang yang bijaksana adalah, dia menyuruh orang berdasarkan kemampuan dan karakter orang itu sendiri dan tidak memaksakan di atas kehendaknya.<p>
<p>Semoga ada manfaatnya wallahualam bisawab.<p>
Gus Sentothttp://www.blogger.com/profile/11940008067402109720noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-996506657337930230.post-45452202358576312592021-03-12T03:31:00.002-08:002021-03-12T03:31:35.306-08:00WAKTU<P>Bismillahir Rahmaanir Rahiim
<p>Yang mulia baginda Nabi Muhammad,saw pernah mengatakan ‘li waqtun, Saya punya waktu’, apa maksud waktu itu? Waktu menurut dunia tasawuf adalah durasi hidup yang paling kecil, tempo, atau ajal. Seperti dalam film, setiap gambar yang muncul dilayar adalah satu potong klise yang muncul lalu hilang dan muncul lagi, begitu dicepatkan maka tidak terasa jedanya, maka jadilah sebuah cerita film yang bersambung hingga film selesai. Nah, sesungguhnya durasi hidup manusia hanya satu klise saja atau satu ajal, persis seperti maklumat manusia yang tertulis rapi dan sempurna di lauh mahfudz dari awal hingga akhir (qodho), yang takdirnya dijelmakan menjadi manusia dibumi (qodar) secara sesaat atau tempo persis seperti klise film tadi, untuk membuktikan bahwa manusia itu selalu baru (hudust) dan hanya Allah saja yang Qodim. Al Qur’an mengatakan bahwa: “Maka jika datang waktu kematian mereka, tidak bisa mereka tunda dan mendahulukannya sedetikpun”. Ironisnya, manusia tidak merasa bahwa hidup itu sebentar atau satu tempo atau satu klise film, kecuali apabila mempunyai ma’rifat, maka akan mampu menyaksikannya, karena manusia beradaptasi kepada wujud ini dengan jasmani, jika dengan rohani maka akan merasakan hakikat kehidupan ini, yang sebentar saja dan selalu baru. Oleh sebab itu, orang yang ma’rifat selalu ingat mati, rasanya kematian itu ada di kelopak matanya, seperti gambar di layar takut berhenti tidak ada klise berikutnya. Baginda Nabi Muhammad,saw, bersabda : ‘li waqtun, saya punya waktu’ artinya saya punya durasi kehidupan yang paling kecil, tidak ada yang dapat meliputi diwaktu itu seperti meliputi aku, siapapun tidak punya, baik itu malaikat yang muqorrob. Mengenai muqorrob ini ada salah satu syarah daripada Syeikh Abdul Ghoni an Nabulsi,qs, bahwa makna malak muqurrob adalah wali, malak itu sebutan bagi orang yang mempunyai sifat malaiki, akhlak mulia, karena dijaman Rasulullah,saw, ada orang sholeh yang memiliki sifat malaikat. Siapapun selain aku sabda baginda Nabi Muhammad,saw, jelmaan-Nya atau tajjali-Nya tidak sesempurna aku, sifat mulia yang Allah jelmakan kepadaku adalah yang paling sempurna. Maka kenikmatannya pun dalam menjalani jelmaan-jelmaan-Nya tidak seindah yang dirasakan oleh baginda Rasulullah saw.<p>
<p>Semoga ada manfaatnya wallahualam bisawab.<p>
Gus Sentothttp://www.blogger.com/profile/11940008067402109720noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-996506657337930230.post-26880087445929429022021-03-11T18:59:00.006-08:002021-03-11T18:59:49.479-08:00BERJALAN MENUJU ALLAH<P>Bismillaahir Rahmaanir Rahiim<P>
<P>Ada yang mengatakan bahwa jiwa atau nafsu manusia itu laksana pusat kota artinya sangat sibuk dan banyak pendatang serta hiruk pikuk dan tidak pernah sepi. Terbukti memang, bahwa ketika manusia sedang sendiri namun pikirannya tidak pernah behenti, gambar atau permasalahan kehidupan muncul silih berganti. Jika seorang sufi itu merasa sendiri ditengah keramaian, maka manusia biasa merasa ramai dikesendiriannya. Oleh sebab itu jika tidak dilakukan penertiban maka yang terjadi adalah kekacauan dan kehancuran. Tetapi apakah manusia mempunyai kesadaran akan hal ini? Ironisnya jika tidak ada pusat kota, maka manusia sangat sulit melakukan perjalanan, karena disitulah tersedia berbagai macam sarana untuk memudahkan perjalanannya, begitu pula manusia, berkumpulah berbagai bentuk anggota tubuh (jawarih) yang masing-masing mempunyai keinginan dan bersatu menjadi syahwat, maka jika manusia tidak memiliki nafsu maka mustahil dapat merealisasikan perjalanannya menuju kepada Allah. Itulah mengapa para sufi mengatakan bahwa nafsu itu adalah substansi manusia. Manusia diperintah untuk beribadah atau mengenal Allah atau katakan dalam bahasa tasawufnya berjalan menuju kepada Allah. Disinilah pokok pembahasannya, bahwa yang paling mudah untuk mecapai tujuan yang tidak ada tujuan lagi adalah dengan jalan mengikuti kepada orang yang telah sampai (wushul) kepada-Nya, bahasa tasawufnya disebut sebagai suhbah atau mempunyai guru ruhani untuk berqudwah dengan cara tarbiyah, kepada seorang mursyid yang kamil. Dari wejangan Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) dapat dipahami bahwa keberhasilan pendidikan ruhani bilamana memenuhi tiga syarat, yang pertama adanya murid yang jujur (siddiq) menginginkan Allah, yang kedua adalah manhaj yang shahih atau motede tarbiyah yang memang sudah teruji kebenarannya dan ketiga adalah adanya guru pembimbing ruhani yang sempurna atau mursyid kamil.<P>
<P>Al Qur’an itu penuh dengan perumpamaan atau mitsal yang sangat tinggi dan mempunyai makna yang berlapis-lapis. Begitu juga dalam dunia tasawuf, mereka mentransformasikan pengalaman ruhaninya atau dzauqiyah kedalam bahasa akal (aqliyah). Oleh sebab itu istilah tentang berjalan menuju Allah berbeda-beda, namun mempunyai makna yang sama. Perjalanan menuju kepada Allah bukanlah perjalanan physical atau bahkan pikiran, karena physical dan pikiran tidak akan pernah pergi ke Allah, jadi yang dimaksud dengan kembali kepada Allah atau berjalan menuju kepada Allah adalah perjalanan yang dilakukan dengan melintasi dan meninggalkan nafsu. Maka ketika Nabi Adam,as diturunkan ke bumi setelah makan buah khuldi, itu sebetulnya bukan dijauhkan justru untuk didekatkan atau disempurnakan. Maka jika tidak ada tubuh, tidak akan ada nafsu dan tidak pernah bisa berjalan menuju kepada Allah, maka dengan adanya nafsu adalah merupakan rahmat. Karena sesungguhnya tidak ada ‘jarak’ antara manusia dengan Allah, sehingga perjalanan menuju Allah adalah perjalanan melintasi, melewati dan melepasi nafsu saja, atau dalam istilah tasawuf dikatakan sebagai mujahadatun nufus atau berperang melawan hawa nafsu, atau ada istilah lain yang mengatakan menghilangkan hawa nafsu, ini adalah istilah-istilah yang dibuat oleh para sufi yang menggambarkan bahwa seolah-olah perjalan ini menempuh jarak yang jauh, padahal dikatakan didalam Al Qur’an bahwa Allah lebih dekat daripadamu dari urat lehermu. Lalu apa yang dimaksud dengan jauh? Itulah hijab! jika ada hijab itu jauh dan jikalau hijab itu dibuka artinya dekat, jadi semakin banyak hijab dibuka maka akan semakin dekat, maka dapat dikatakan bahwa perjalanan menuju kepada Allah itu adalah menyingkap hijab (kasyful hijab), oleh sebab itu dikatakan bahwa perjalanan ini tidak pernah berakhir. Misalnya hijab itu kufur, lalu kufur dibuang dengan masuk Islam, setelah masuk Islam lalu beribadah, maka ibadah pun hijab, manakala ibadahnya bermotifkan imbalan, maka mesti karena Allah, ibadah karena Allah pun hijab mesti ibadah dengan Allah. Apa yang Allah berikan kepada manusia sesungguhnya bukan Allah, meskipun itu ma'rifat, kasyaf dan zuhud. Nah maka yang dimaksud jauh adalah sesuatu yang menghijabi perjalanan, maka perjalanan orang menuju kepada Allah atau thoriq itu adalah jika menyaksikan bahwa apa yang dilakukan adalah anugerah dari Allah SWT. Maka permulaan orang awam merasakan bahwa jika ibadahnya banyak rasanya dekat, dan jika masiat rasanya jauh, jadi jauh dan dekat diukur kepada amal, ini pada permulaan orang beribadah kepada Allah, tetapi setelah itu, jauh adalah apabila beribadah dengan dirinya dan dekat manakala ibadah itu dengan anugerah Allah, dengan sifat yang Allah anugerahkan. Maka berarti perjalanan kepada Allah adalah bagaimana agar menghilangkan nafsu itu. Imam Abdul Ghani an-Nabulsi,qs, mengumpamakan nafsu itu seperti cermin, nafsu itulah yang membuat kita menyaksikan bahwa kita ada.<p>
<p>Maka kesimpulannya ketika seseorang tidak ada nafsu, tidak ada syahwat, maka tidak perlu ada perjalanan kepada Allah, karena perjalanan kepada Allah itulah melepasi, menghapus atsarnya nafsu. Bilamana ibadah karena dirinya, dalam tingkatan yang tinggi itu dosa atau ibadah tidak khusyuk adalah dosa. Imam Abul Hasan As-Syadzili,ra, bermimpi Rasulullah,saw dan bertanya engkau mengatakan orang yang bershalawat kepadamu Allah bershalawat kepada mereka sepuluh kali, apakah itu yang hadir atau yang gofil bacaannya? Rasulullah,saw menjawab yang gofil, lalu ditanya bagaimana jika hudhur? Rasulullah,saw menjawabnya tidak terhitung, tidak ada hisab. Artinya orang yang hudhur adalah orang yang memiliki syuhud, karena dia sudah tidak menghitung perbuatannya yang dikaitkan dengan pahala melainkan seolah-olah melihat Allah yang berbuat semuanya (musyahadah). Jadi kalau manusia mengaku bahwa peribadatan dan perbuatan baiknya karena dirinya, maka Allah akan menghitung mana yang salah dan mana yang benar, yang pasti semuanya salah. Maka jika masih ada nafsu, manusia akan melihat segala sesuatu dia yang berupaya dan membuatnya dan itulah yang perlu ditinggalkan, itulah yang dimakasud 'perjalanan' yang mesti dilepasi menuju kepada Allah SWT, yaitu an nufus. Itu sebab Imam Abu Madyan al-Ghaust,qs, mengatakan ‘orang yang belum membunuh nafsunya belum melihat Haq’, orang juga menganggap bahwa membunuh nafsu itu membunuh kelezatannya, membunuh syahwatnya, bukan, tetapi membunuh ashar-nya, membunuh ketergantungannya, membunuh itimadnya adapun diri atau nafsu tidak dapat dibuang. Di tv ada seorang ulama di Indonesia diwawancarai, pak Kyai kenapa punya istri tiga apakah waktu menikah dengan nafsu? Tidak dijawabnya, karena baginya menjawab dengan mengatakan menikah dengan nafsu itu buruk, maka jika syeikh sufi ditanya apakah dengan nafsu maka akan dijawab kalau tidak dengan nafsu untuk apa dinikahi. Jadi yang dimasud dengan dimatikan nafsu itu, di bunuh nafsu itu, di mujahadah nafsu itu, adalah rasa independent-nya. Oleh karena itu Imam Abdul Qodir al-Jailani,qs, atau Imam Hatim al-Asham,qs, mengatakan bahwa mematikan nafsu ini, melawan nafsu ini, perlu mematikan empat jenis nafsu, maka ada istilah empat kematian, yang pertama disebut ‘mautun ahmar’ mati merah, maka jika seorang syeikh memakai jubah atau topi merah berarti itu sudah mati merah, mati merah ini adalah mukhalafatu nafs, itu sebuah simbolik melawan nafsu, nafsu tidak ingin shalat malam, dzikir, baca Al Qur’an, puasa, maka dia melawannya dengan melakukan itu semua karena dan dengan Allah, yang kedua ‘mautun aswan’ mati hitam, adalah menanggung gangguan manusia, orang tidak suka, orang menghina, orang mencerca maka ditanggung, ditahan dan tidak membalasnya. Dan kemudian mati putih, mati putih inilah puasa makan daging atau makan yang bernyawa, kalau di Jawa Tengah, melakukan semua mati ini disebut mati geni, geni itu api, nafsu, mematikan nafsu itu jika dilakukan semuanya sekaligus biasanya mati geni tiga hari, tidak tidur, tidak makan dan tidak bertemu orang, maka ada istilah puasa mutih yang putih-putih saja yang boleh dimakan, nasi putih, ubi kayu putih, minum air putih dan yang terakhir mati ahbar atau mati hijau memakai baju yang buruk-buruk, tambal-tambal itu juga melawan nafsu, tetapi di Maroko tambal-tambalnya dibuat indah. Tidak semua di dalam tasawuf menyuruh memakai baju tambal-tambal, terutama dalam tarekat syadziliyah tidak menganut mati hijau, bahkan disuruh memakai baju yang mewah-mewah, kesemuanya ini dalam rangka mujahadatun-nufus melawan nafsu. Makanya Nabi,saw menyebut ahli surga itu sifatnya tiga, menyambung silaturahmi kepada orang yang memutusnya, memberi kepada orang yang tidak memberi kepada kita dan memaafkan pada orang yang menyakiti kita, bahkan meminta maaf. Secara fitrah bahwa nafsu ini, tubuh ini mempunyai sifat baik dan buruk bawaan (jibiliyah), maka ketika orang melakukan ibadah dia akan mengakui bahwa dia yang melakukannya, karena dia mempunyai sifat itu, maka ketika manusia belum mempunyai sifat rohani, dia mesti melawan nafsu itu, dengan cara membetulkan tujuannya atau tawajjuh kepada Allah secara jujur. Madrasah tarekat itu manhaj utamanya adalah meninggalkan semua amal ibadahnya yang selama ini selain Allah menjadi karena dan dengan Allah, lillah, bukan hanya sekedar banyak shalat taubat, dzikir dan selalu berwudhu, karena banyak kelompok pengajian yang bukan tarekat pun telah melakukan hal ini.<p>
<p>Seorang syeikh, seseorang murabbi dialah yang mengajarkan, menguji, mendidik murid-muridnya untuk melakukan segala sesuatu karena dan dengan Allah. Karena hanya dengan ibadah yang dilakukan karena dan dengan Allah itulah yang akan Allah turunkan sifat-sifat-Nya atau disebut tajalli dan itulah perjalanan menuju kepada Allah. Artinya selain seseorang itu melakukan mujahadatun nufus, maka perlu bersuhbah, artinya seorang murid memerlukan tarbiyah dari seorang guru, karena seorang guru pernah menjalani tarbiyah dari guru sebelumnya dan telah menerima waris ruhani. Artinya ketika nafsu melakukan sesuatu sudah di bawah kekuasaan rohani, bahwa melakukannya karena dan dengan Allah, melihat karena Allah, mendengar karena Allah, berbicara karena Allah, karena jika belum ada rohani maka masih ada pengakuan dalam diri bahwa aku memberi, aku mujahadah, aku riyadhah, aku dzikir, aku puasa dan sama dengan binatang serta tidak berjalan menuju kepada Allah dan hal ini malah akan mempertebal hijab.<p>
<p>Wallahualam bisawab semoga ada manfaatnya.<p>
Gus Sentothttp://www.blogger.com/profile/11940008067402109720noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-996506657337930230.post-35035225222867443012021-03-06T03:07:00.007-08:002021-03-06T03:07:31.318-08:00MENGAPA AKU SELALU BERCERITA TENTANG AKU<p>Bismillaahir Rohmaanir Rohiim<p>
<p>Imam Junaid,ra, meraknya para sufi berkata bahwa awal dosa adalah merasa ada. Ciri orang yang merasa ada adalah setiap pembicaraan dan perilakunya ditujukan untuk menunjukkan bahwa dirinya hebat. Ini sebagai bukti bahwa meskipun mulutnya sering menyebut nama Tuhan dan membicarakan nama dan sifat-Nya namun hatinya mendustakannya. Harus disadari bahwa setiap tindakan yang dilakukan oleh manusia, maka hawa nafsunya minta atau menuntut bagiannya. Dan ironisnya bahwa hawa nafsu itu tidak bisa dihilangkan, itu subtansi dan karunia dari Allah SWT. Oleh sebab itu jika hawa nafsu dianalogikan sebagai kuda, maka dibutuhkan penunggannya agar kuda mempunyai tujuan yang benar dan tidak asal berlari, nah penunggang itu adalah cahaya pada ruhani manusia, cahaya ini diperoleh dari pemberian Allah SWT tanpa sebab dan sekehendak-Nya. Dalam dunia tasawuf cahaya ini disebut sebagai maqomat ruhiyah atau akhlak karimah, dan dipercaya bahwa dengan jalan riyadah dan mujahadah maka maqomat ruhiyah ini kemungkinan bisa diperoleh, Imam Ghazali,ra, menyebutnya dengan melakukan proses takhali, tahali dan kemudian tajjali.<p>
<p>Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering berkata bahwa dalam hidup ini tidak ada pilihan kecuali piliha-Nya, oleh karenanya jangan ikut campur dalam mengatur kehidupan ini. Wejangan ini keluar dari keadaan yang tinggi, karena sudah menisbatkan segala sesuatunya kepada Allah SWT, persis seperti yang dikatakan oleh Imam Ibnu Arabi,qs, bahwa manusia ini adalah jelmaan sifat dan perbuatan-Nya. Sebagaimana projector, gambar yang ada di layar telah ditentukan pada potongan-potongan negative film yang ada pada projector itu dengan terpaksa atau sukarela.<p>
<p>Orang yang telah menyaksikan sifat Tuhannya, tidak punya berita tentang dirinya, ia tidak peduli apakah seseorang sepakat dengan pendapatnya atau tidak sepakat, tidaklah akan bersarang dan menggores hatinya. Meskipun banyak orang bisa mengerti dan memahami pengertian diatas, akan tetapi jika memahaminya terhadap teks saja meskipun betul, itu tidak hakiki, itu palsu. Artinya, meskipun akal (maklumat) sebagai jalan pertama dan utama untuk menjadikan karakter dalam ruhani (maqomat), namun pemahaman akal masih didominasi oleh ke akuan (ananiyah), yang tentunya setiap perbuatannya akan dinisbatkan kepada kepentingan dirinya atau hawa nafsunya, oleh karenanya orang mesti membangun jembatan agar maklumat bisa mulus menuju atau menjadi maqomat, jembatan itu adalah tasawuf. Mari kita pahami hadis tentang ihsan: ‘Anta’budallah ka annaka taraah, fa’illam takun taraah, fa’innahu yaraak. Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.’ Seolah-olah melihat Allah adalah musyahadah atau syuhud sedangkan seolah-olah Allah melihatmu adalah muroqobah. Nah musyahadah atau syuhud dan muroqobah hanya dapat diperoleh melalui tarbiyah ruhiyah atau taskinatun nafs dengan jalan suhbah sebagai qudwah, karena jalan satu-satunya untuk memperoleh ‘waris ruhani’ adalah dengan jalan suhbah, sebagaimana sahabat-sahabat yang bersuhbah kepada baginda Rasulullah,saw. sehingga lahirlah cinta atas dasar waris ruhani ini, yang mengakibatkan selalu dirliputi rasa rindu (syauq). Oleh karenanya ada hadis yang mengatakan bahwa: ‘Al-ulama waratsatul anbiya’ yang berarti ulama adalah pewaris para-Nabi.’ Begitu syariat turun maka bergembiralah mereka, karena mendapatkan bentuk atau cara mengungkapkan kerinduan kepada kekasihnya, dalam bentuk shalat, puasa, zakat dan pergi haji serta amal baik lainnya yang kesemuanya dilakukannya dari, dengan dan untuk Allah.<p>
<p>Mu'min yang sempurna itu disibukki oleh memuji sifat-sifat Allah, sifat-sifat Indah (Jamalullah), sifat-sifat Keperkasaannya (Jalalullah) dan sifat-sifat Kesempurnaannya (Kamalullah) dan selalu menisbatkan sifat-sifat itu kepada-Nya dan tidak tersisa sedikitpun untuk yang lainnya. Mengapa? Karena dia melihat dirinya tiada, setiap mulai bicara ada pun bukan merasa ada, melainkan Allah yang Ada. Nah karena semua sifat baik berada di tangan Allah, maka sifat buruk itu adalah tiada, bagaimana mungkin yang tiada dinisbatkan kepada yang Ada? Oleh sebab Itu buruk dinisbatkan kepada yang tiada, yaitu manusia, maka ketika orang memuji baginda Nabi,saw, wajah yang mulia merona merah, bahkan wajahnya ditutupi karena malu, karena orang yang memujinya menyangka itu sifatnya, padahal semua sifat baik itu milik Allah. Akan tetapi kepada sayyidina Abu Bakar,ra, malah disuruh memujinya, lantaran ketinggian keadaan ruhaninya yang mengetahui bahwa yang dipuji bukan baginda Rasulullah,saw, melainkan Allah SWT. Riwayat ini memperlihatkan perbedaan dengan kebanyakan orang, yang mana bila dipuji lantas merasa senang, maka dikipasnya pujian itu agar membesar. Nah mu’min sempurna itu jiwanya disibukkan oleh melihat keindahan Allah, meskipun iblis yang dilihatnya akan terlihat keindahan Allah. Oleh sebab itu ketika mereka melihat orang sholeh, dia melihat dengan mata cinta, karena dia melihat Allah telah mentajjalikan sifat-Nya kepadanya. Kisah, seorang guru dan muridnya, ketika gurunya berubah kafir, muridnya mendatanginya tanpa memandang hina, tetapi memandang dengan mata cinta. Saat berjumpa, gurunya sudah merasa malu dan menyuruhnya pergi, maka si murid mengatakan: ‘Engkau adalah syaikhu, engkau guruku, wahai guruku aku tidak pernah merasakan apa murninya cintaku kepadamu seperti hari ini, engkau dulu yang mengajarkan aku, bahwa hati manusia ditangan Allah bukan ditangan manusia, sekarang aku menyaksikan kebenaran kata-kata itu, bolehkah aku katakan kepadamu wahai guruku, kembalilah kepada jalan Allah’. Perkataan itu tanpa adanya bobot rasa menggurui melainkan meluncur dengan kendaraan cinta, mendengar itu gurunya pun menangis dan seketika kembali ke jalan Allah. Inilah contoh kisah orang yang disibukkan oleh Allah, yang lahir dari menyaksikan sifat Indah dan menisbatkan sifat Indah itu kepada Allah, maka timbul fana daripada melihat dirinya hebat, baik, pandai, bersyukur, ridho dan lain sebagainya. Ketika orang mengatakan saya sudah berhaji kemudian saya banyak melakukan kebaikan, itu menisbatkan perbuatan-perbuatan baik kepada dirinya, padahal hakekatnya adalah fi’il Allah, yang baik-baik itu kepunyaan Allah, ketika Allah tidak memberi baik kepada kita, maka apa yang kita bisa lakukan? Syariat membagi sesuatu itu baik dan buruk, padahal sebelum ada syariat tidak ada baik dan buruk, oleh karena itu sifat baik yang semula ada (fitrah) adalah untuk memelihara dirinya, akan tetapi agama mengatakan untuk berbuat kepada Allah, agama itu adalah untuk hikmat kepada Allah, itu yang disebut ibadah, kepada istri kepada suami, kepada anak, kepada guru, kepada murid, maknanya ibadah kepada Allah, Itulah hikmat.<p>
<p>Mukmin yang sempurna tidak menisbatkan perbuatan baik dan keadaan yang mulia dalam dirinya, bahkan tidak menoleh sama sekali, ia sibuk memuji Allah daripada melihat sifat-sifat baik kepada dirinya. Bahkan lebih jauh dari itu, ia pun disibukkan oleh hak-hak Allah daripada untuk haknya atau bagian nafsunya. Terdapat dalam hadits, seorang hamba di akhirat nanti ditanya kenapa engkau tidak bersyukur di dunia kepada manusia? Dijawab karena aku hanya ingin bersyukur kepada Engkau dan Engkau tidak boleh disamakan dengan yang lain, Dijawab tandanya bahwa engkau bersyukur kepada Allah adalah engkau bersyukur kepada makhluk-Nya, itu sebab imam Ibnu Arabi,ra, berkata orang yang mengenal Allah hanyalah orang yang berakhlak kepada semua makhluk Allah, tidak peduli siapa orang itu, karena dia sibuk pada hak Allah, jika ada orang datang minta tolong maka segera akan dipenuhi sebagai pemenuhan hak Allah. Bukanlah seorang pencinta yang mengharap ganti dari kekasihnya, sedangkan kita shalat, puasa, selalu memikirkan balasan dari Allah yang berupa ini dan itu. Bukanlah pencinta yang hakiki orang yang mengharapkan dari kekasihnya ganti dari amal yang dilakukannya berupa surga atau takut neraka atas dosa yang diperbuatnya. Orang-orang sufi melakukan peribadatan bukan karena wajib, melainkan karena mahabbah, makanya kata mereka thoriquna mahabbatullah amal, jalan kami cinta bukan amal, bukan berarti orang tidak beramal, artinya mereka melakukan ibadah itu bukan atas dasar wajib, melainkan atas dasar cinta. Nabi,saw berkata di akhir zaman nanti ada orang yang diikat untuk dibawa ke surga, karena ibadahnya merupakan pelaksanaan kewajiban dan selalu mengharapkan surga, kalau tidak diwajibkan maka tidak beribadah, artinya kalau tidak ada surga maka dia tidak beribadah. Sayyidina Ali,ra, sejak dulu sudah berkata, aku akan tetap beribadah meskipun Allah tidak memberi surga, itulah bunyi dari rohani yang hakiki, maka seorang pencinta yang hakiki adalah bukan orang yang mengharapkan ganti dari kekasihnya atau meminta balasan dunia, barang benda dunia dan akhirat, ini muhibb yang hakiki. Itu sebab Imam Ibnu Arabi,qs, mengatakan wujudmu anugerah Allah, yang dimaksud bahwa ciptaan ini dilahirkan, diciptakan dari cinta dan Allah tidak pernah mengambil atau meminta upah dari apa yang Dia buat, sampai mati pun manusia dilumuri nikmat dan pemberian Allah itu tidak pernah berhenti, oleh sebab itu para Aulia tidak berani minta kepada Allah. Apa kata hadrat Maulana Rumi,qs Allah tahu isi hatimu sebelum kau mengucapkan doa pada Allah, tapi Allah ilhamkan doa kepadamu agar kau merasa lezat bermunajat kepada-Nya. Itu sebabnya cinta hakiki adalah si pencinta telah mendapatkan atau mengambil sifat kekasihnya, si pencinta telah mendapatkan sifat kekasihnya, ketika seseorang sudah mendapatkan semua sifat Allah Itulah cinta yang Hakiki, karena dia telah memiliki sifat yang dicintainya, itu sebab Syeikh Mansyur Al Hallaj,ra, mengatakan ‘aku mencintaiku, karena tidak ada kecuali aku.’<p>
<p>Wallahualam bisawab, semoga ada manfaatnya.<p>
Gus Sentothttp://www.blogger.com/profile/11940008067402109720noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-996506657337930230.post-50642327777551830832021-03-05T18:34:00.003-08:002021-03-05T18:45:42.211-08:00HAKIKAT TAWADHU<p>Bismillahir Rohmanir Rohim<p>
<p>Pada umumnya masyarakat di Indonesia memahami arti tawadhu adalah rendah hati, jadi siapapun yang merasa rendah hati sudah memiliki tawadhu. Didalam ilmu kesufian tidaklah demikian, karena orang yang menetapkan kepada dirinya sifat tawadhu, maka ia adalah orang yang sebenar-benar sombong. Tawadhu adalah orang yang kedudukannya berada di atas kemudian dia merendah kepada orang yang di bawahnya, bukan orang yang kedudukannya di bawah merendah kepada yang diatasnya. Pejabat merendah kepada rakyat, bukan rakyat merendah kepada pejabat, tuan guru merendah kepada murid, bukan murid kepada tuan guru, dan orang alim kepada orang bodoh dan bukan sebaliknya itulah tawadhu. Contohnya, seorang guru masuk ke majlis, lalu berpura-pura batuk agar orang mengetahui kedatangannya, maka rusaklah majlis itu, karena meskipun ia seorang guru namun tidak menghargai majlis ilmu, karena apapun alasannya majlis ilmu lebih mulia daripadanya. Di zaman Imam Malik,ra, disaat majlis ilmu berlangsung, tiba-tiba ada khalifah mengunjunginya, lalu orang-orang di majlis berdiri, maka Imam Malik,ra, pergi meninggalkan majlis itu. Suatu hari ia ditanya alasanya dan berkata: ‘Karena ilmu dihinakan dan dunia ditinggikan.’ Juga di zaman Umar bin Abdul Aziz,ra, ketika beliau masuk kedalam majlis ilmu yang tengah berlangsung lalu orang-orang berdiri menyabutnya, beliau marah dan berkata: ‘Kalian tengah mengaji dengan tuan guru, saya pun datang untuk mengambil ilmu dan ilmu jauh lebih mulia dibanding saya, maka tidak sepantasnya kalian mengabaikan ilmu dan menghurmati saya.’ Maka dengan demikian jika seseorang merasa dirinya hina dan tidak melihat dirinya punya kedudukan dan mempunyai nilai maka takabur pun lenyap, jika takabur lenyap maka yang tinggal adalah sifat tawadhu. Tetapi seseorang jika merasa mulia, bernilai, apalagi merasa telah menyembunyikan kedudukannya agar terlihat tawadhu, maka ini adalah takabur.<p>
<p>Memang orang yang tawadhu tidak berarti duduk paling belakang dalam majlis, tetapi jika seseorang yang tinggi dan luhur yang sepatutnya duduk di depan, kemudian datang ke majlis dan majlis sudah mulai, maka dia merasa tidak adab jika melangkahi orang-orang untuk dapat tempat didepan, maka ia duduk dibarisan itu berakhir, meskipun itu dekat tempat sampah. Tawadhu itu muncul ketika merasakan Keagungan Allah dan merasa dirinya hina. Orang punya sifat sabar karena Allah telah memberi sifat sabar kepadanya, maka dia mampu menyabari Allah, juga berlaku pada sifat-sifat yang lain, misalnya sifat siddiq maka seseorang mampu jujur kepada Allah, sifat ridho maka dia ridho kepada Allah, sifat tawakal maka dia bertawakal kepada Allah, nah sifat-sifat inilah yang melihat Kebesaran Allah, sifat-sifat inilah yang menyaksikan bahwa dia tiada, jika seseorang telah memiliki sifat-sifat ini, maka hati menjadi khusyuk dan tawadhu. Jadi bisa dikatakan bahwa sifat tawadhu itu tumbuh dari sifat kehambaan, sifat kehambaan itu tumbuh karena menyaksikan Keagungan Allah, menyaksikan Keagungan Allah itu tumbuh jika memiliki akhlak mulia. Jadi bukan merasa tawadhu, karena itulah takabur hakiki, Syekh Ibnu Athaillah,qs, mengatakan : ‘Orang yang tawadhu itu bukan ia yang ketika merendah menganggap dirinya lebih tinggi dari yang dilakukannya. Namun, orang yang tawadhu itu ia yang ketika merendah menganggap dirinya lebih rendah dari yang dilakukannya.’ Yang mulia baginda Nabi,saw, tidak pernah ada yang mendahului mengucapkan salam kepadanya, meskipun ada sahabat yang berupaya ingin mendahuluinya, namun tidak pernah berhasil, suatu ketika seorang sahabat bersembunyi di belakang Nabi,saw, agar dapat mendahului memberikan salam, namun sebelum sahabat itu mengucap salam beliau mendahuluinya, artinya tidak ada sifat tawadhu yang lebih tinggi daripada baginda Rasulullah,saw, karena beliau dapat melihat belakang sama baiknya dengan melihat ke depan, melihat jahir sama jelasnya dengan melihat batin. Meskipun syariat mengatakan bahwa yang berjalan memberikan salam kepada yang duduk, yang dibawah mengucapkan salam kepada yang diatas, yang datang mengucapkan salam kepada yang diam, akan tetapi akhlak melampaui batas-batas itu, pemilik akhlak yang tinggi selalu memberi salam tanpa melihat batas-batas itu, karena tidak melihat agama ini secara tekstual, melainkan melihatnya secara kontekstual. Jadi sifat tawadhu itu lahir dari sifat hamba, orang baru merasa hamba ketika dia melihat Keagungan Allah, dan orang baru merasa dan menyaksikan Keagungan Allah apabila dia memiliki sifat-sifat mulia atau akhlak al-karimah, sifat itu yang membuat penglihatan bahwa dirinya hina. Jadi ketika Allah memberikan sifat-sifat mulia itu atau dalam isitlah kesufian disebut maqomat ruhiyah, seseorang bukan merasa semakin tinggi, akan tetapi malah sebaliknya semakin menyaksikan hakikat dirinya tiada, itulah kemudian Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering mengatakan barang siapa yang mengenal dirinya maka dia mengenal Allah.<p>
<p>Syekh sufi menyebut ciri-ciri orang yang tawadhu, apabila dicaci atau direndahkan tidak marah, karena merasa seseorang mencaci sesuatu yang benar, karena segala kebaikan ditangan Allah (biyadihil khair), dia melihat bahwa dia tidak ada, maka dikatakan buruk, dikatakan bodoh, malah dalam hatinya berkata kamu telah mengatakan sesuatu yang haq, aku tak ada, aku bodoh, karena yang Alim hanyalah Allah dan yang baik hanyalah Allah, bahkan ketika di tuduh melakukan dosa besar pun memang inilah sifat dasar manusia. Ciri yang lain adalah dia tidak sama sekali berusaha untuk mempunyai kedudukan, nilai, harga diri didepan orang, dan dia tidak merasa bahwa dia punya tempat di hati orang. Bahkan seorang Aulia ketika ada orang memuliakan akan mengatakan karena dia cinta kepadaku, kalau seseorang benci maka yang baik pun akan dikatakan buruk, Allah menutupi aibku dengan cintanya, jika Allah buka aib ku maka dia akan benci yang luar biasa kepadaku, itu sebab Aulia tidak bergantung kepada orang yang suka ataupun orang yang benci, semuanya Allah yang membuatnya, dia berada di lautan tapi tidak goncang oleh ombak, itulah orang yang bersama Kebesaran Allah dan Keagungan Allah.<p>
<p>Tawadhu yang hakiki bukan sifat yang ditumbuhkan oleh pikiran, itu adalah ketundukan jiwa karena telah mempunyai sifat-sifat mulia, maqamat ruhiyah atau Allah tajallikan sifat-sifat itu dan orang yang tidak punya sifat tawadhu, tidak dapat mengetahui orang yang tawadhu. Jika Allah memberi sifat taubat maka didalamnya ada tawadhu juga jika memberi sifat zuhud sekaligus dengan tawadhu. Orang bertobat melihat dirinya merasa tak betul, tak ada, kurang, hina, setelah itu berdirilah di atas sifat tobat itu sifat-sifat lain, maka taubat itu seperti pondasi bumi, maka orang yang tidak mempunyai tobat maka tidak akan pernah memperoleh sifat-sifat mulia, akhlak-akhlak mulia, maqom ruhiyah, seperti orang tidak mempunyai tanah tetapi ingin membangun rumah, seperti itu, maka bertambahnya sifat yang diperoleh maka akan bertambah pula tawadhu, maka baru kemudian dia menyaksikan dirinya tidak ada, inilah hakiki.<p>
<p>Wallahualam bisawab semoga ada manfaatnya.<p>
Gus Sentothttp://www.blogger.com/profile/11940008067402109720noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-996506657337930230.post-90859094842888930792020-12-29T00:44:00.009-08:002020-12-29T02:09:16.263-08:00MAKNA MAULID - AKHLAK DAN ADAB<p>Bismillaahir Rahmaanir Rahiim</p>
<p>eSHa 29/12/2020</p>
<p>Yang mulia baginda Nabi Muhammad,saw, bersabda : ‘innama bu'istu liutammima makarimal akhlak.’</p>
<p>Adanya hadis diatas menjadikan manusia berlomba untuk memperbaiki akhlak, khususnya para orang tua dalam menididik anak-anaknya. Merasa dengan demikian sudah turut membantu Rasulullah,saw, dalam membangun akhlak manusia. Bahkan di tahun 1970an pada setiap Sekolah Dasar ada kurikulum tentang agama dan budi pekerti (akhlak), tetapi di era tahun 2000an sudah tidak ada. Apakah cukup pendidikan dari orang tua dalam mendidik anak-anaknya dalam membangun akhlak yang baik?</p>
<p>Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada Allah SWT sebagaimana firman-Nya : ‘Wama khalaqtul jinna wal Insa illa liya'budun.’ Tetapi kebanyakan manusia jika ditanya apa yang diinginkan di dalam hidup ini jawabannya adalah kebahagiaan. Disebabkan definisi kebahagiaan berbeda-beda sesuai dengan warna jiwa seseorang, maka kebanyakan mencarinya di tempat yang salah dan tidak mendapatkannya, meskipun sudah berkecukupan harta benda dan tahtanya. Seorang Syeikh mengatakan bahwa : ‘Sesungguhnya kebahagiaan itu ada didalam akhlakul karimah atau akhlak yang terpuji.’ Dan dikatakan bahwa : ‘Ibadah adalah kehambaan dan kehambaan itu tidak tercapai melainkan apabila memiliki akhlak yang mulia.’ Apakah yang dimaksud dengan akhlak adalah menundukkan diri tatkala bertemu dengan orang yang lebih tua, atau memberi tempat duduk bagi wanita, atau duduk bersila dan menundukkan kepada dihadapan guru?.</p>
<p>Para syekh sufi berdiri pada prinsip bahwa yang dimaksud dengan hadist : ‘innama bu’istu liutammima makarimal akhlak, adalah bahwa Nabi,saw dijadikan rasul dengan membawa Al Qur’an dan sunahnya semata-mata sebagai konsep untuk melahirkan akhlak.’ Jadi sama artinya bahwa sebetulnya agama ini diturunkan untuk membangun akhlak, bahkan dikatakan tanpa ada agama manusia tidak akan bisa berakhlak, akhlak yang dimaksud adalah akhlak kasbiyah, akhlak yang dicapai melalui pelaksanaan agama atau bisa disebut sebagai adab, oleh karenanya bila tidak ada agama maka tidak akan ada adab. Perangkat utama yang dibutuhkan manusia untuk melaksanakan akhlak adalah akal, karena fungsi akal adalah ‘mengikat’, itu sebab orang yang tidak berakal tidak ada taklif atau kewajiban agama, dan yang lain adalah ilmu, dengan adanya ilmu maka dapat mengamalkan ‘agama’ itu sendiri.</p>
<p>Dalam hadis itu baginda Nabi,saw mengatakan ‘liutammima’ yang sering diartikan sebagai sempurna, sedangkan para syeikh sufi memberikan makna untuk mempersiapkan atau untuk mewujudkan atau untuk membangun akhlakul karimah, atau dengan kata lain untuk menanam biji akhlak dan menyiraminya dengan pelaksanaan agama sehingga tumbuh cabang dan buah akhlak-akhlak yang mulia. Akhlak yang dimaksud adalah yang tumbuh dari melaksanakan agama, oleh karena itu perlu dipahami bahwasannya akhlak itu ada dua, akhlak jibiliyah (bawaan) dan akhlak kasbiyah (adab). Akhlak jibiliyah adalah akhlak bawaan atau fitrah atau dalam bahasa kimia disebut inheren, akhlak yang sudah ditanamkan kedalam tubuh ini, seperti rasa jahe di dalam batang jahe. Akhlak ini tidak bisa dirubah, tidak bisa dihilangkan, semua manusia mepunyainya, sebagaimana Allah SWT firmankan : ‘wanafsi wama syawwaha, fa alhamaha fujuraha wa taqwaha,’ maknanya bahwa tubuh ini sudah dipersiapkan dan sudah mengandung bawaan sifat ‘fujur’ dan sifat ‘takwa’, sedangkan yang dimaksud dengan akhlak kasbiyah (adab) adalah yang diperoleh melalui upaya, sebagaimana lanjutan ayat diatas : ‘qod aflaha man zakkaha’ maksudnya adalah orang yang melakukan pembersihan diri akan mendapatkan akhlak kasbiyah (adab). Maka pada setiap manusia untuk melahirkan perbuatan baik dan buruk pastilah menggunakan akal dan ilmu, oleh sebab itu ketika akal tidak ada atau tidak waras, maka tidak akan mampu untuk mengaplikasikan kebaikan ataupun keburukan, padahal sifatnya inheren atau ada dalam tubuhnya. Jadi sebodoh-bodohnya orang tetap mempunyai pikiran baik dan buruk. Yang perlu disadari bahwa akhlak jibiliyah atau akhlak bawaan ini bersifat ‘ananiyah’ atau pribadi atau selalu bersentuhan dengan maslahat pribadi. Oleh karenanya jika melakukan kebaikan maka keuntungannya mesti kembali kepada dirinya, kalau tidak maka tidak mau melakukannya. Misalnya, memberi makan orang atau membantu orang lain dalam bentuk materi atau tenaga dan pikiran adalah perbuatan baik, tetapi karena ada tuntutan ucapan terima kasih maka munculah perbuatan buruk, padahal agama memerintah tanpa pamrih. Memberi adalah kebaikan tetapai menuntut ucapan terima kasih adalah keburukan, atau dengan kata lain bahwa kebaikan yang sudah diberikan akan berakhir dengan keburukan. Para sahabat Rasulullah,saw, ketika memberi mereka takut jika akan ada balasan ucapan terima kasih, karena mereka mempunyai akhlak kasbiyah (adab), akhlak diniyah, atau para syeikh sufi mengatakan akhlak Al Muhammadiyah.</p>
<p>Sungguh sangat jelas bahwa agama diturunkan sebagai media untuk membangun akhlak, namun membangun akhlak didalam rohani bukan jasmani, oleh karenanya Al Qur’an itu adalah hidayah ruhiyah, sebagaimana ayat awal dalam surat al baqoroh ‘Dzalikal kitabu la raiba fih’ kata ‘rai’ saja sudah mencerminkan ruhiyah bukan aqliyah, dan hudalil muttaqin, bahwa Nabi,saw pernah berkata sampai tiga kali ‘at taqwa hahuna’ sambal menepuk dadanya (latifatul qolbi). Tetapi yang sangat penting bahwa untuk mendapatkan akhlak kasbiyah (adab) ini, manusia mesti melakukan agama secara ‘lillaahi ta'ala’. Oleh karenya manusia belum bisa melaksanakan agama jika motor penggeraknya adalah sifat kebaikan bawaan (akhlak jibiliyah), ini tidak lah cukup, karena sifatnya individual dan egois atau pamrih. Maka ciri-ciri orang yang melaksanakan agama menggunakan akhlak bawaan adalah ‘ananiyah’ atau mengaku, ananiyah itu artinya egois, motivasinya adalah kepentingan pribadi, maslahat diri, yang kedua mengaku bahwa sudah menyabari, sudah meridhoi, sudah mensyukuri, padahal itu bukan akhlak yang sebenarnya, itu akhlak bawaan, anak kecil pun juga punya meskipun akalnya belum di taklik, tapi sifat baik buruknya sudah ada, dan melakukan kebaikan hanya untuk kemaslahatan pribadi, kalau tidak ada kebaikannya pada diri, maka anak kecil itu tidak akan melakukannya, sampai dewasa akan begitu terus. Maka orang seperti ini akan sering mengguman : ‘saya kurang bagaimana sabar, saya kurang bagaimana ridho, saya kurang bagaimana dan bagaimana,’ karena merasa yang telah dilakukannya tidak ada maslahat yang kembali kepada dirinya. Adapun akhlakul karimah yang disebut-sebut dalam Alquran dan hadis yang dikatakan ‘wa innaka la'ala khuluqin adzim’ itu adalah akhlak kasbiyah (adab), orang sufi mengatakan ahklak sayidina Muhammad,saw. Apabila orang memiliki akhlak kasbiyah ini dan ditanya apa rasanya, maka akan dijawab rasa Muhammad,saw.</p>
<p>Imam Ibnu Arabi,qs, pernah memberikan analogi bagaimana orang yang memiliki akhlak kasbiyah (adab) dapat merasakan kehadiran Nabi,saw. Dikatakan seperti anak muda ketika belum menjadi ayah, dia tidak mengerti rasa sebagai ayah, tetapi setelah dia punya anak dan istri barulah ayah itu ada pada dirinya, yang sebelumnya tidak dipahami baru kemudian dapat dipahami, maka akan mengerti mengapa ayahnya dahulu bersikap begini dan begitu, perumpamaannya seperti itu. Seseorang tidak akan paham Nabi,saw kecuali jika memiliki akhlak kasbiyah itu, kita pun tidak paham bagaimana menjalankan agama kalau tidak mempunyai akhlak kasbiyah. Tidak ada jalan untuk memperolehnya kecuali melalui pelaksanakan agama ini tetapi lillaah atau orientasi hati jujur kepada Allah (siddiqut tawajjuh). Banyak penceramah di tv, apabila mengajak orang shalat mesti embel-embelnya nanti rezekinya banyak, kalau mengajak orang shodaqoh mesti akan mendapat balasan yang berlipat ganda, jika bisnisman jatuh atau gagal lalu kalau pengen maju mesti sodaqoh nanti dapat ini dan dapat itu, ini kan ajaran sesat dalam konteks tasawuf. Kita perlu orang-orang yang membangun agama di dalam jiwanya, melaksanakannya dengan ikhlas karena Allah. Tetapi dalam dalam lain waktu penceramah tadi berbicara aqidah, bahwa rezeki sudah Allah tentukan tidak ada kaitannya dengan upaya manusia, itu pertanda bahwa agama itu hanya dalam nash, hanya dalam lisan, tidak dalam hakikat jiwanya. Satu-satunya cara untuk mendapatkan akhlak kasbiyah (adab) itu melainkan beribadah karena Allah saja, shalat karena Allah, shodaqoh karena Allah, ngaji karena Allah, nanti ngajarnya juga Karena Allah, semuanya karena Allah, barulah akan terbangun manusia rohani yang berakhlak kasbiyah (adab), pada gilirannya baru bisa dengan betul melaksanakan agama seperti yang dikehendaki Allah. Maka selama melakukan agama itu tidak karena Allah, maka pelaksanaan agama itu akan diakui oleh akhlak jibiliyahnya, aku sudah shalat, aku sudah puasa, aku sudah shodaqoh, aku sudah mengajar, aku sudah dzikir, bahkan tidak boleh dihina, tidak boleh dicaci atau di remehkan, karena selalu mengaku dan merasa alim, atau mengaku keturunan orang besar, atau keturunan ulama dan lain sebagainya, seolah-olah agama itu miliknya. Dan ciri yang terparah manakala selalu mengaku yang terbesar dan terbaik meskipun terkadang ucapannya merendah tetapi mengharapkan pujian, dipikirannya selalu mengakui ‘ana khairun minhu’, seperti iblis yang pertama kali mengatakan itu.</p>
<p>Mawlid sebetulnya media untuk memperoleh waris akhlak Nabi Muhammad,saw, akhlak-akhlak ruhiyah, akhlak diniyah ‘innama bu’istu liutammima makarimal akhlak.’ Orang mungkin sudah mencapai ilmu yang cukup untuk melaksanakan agama, tetapi mereka tidak mempunyai tarbiyah membangun akhlak ruhiyahnya atau akhlak kasbiyah. Sebenarnya tasawuf adalah madrasah yang mengajarkan agar umat Islam dapat mencapai akhlak kasbiyah itu, karena tasawuf sebenarnya hanya sebuah madrasah tarbiyah untuk meluruskan atau membetulkan tujuan hidup ini, tujuan ibadah ini dari karena selain Allah kepada karena Allah. Kebengkokan ini memang perlu waktu untuk diluruskan, jangan sekali-kali masuk ke dalam tasawuf dengan buru-buru baiat, kecuali sudah mengerti bahwa sebetulnya taubat itu bukan dari dosa akibat melanggar syariah melainkan taubat dari ibadah yang selama ini belum karena Allah. Karena jika taubat dari dosa tidak perlu masuk tasawuf, karena semua umat Islam jika berdosa lalu bertobat, lalu apa bedanya? Orang masuk kedalam tasawuf meski menyadari bahwa tasawuf adalah merubah tawajjuh siddiq lillaah. Jadi baiat adalah pintu gerbang besar untuk menanggalkan selain Allah dan meninggalkan dirinya untuk masuk kepada menunggalkan Allah SWT dan madrasah tasawuf untuk membangun akhlak ruhiyah, kasbiyah, diniyah, Muhammadiyah untuk mengalahkan akhlak Jibiliyah, akhlak bawaan. Dalam Bahasa lain, maksudnya adalah bahwa dominasi akhlak ruhani (adab) sangat kuat sehingga akhlak nafsiah nya itu menjadi mati, dan menjadi kendaraan untuk menuju kepada Allah SWT. Orang yang demikian akan mampu mengendalikan akhlak jasadiyahnya, baik nafsu syahwat atau ghodobiyah yang Allah anugerahkan sebagai nikmat besar dalam tubuh ini.</p>
<p>Nah maka kita masing-masing introspeksi kepada diri kita semua bahwa Maulid, ini sebetulnya sebuah media propaganda untuk memperkenalkan akhlak Rasulullah saw yang kita perlukan, yang dalam isyarohnya bahwasanya Nabi,saw meminta dicintai lebih daripada cinta kepada diri, yang maksudnya karena sifat baik yang ada dalam tubuh ini merupakan sifat bawaan dan cintanya kepada diri, sebagaimana dalam Al Qur’an dikatakan betapa manusia itu mencintai dirinya ‘li hubbil khairy lasyadid’, maka selama hidup harus berjuang melaksanakan agama karena Lillaah, agar bisa membawa amanah ini sampai kepada Allah SWT. Jadi sebetulnya tujuan daripada hidup ini adalah untuk liya'budun aliyarifun yaitu untuk mendapat akhlak sayyidina Muhammad,saw dan dengan agama ini kita dapat berakhlak kasbiyah, pada gilirannya ketika sudah ada akhlak kasbiyah, kita melaksanakan agama dengan akhlak itu dan itulah yang dikatakan menjadi Muhammad,saw.</p>
<p>Wallahualam bisawab semoga ada manfaatnya.</P>
Gus Sentothttp://www.blogger.com/profile/11940008067402109720noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-996506657337930230.post-70393666422516236182020-05-31T00:02:00.002-07:002020-06-01T15:13:01.629-07:00MAKNA DIBALIK BENTUKBismillaahir Rahmaanir Rahiim<br />
eSHa 31/5/20<br />
<br />
Wahyu atau Kitab-kitab Samawi diturunkan bertujuan untuk mendidik (tarbiyah) ruhani agar berfungsi sesuai dengan perannya. Ruh manusia dicipta langsung oleh yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, maka sifat ruh itu penuh dengan segala kebaikan, tumpah ruah sifat-sifat yang mahmudah, katakan ‘serupa’ dengan pencipta-Nya. Karena ‘serupa’ maka ruh mengenal dan akrab dengan-Nya. Begitu Dia meniupkan ruh ini kedalam jasad manusia, sontak ruh itu terbungkus oleh kegelapan dunia, oleh karat-karat bekas nafsu dan bekas taat, dan pada akhirnya ruhani manusia terpenjara oleh nafsunya. Untuk menggali permata ruh ini, harus dimulai dari luar atau dari jasad atau jasmani yang tentunya menggunakan akal, maka perintah dan larangan-Nya dilakukan menggunakan akal terlebih dahulu, tanpa akal meskipun berwujud manusia tetapi sesungguhnya ia binatang. Oleh sebab itu, Kitab-kitab Samawi, khususnya Al Qur’an adalah sebuah kitab yang tidak hanya memerlukan akal pikiran untuk memahaminya tetapi juga terutama menggunakan ruhani. Maka sangat penting bahwa akal ini harus selalu diberi asupan pengetahuan tentang Tuhan secara terus menerus, bisa dari membaca kitab-kitab karya para AuliaAllah yang mudah ditemukan di toko buku, atau mendengarkan tausyiah dari para murobbi. Fungsi akal adalah bagaimana kita melakukan penalaran, melakukan proses pemahaman, memandang dan mengkritisi segala sesuatu. Sedangkan fungsi ruhani adalah untuk musyahadah atau menyaksikan Allah (syuhud). Kalau kita tidak menyaksikan Allah (syuhud) berarti ruh yang kita miliki itu sebenarnya dalam posisi nganggur, jadi kalau akal itu mengajarkan nalar, bersikap kritis dan ketajaman untuk membaca segala sesuatu, sementara ruh itu memiliki potensi untuk merasakan Allah (dzauq), untuk menyaksikan Allah (syuhud) sehingga akan menimbulkan kesan (wijdaan). Menyaksikan Allah itu bermula dari melihat makna dibalik segala peristiwa atau segala wujud, mata jasmani hanya mampu melihat warna, rupa dan bentuk, tetapi bashirah atau mata batin itu mampu melihat makna dibalik segala sesuatu. Nah, apakah makna segala sesuatu? Makna segala sesuatu adalah Allah, Allah lah yang berada di balik segala warna, rupa dan bentuk itu. Maka jika kita melihat warna, rupa dan bentuk lebih ‘tampak dominan' dibandingkan dengan makna, berarti masih minim penggunaan ruh kita untuk merasakan dan menyaksikan Allah. Padahal disetiap mendengar azan dan mendirikan sholat kita ini bersyahadat, bersyahadat (syuhud) itu sebenarnya kita bersaksi atau menyaksikan makna atau pelaku dibalik segala sesuatu itu yakni Allah, tetapi faktanya kita tidak melihat Allah, sehingga syahadat kita itu baru merupakan formalitas dan tidak betul-betul atau tidak mengantarkan kita untuk menyaksikan Allah lebih nyata dibandingkan makhluk-makhluk-Nya. Padahal syahadat adalah rukun Islam yang pertama, artinya tanpanya bentuk peribadatan yang lain tidak ada makna. Nabiyullah Adam,as, mendapatkan ampunan-Nya lantaran bersaksi dengan syahadat ini. Jadi hal ini sesungguhnya merupakan tuntutan spritual bagi kita, bagaimana syahadat itu ‘nyata’ bukan syahadat yang formal yang hafal di luar kepala yang dengan mudah kita ucapkan dengan lisan tanpa makna. Artinya, kita membaca syahadat belum mengalami syahadat, sebagaimana mengucapkan takbir belum menyaksikan Akbarnya Allah SWT. Inilah sebuah cakrawala rohani di mana kita mesti melampaui segala sesuatu dengan selalu memohon bimbingan-Nya agar ruh kita tercahayai kembali oleh Sinar Keagungan-Nya.<br />
<br />
Tanda manusia hidup salah satunya adalah bernafas, karena sejak dini manusia itu bernafas, maka nafas dianggap biasa dan sepele, padahal nafas ini menjadi bermakna agung bagi para sufi, bagi orang-orang yang merasakan Allah. Karena sebenarnya pada setiap tarikan nafas yang masuk dan hembusan nafas yang keluar terjadi takdir Allah untuk kita, realisasi dari qodho, atau konsep-Nya yang keluar dari Ilmu-Nya atau sifat-sifat-Nya dizaman azali yang disebut qadar atau Perbuatan-Nya. Jika Allah ta'ala itu merealisasikan takdirnya, bukankah sesungguhnya takdir itu bersentuhan dengan diri kita secara terus menerus dan ketika takdir itu bersentuhan dengan diri kita, bukankah seharusnya kita merasakan-Nya? Bagaimana dengan kedipan mata, pendengaran telinga, setiap gerakan anggota badan dan detak jantung? Itu semua sebenarnya adalah momen dimana Allah menyentuh kita dengan takdir-Nya, tapi merasakah kita? Nah ini yang jadi persoalan, sehingga kemudian Allah itu dirasa ghaib, dirasa jauh, dirasa berada di antah berantah entah di mana, berarti belum connect (wushul) antara Allah yang menggerakkan takdir-Nya dengan diri kita, belum online, sehingga kita tidak merasakan Mahadekatnya Allah, tidak merasakan sesungguhnya Allah sedang mengoperasikan takdir-Nya untuk diri kita, nah rasa ini sebenarnya yang perlu kita asah, meskipun kita meyakini bahwa rasa (musyahadah atau ma’rifat) adalah hak Allah untuk memberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya tanpa sebab, namun para syaikh sufi mengajarkan kepada kita untuk selalu berbaik sangka dan berupaya atau melatih merasakannya dengan selalu berdoa memohon kepada-Nya : ‘Ilaahi anta maqsudi, waridhoka matlubi, a’tini mahabbataka wa ma’rifataka, ya Arhamar Rohimiin.’ <br />
<br />
Memangnya siapa yang mengatur setiap tarikan dan hembusan nafas, siapa yang membuka dan menutup mata dan siapa yang membuat kita mampu mengeluarkan kotoran atas makanan dan minuman yang kita konsumsi? Bila tidak, sebesar apa kita? Sesungguhnya Allah sedang memanjakan, menina bobokan dan mengurusi kita dengan penuh Kasih dan Sayang, namun kita tidak merasakannya atau tidak merasa diurus, sungguh ironis. Padahal kualitas peribadatan terletak pada praktek yang benar terhadap syariat dan yang utama adalah terletak pada sebuah rasa (musyahadah). Misalnya kita mengucap dan menulis buah ‘kurma’ tetapi kita tidak merasakannya, sama saja dengan hampa, apa artinya mengucap dzikir laa ilaaha illallaah tetapi ketunggalan-Nya tak kunjung dirasakan malah sibuk merasakan yang lain, nah kearah ini mestinya kita memproses rohani diri, biar tidak hampa, hampa dari kenikmatan yang Haqiqi, hampa dari kenikmatan yang sesungguhnya. Maka orang yang sudah merasakan Allah, itu merasakan kenikmatan luar biasa. Misalnya begini, kita sedang membaca perkara Allah mengelola kita, cobalah Jangan hanya dipahami tetapi diproses dirasa itu sendiri, kalau hati kita bersih, kalau fokus hidup kita Allah, kita akan bisa dianugerahi kemampuan oleh Allah ta'ala untuk bisa merasakan apa yang dipahami, sehingga apa yang dibaca dan dengarkan dapat dirasakan, sebab rasa yang seperti ini tidak bergantung kepada lidah jasmani, melainkan lidah ruhani, karena lidah ruhani itu memiliki kepekaan dan kecepatan yang luar biasa, berlipat-lipat kekuatannya dibandingkan dengan lidah jasmani. JIka kita ambil kue nastar lalu kita konsumsi maka lidah kita akan langsung merasakannya, maka lidah rohani kita pun mempunyai potensi untuk dapat merasakan secara langsung terhadap sesuatu yang kita baca, dengar dan pahami, tentu saja bagi rohani yang sudah terlatih untuk itu. Oleh karenanya kita perlu menyadari betapa bebalnya hati kita ini, ternyata apa-apa yang kita ketahui itu tak kunjung kita rasakan. Kita bisa bayangkan ibadah kita yang berupa shalat, puasa, zakat, haji dan dzikir, shalawat dan semacamnya yang sudah bertahun-tahun bahkan puluhan tahun tanpa dapat merasakan ke-Maha-an Allah? Jadi untuk apa? Oleh karenanya kita harus medidik diri sehingga merasakan Allah itu betul-betul terealisir, ini yang harus serius dan fokus kesana, inilah tasawuf. <br />
<br />
Sesungguhnya secara spiritual kita mewarisi rohaninya Nabi Adam,as, karena kita keturunannya, dan ruhani Nabi Adam,as, itu tak lain adalah bagian dari Nur Muhammad,saw, maka rebut kembali rohani kakek moyang kita itu, maka kita akan merasakan keilahiyan itu mengepung keseluruhan hidup kita. Jadi tidak ada satu pun yang berlalu pada diri kita, baik hembusan nafas keluar maupun tarikan nafas kecuali takdir Allah berlangsung pada diri kita. Oleh karenanya jika ihsan itu : <i>‘Anta'budallah ka annaka taraah, fa'illam takun taraah, fa'innahu yaraak, engkau bribadah seolah-olah melihat-Nya, dan jika tidak bisa maka Dia melihatmu.’</i> Maka sebagai tanda laku sopan dan berterima kasih atau syukur kepada Allah kita barengi nafas dengan berdzikir, katakan dalam hati ‘Hu’ saat tarikan nafas dan ‘Allah’ saat hembusan nafas, lakukan terus menerus, jika lupa lalu Allah memberi ingatan, segera berdoa terlebih dahulu sebelum melakukannya : <i>‘‘Ilaahi anta maqsudi, waridhoka matlubi, a’tini mahabbataka wa ma’rifataka, ya Arhamar Rohimiin.’</i> Hal ini sebenarnya merupakan latihan yang ampuh untuk merasakan Allah ta'ala, meskipun ketika nafas keluar atau masuk kita sedang berbahagia atau mungkin sedang menderita atau mungkin sedang mendapatkan kenikmatan atau mungkin sedang mendapatkan kepedihan dan lain semacamnya, yang jelas tidak ada satupun nafas keluar atau masuk yang Allah tidak menyentuh diri kita dengan takdir-Nya. Demikian pula juga dengan fenomena dan berlangsungnya alam semesta ini, senantiasa tersentuh oleh ke-Maha-an Allah, jadi Allah itu menyentuh diri kita, menyentuh alam semesta dan Allah tak pernah nganggur dan tidak ada apapun yang tak tersentuh oleh-Nya, nah ini yang perlu kita pertajam, kita asah batin kita agar menjadi sensitif secara spritual. Hadrat Maulana Rumi,qs, berkata : <i>‘Wahai kawan, engkau bilang engkau didera oleh dahaga, dicekik oleh rasa haus, sesungguhnya di sekitar dirimu bahkan pada dirimu ada air terjun melimpah ruah, bagaimana kau bilang bahwa itu dahaga?’</i> Dan para sufi berkata : <i>‘Coba tunjukkan kepadaku di mana atau apa yang bukan Allah.’ <br />
</i><br />
Semoga bermanfaat, Wallahualam bisawab.<br />
Gus Sentothttp://www.blogger.com/profile/11940008067402109720noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-996506657337930230.post-51003500451817687092020-05-29T01:22:00.001-07:002020-05-29T01:22:45.884-07:00TAU - PAHAM - RASA ALLAHBismillaahir Rahmaanir Rahiim<br />
eSHa 29/5/2020<br />
<br />
Didalam kehidupan ini banyak orang yang membiarkan diri tidak menempuh proses untuk merasakan keberadaan Allah, ini disebut dengan tidak melakukan perjalanan (thariq atau thariqoh). Manusia mesti melakukan perjalanan rohani dari tidak merasakan dan tidak menyaksikan Allah menuju kepada merasa dan menyaksikan-Nya. Wahyu diturunkan untuk mendidik ruhani manusia agar mengenal-Nya. Oleh karena-nya jika tidak melakukan perjalanan di samudra rohani ini, maka sama artinya dengan tidak peduli dengan Wahyu Tuhan dan pasti disetiap saat akan fokus kepada sesuatu yang baru, artinya akan tertarik kepada sesuatu yang menyenangkan jiwa, berpindah dari kesenangan yang satu menuju kepada kesenangan yang lain dan tak kunjung tertarik kepada Allah Ta'ala, yang penting bagi orang seperti itu adalah mempunyai mainan baru. Kuota hidupnya hanya dipakai untuk games, whaatsup, facebook dan instagram, lama-kelamaan kuota hidupnya akan habis tanpa mengenal Allah tempat manusia kembali, jika tidak dimulai dari sekarang melakukan perjalanan rohani lalu kapan? Mau kemana manusia setelah mati? <br />
<br />
Jika ma’rifat atau mengenal Allah itu adalah penyaksian (syuhud) atau perasaan (dzauq) dan diikuti oleh kesan (wijdaan), maka akal tidak akan mampu melakukannya, karena perasaan dan penyaksian serta kesan ada pada ruhani bukan jasmani. Meskipun demikian para murobbi atau orang yang dekat dengan Allah mengatakan bahwa pintu utama untuk ma’rifat adalah akal melalui pengetahuan dan pemahaman tentang Allah, khususnya tentang sifat-sifat-Nya dan perbuatan-Nya. Oleh sebab itu Imam Asy’ari (873-935H) membuat pendekatan yang memudahkan akal guna mengenal Allah, yang dikenal sebagai sifat 20 yang terdiri dari 1 sifat Dzat yaitu wujud (Ada), 5 sifat salbiyah, 7 sifat ma’ani dan 7 sifat ma’nawiyah. Yang pertama adalah sifat Wujud (Ada) atau katakan Mutlak lawan daripada Wujud adalah Adam (tiada) atau nisbi. Artinya selain Wujud Allah itu tidak ada (adam) atau nisbi, menjadi ada karena diadakan oleh yang Ada. Oleh sebab itu, bagaimana mungkin satu tindakan itu bisa terpisah dari yang bertindak dan bagaimana mungkin satu perbuatan itu terpisahkan dari orang yang berbuat, ini mesti merupakan dua hal yang tak bisa dipisahkan. Bagaimana mungkin angin itu dipisahkan dari hembusannya, bagaimana mungkin langit dipisahkan dari warna birunya dan lain semacamnya, hal ini untuk menunjukkan kepada kita bahwa sesungguhnya, kita ini hasil dari kreasi Allah ta'ala, lalu bagaimana mungkin kita bisa terpisah dari Allah? Ombak Itu tidak mungkin berpisah dari lautan, meskipun ombak bukan lautan, maka kita ini bukan Tuhan tapi bagaimana mungkin kita terpisah dari Tuhan? Kita ini bukanlah apa-apa kecuali hasil dari kreasi Tuhan itu sendiri. Nah dengan demikian merasakan adanya kedekatan dengan Tuhan adalah melalui pintu pengetahuan dan pemahaman yang seperti ini. Meskipun ‘tau’ itu sangat jauh jaraknya dengan ‘rasa’, seolah-olah ada dinding pembatas sebesar alam semesta ini, karena Allah hanya bisa dikenal melalui pengetahuan (ilm) bukan dengan kebodohan (jahl). Jadi sebenarnya kita itu tidak pernah jauh dari Allah dan Allah tidak pernah jauh dari kita, namun kita tidak merasakannya. Persis ketika Maulana Rumi,qs, mengatakan bahwa ada ikan-ikan dilaut mencari pemimpinnya untuk mengantarkannya ke lautan. <br />
<br />
Mungkinkah ada sesuatu yang bersemayam di luar wujud Allah? tidak mungkin, ini tidak bisa dibayangkan ada sesuatu yang tak tercakup oleh Allah, tidak mungkin ada, kalau ada sesuatu yang tidak tercakup oleh Allah berarti ada sesuatu yang lebih luas dibandingkan dengan Allah dan itu mustahil. Lebih tegas lagi, mungkinkah ada makhluk yang betul-betul bisa menciptakan dirinya sendiri? Inipun tidak mungkin, berarti keberadaan segala sesuatu itu pastilah Allah asal-usulnya, keberadaan segala sesuatu secara hakikat pastilah Allah Wujud-Nya. Nah disini letak pemahamannya, tinggal kita berikhtiar untuk bisa merasakannya, jadi ketika kita mengucap Allah Allah Allah usahakan adanya pemahaman bahwa Allah meliputi segala sesuatu, karena tidak ada apapun yang tidak diliputi oleh Allah, dan getarkan ke batin kita, setelah itu bersungguh-sungguhlah untuk bisa merasakan bahwa Allah itu meliputi segala sesuatu dan Allah lebih mengerti segala sesuatu ketimbang segala sesuatu itu tentang dirinya sendiri, Allah Allah Allah tidak ada sesuatupun yang tidak tersentuh oleh hadirat-Nya, ini kita kembangkan dari pemahaman akal menuju kepada kekuatan rasa, tentu saja karena segala diri kita diliputi oleh Allah, maka pemahaman kita pun pasti diliputi-Nya, sebagaimana rasa yang ada dalam diri kita pun pasti diliputi-Nya jua, dari mana lagi kalau tidak dari Hadirat-Nya, Allah berfirman : "Subhanaka, la ilma lana illa ma alamtana, innaka Antal Alimul Hakim" [QS 2:32] "Mahasuci Engkau, kami tidak mengetahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkau Mahatahu dan Maha Bijaksana." Maka setiap saat Allah menjadi Maha Guru atau Pendidik rohani bagi makhluk makhluk-Nya, untuk mengenal-Nya (ma’rifat). <br />
<br />
Analoginya sudah sering kita dengar dalam istilah cermin, dikatakan semakin bersih cerminnya semakin bersih memantulkan secara penuh yang bercermin, sehingga yang bercermin melihat dirinya sendiri melalui cermin, seolah berhadap-hadapan, mana mungkin yang didalam cermin bergerak tanpa yang diluar cermin bergerak? Tidak mungkin dan mustahil. Adanya berhadap-hadapan dengan Allah itu juga mengandung pemahaman bahwa sebenarnya betulkah yang nisbi itu bisa berhadap-hadapan dengan yang Mutlak? Ini sesungguhnya menyimpan pesan kepada kita bahwa tidaklah yang nisbi itu berhadap-hadapan dengan yang Mutlak, kecuali jika yang nisbi itu diperankan sendiri oleh yang Mutlak, sehingga yang nisbi itu berkata : ‘Ya Allah akukah yang menghadapkan diriku kepada-Mu atau Engkau menghadap diri-Mu sendiri? Para syaikh sufi sering mengatakan : ‘Al abid wal ma’bud wahidun, yang menyembah dan yang disembah satu hakikatnya.’ Sebab tanpa peran Allah kepada sihamba itu, bagaimana mungkin bisa berhadap-hadapan, yang nisbi bisa ketemu yang Mutlak? Tidak mungkin, tidak masuk akal, kecuali yang nisbi ini diperangkan oleh yang Mutlak, maka yang terjadi adalah sesungguhnya yang Mutlak ini berhadap-hadapan dengan diri-Nya lewat sosok yang nisbi ini. Rasulullah saw bersabda : ’Ya Allah, sungguh aku tak sanggup untuk memujimu sebagaimana semestinya engkau dipuji,’ maksudnya mana mungkin yang tiada memuji yang Ada, yang nisbi memuji yang Mutlak? Kecuali yang Mutalk memuji diri-Nya sendiri lewat perantara yang nisbi. Maka kenisbiannya itu disingkirkan dike-Maha-an Allah ta'ala dan dalam konteks seperti ini Al Hallaj,qs, mengatakan ‘Ana Al Haqq, aku adalah Tuhan Yang Maha Benar’, hilang dimensi kenisbian Al Hallaj,qs, dan digantikan oleh kehadiran-Nya. Bertitik tolak dari ini, maka setiap melakukan aktivitas apapun dan tidak terkecuali dzikir adalah hanya Allah bukan yang lain, sehingga dzikir yang dilakukan oleh jasmani lama-kelamaan dilakukan oleh ruhani dan pada akhirnya akan merasakan bahwa pendzikir dan yang didzikiri adalah satu persis serperti cermin tadi. <br />
<br />
Oleh karenanya, jikalau ada perasaan terpisah dalam diri kita dengan Allah, perasaan itu yang perlu diperbaiki, kalau kita merasakan bahwa kita terasing dari Allah, perasaan itu yang perlu kita luruskan, tidak ada apapun terasing di hadapan hadirat-Nya, kita ini bukan siapa-siapa selain realisasi dari kehendak-Nya, bukan siapa-siapa, bukan apa-apa, selain bukti dari ke-Maha-an-Nya dan bukti itu tidak mungkin terpisah dari yang membuktikan. Imam Ibnu Arabi,qs, mempertegas lagi, berarti tidak ada rahmat Allah yang keluar dari Allah, yang betul-betul keluar itu tidak ada, seluruh Rahmat Allah ternyata dalam ruang lingkup Allah itu sendiri, tapi yang disebut ruang lingkup itu tidak terbatas, kalau ruang lingkup berkaitan dengan sebuah desa dengan pedesaan itu ada garis batasnya ada garis tepinya, tapi kalau kata-kata ruang lingkup itu disandarkan kepada Allah, itu tidak ada batasnya, tidak ada garis tepinya, ke-Maha luasan-Nya tak terkira-kira, seolah-olah kita ini berenang-renang di Samudera Raya ke-ilahiyan yang tak bertepi. Bagaimana Wujud tidak tunggal, segala-galanya itu dilingkupi oleh Allah dan lingkup Allah tak bertepi adanya. Sentuhlah segala sesuatu, pasti sesungguhnya secara hakikat kita menyentuh Allah. Segala sesuatu pada diri kita ini bukan apa-apa, bukan siapa-siapa kecuali Allah semata-mata. Jadi tidak mungkin sebuah ciptaan itu, itu terpisah dari pencipta-Nya, maka olah rasa itu wajib terus-menerus dilakukan, terutama olah rasa dalam kaitannya dengan adanya ‘Penyatuan dengan Allah’. Kita bukan Allah, tapi bisakah kita selain Allah? Tidak bisa, kalau kita selain Allah, terus apa iya kita berada di luar Allah, makin tidak mungkin. Jadi orang-orang terpilih itu kekuatan rasa keilahiyannya sungguh hebat, itu yang membedakan dengan kita, sama-sama dilingkupi oleh Allah tetapi mereka itu merasa terus menerus dalam kebersamaan dengan-Nya, sementara kita merasa terasing dari Allah, seolah-olah Allah itu berada di keghaiban-Nya dan kita tidak menyentuh ini, sehingga doa-doa seringkali terpanjat dalam keadaan kosong, dzikir-dzikir terucap dilisan kosong, seolah-olah Allah berada diantara antah berantah yang tak tersentuh oleh aktivitas ibadah kita. Apa mungkin ada setitik wujud yang betul-betul berada di luar ke Maha Wujudan Allah? tidak mungkin ada. Jadi kemana kita akan mencari Allah, jangan ke mana-mana, di mana kita berada di situ kita sesungguhnya berada pada kebersamaan dengan Allah, jangan membayangkan mencari kemana, karena Allah itu sesungguhnya meliputi segala sesuatu, tidak ada satupun partikel, tidak ada satupun entitas yang di situ kosong dari kehadiran Allah. Pertaruhan kita itu dikeyakinan dan rasa, jangan kosong, dan itu fokuskan pertama-tama lewat dzikir, bila tak kunjung merasakan, terus dzikir, atau apa saja yang kita baca, baca Alquran, bacaan sholawat dan wiridan dan apa saja untuk bisa mempertajam dan menghaluskan hati kita, lama-lama akan masuk ke dalam luasnya renungan, terus belajar merasakan kebersamaan dengan Allah dengan diri kita tanpa jeda, di mana-mana kita sesungguhnya senantiasa berada dalam Allah itu sendiri dan kita ditimang-timang dari waktu ke waktu, dimanjakan dari hari ke hari, terus dikirim kepada kita adanya karunia-karunia itu, dan tidak perlu jauh-jauh Allah mengirimnya karena kita juga berada di dalam hadirat-Nya itu sendiri, apa yang tidak mungkin sangat mungkin Tuhan kita Maha segala-galanya. Jadi kalau begitu akhirat bukan di mana-mana kecuali di sini juga, dan kita yang masih hidup di manakah kematian, tidak di mana-mana di sini juga, sebab apa yang disebut di mana yang kesannya jauh, itu sebenarnya tetap saja berada dalam ruang lingkup Allah ta'ala itu sendiri. <br />
<br />
Semoga bermanfaat Wallahualam bisawab.<br />
Gus Sentothttp://www.blogger.com/profile/11940008067402109720noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-996506657337930230.post-65240173060849453752020-04-01T22:13:00.001-07:002020-04-01T22:35:44.607-07:00TAUHID - CINTABismillaahir Rahmaanir Rahiim<br />
<br />
Allah berfirman : <b>“Wallāhu khalaqakum wa mā ta'malụn, Allah yang menciptakan kamu dan amalmu sekalian.” (036:96)<br />
<i></i></b><br />
Jika menelaah ayat Al Qur’an diatas, maka kita akan memahami bahwa segala sesuatu datangnya dari Allah, baik diri kita ataupun perbuatan kita, tetapi mengapa hati kita menolaknya, bagaimana dengan upaya kita?<br />
<br />
Salah satu sifat Allah adalah wujud (ada) lawan dari pada wujud adalah adam (tiada). Maksudnya yang ada hanyalah Allah dan selain-Nya tidak ada. Sehingga hakikatnya kita ini tidak ada! Menjadi ada karena di adakan oleh Allah, baik jasmani maupun rohani dan perbuatan kita. Allah yang membimbing manusia dari kegelapan menuju cahaya, sehingga bisa dikatakan bahwa wujud itu adalah cahaya (nur) dan ciptaan ini kegelapan (dzulumat), atau bisa juga dikatakan bahwa cahaya itu baik dan kegelapan itu buruk. Sehingga apa-apa yang keluar dari Allah adalah kebaikan, karena ditanganyalah segala kebaikan dan sebaliknya apa-apa yang keluar dari manusia adalah keburukan karena hakikatnya tidak ada atau ilusi (wahm).<br />
<br />
Artinya, barang siapa mengaku-ngaku bahwa segala kebaikan yang keluar dari dirinya, seperti sholat, puasa, zakat, haji, berdakwah, shodaqoh, dan lain sebagainya, di akui sebagai perbuatan dirinya maka ini buruk, ini salah, ini dosa, sebailknya bila menyaksikan bahwa perbuatan itu semua adalah shuroh atau bentuk atau jelmaan sifat-sifat Allah yang indah (Jamalulloh) yang ditampakkan kepada manusia, itu adalah yang benar, itulah yang dimaksud dengan syuhud atau ma’rifat atau mahabbah. Kita bisa membayangkan saat bercermin, semua gerak dan gerik yang ada didalam cermin adalah serupa dengan kehendak kita yang diluar cermin. Sehingga bisa dikatakan bahwa kita seperti yang ada didalam cermin, tetapi yang didalam cermin bukan kita, tetapi bukan selain kita. Masalahnya timbul, manakala yang didalam cermin ‘mengaku’ dia yang diluar cermin, itulah kebanyakan manusia. Karena Allah menciptakan manusia sesuai dengan citra-Nya, yaitu ada Dzat, Sifat, Perbuatan (af’al) dan Ciptaan (intial), sehingga manusia seolah-olah berlaku seperti Tuhan dapat menciptakan upaya dan perbuatan atau dapat membuat amal dan kebaikan lainnya. <br />
<br />
Imam Arsalan,qs, mengatakan : “Inji’ta bila anta khobilak, wa in’jita bika hajabak, Jika engkau datang kepada Allah tanpa dirimu, maka Allah akan menerimamu, dan jika engkau datang kepada-Nya dengan dirimu, maka Dia akan menghijabmu.” Maka jika apa yang dilakukan itu semata-mata anugerah dari Allah, pemberian dari Allah, bukan persembahan kepada Allah, sehingga dapat melakukan ibadah, maka Allah akan menerima, tetapi jika datang dengan merasa bahwa itu amal, maka Allah hijab dengan amal itu. Maka awal pendidikan jiwa dalam berjalan kepada Allah adalah bukan dengan amal melainkan dengan kepasrahan. Maka setinggi-tinggi akhlak kepada Allah adalah syukur, sehingga seluruh amal itu adalah sebagai syukur. Perintah beramal adalah sebagai tanda syukur dan tanda syukur itu adalah syukur kepada sifat syukur yang diberi oleh Allah. Berinteraksi dengan Allah adalah dengan hakikat bukan dengan syariat, sedangkan berinteraksi dengan manusia mesti dengan syariat, jika manusia jahirnya baik jangan dipikirkan batinnya, karena batinnya Allah yang menangani. Tetapi jika kepada Allah maka bukan menghitung banyaknya perbuatan baik, tetapi banyaknya syuhud atau ma’rifat tadi. Diantara syuhud dan ma’rifat adalah menyaksikan bahwa amal yang dilakukan itu dari Allah bukan dari diri. Karena hijab yang paling besar untuk dapat menuju Allah adalah diri. <br />
<br />
Sebetulnya amal itu apa? Amal itu hanyalah sebuah shurah (bentuk) atau jelmaan daripada sifat yang ada dalam batin manusia, atau karakter, jadi jika manusia tidak ada sifat-sifat tertentu, maka tidak ada amal tertentu pula. Seperti ubudiyah, itu adalah sifat hamba, jika tidak punya sifat hamba, maka tidak akan ada ibadah. Seperti jika kita tidak punya sifat cinta kasih, bagaimana ada shuroh (bentuk) atau jelmaan cinta kasih yang berupa amal. Jika dipaksakan berbuat ‘amal’, maka bukan keluar dari sifat cinta kasih itu dan tidak bisa dikatakan amal melainkan maslahah, contoh maslahah seperti anak kecil yang berbuat baik kepada ayahnya bertujuan untuk minta uang, atau seorang istri bila ingin sesuatu ia banyak memuji suaminya, inilah maslahah. Mentalitas yang seperti ini yang digunakan oleh kebanyakan orang dalam menghadap kepada Allah, oleh karenanya sebagian syaikh sufi mengatakan bahwa hendaklah seseorang itu mempunyai cinta yang jujur dan setia, karena cinta itu seperti sinar, sinar itu akan bercahaya, bercahaya maknanya memberi atau cinta yang jujur (siddiq) dan setia (wafa). Sinar mengeluarkan cahaya maknanya siddiq dan cahaya itu wafa kepada sinar itu. Tetapi orang karena banyaknya kepalsuan maka perlu sifat cinta, kalau tanpa cinta tak dapat menuju kepada Allah, memang hanya karena cinta. Maka dikatan didalam al Qur’an dan al Hadits selalu mengenai pemeliharaan atau pemberian anugerah, akhlak, kemuliaan, keluhuran, kemenangan, atau selalu menggunakan kata Rahmat ini adalah kata lain dari cinta. Jadi orang mesti punya sifat cinta meskipun diawali cinta kepada dunia dan syahwat. <br />
<br />
Imam Ibnu Farid,qs, dia bukan seorang ulama besar dia hanya seorang penyair, cintanya kepada perempuan menutup semuanya, begitu setia dan jujur, suatu hari berjanji untuk bertemu di Mekah, ternyata perempuannya tak datang, dia demam sakit memanggil-manggil nama wanita itu tetapi tetap tidak berjumpa, dia mengalami kekecewaan yang luar biasa, karena dia sangat setia (wafa) dan jujur (siddiq). Sifat cintanya yang demikian mengantarnya menjadi cinta kepada Allah, sehingga karya-karyanya yang bercorak cinta banyak disyarahkan oleh sufi terkemudian. Kisah lain, ada seorang yang dikenal sholeh yang punya kesetiaan dan kesidikan dalam Ibadah dan mahabbah kepada Allah, sehingga dikenal sebagai seorang waliyullah yang sangat sholeh, abid, zahid tapi kemudian ia melihat wanita pelacur, dia tertarik dan jatuh cinta dan dia datang kepada perempuan itu, mengatakan cinta, membuat wanita itu terkejut, bagaimana seorang Syekh yang hari-harinya diisi dengan ibadah, tiba-tiba datang kepada perempuan pelacur. Orang-orang menertawakannya, tetapi wanita itu menerimanya, dan sang waliyullah berkhidmat kepada perempuan itu, sehingga perempuan itu tidak boleh berbuat sesuatu melainkan dilayani olehnya, perempuan itu menyaksikan kejujuran, kesungguhan dan kesetiaan yang luar biasa dari lelaki ini. Melihat keindahan akhlak yang begitu mengharukan dan tanpa dibuat-buat, membuat wanita itu berpikir, patutlah dia sebelum ini dikenal sebagai orang yang ahli ibadah dan sholeh, ternyata bukan karena yang lain melainkan karena karakter yang ada dalam hatinya itu, yaitu karakter cinta yang sidik dan wafa. Hal ini membuat wanita ini beratubat, karena selama ini dia hanya cinta kepada dunia dan hawa, yang tidak dapat membahagiakan malah mengecewakan, akhirnya dia kembali kepada Allah, perempuan itu berkata : ‘Kedatanganmu telah membuat ilham turun kepadaku bahwa sesuatu itu mesti jujur dan setia, dan kejujuran dan kesetian itu hanya kepada Tuhan.’ Akhirnya orang sholeh itu pun sadar juga atas kesalahan yang dia buat dan kembali kepada Allah. Jauh sebelum riwayat itu ada kisah Zulaikha dan Nabi Yusuf,as, sampai tua dan buta matanya serta rela dibuang dari istri seorang menteri menjadi hidup terlunta-lunta dijalanan. Kesehariannya hanya memanggil-manggil nama ‘Yusuf, Yusuf, Yusuf’. Nabi Yusuf,as pun telah menjadi menteri, bahkan jika beliau melewati jalan beberapa puluh meter dari Zulaikha, sudah tercium baunya, ‘Yusuf datang, cintaku datang’. Sehingga kabar itu sampailah kepada Nabi Yusuf,as dan beliau minta izin kepada raja dan istrinya untuk menikahi Zulaikha, maka raja dan istrinya mengizinkan untuk menikah. Zulaikha dibawa mendekat dan ditutup oleh sorban Nabi Yusuf,as, seketika ia kembali muda seperti pertama berjumpa kepada Nabi Yusuf,as. Maka dia memandang Nabi Yusuf,as, dan terkejut karena sudah dapat melihat dan kecantikan telah kembali. Maka disuruhnya ia bersolek agar bersiap-siap untuk akad nikah, tetapi didalam kamar saat di hias, kesadaran memasuki hatinya bahwa : ‘Rupanya ini penyebab Nabi Yusuf,as, tidak ingin dirinya, tidak ingin dunia, tidak ingin harta, dia jujur dan setia kepada Rabbnya.’ Zulaikha baru mengerti bahwa Tuhannya Yusuf yang menyembuhkannya, ternyata Dialah yang disetiai dan ditakuti serta dicintai oleh Yusuf selama ini, kata Zulaikha, akhirnya Zulaikha bersujud terus menerus sambil menangis dan bermunajat kepada Tuhannya Yusuf, dilain pihak Yusuf sudah siap untuk acara pernikahan, tetapi Zulaikha menolaknya dan berkata : ‘Aku baru tahu kepada siapa engkau mencintai, rupanya engkau hanya mencintai Tuhanmu, sekarang aku pun mencintai Tuhanmu dan aku tidak perlu lagi kepada engkau.’ Melihat riwayat-riwayat yang shohih diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sifat cinta dan mental setia dan jujur itulah kuncinya, bukan sifat mengaku-ngaku, meskipun diawali kepada apapun, itu adalah karakter dan mental yang inheren didalam hati manusia. Jangan dikira bila orang beribadah kepada Allah tetapi tidak jujur dan tidak setia, dapat jujur dan setia kepada yang lain, itu mustahil. Maka orang-orang yang jujur dan setia itu meskipun kafir, dia akan mudah mendapat Ilham kepada agama ini untuk sampai kepada Allah. <br />
<br />
Adapun shalat, puasa dan zakat, dzikir yang kita lakukan adalah karena rutinitas sejak kecil, tetapi tanpa mengenal Allah. Maka bila orang belajar agama pun semata-mata hanya ingin disebut sholeh, arif, alim, atau ingin disebut tuan guru, singkatnya ingin dihormati di dunia ini, maka jika ia dihina, spontan akan marah, ilmunya tidak menjadikan hamba, tidak wafa, tidak shiddiq, masih mengaku ‘ada’. Orang arif mengatakan bahwa barang siapa yang mencintai sesuatu maka dia hamba sesuatu itu. Jadilah dari kalangan orang yang mendapat anugerah, jadilah orang yang dari kalangan ‘minah’, artinya ibadah ini pemberian dari Allah, jadi tidak menghitung amal tetapi menghitung Allah. Jika mendapat harta lantas bersyukur kepada yang memberi bukan pemberian-Nya. Maka amal yang keluar dari kita semuanya adalah cerminan sifat, asma dan af’al Allah untuk menunjukkan bahwa keberadaan ‘ada’ itu hanya Allah, jika demikian maka selamanya ‘minah’ itu hamba, sebetulnya itu hakikat hamba sepenuhnya. Jangan menghitung amal, maka janganlah menjadi orang yang ahli amal, tetapi cinta (mahabbah). Sekali lagi bahwa amal itu tidak berdiri sendiri, amal itu datang dari rohani dari sifat. Jika kita mengenal Allah, maka tidak akan goncang dan akan tentram, tapi jika kita bodoh (jahl) kepada Allah, maka tidak akan tentram. Sesungguhnya yang dikehendaki-Nya, bahwa hanya Dialah yang ada, bukan kita yang ‘ada’, jadi ini adalah tingkat kesadaran yang sangat tinggi, karena kita selalu mengembalikan semua itu kepada Allah setiap saat, sebagaimana sebelumnya kita pun setiap saat menyaksikan kita ‘ada’, mengaku ‘ada’ tetapi kemudian dengan anugerah-Nya kita selalu berupaya menyaksikan dan mengakui bahwa semuanya dari Allah dan hanya Allah, dan senantiasa seperti itu, itulah ibadah yang Agung. <br />
<br />
Semoga bermanfaat wallahualam bisawab.<br />
<br />
<br />
Gus Sentothttp://www.blogger.com/profile/11940008067402109720noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-996506657337930230.post-30020977118411455892020-03-25T21:12:00.000-07:002020-04-04T15:45:40.957-07:00RAJA BINATANGBismillaahir Rahmaanir Rahiim<br />
<br />
Manusia itu terdiri dari tubuh dan ruh, masing-masing mepunyai penasihat, penasihat tubuh adalah nafsu dan penasihat ruh adalah akal. Akal mempunyai keinginan dan begitu pula nafsu. Nafsu, adalah keinginan yang tumbuh dari tubuh ini, maka nafsu adalah diri. Nafsu bukan ciptaan yang terkutuk, melainkan anugerah dari Allah. Yang terkutuk itu syaithon, di dalam Al-Qur’an tidak ada kata nafsu itu terkutuk. Syaithon itu satu sifat yang yang putus asa dari Rahmat Allah, sehingga bila manusia dan jin berputus asa maka sifatnya menjadi syaithon, naudzibillah min dzalik. Hubungan nafsu dan syaithon adalah bahwa nafsu itu pintu bagi syaithon untuk masuk kepada manusia, agar manusia menjadi syaithon. Meskipun demikian nafsu adalah anugerah yang mulia dari Allah, karena nafsu itu identik atau menyatu dengan tubuh, kalau tubuhnya dibuang tinggal ruh, ruh itu sama dengan malaikat yang tidak menginginkan dunia. Kita ingin harta, ingin tahta, ingin wanita, karena tubuh ini, coba dibuka tubuh ini maka jadi malaikat dan tidak menginginkan harta, tahta dan wanita, oleh karenanya jika tubuh ini tidak punya keinginan maka menderita. Ada orang tidak menikah karena tidak punya keinginan, kan menderita, sakit, tak sempurna. Maka pimpinlah tubuh ini dengan akal dan itu namanya manusia, jika tidak, karena tubuh ini bahan ciptaannya adalah alam semesta, tubuh ini diciptakan dari ekstrak semua alam semesta, terutama sifat-sifat yang aktif adalah ekstrak sifat binatang, dan kalau kita tidak ada akal maka kita adalah ‘raja binatang’, karena dalam diri kita ini semua sifat binatang ada, sangat sempurna luar biasa. Jika anjing bertemu kerbau, maka anjing tidak paham dengan kerbau, karena berbeda sifatnya, dan begitu pula sebaliknya, itu sebab binatang itu saling menyakiti saling membunuh, karena tidak punya akal. Sedangkan manusia ‘Alhamdulillah’ semua sifat binatang punya, kerbau, anjing, monyet, kucing, tikus, dan ada pula tikus-tikus politik. Alhamdulillah, maka kita perlu punya akal, karena akal itulah kebijakan dan kebajikan, karena akal itulah Allah membagi syariat. Oleh karena itu manusia disuruh menundukkan nafsu kepada akal, tetapi akal harus di-isi oleh ilmu pengetahuan khususnya ilmu agama, karena kalau tidak, akal tidak akan mampu menampung keinginan tubuh. <br />
<br />
Oleh sebab itu, pada permulaannya untuk melawan nafsu adalah akal, akal pada asasnya sebelum mendapat ilmu pengetahuan, adalah sebuah alat untuk mengetahui baik dan buruk, itulah yang disebut manusia, baik muslim atau non-muslim. Dapat dikatakan bahwa akal adalah sebuah neraca untuk mengetahui baik dan buruk, namun jika tidak ada pengetahuan ruhani, maka kebaikan itu hanya bersifat individual, egois, untuk dirinya atau untuk golongannya saja, tetapi jika ada keruhanian dan akal dipimpin olehnya, maka dia memandang kebaikan itu untuk semua alam semesta ini, Itu sebab Nabi,saw, dikatakan sebagai ‘rahmatan lil alamin’, untuk manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan alam semesta. Maka bisa dikatakan bahwa rohani itulah rahmatan lil alamin, karena Nabi,saw, adalah akhlak, Nabi,saw, adalah kerohanian, Nabi,saw, adalah yang disebut hakikat Muhammadiyah atau Nur Muhammad, adalah sifat keruhanian, maka semuanya akhlak. Oleh karenanya, tundukkan akal kepada ilmu, tundukkan nafsu kepada akal. Paling tidak gunakan akal dengan sebaik-baiknya untuk berpikir positif. Karena orang yang berakal sehat itu sebenarnya bukan hanya mengetahui baik dan buruk saja, melainkan mengetahui akibat dari perbuatan buruk. Banyak orang mengetahui baik dan buruk tetapi tetap saja melakukan keburukan, karena tidak sampai pikirannya kepada akibatnya, itu akalnya tidak sehat meskipun akalnya ada. Karena itu akal wajib diberi masukan pikiran-pikiran yang positif, pikiran yang baik, Ilmu agama khususnya keruhanian agar mampu membimbing dan memimpin nafsunya.<br />
<br />
Apabila ilmu agamanya telah memenuhi akalnya lalu mendawamkan dzikir dan mujahadah, maka akan membuahkan gerakan jahir dan juga barokah batin artinya batinnya semakin banyak kebaikan dan semakin membaik akhlaknya. Barokah adalah kebaikan yang bertambah dan banyak, seperti jika kita duduk dengan orang tua, meskipun sebentar tetapi seperti merasakan pengalaman yang banyak, tetapi jika duduknya dengan anak muda, berbicara satu hari pun tidak terasa apa-apa. Aktivitas jahir itu akan memastikan adanya barokah, dimulai dari berpikir yang baik berbicara yang santun dan bertindak yang benar, maka akan banyak kebaikan yang timbul, inisiatif baru, semangat baru, suasana baru. Karena Allah menjadikan antara tubuh dengan rohani ini, ada ikatan ketuhanan dan ada hubungan rohani. Imam Sya'roni,qs, mengatakan bahwa gerakan itu sebagai ibadah, kalau orang melakukan ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji dan berbagi kebaikan, itu mesti memberikan cahaya dalam hatinya, karena jasad dengan ruh ada hubungan rohaniah, artinya apabila bergerak mesti ada sesuatu yang masuk ke dalam hati, Allah berkahkan kedalam rohani. Maka apabila ruh itu dominan hilang rasa ‘ada’, tapi apabila jasad dominan akan merasa ‘ada’. Contohnya apabila jawarih ini berawal taat, mesti ada memberikan kesan ke hati, lama kelamaan hati menjadi tunduk dan ruh menjadi suci serta nafsunya menjadi lemah. Jika hatinya sudah ikhlas, dengan sebab taat ini, maka taat yang keluar dari hati yang bersih, ini pun memberikan pengaruh yang lebih dalam kepada jawarih, maka demikian seterusnya dan pada akhirnya dapat menggunakan anggota tubuh untuk taat kepada Allah dengan ringan, karena jawarihnya sudah tidak diatur lagi oleh pikiran melainkan oleh ruhaninya. <br />
<br />
Semoga bermanfaat Wallahualam bisawab.<br />
Gus Sentothttp://www.blogger.com/profile/11940008067402109720noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-996506657337930230.post-7448870249935502202020-03-22T22:07:00.001-07:002020-03-27T19:46:12.667-07:00PATUHBismillaahir Rahmaanir Rahiim<br />
<br />
Semua murid tarekat merasa patuh kepada gurunya, yang lahir dari perasaan cinta. Maka jika ada orang yang menghina gurunya lantas akan marah dan rela mengorbankan apa saja demi kehurmatannya. Sesungguhnya yang demikian adalah bukan ajaran tarekat, ini adalah hawa yang dipatuhi, ini adalah fanatik yang salah, tarbiyah yang dilakukan oleh guru justru untuk memberhangus hal-hal yang demikian. Karena murid masih memandang segala sesuatu dengan nafsu bukan dengan nuraninya, begitu juga perasaan cintanya. Hasil suhbah kepada guru untuk itiba dan berqudwah dan bukan untuk yang lain melainkan perasaan kasih sayang kepada semua orang dan makhluk lain, sebagai bukti dari tajalli (jelmaan) sifat Jamalulloh. Ini akibat dari salah pemahaman, dikira tasawuf itu saat di kholaqoh dzikir saja, padahal tasawuf itu dimana saja, disaat bersama orang atau sendiri, sedangkan di kholaqoh dzikir itu sedang melaksanakan manhaj atau metode dari guru. Seorang syaikh mengatakan : <i>‘Kebanyakan para murid itu seperti malaikat saat di kholaqoh dzikir dan kembali seperti iblis disaat meninggalkannya.’</i><br />
<br />
Sulit memang menolak ajakan nafsu, karena sangat halus gerakannya, seperti semut hitam berjalan diatas batu hitam ditengah kegelapan malam, mana bisa dilihat? itulah hawa yang dipatuhi (hawam mutaba), arti mutaba itu diikuti. Hawa itu objek yang mengikuti nafsu. Nafsu itu keinginan, di dalam diri manusia ada nafsu dan ada ruh. Nafsu adalah sifat yang memiliki keinginan, keinginannya disebut syahwat, dan yang menjadi objek syahwat ini namanya hawa. Sedangkan yang menjadi objek ruh adalah hakikat atau syariah sama saja, ulama fiqih menyebutnya syariat tetapi sufi menyebutnya hakikat. Apa yang dikehendaki dan dihirup oleh rohani adalah syariat, misalnya agama menyuruh memberi, maka apa yang dikehendaki sifat ruh ini adalah sifat dermawan sehingga selaras. Orang yang mempunyai sifat suka kebersihan, itu apa yang dicari adalah kotoran untuk dibersihkan, sampai ada hadist mengatakan <i>‘annadhofatu minal iman, kebesihan sebagian dari iman,’</i> ini adalah sifat iman yang hakiki. Nah kalau nafsu keinginannya hawa, sesuatu yang tidak hakiki, maka jika orang mengikuti hawa, maka ibadahnya tidak mendapatkan apa-apa. Orang beribadah mestinya jangan membiarkan nafsunya mendapatkan bagian, jika ibadahnya karena selain Allah berarti nafsu mendapat bagian. Kita berbuat baik, bersuhbah kepada guru, dan ingin dianggap orang mulia, maka keinginan ini datang dari nafsu, kemuliaan yang dicita-citakan itulah hawa. Kemudian ingin memimpin pengajian atau katakan berdakwah, jika keinginannya keluar dari nafsu dan adanya harapan menjadi orang mulia, maka dakwahnya itu hawa. Oleh sebab itu, jangan diikuti meskipun kelihatannya perbuatan baik, karena tidak akan mendapatkan apa-apa dan malah membuat binatang nafsu menjadi gemuk, seharusnya yang diikuti atau dipatuhi adalah Allah. Bagaimana mematuhi Allah, jika rohani kita sudah memiliki sifat Jamalullah, sifat Mulia Allah, ada hadist yang mengatakan : <i>‘Takhollaqu biakhlaqillah berakhlaklah dengan akhlak Tuhan,’</i> Akhlak Allah artinya yang kita sebut sifat mulia, jika seseorang beruntung sudah mempunyainya yang disebut waliyullah maka bisa mengikutinya, karena sudah 'sama' sifat-sifatnya dan karena itu adalah wilayah Allah, Allah lah yang mengendalikan-Nya. <br />
<br />
Semoga bermanfaat wallahualam bisawab.<br />
<br />
<br />
Gus Sentothttp://www.blogger.com/profile/11940008067402109720noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-996506657337930230.post-40214642697533303592020-03-22T15:50:00.002-07:002020-03-27T19:24:22.915-07:00ISTIDRAJ Bismillaahir Rahmaanir Rahiim<br />
<br />
Sayidina Abdullah Ibnu Mas’ud,ra, berkata : <b>‘Berapa banyak orang yang dihancurkan disebabkan nikmat yang dilimpahkan kepadanya, dan berapa banyak orang tertimpa fitnah, disebabkan pujian kepadanya.’ <br />
<i></i></b><br />
Tidak sedikit ulama jika dipuji merasa senang, dikiranya pujian itu sedang mengangkat derajatnya. Sesungguhnya pujian itu justru fitnah, hal ini menarik sekali untuk dibahas, fitnah itu berasal dari ‘iftinan’ dari ‘fatin’ yaitu perempuan cantik yang menarik hati yang dapat mengakibatkan perbuatan buruk. Maka dikatakan didalam al Qur’an bahwa istri dan anak itu fitnah, harta juga fitnah, suara wanita pun fitnah yang maksudnya bukan keburukan melainkan ujian. Karena fitnah itu mengandung nilai yang sangat menarik dan memikat, saking menariknya bisa membuat hancur, karena harta orang hancur, karena anak orang ribut, karena istri orang berkelahi, jadi apakah dengan sesuatu yang menarik hati itu, manusia mampu mendudukkannya pada porsi untuk tetap bertindak adil. Itulah maksud fitnah didalam dunia tasawuf berbeda dengan makna fitnah secara umum. <br />
<br />
Rasulullah,saw, berdoa manakala dipuji : 'Ya Allah jangan Engkau hukum aku karena apa yang dikatakan oleh orang-orang itu.' dan 'Ya Allah ampunilah aku dari apa yang tidak mereka ketahui (dari diriku).' Maka pujian itu fitnah dan berapa banyak orang tertipu, dan apa sebabnya? Karena perbuatan dosa yang disadarinya tetapi tidak ada keinginan untuk menghentikannya, yang timbul dari harapannya ingin dimuliakan orang, ingin dianggap mempunyai kedudukan ruhani yang tinggi, dengan kebohongan dan pencitraan tampil didepan jamaahnya. Sehingga Allah SWT menutupi hal ini agar tidak terlihat keburukannya dan merasa aman terhadap maksiatnya. Semakin sering dilakukan akan semakin menutupi kebenaran dan menjadi kebiasaan atau rutinitas, maka kebohongannya dianggap sebagai kebenaran, naudzubillah min dzalik. Jika sudah demikian niscaya Allah SWT malah lebih rapat menutupinya, sehingga jiwanya selalu sibuk dan lapar terhadap sanjungan orang dan merasa tidak akan hancur di dunia ini. Imam Arsalan,qs, mengatakan : <b>‘Wahai tawanan nafsu syahwat dan amal ibadah, wahai tawanan maqom-maqom dan kasyaf, sungguh kalian terpedaya. Engkau sibuk dengan dirimu sendiri dan melupakan-Nya, manakah kesibukanmu dengan-Nya dan melupakan dirimu?’<i></i></b> Kebanyakan orang mendapatkan kemudahan hidup dikaitkan dengan ibadahnya yang berupa dzikir, sholawat, puasa sunah dan lainnya, diakuinya karena sebab berkah sebagai ustadz, padahal mungkin mendapatkan rizkinya dengan batil, tetapi Allah tidak membukanya. Makanya cerita orang-orang salaf dulu, kita ini kelihatan cakap dan berwibawa karena ditutup oleh Allah, jika tidak, orang akan lari dari kita seperti dikejar harimau. Imam Hasan Al Basri,ra, berkata : ‘Kalau dosa itu berupa ekor, maka di jalanan akan penuh dengan ekor itu.’ Dunia ini adalah ‘darul ibtila’ dan semua datangnya dari Allah.<br />
<br />
Pujian itu bisa datang dari luar dirinya dan dari dalam dirinya, jika seseorang memuji dirinya sendiri atau kagum terhadap dirinya atau memandang dirinya sempurna disebut sebagai ujub, maka hakikatnya dia sedang memfitnah dirinya sendiri, ini lebih buruk dari sombong, jika orang sombong artinya ada tuntutan agar orang membesarkan dirinya. Penyakit ini mengerikan, bahkan sampai ada yang mengaku dirinya sebagai wali. Orang seperti ini tidak menginginkan lagi tambahan ilmu dari orang lain, apa yang dibicarakan adalah tentang kehebatan dirinya, jika sedang berkumpul tidak boleh ada yang membicarakan topik lain keculai dirinya, sifat seperti ini jika sudah menyelimuti, merasa bahwa apa yang dilakukan sudah melindungi dirinya untuk aman dari segala malapetaka. <br />
<br />
Oleh sebab itu agar tidak tertipu, para syaikh sufi banyak menulis kitab, mereka memberikan hikmah dari ibrah ruhiyah yang mereka pahami. Jika mereka diberi kemudahan justru bukan senang melainkan merasa ketakutan, khawatir itu adalah tipuan atau istidraj. Istridraj tu maknanya diangkat, atau tangga naik, artinya orang diajak naik setelah tinggi dijatuhkan. Oleh karenanya, jika hidup rasanya mudah, langsung mohon ampun kepada-Nya. Jika bukan karena ibroh ruhiyah yang diungkap oleh para wali didalam kitab-kitabnya, maka kita tidak akan mengetahuinya. Karena bahasa ruhani seperti al Qur’an atau hadist mempunyai banyak makna dan sulit untuk dipahami, kecuali oleh orang-orang yang bersih ruhaninya. Seorang syaikh mengatakan bahwa jika seseorang mau kembali ke agama, lalu langsung ke Qur’an dan hadist tanpa mendengar pengalaman dan pengamalan para wali, itu sama saja dengan membenturkan kepala ke tembok. Dengan petunjuk pengalaman mereka dari pengamalannya, maka sepatutnya sangat memudahkan kita guna memahami perkara agama yang tersembunyi maknanya. Oleh karenanya para syaikh sufi dan para mutashowif tidak henti-hentinya membaca kitab-kitab tasawuf yang ditulis oleh para Aulia Allah guna disampaikan kepada murid-muridnya. Maka ada satu keterangan dalam satu kitab tasawuf yang berjudul nafahat al uns karya Syekh Abdurrahman al Jami,qs, yang berbicara tentang ma'rifat, dikatakan jika ada orang yang mengaku sebagai ahli tauhid, lalu menerangkan tauhid di depan banyak orang, dan mengatakan semua dari Allah dengan Allah untuk Allah dan tidak ada yang tidak Allah, dan tiba-tiba ada orang yang bertanya dan mencemoh serta menghinanya, lalu sang ustadz sontak saja ngamuk, marah-marah seperti Fir'aun, maka omongan orang yang bertanya itu adalah benar dari Allah, yang membuat dia bertanya dan mencemoh itu Allah. Oleh sebab itu para syaikh sufi bila mendengar pujian orang langsung takut kepada Allah, karena mereka yaqin Allah sedang mengujinya, makanya lupa kepada orang yang memujinya. Mereka merasa bahwa kebaikan ditangan Allah dan dirinya merasa tidak pantas dipuji, semua Allah yang menggerak dan menggerikan manusia dan adalah salah satu jelmaan sifat dan nama-nama Allah. Penyaksian seperti itu hanya terlihat bagi orang yang mempunyai syuhud di dalam hatinya. Sebaliknya, kebanyakan orang akan merasa senang jika dipuji dan bersahabat dengan yang memujinya, dan begitu dihina akan menjadi musuh baginya. Jadi pujian itu fitnah, pujian adalah ujian, lebih baik dihina jelas memberikan manfaat batin. Hal yang dimikian tidak bisa dipahami oleh akal melainkan ruhani. <br />
<br />
Semoga bermanfaat wallahualam bisawab. <br />
Gus Sentothttp://www.blogger.com/profile/11940008067402109720noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-996506657337930230.post-13450781129067546822020-03-19T23:28:00.001-07:002020-03-27T19:24:45.975-07:00IHSAN Bismillaahir Rahmannir Rahiim<br />
<br />
Hadis yang mulia baginda Rasulullah,saw, mengenai ihsan, bahwa :<br />
<b>أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ</b><br />
“Anta’budallaha ka’annaka taroohu, fainlam takuntaroohu fa'innnahu yarok, engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya maka Dia melihat engkau”<br />
<br />
Orang yang bertarekat akan memaknai muroqobah sebagai sebuah manhaj atau metode untuk memperoleh ihsan, padahal salah satu makna ihsan itu sendiri adalah muroqobah. Seorang ulama sufi mengatakan bahwa yang dapat melihat Tuhan hanyalah Tuhan sendiri, maka hadits diatas menggunakan kata seolah-olah melihat. Melihat bisa dilakukan dengan mata, pikiran dan ruhani. Jika seseorang minta pendapat atau pandangan dari orang lain terhadap sesuatu, maka yang dimaksud dengan pandangan adalah melihat dengan pikiran, sedangkan jika seseorang bermimpi melihat sesuatu berarti melihat dengan ruhaninya. Lebih jauh lagi ada ulama yang mengatakan bahwa melihat itu mempunyai makna yakin, misalnya ada kalimat ‘barang siapa yang melihat sebagian daripada saudara kamu melakukan kemungkaran,’ maka yang dimaksud dengan yang dilihat adalah kemungkaran, bahwa perbuatan mungkar itu dilihat dengan mata agama dengan keyakinan, yang maknanya adalah buruk. Begitu pula yang dimaksud dengan hadist “Anta’budallaha ka’annaka taroohu,” seolah-olah engkau melihat, adalah menyaksikan secara batin disertai keyakinan atu dalam istilah tasawuf disebut syuhud atau ma’rifat. Sedangkan makna “fainlam takuntaroohu fainnnahu yarok”, maka Allah melihatmu atau menyaksikanmu, seolah-olah ada perintah yang sangat halus, yaitu kalau engkau tidak melihat Allah, maka coba engkau yakini bahwa Allah melihatmu. Maka perintah yang halus itu diterjemahkan sebagai ‘muroqobah’ yang dilakukan dengan manhaj yang khusus. Sehingga ihsan mempunyai dua pengertian atau dua makna, yang pertama berkenaan dengan ruqyatullah atau syuhud atau ma’rifat yaitu menyaksikan Allah dengan mata batin, sedangkan yang kedua adalah muraqabah yaitu merasa bahwa Allah melihatmu atau mengawasimu. Inilah dua keadaan yang menjadi tujuan para mutashowif, atau dapat dikatakan bahwa ihsan adalah tujuan tasawuf. Jika demikian muroqobah dapat diidentikkan sebagai ikhlas, yaitu melakukan sesuatu hanya untuk Allah saja bukan untuk yang lain. Untuk mepunyai keyakinan bahwa disetiap peribadatan merasa diawasi, bersama dan miliputi kita, tidaklah mudah, perlu latihan muroqobah secara istiqomah. <br />
<br />
Dalam bahasa Arab kata ruqyah itu bisa diartikan sebagai visi, yaitu pandangan kedepan atau target yang perlu dicapai, dan visi itu selalu ada motifnya. Orang maksiat ada motifnya yaitu sifat buruk, ini yang mendorong dia berbuat, dan dia ingin mendapat kenikmatan dari maksiat. orang menuntut ilmu motifnya ingin mendapatkan pekerjaan, harta, tahta. Ulama mengatakan motif selain Allah itu, fana atau tidak kekal. Tetapi kalau motifnya kekal maka dia akan berbahagia yang disebut kebahagiaan abadi. Orang berbuat baik, orang memberi jika ingin dipuji ini motifnya fana, tetapi jika orang memberi adalah karena lahir dari sifat dermawan, ini motifnya baqo, kekal, karena sikap dermawan itu sifat Tuhan. Bagaimana menjalani hidup ini dan melakukan ibadah agar ruqyahtullah, agar visinya Tuhan? Maka kita mesti punya sifat ruhaniyah, robbaniyah, sifat Tuhan. Apabila orang melakukan sesuatu atas dasar karakter sifat mulia atau hati nurani, maka perbuatan itu lahir dari sifat ruhaninya itu. Ibadah shalat, puasa, zakat, haji adalah bentuk ketundukan, jika jiwanya tidak tunduk, maka ibadah yang dilakukannya hanya sebagai rutinitas saja, persis sama seperti yang dilakukannya sejak kecil, sebelum berakal, sebelum berilmu. Bila ibadah itu menjadi rutinitas, menjadi formalitas atau tradisi, maka secara agama belum ihsan, belum dilaksanakan secara sempurna. Dan apabila ibadah itu misinya Tuhan, visinya Tuhan atau dengan kata lain adalah motifnya adalah sifat mulia, akhlak mulia atau karakter jiwa yang luhur, maka ketika dia melakukan perintah agama dan perintah hidup ini mesti tujuannya adalah Tuhan, tanpa dipikir lagi. Misalnya seseorang punya sifat dermawan, apakah dia memberi dengan pikirannya, tentu tidak, sebagaimana orang punya sifat sayang pasti akan menyayang, sifat benci pasti akan membenci, kalau dia tidak punya sifat kasih tetapi jahirnya ingin mengasihi, pastilah ada motif lain di luar dirinya itu, motif itulah yang disebut motif fana. <br />
<br />
Maka ruqyah yang mendorong untuk mampu melaksanakan ajaran atau perintah di dalam agama Islam, dan agama ini visinya adalah Tuhan, yang dilihat Tuhan, maka yang pertama perlu dipahami bahwasanya fiqih adalah Islam, tauhid itu adalah Iman dan maka tasawuf itu adalah ihsan, yaitu bagaimana menjadikan motif melaksanakan ibadah yang didasari iman adalah dengan sifat-sifat Robbaniyah, sifat-sifat Ketuhanan, karena tujuannya adalah Tuhan. Di dalam firman Allah yang Allah nyatakan sendiri ‘Syahidallahu annahu laa ilaaha illaa huwa,’ bahwa Allah menyaksikan bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, kemudian Allah menyebut walmalaikatu yang kedua walulul’ilmi, ini pun satu pernyataan bahwa penyaksian Tuhan itu adalah dengan ruhani, malaikat adalah ruhani dan begitu pula orang-orang yang mempunyai ilmu, itu ma’rifat maskudnya. Motif yang baqo atau kekal itu apabila melakukan ibadah keluar dari sifat mulia yang Tuhan berikan ke dalam diri manusia, dan tujuannya adalah Tuhan. Inilah yang dimaksud dengan ruqyatullah, syuhudullah, menyaksikan Allah, menatap Allah dengan tatapan batin dengan pandangan ruqyah. Jika tidak punya pandangan batin, maka akan melihat berdasarkan pandangan yang dia miliki. Didalam diri manusia ini ada yang bersifat materi, yaitu jasad dan disebut jahir, dan ada yang bersifat non materi yaitu ruhani yaitu batin. Ringkasnya jika orang beragama tanpa ihsan, maka pelaksanaan islam dan imannya hanya jasad, berarti materialistik, tidak sedikit orang berilmu dan beramal tapi tetap materialistik, motifnya ingin dihormati atau mencari harta dan tahta. Jika dengan rohani atau batin yang sempurna, yaitu memiliki sifat-sifat mulia-Nya yang disebut akhlak, maqomat, anwar, asror, hakikat atau apalah istilahnya dalam ilmu tasawuf, maka akan hidup berdasarkan keruhanian, ini yang didalam al Qur’an disebut sebagai robaniyah. Sifat Ini yang dapat menyaksikan Tuhan, maka difinisinya “Anta’budallaha ka’annaka taroohu, fainlam takuntaroohu fainnnahu yarok, engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya maka Dia melihat engkau.” Orang robani jika dikasih musibah, dia menghadapi musibah dengan Tuhan, karena sabar itu adalah sifat anugerah Tuhan kedalam ruhani, maka dia menyaksikan dan merasakan bahwa kekuatan sabar lebih tinggi daripada musibah, jadi dihadapinya musibah dengan tenang, dan akan terlihat pergerakan musibah itu dengan baik, banyak pelajaran yang diambil karena memandangnya dengan tenang, menang, tidak kalah, itulah ihsan, itulah tasawuf.<br />
<br />
Demikian semoga bermanfaat, wallahualam bisawab.<br />
Gus Sentothttp://www.blogger.com/profile/11940008067402109720noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-996506657337930230.post-41701151835472764542020-03-19T19:32:00.002-07:002020-04-04T15:57:19.583-07:00TASAWUFBismillaahir Rahmaanir Rahiim<br />
<br />
Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) pernah berkata bahwa : ‘Tasawuf adalah kesadaran.’ Wejangan ini perlu penjelasan agar tidak disalah artikan, bukan berarti orang yang tidak bertasawuf itu tidak sadar, bukan, bukan itu, yang dimaksud kesadaran dalam hal ini adalah berupaya menyadarkan diri secara terus menerus untuk mengarahkan ruhaninya hanya kepada Allah saja, itulah tasawuf.<br />
<br />
Imam Ahmad Zarruq,qs, (1442M) adalah seorang mursyid tarekat Sadziliyah berdarah Maroko yang bermahzab Maliki, beliau adalah murid dari Imam Sulaiman al Jazuli,qs penulis kitab yang fenomenal dairatul khairat, didalamnya terdapat puji-pujian yang indah terhadap Nabi Muhammad,saw, dan cara mengamalkannya, dimulai oleh bacaan Asma ul Husna yang dibaca dengan nada dan cara yang unik. Beliau pernah berkata, dimana-mana pun orang yang jahat itu ada, setiap ada hakikat pasti ada palsunya, semua produk mengaku yang terbaik, ada yang asli dan ada yang palsu. Begitu juga didalam dunia tarekat, tidak sedikit orang mengaku-ngaku pembawa tarekat, padahal tidak sesuai dengan manhaj. <br />
<br />
Fitrah manusia, secara tabiat memang suka terhadap hal-hal yang baik, karena tasawuf adalah nilai-nilai kebaikan, akhlak mulia, maka disukai oleh setiap tabiat manusia, akal sehat pun suka dengan yang baik-baik, namun untuk dapat mencapainya tidaklah mudah, karena sangat halus, tidak semua orang bisa mendapatkannya, mampu memahaminya. Jika diumpamakan sebuah pokok, maka akarnya itu begitu dalam, bahkan seolah-olah akarnya itu tidak diketahui (majhul). Berbagai macam istilah dalam tasawuf, yang sering kita dengar adalah ma’rifat, mahabbah, ridho, wara, syukur, taubat dan masih banyak lagi, yang berasal dari al Qur’an dan al hadist, yang para syaikh sufi menyebutnya sebagai maqomat ruhiyah, sebetulnya itu semua adalah bagian daripada akhlak mulia. <br />
<br />
Banyak ustadz menyampaikan pengajian tasawuf, berbicara, berpakaian dan berpenampilan ala sufi, tetapi siapa yang tahu mana yang asli dan mana yang palsu? Karena sangat sulit membedakannya. Karenanya, banyak orang yang mengaku-ngaku sebagai guru keruhanian, karena kalaupun mengaku orang tak akan mampu mengetahuinya. Barangsiapa mengikuti tasawuf tanpa manhaj yang benar, maka tidak akan mendapatkan apa-apa selain kehancuran. Apakah kehancuran itu? bukan jatuh kepada maksiat, dan bukan melawan orang tua lalu hidup susah, bukan pula menjadi gila atau menjadi hancur, atau menjadi miskin, melainkan tidak akan melahirkan orang-orang yang muqorrobin, arifin, malah melahirkan orang aneh, melahirkan orang bodoh, melahirkan orang takabur, melahirkan orang yang merasa lebih benar dari syariat dan memandang orang-orang yang membicarakan syariat itu rendah. Kemudian timbul persoalan bagaimana agar orang selamat dari yang palsu dan menemukan yang asli? Adakah ciri-ciri yang bersifat fisik? Bahwa ciri-ciri yang bersifat fisik tidak ada, karena bisa jadi cara berpakaian sama, nama sama, bacaan sama, dzikir sama, wiridan sama, sholawat sama, muroqobah sama, silsilah pun sama. Dalam hal ini Imam Ahmad Zarruq,qs, memberikan petunjuk untuk dapat menemukan yang asli, yaitu datangnya dari diri sendiri, jika seseorang mempunyai niat yang jujur dan betul-betul ingin Allah, maka Allah akan pertemukan kepada orang yang membawanya kepada Allah, tapi jika niatnya adalah keinginan yang lain, maka akan jumpa kepada orang yang membawanya kepada apa yang diinginkan. Maka keshiddiqkan menjadi syarat yang pertama, artinya selalu jujur ingin Allah. Itu saja yang akan menyelamatkan seseorang dalam menemukan yang benar. <br />
<br />
Bahwasanya tasawuf itu mempunyai mukadimah (permulaan) dan mempunyai hakikat serta mempunyai hasil (natijah). Apa mukadimahnya, yaitu mula-mulanya takut kepada Allah, betul-betul ingin Allah, betul-betul tawajuh, orientasi dan kecondongan dan keinginannya hanya kepada Allah. Rasa takut yang bagaimana, tentunya rasa takut (kosyah) yang tumbuh dari ilmu, sebagaimana Allah SWT berfirman:<br />
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ <br />
“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para Ulama, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS Surat Fathir: 28). Khosyah atau rasa takut itu mengetahui segala apa yang datang dari Allah, adalah mengenal Allah dengan akal, bermulanya dengan akal, artinya orang harus banyak mengisi pengetahuan dulu dengan akal, otak ini mesti diisi dengan nurul ilm, mesti masuk pikiran-pikiran yang bersifat pengetahuan dan segala yang datang dari Allah. Dengan mendengar hikmah-hikmah tentang Allah maka akan timbul khosyah (rasa takut). Dia mengetahui dengan akal pikirannya bahwa semua dari Allah dan semua mesti dengan Allah, maka dia takut jika tidak dengan Allah, dia ingin Allah dengan benar, yang disebut shiddqut tawajuh. Jika orang takut dia akan betul-betul menuju kepada apa yang dia inginkan. Contoh seseorang tidak dapat berjalan kaki dengan baik, karena di telapak kakinya ada luka, tapi saat ada harimau mengejarnya, dia terpaksa lari dan tiba-tiba rasa sakit kakinya hilang, karena dia dipengaruhi dan diliputi oleh rasa takut, maka dengan rasa takut itu dapat meluruskan Jalan. Sayidina Abubakar as Siddiq,ra, pernah bercerita bahwa permulaan jalan menuju kepada Allah adalah dengan rasa takut, apabila sudah berada di pertengahan maka akan timbul rasa harap, dan diakhir tak ada lagi rasa takut dan harap, kedua duanya satu, takut ya harap, harap ya takut. Oleh sebab itu, jika mukadimah (permulaan) itu dimulai dengan rasa harap itu tidak benar. Rasa takut ini adalah rasa memandang Keagungan Allah di dalam hatinya. Orang jika punya perasaan salah, karena sebelumnya tidak taat dan banyak maksiat, kemudian dia ingin kembali kepada Allah dan dapat merasakan Keagungan Allah, maka itu berarti permulaan yang benar. Sebaliknya jika permulannya yang timbul adalah rasa harap, maka ini adalah permulaan yang salah. Itu sebab orang-orang yang mula-mula ingin dekat dengan Allah sering menangis, sering memandang hina dirinya, sering timbul rasa takut, rasa tak pantas berdekat dengan orang-orang sholeh apalagi kepada Allah. <br />
<br />
Banyak orang ingin bertasawuf berharap ingin jadi sakti atau jawara, bisa mempunyai kekuatan supra natural, bisa macam-macam, ini salah kaprah. Ada satu hal lagi kesalahan mendasar yang perlu diperbaiki, yaitu orang jika masuk sebuah tarekat guna bertasawuf, selalu berniat ingin cepat baiat dari guru, sesungguhnya letakkan keinginan baiat itu menjadi nomor yang paling bawah. Pelajari dahulu ilmu dan silsilahnya, hampiri dulu tuan gurunya, bergaulah dengan murid-murid yang lebih dahulu, perhatikan akhlak mereka. Lalu jika didalam diri sudah tumbuh keinginan yang kuat atau lurus menghadap kepada Allah (shiddqut tawajjuh), baru kemudian baiat, sebagaimana doa iftitah didalam shalat ‘inni wajjahtu wajhiya lilladzi fatoros samawati wal ardh,’ aku menghadap kepada yang menciptakan langit dan bumi, artinya ingin Allah dan inginnya betul. Pada prakteknya, riyadhahtun nafs adalah untuk mendidik jiwa, untuk membetulkan jiwa agar menghadap kepada Allah. lalu diterapkannya disaat melakukan ibadah, melakukan amal, melakukan kebaikan, dimana ketika melakukannya itu dijiwanya ada tawajjuh yang shoddiq kepada Allah, maka itulah hakikat tasawuf, meskipun belum bertarekat. Tidak sedikit orang yang bertarekat dan sudah baiat, lalu berdzikir, melakukan wirid-wirid, namun tidak ada hakikatnya manakala niatnya ingin yang lain bukan Allah. Untuk mengetahui seseorang sedang bertasawuf adalah dirinya sendiri, apakah dirinya telah tumbuh tawajjuh yang shoddiq kepada Allah, dan jika ada, sebesar mana tawajjuhnya itu, sebesar itulah tasawufnya.<br />
<br />
Orang yang bermujahadah sesungguhnya sedang membetulkan orientasi, tawajjuh, menghadap hanya kepada Allah. Maka Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) sering berkata jika ibadah jangan mengharapkan surga dan jangan takut neraka, jangan ingin dipuji, jangan karena riya, jangan merasa paling baik, buang itu semua, agar tawajjuh hanya kepada Allah. Artinya sepenuhnya berbuat karena Allah dengan melawan hawa nafsu. Jika melakukan kebaikan timbul perasaan ingin dilihat orang, dan tiba-tiba ruhani menolaknya atau Jika ada keinginan yang kuat ingin ghibah, dan ruhani menolaknya maka ini namanya sedang membetulkan tawajjuhnya kepada Allah, ini sedang bertasawuf. Sesungguhnya Allah sudah memberikan perangkat ibadah agar manusia selalu mengajak hatinya pergi dengan dan kepada Allah, tawajjuh. Ada tradisi dzikir, didalam tulisan dikatakan bahwa fadhilah dzikir akan ma’rifat, tetapi maksudnya bukan karena berdzikir lalu ma’rifat, dzikir itu adalah masa takhali, dzikir ini ibadah untuk membangun shiddiq tawajjuh, dihapuskan ajakan nafsu dan ajakan syaithon, dan ingin membawa jiwa ini kepada Allah saja, itu dzikir. Niat dzikir pun bukan untuk apa apa kecuali untuk Allah saja, pahala pun tidak boleh, bukan tidak dapat melainkan banyak, tetapi untuk membangun hati yang bersih, agar Allah saja, maka itu mesti shiddiq tawajjuh. Agama sudah menyatakan ada pahala, itu urusan Allah, tetapi berdzikir hanya Allah saja, sebagaimana makna laa ilahaa ilallaah, ilah itu nafsu, syaithon, selain Tuhan, semuanya dibuang, dan bukan asyik dengan bacaan laa ilahaa ilallaah dan cara bacanya, jika demikian maka akan berjalan di tempat tak pergi kemana-mana meskipun sudah dua puluh tahun berdzikir, karena ma’rifat bukan karena dzikir, melainkan hibah maqomat ruhiyah, akhlak nurkarimah dari Allah SWT. Tidaklah berguna orang bertarekat berdasarkan kebodohan (jahl) melainkan berdasarkan ilmu, tidak berdasarkan tradisi yang didengar, melainkan berdasarkan paham orang yang membawa tasawuf.<br />
<br />
Natijah adalah hasil, jika seseorang selalu membangun shiddqut tawajjuh akhirnya alfanau fillah. Fana itu melihat Allah saja, memandang Allah saja, tidak memandang manusia, tidak memandang siapapun dan apapun kecuali Allah. Perintah dan larangan dari Allah dan berbuat dengan Allah dan untuk Allah, bukankah ini semua adalah akhlak? Jika sudah fana, bukan berdiri diatas satu akhlak, melainkan semua, diantaranya sabar, syukur, ridho, tawakal, khosyah, zuhud, wara, yakin, mahabbah, syauq. Dengan kata lain dimulai dari takhali, tahali dan akhirnya tajalli, atau dari takut berdasarkan ilmu (khosyah), shiddquh tawajjuh lalu fana. Maka akhir dari semua itu adalah, ‘Dairotun ala kasyfil ghitho’, tersingkap tutup, meraih madad dan atho Rabbani atau mendapatkan, merealisasikan, merasakan madad illaahi wal atho. Apa makna tersingkap ‘ghitho’ tutup, adalah menyaksikan Allah pada setiap orang dan tak terhalang oleh orang. Orang yang berbuat jahat pun kepadanya, dia memandangnya intihan dari Allah, menyaksikan bahwa makhuk digerakkan oleh Allah, dia diutus oleh Allah untuk keluhurannya, berarti Allah sayang kepadanya, sedangkan orang itu sedang berbuat dosa, sedang dimurka oleh Allah, tetapi baginya perbuatan orang itu anugerah, perasaan dan penyaksian batin seperti ini namanya tersingkap (ghitho), pandangan mata, padangan pikiran, pandangan nafsu sudah lepas, bahkan tutup yang menutupi dirinya. Dia menyaksikan apa yang terjadi pada dirinya pun, adalah irodah (kehendak) yang Allah ingin tunjuk kepadanya, melalui dirinya, yang disebut suratan takdir, itu adalah gambaran berita tentang Allah pada dirinya, yang dirasa adalah Allah memberi tahu dirinya ‘Man Arofa nafsahu faqod Arofa rabbahu.’ Bukan sebaliknya, jika dihina orang merasa apa salahku, bukankah aku telah menolong agama-Mu, aku tidak bebuat apa-apa kecuali berdawah saja, aku sudah empat puluh tahun jadi ustadz, kenapa aku jadi begini? Dia merasa berjasa kepada Allah, padahal semua datangnya dari Allah, jika demikian maknanya jahir menutup batin, makhluk menutup Kholiq atau ciptaan menutup Pencipta, tapi jika tutup (ghitho) itu dibuka namanya kasyaf, maka dia melihat atau menyaksikan keagungan Allah, ketunggalan Allah. Nabi,saw, tidak pernah membenci Abu Jahal, meskipun Abu Jahal membencinya, semakin benci maka semakin cinta, karena Nabi,saw, tidak mempunyai sifat buruk melainkan sifat mulia, kebaikan, bagaimana mungkin yang keluar keburukan, padahal yang beliau punya semuanya adalah kebaikan. Kasyaf dicapai bukan dengan tipuan, berdandan dan bersikap secara jahir seperti seorang waliyullah, itupun menurut pemahamannya, pakaiannya, jenggotnya, tasbihnya dan majelisnya. Padahal fana, kasyaf dan madad tadi tidak dapat dicari dengan sebab, bukan dengan dzikir, bukan dengan muroqobah, bukan dengan amal apalagi dengan tipuan. <br />
<br />
Seorang Aulia Allah ketika mereka ma’rifat atau mengenal Allah mengatakan ‘aroftu rabbi birabbi,’ aku mengenal Tuhanku dengan Tuhanku. Allah yang menganugerahkan akhlak, sifat maddad, atho ke dalam jiwa yang dipilihnya, tiba-tiba tumbuh didalam jiwa itu maqomat ruhiyah, sifat mahmudah, dan itu addalah sifat Allah, sifat itulah yang mengetahui Allah. Dia akan merasakan bahwa, dia mengenal Allah dengan anugerah Allah, hilang dianya, hilang akunya, maka sifat-sifat itulah yang menimbukan kasyaf, itulah yang dimaksud fana, ma’rifat atau syuhud. Allah menyaksikan diri-Nya dengan diri-Nya melalui ciptaan-Nya. Ada yang mengatakan bahwa hal ini adalah kasyful ghaib, tersingkap yang ghaib, bukan mengetahui jin, bukan terlihat muridnya sedang di Baghdad, bukan bisa mendengar pembicaraan orang di Hongkong, atau bisa melihat jiwa orang, melainkan dia menyaksikan semua dari Allah. Bukan menjadi orang aneh, bukan menjadi orang lain, melainkan memperoleh kelembutan, karena dia melihat semua Allah yang berbuat, dia tak akan pernah berhadapan dengan selain Allah. Bagaimana bisa membenci orang? karena keburukan itu adalah jelmaan sifat Qohr Allah. Contoh sifat Qohr Allah adalah bisa jadi orang tidak menghendaki sesuatu tetapi Allah menghendaki-Nya, berarti dipaksa oleh Allah, siapa yang ingin mati, siapa yang ingin dosa, siapa yang ingin susah, siapa yang ingin sakit, tetapi Allah takdirkan kepada setiap orang, itulah makna Qohr Allah. Bukankah semua itu menunjukkan Keagungan dan Kehebatan Allah, oleh sebab itu para syaikh sufi tawasul kepada ahli maksiat, ‘Aku tawasul kepada sifat Qohr-Mu yang Engkau timpakan kepada hamba ini ampunkan dosanya.’ Seseorang masuk tarekat mesti banyak mempunyai ilmu, mesti tambah rajin untuk belajar aqidah dan syariah agar cepat sampai. Kasyaf tidak dapat dicari dengan sebab apapun, memang Allah memberi begitu saja, selain membuang atau meninggalkan semua selain Allah, berarti shiddqut tawajjuh, dzikir untuk shiddqut tawajjuh, mujahadah untuk shiddqut tawajjuh, khalwat, suluk untuk shiddqut tawajjuh, bukan sibuk dengan lafadz dzikir yang bermain-main di pikirannya, yang bermain-main di emosionalnya. Ketika orang sedang mengajarkan dzikir ismudzat ‘Allah’ misalnya dengan pengaturan nafas itu sebenarnya sedang membangun shiddqut tawajjuh, bukan untuk memperoleh warna warni, atau nur yang mengalir di dalam dirinya lalu timbul ma’rifat, kecuali membuang semua selain Allah, shiddqut tawajjuh, dan tidak menoleh kepada yang berdosa dan yang taat, hanya menoleh kepada Allah. Juga tidak dapat diraih oleh berbagai pengakuan, misalnya mengaku keturunan nabi, mengaku keturunan wali, mengaku bahwa gurunya datang dalam mimpi, mengaku mimpi bertemu Nabi Khidir, melainkan Allah ingin memberinya kepada orang yang shiddiq. <br />
<br />
Barangsiapa yang menginginkan Allah, tanpa ada muqoddimah, tanpa ada rasa takut, tanpa ada hakikat tasawuf yang benar di dalam dirinya, yaitu betul-betul melepaskan diri dari makhluk, dan ingin Allah saja atau shiddqut tawajjuh maka harapannya akan menjadi sia-sia. Maka jadikan yang ada di depan hati, yang dipikirkan adalah mendapat istiqomah dan kesempurnaan ubudiyah, itu saja yang dipikir. Kemudian perbaiki istiqomah itu dengan mengikuti syariat, agar berpihak kepada kebenaran, kemudian memurnikan tujuan, memurnikan pandangan, membuang semuanya hanya Allah saja dengan meninggikan semangat, buang makhluk dengan himmah kepada Allah, dan selalu pautkan hati kepada Allah, itulah tasawuf. <br />
<br />
Semoga bermanfaat wallahualam bisawab.<br />
Gus Sentothttp://www.blogger.com/profile/11940008067402109720noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-996506657337930230.post-13962568816982348752020-03-08T15:52:00.000-07:002020-03-28T15:45:46.024-07:00ISTIQOMAHBismillaahir Rahmaanir Rahiim<br />
<br />
Manusia itu baru bersyukur manakala memperoleh nikmat dari Allah, yang berupa sesuatu yang sesuai dengan keinginannya. Padahal nikmat itu tampak dalam kesempurnaan manusia, dibanding makhluk lain. Manusia terdiri dari pada jasad dan ruh, dua pasang yang sempurna, inilah yang membuat manusia itu mulia. Manusia mempunyai potensi untuk memperoleh pangkat khalifah, dan kekuasaan berdasarkan ilmu dan penemuan-penemuan baru. Manusia dapat menundukkan bumi, lautan, hutan, gunung, binatang, semua berdasarkan ilmu yang Allah anugerahkan berupa kemampuan eksploitasi dan memanfaatkan alam semesta ini. Sedangkan nikmat yang utama adalah adanya potensi untuk mengenal dan mencintai Allah dan nikmat dalam kebangkitan nanti setelah mati dan balasannya kekal. Namun kebanyakan manusia lalai dalam mensyukuri nikmat-Nya.<br />
<br />
Andaikan manusia diminta setiap nikmat bayarannya berupa ibadah, maka adakah yang mampu membayaranya? Jika tuntutannya berupa itu, maka manusia akan menjadi makhluk yang paling dzalim terhadap diri sendiri. Membalas jasa orang tua saja tidak mampu, meskipun dengan semua harta yang dimilikinya. Maka mustahil manusia bisa membalas nikmat yang Allah berikan. Tetapi beruntungnya menjadi umat Baginda Nabi Muhammad,saw, bahwa dengan amal sedikit memperoleh balasan yang berlimpah, sedangkang dosa hanya dihitung terhadap bilangannya saja, dan Allah memaafkan kesalahan manusia oleh sebab berbuat baik kepada manusia lain, binatang, kepada orang tua, kepada semua ciptaan Allah. Bahkan jika Allah menimpakan musibah, maka akan digugurkan dosa-dosa. Dalam hadis diriwayatkan bahwa semua Nabi terdahulu memohon kepada Allah agar dijadikan umat Muhammad,saw, karena mengetahui betapa sangat di istimewakan oleh Allah, ironisnya manusia tidak pandai bersyukur.<br />
<br />
Dimasa sayidina Umar bin Khatab,ra, ada tukang kedai di pasar yang selalu berdoa Ya Allah jadikanlah aku hamba yang sedikit. Maksudnya adalah agar dijadikan kelompok yang bersyukur karena hanya sedikit manusia yang bersyukur. Sudah berlaku umum bahwa yang sedikit itu memang yang terbaik. Oleh karenanya, orang yang menginginkan Allah itu teramat sedikit, karena yang dikehendaki manusia adalah pemberian-Nya bukan yang Memberi. Jika Allah menghukum manusia disebabkan oleh apa yang diperbuat, maka tak ada satu makhluk pun tersisa di muka bumi ini. Dan kemampuan yang ada pada manusia bila digunakan untuk ibadah tak sebanding dengan pemberian nikmat-Nya. Seolah-olah memang tidak dapat dilakukan oleh tubuh ini, kalau tidak diberi ilmu dan kemampuan dari-Nya. Sehingga nikmat tidak mungkin terbayar oleh ibadah manusia, kecuali oleh orang yang dekat kepada-Nya, yang berbuat sedikit sudah memadai dengan semua nikmat-Nya.<br />
<br />
Kalau ditimbang amal dan syukur, maka manusia akan malu, jika punya malu, karena tidak semua manusia punya rasa malu. Karena sesungguhnya amal dan syukur manusia itu ilusi (wahm) atau tidak ada atau tidak hakiki. Melihat kepada riwayat para Ulul Azmi, yang memiliki azam, artinya mereka tidak melihat bahwa telah mampu bersyukur untuk nikmat yang paling kecil sekalipun, itu sebab mereka tidak berpikir bahwa ibadah ini akan dibalas surga, melainkan melakukannya hanya dari, dengan dan kepada Allah saja. Manusia jika diberi nikmat lalu mengucapkan Alhamdulillah selama seluruh hidupnya pun belum bisa membalas, tetapi jika menyaksikan bahwa nikmat adalah Allah yang menganugerahkan, maka niscaya lunas syukur itu. Tetapi penyaksiannya bukan dengan pikiran melainkan dengan ruhani (syuhud). Maka terkadang Allah membuat seseorang sakit atas dasar sifat Jamal-Nya, yang tujuannya bukan untuk menyiksa tetapi memuliakannya, akan tetapi manusia jika diberi sakit akan mengeluh dan menyesal tidak dapat mengaji, dzikir berjamaah, ke mesjid, ziarah kepada sesama saudara, dan merasa tidak dapat beramal sholeh. Padahal hakikat sakitnya adalah murni dari Allah dan apapun yang datang dari Allah pasti baik, didalamnya terdapat hikmah dan manfaat, sedangkan ibadah yang dilakukannya belum tentu diterima oleh Allah. Intinya adalah bagaimana beradab dan menyikapi pemberian Allah, sakit pun menjadi mulia kalau kita tahu adabnya, yang akan menggugurkan dosa dan mengangkat derajat. Oleh karenanya sedikit sekali manusia yang bersyukur terhadap hal ini.<br />
<br />
Ada kisah dari Sayidina Ibnu Abbas,ra, bahwa tiba-tiba rambut yang mulia baginda Nabi Muhammad,saw, cepat beruban, maka sahabat bertanya apa yang membuat engkau cepat beruban wahai Rasulullah? Jawaban Rasulullah SAW ‘Telah membuat aku beruban surat Hud dan saudara-saudaranya.’ Karena terdapat perintah Allah pada ayat ‘fastaqim kama umirta, artinya istiqomahlah seperti yang diperintahkan.’ Bagaimana umatku mampu melakukan perintah Allah lurus karena-Nya? Itulah yang Baginda Rasulullah,saw., pikirkan, karena umatnya banyak yang berbuat kebaikan namun riya, ujub, ingin balasan, sum’ah. Kita memberi pun jika orang tidak mengucapkan terima kasih lantas marah, hati bercakap ‘kamu ini tidak punya adab,’ padahal dengan berpikir seperti itu kita pun tidak beradab, karena telah mengaku kebaikan itu perbuatannya, padahal memberi itu adalah kehendak-Nya. Artinya yang membuat Nabi,saw, beruban itu perintah Istiqomah, umatnya dituntut untuk melakukan apapun secara istiqomah, dalam berpikir, dalam berkata, dalam berbuat, ketika bersama orang, ketika sendiri. Istiqomah adalah antara menyembah Allah dan menunaikan hak Allah, misalnya shalat adalah menyembah Allah sedangkan sholat dengan khusyuk itu menunaikan hak Allah, memberi adalah ibadah sedangakan memberi dengan ikhlas itu Istiqomah, artinya melaksanakan perintah Allah dengan beradab kepada-Nya. Jika seseorang dapat Istiqomah berarti telah mensyukuri nikmat, bukan bilangan ibadahnya tetapi ibadah yang betul-betul karena Allah, yang dilakukan dengan ruhani bukan jasmani saja.<br />
<br />
Syaikh Waasi' Achmad Syaechudin (semoga allah merahmatinya) berkata bahwa : ‘Istiqomah adalah keselarasan antara jasmani dan ruhani, apa yang jahir didalam perilakunya itu lahir dari batinnya’. Memberi itu bukan karena ada motifasi macam-macam, tetapi memang memberi itu lahir dari sifat dermawan, sifat-sifat Allah, sifat Mulia yang Allah tajallikan (wujudkan) kepadanya, Jika Allah berikan sifat dermawan itu kepada kita, lalu Allah perintahkan untuk memberi, maka kita akan memberi dengan sifat itu tanpa berpikir lagi, dan itulah syariat jahir dan hakikat batin. Jika tidak, maka melakukan ibadah itu berdasarkan pikirannya, berdasarkan teks yang dibacanya, berdasarkan kebiasaan jahir yang dilakukan sejak kecil, hatinya kosong tidak ada apa-apa, maka terasa berat ibadah itu, lalu akan mengaku-aku, bahwa aku sudah memberi kepada si anu, kepada si fulan, dan lain sebagainya. Nah itu mengaku-aku memberi, padahal Allah yang menggerakannya. Sesungguhnya Allah yang menangani manusia ‘al inayah al ilaahiyah,’ oleh sebab itu keterangan didalam syariat tentang sabar, syukur, ridha, tawakal itu adalah sifat Allah, dan barang siapa telah ditajallikan sifat-sifat mulai ini, maka akan mempunyai istiqomah, berarti sedikit sekali manusia yang istiqomah seperti juga manusia yang bersyukur. Sehingga akan merasa bahwa mensyukuri nikmat itu tidak ada batasnya, karena syukur itu salah satu asma Allah, maka orang yang diberi pemahaman akan selalu bersyukur atas syukurnya, terus tidak terbatas, maka menyaksikan bahwa semuanya dari, dengan dan untuk Allah, inilah syukur yang hakiki.<br />
<br />
Semoga bermanfaat wallahualam bi sawab<br />
Gus Sentothttp://www.blogger.com/profile/11940008067402109720noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-996506657337930230.post-84288274572430218812020-03-07T17:16:00.002-08:002020-04-04T06:55:09.164-07:00PEMAHAMAN YANG SALAHBismillaahir Rahmaniir Rahiim<br />
<br />
Salah satu kesalahan murid dalam bertarekat adalah menganggap bahwa syaikh atau gurunya itu adalah orang yang suci dan jernih secara sempurna dan selalu dalam keadaan yang demikian, sehingga kalau syaikh melakukan kesalahan, murid akan kecewa. Padahal kesalahan itu bukan ada pada gurunya, melainkan ada pada sang murid dalam memahaminya. <br />
<br />
Dikatakan bahwa yang ma’sum hanyalah para nabi, maka tidak ada yang lain tanpa melakukan kesalahan termasuk para syaikh, mursyidin dan para arifin. Karena kesalahan itu banyak memberikan i'tibar atau pelajaran, ada kesalahan secara sar’i, ada kesalahan dalam arti tidak sependapat dengan orang lain. Banyak orang menganggap jika tidak sependapat dengannya dikatakan salah, jika demikian maka sayidah Aisyah,ra, sering mengatakan bahwa Nabi,saw, salah, misalnya dalam sholat kelebihan atau kekurangan rakaat, hakikatnya Nabi,saw, tidak lah salah, melainkan mengajarkan bagaimana cara untuk memperbaiki kesalahan, karena syariat Islam datangnya dari beliau. Begitu juga para syaikh terutama seorang mursyidin, adalah manusia yang dapat melakukan kesalahan, namun kesalahannya merupakan qudwah bagi murid-muridnya, qudwah bagaimana cara melakukan pertaubatannya. Yang dimaksud bahwa seorang syaikh tidak pernah salah, adalah mereka selalu bertaubat didalam tarikan nafasnya. Karena Nabi,saw, bersabda orang yang bertaubat sama dengan orang yang tidak berdosa, mereka sudah terlatih sejak mula-mula menjadi murid, mereka membaca istighfar pagi dan petang, bukan istighfar secara lisan saja, tetapi betul-betul memohon ampun. Ketika mereka telah ma’rifat, syuhud atau lebih dikenal memiliki mahabbah, maka mereka selalu dalam keadaan memohon ampun kepada Allah. Sehingga bersih dari kesalahan, ada hadits Rasulullah saw yang mengatakan bahwa jika Allah mencintai seorang hamba, maka dosa hamba itu tidak merusaknya, tidak memudhorotkannya. Karena Allah telah membagi cinta-Nya kepada hamba itu. Jika seseorang mempunyai sahabat yang kesalahannya banyak, tetapi karena ada ikatan cinta, maka cinta akan menutupi kesalahannya, tetapi jika sudah didasari kebencian, maka kebaikan yang banyak pun akan dianggap buruk, malah berbuat baik dianggap salah.<br />
<br />
Bisa jadi para murid telah dipahami oleh pemahaman yang yang bersifat tradisi tentang syaikh, tentang arifin, sehingga kecewa ketika melihat mereka melakukan kesalahan, kecewa sekali. Kesalahan dalam pemahaman ini, boleh jadi dilakukan juga oleh orang berilmu, karena tidak mengerti tentang hakikat mursyid ruhiyah, apalagi kalau kesalahan itu adalah kesalahan yang dinyatakan oleh syariah, padahal kesalahan itu hikmah. Jika kita mengutip perkataan para syaikh sufi bahwa dosa itu indah, dosa itu baik, maka orang akan lebih salah lagi memahaminya. Kalau kesalahan itu mukhalafatu syariah, maka ada ayat didalam Al Qur’an : ‘Innallāha yuḥibbut-tawwābīna wa yuḥibbul-mutaṭahhirīn. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang mensucikan diri. (QS 002 : 222), Ampunan-Nya terbuka dan Allah menganjurkan untuk selalu bertaubat dan telah menyediakan doa-doa taubat. Dosa bagi para syaikh dan arifin adalah manakala tidak berhasil mengingat-Nya, tidak memiliki rasa rindu kepada-Nya, tidak jujur kepada Allah, bahkan mereka mengatakan siksaan yang paling pedih adalah manakala Allah tidak memberikan akhlak mulia. Memang berbeda jika melihat dari sisi hakikat dan melihat dari sisi syariat, dan lebih lagi bila dicampur lagi dengan akal yang terbatas. Agama makin sempit bila dilihat hanya dari segi amal jahir saja, tidak melihat bagaimana kemurahan dan kasih sayang Allah. Para syaikh sudah bicara tentang kasih sayang, itu sebab mereka para mursyid mempunyai ampunan yang lebih besar daripada kesalahan yang diperbuat oleh muridnya. Tetapi murid sering memahaminya secara salah, karena pemahaman agama yang masih sempit. <br />
<br />
Yang dimaksud dengan kesucian atau kebersihan hati atau sofa qolbu adalah qolbu yang jernih dari pengaruh sifat nafsu seperti sombong, bohong, riya, ujub, sum’ah, iri, dendam, dan lain sebagainya. Seorang murid tidak akan mampu membayangkan bahwa para mursyid itu tidak lagi punya sifat buruk, sulit diterimanya karena sang murid gudang sifat buruk. Meskipun seorang murid shalat di tengah malam, dibilik gelap dan dikunci rapat sehingga tidak ada yang melihat dan tidak ada yang mendengar, tetapi pasti masih melihat pengakuan diri, sedangkan para mursyid itu selamat dari dua pandangan melihat orang dan melihat diri. Nah, tujuan daripada bertarekat itu adalah mengalihkan yang selama ini tujuannya makhluk kepada Allah. Oleh karenanya jika orang yang bertarekat meskipun sudah lama, tetapi belum memulai memindahkan tujuan ibadahnya dari selain Allah kepada Allah, maka dia belum mulai bertarekat, sebaliknya bila seseorang sudah mengalihkan pandangannya maka hakikatnya dia sudah bertarekat meskipun belum bai’at. <br />
<br />
Ada sebuah kisah di Banten, seorang Syaikh, di dengki oleh orang, dihasut, disakiti, murid-murid yang di sekitarnya menyaksikan, sehingga murid-muridnya tahu siapa yang menyakiti gurunya, tiba-tiba muridnya memusuhi orang yang menyakiti gurunya, sedangkan gurunya tidak pernah membalasnya jahir ataupun batin. Muridnya menyaksikan gurunya sangat sabar, seolah tidak terjadi apa-apa. Sehingga muridnya pun berkata kepada guru 'usir saja dia dari pengajian, tidak pantas bertarekat seperti itu', gurunya malah marah dan menegur muridnya. Orang yang menyakiti bertobat, dan gurunya menerima, sedangkan murid-muridnya tidak terima. Dari contoh ini, murid-murid seperti itu tidak menyadari bahwa mereka memiliki guru tarekat, pembimbing ruhani, mereka tidak tahu dan menyadari sebetulnya apa yang mereka ingin ambil dari gurunya, padahal mereka menyaksikan betapa gurunya sangat sabar, terhadap musibah yang menimpanya, mereka menyaksikan itu, tetapi tidak dapat mengambil 'ibrah ruhaniyah' gurunya, mereka tidak tahu maknya yang sebenarnya bersahabat dengan guru, apa yang sebenarnya mereka ingin ambil. Ketika gurunya wafat, orang itu pun menjadi musuh bebuyutan. Mengapa mereka tidak mencotoh gurunya untuk terus mengajak kepada kebaikan? Artinya meskipun mereka mengaji tasawuf dalam waktu yang lama tetapi tidak memperoleh waris ruhani dari gurunya. Mereka tidak mengerti suluk, arti suluk dalam hal ini adalah, tarbiyah ruhiyah, tasawuf, agamanya hanya teks dan taklid buta saja. Ini adalah pemahaman yang salah dan merupakan musibah jika agama kehilangan tasawuf, semua disamakan dengan amal jahir. Padahal orang yang mengurus batin akan secara otomatis mengurus jahirnya sedangkan orang yang mengurus jahir membiarkan batinnya.<br />
<br />
Semoga bermanfaat wallahualam bisawab.<br />
Gus Sentothttp://www.blogger.com/profile/11940008067402109720noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-996506657337930230.post-74636822524302345632020-03-06T02:46:00.001-08:002020-03-06T13:41:00.359-08:00ISTIGHFARBismillaahir Rahmannir Rahiim<br />
<br />
Syaikh Waasi’ Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) pernah berkata pada saat perayaan mauwlid Baginda Nabi Muhammad,saw, bahwa : ‘Barang siapa masih merasa ada maka muroqobah ahadiyahnya batal.’ Ini adalah bahasa ruhani yang dijadikan bahasa jasmani, sehingga perlu penjelasan agar tidak disalah artikan.<br />
<br />
Istilah di dunia tasawuf seperti kehidupan di lautan, agar bisa berkomunikasi secara dewasa maka harus menyelam didalamnya. Karena mereka berbicara hakikat sedangkan hakikat tidak ada bahasanya. Contoh, seseorang ingin membuat kue yang bahannya terbuat dari angin dan api, hal ini adalah khayal karena sesuatu yang tidak mungkin, meskipun khayal mesti menggunakan bahasa yang dikenal, seperti kue, angin dan api. Sedangkan di alam haikikat tidak ada, oleh sebab itu perumpamaan yang dibuat oleh syaikh sufi sulit dipahami bagi orang yang tidak menyelam dilautan ruhani. Tasawuf memang dicipta oleh-Nya bagi orang yang dewasa dalam beragama. Didalam Al Qur’an pun dikatakan bahwa perumpamaan-perumpamaan hanya bisa dipahami oleh orang yang berakal, ‘Watilka al-amtsaalu nadhribuhaa lilnnaasi wamaa ya’qiluhaa illaa al’aalimuuna, dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia, dan tidak ada yang akan memahaminya kecuali mereka yang berilmu. (QS 29 : 43). Meskipun orang yang sudah bertarekat, bertasawuf bertahun-tahun lamanya pun tetapi tidak menyelam dan hanya taklid saja, maka mereka tidak mampu memahaminya. Seorang sufi mengatakan bahwa Allah hanya bisa dikenali dengan ilmu bukan dengan kebodohan.<br />
<br />
Seperti kitab insanul kamil karya Syaikh Ibrahim al Jilly,qs, pernah dikatakan syirik oleh beberapa ulama di Indonesia, setelah adanya pertemuan dan penjelasan dari ulama tarekat, barulah mereka bisa memahaminya. Begitu pula kitab-kitab karya Imam Ibnu Arabi,qs, sangat sulit dipahami. Oleh karenanya jangan pernah berbicara hakikat di depan orang awam, karena bisa menjadi fitnah.<br />
<br />
Syaikh Abdul Ghani An-Nabulsi,qs, yang tinggal di Suriah (1641-1731) adalah murid dari Syaikh. Ahmad Khotib as Sambasi,qs, di Mekkah pendiri tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah. Beliau mengajar tasawuf di Masjid Umayyah di Damaskus, Suriah, kemudian melakukan safar ke beberapa negara. Untuk menjelaskan Ahadiyah beliau membuat ilustrasi tentang cermin. Dikatakan, bila kita berdiri di cermin maka akan muncul gambar kita, semua gerak kita nampak juga dalam cermin itu. Nah jika perintah untuk gerak itu datang dari pikiran kita, maka yang melaksanakan gerak itu kita sendiri bukan gambar itu, meskipun gambar itu bergerak, ketika gambar itu merasa bahwa dia yang melaksanakan perintah kita, maka itu dosa karena dia merasa ada. <br />
<br />
Allah SWT yang dapat dikenali oleh manusia terdiri daripada Zat, Sifat, Fi’il dan Intial, intial ini adalah ciptaan. Ketika Allah SWT sudah melaksanakan keinginan dari diri-Nya untuk mengerjakan isi ilmu-Nya maka Allah kerjakan, kemudian jahirlah makhluk yang disebut intial. Intial yang sempurna adalah manusia, dicipta mempunyai zat, sifat dan fi’il dan punya intial pula, sesuai dengan citra-Nya. Akan tetapi semua ciptaan Allah adalah wahm (ilusi) bukan hakiki, oleh sebab itu yang dihasilkan oleh yang wahm pastilah wahm (ilusi) juga, semakin lama semakin jauh dari hakikat. Oleh sebab semakin jauh dari hakikat maka manusia semakin merasa ada, yang pada akhirnya merasa bahwa dialah yang dapat melaksanakan perintah Allah, disinilah permulaan dosa. Ditengah suratul Fatihah dikatakan ‘Iya kana budu wa iyya kanasta'inu,’ ibadah syariatnya dari-Mu untuk melaksanakannya pun kekuatan dari-MU atau la haula wala quwwata illa billah. tidak ada daya untuk melaksanakan perintah-Mu, tidak juga kekuatan untuk menjauhi larangan-Mu, kecuali dengan anugerah-Mu, Al Inayah al Ilahiyah. Artinya ibadah itu menggunakan kekuatan ruhani yang Allah berikan, yang Allah tajallikan, tanpanya manusia menjalankan perintah-Nya hanya dari pikiran saja, meskipun akan memperoleh pahala, tetapi hidup di dunia ini bukan untuk pahala, melainkan untuk mengenal Allah. Yaitu dengan membangun ruhani atau peradaban Tuhan bukan peradaban kauniah, itulah jalan yang lurus dalam beragama. Oleh sebab itu orang yang sudah sampai pada keadaan ini akan beristighfar dari pengakuan terhadap semua ibadahnya dengan menyebut ‘astagfirullah min wujudi,’. Ada seorang sufi yang yang beristighfar : ‘Ya Allah aku mohon ampun dari tidak jujurnya aku membaca istighfar kepada-MU.’ Jadi dia istighfar dari istighfar. Karena memang orang yang bertarekat itu bukan bertaubat dari dosa, melainkan bertobat dari berbuat dengan dirinya. <br />
<br />
Syaikh Abu Yazid Al Busthomi,qs, pernah bercerita tentang mempinya ketika bertanya : ‘Bagaimana aku Mengenal-Mu?’ Ada suara menjawab : ‘Tinggalkanlah dirimu.’ Ini adalah percakapan orang dewasa yang lain dalam beragama, ‘Tinggalkanlah dirimu,’ karena kebanyakan manusia memandang bahwa dirinya itu hanya tubuh atau jasad saja, jika demikian maka manusia sama dengan kerbau, anjing, babi, monyet, ular, buaya. Sedangkan para sufi menambahnya dengan ruhani, sifat ruhani adalah malaikat, kebaikan, Nur Jamallullah, rohimiyah. Maka jika manusia memandang dirinya, bukan dengan pikirannya, bukan dengan matanya tetapi dengan ruhaninya, maka dia telah keluar dari dirinya, dia sudah meninggalkan dirinya, karena ketika dia menggunakan cahaya ini, dia tidak merasa ada, dan menyaksikan suratan hidupnya detik demi detik itu adalah jelmaan sifat dan asma Allah, sehingga membuat dia fana atau tidak ada. Maka setiap hari yang diperangi adalah kehidupan jasad ini, karena didalam jasad ini ada nafsu, nafsu inilah yang nanti akan merasa bahwa diri ini ada, sehingga ketika keluar dari dirimu maka artinya engkau memandang dengan pandangan Tuhan, pandangan Tuhan ini cahaya yang Allah anugerahkan kepada ruhani, kalau dalam tarekat disebut maqomat ruhiyah, hakikat Muhammadiyah, hakikat robaniyah, asror ilahiyah, kalau dalam syariat disebut akhlak karimah. Seseorang jika mendapatkan cahaya ini maka ada pengakuan kepada Allah, mereka mengatakan ‘aku melihat Tuhan melalui takdir jasadku dengan cahaya Tuhanku’, maka yang di dinampak dan yang menampak semuanya tajalli Allah, apabila begini pandangannya, maka dia baru bertauhid, dia keluar dari dirinya. Karena yang mentauhidkan Allah itu hanya Allah, ketika Allah berikan Cahaya ke rohani, maka orang memandang dengan rohani Tuhan itu, sebagaimana Nabi,saw, bersabda ‘ Ittaqu firosatul mu’mina, fa innahu yanzhuru binurillah, berhati-hatilah terhadap firasat orang mukmin, karena sesungguhnya ia melihat dengan cahaya Allah.’ Nah itu adalah tauhid, maka tauhid baru nyata, jika telah dapat membebaskan diri dari perangkat jasad ini, maka akan nampak bahwa tubuh ini ‘Huwa’ bukan aku, lalu kita melihat tubuh orang lain ‘Huwa’ bukan huwa selain Allah, aku kamu tidak ada, yang ada hanya Dia, artinya semuanya Allah, tapi ini bukan dengan pikiran meskipun kita sudah paham menghafal ilmu hakekat dan mengerti tentang ini.<br />
<br />
Orang yang tenggelam didalam muroqobah Ahadiyah, tauhidnya akan benar, jika ditampar pipinya pun tidak marah, tidak ada pembelaan kepada diri, jika marah berarti masih ada aku. Jika seseorang membuang bangkai hinaan sebesar apapun kelautan tauhid, maka sedikitpun tidak akan mencemarinya, tidak akan rusak, bahkan keluarnya jadi bersih, karena dia memandang semua satu atau al kasrah fil wahdah. Maka jika sudah meninggalkan diri, selamat dari belenggu ini, murni hidup dengan ruhani, akan tersingkap bahwasannya Dia itu Allah, setiap saat akan beristighfar, karena diri ini selalu akan kembali kepada nafsu, selalu aku, tidak Allah, coba jika kita dihina orang akan keluar 'aku', kita disakiti akan keluar 'aku'. Syaikh sufi memandang orang yang berbuat buruk kepadanya, akan berkata bahwa orang itu sedang menyuarakan isi keburukannya, tidak ada urusannya dengan aku, karena orang jika baik melihat orang buruk pun baik, jika orang buruk melihat kebaikan pun buruk, jadi tidak pernah ahli tauhid itu marah karena diburukkan, malah secara syariat senang, kenapa? karena yang menggibah itu kebaikannya akan Allah berikan kepadanya dan keburukkannya akan diberikan kepada dia, dengan pandangan batin itulah ‘annahu huwa la anta’, maka dia istighfar bukan dari dosa tetapi dari sumbernya, apa? aku, astaghfirullah min wujudi anna, karena sumber dosa itu 'aku' ada, sumber dosa itu merasa ada. <br />
<br />
Semoga bermanfaat wallahualam bisawab<br />
Gus Sentothttp://www.blogger.com/profile/11940008067402109720noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-996506657337930230.post-64454381492439197932020-03-05T02:26:00.001-08:002020-03-05T03:03:55.217-08:00UZLAHBismillaahir Rahmaanir Rahiim<br />
<br />
Uzlah adalah salah satu istilah dalam tasawuf, banyak sekali istilah-istilah yang bermunculan didalam di dunia tasawuf, karena mereka menjalani dan mengalami keadaan spiritual dengan jalan penyaksian atau syuhud. Sehingga sesuatu yang dirasakan di alam ruhani tidak ada kata-kata yang dapat mewakilinya untuk disampaikan, oleh sebab itu para syaikh sufi membuat terminologi agar dengan mudah dipahami oleh murid-muridnya.<br />
<br />
Para syaikh sufi sepakat bahwa untuk merusak konsentrasi nafsu dan menghapus dampak nafsu yang berada didalam hati adalah dengan cara riyadhah, yaitu memotong perilaku yang menjadi kebiasaan dalam menjalani kehidupan setiap hari dengan jalan sedikit makan, sedikit tidur, sedikit bicara dan sedikit bergaul dengan orang. Nafsu itu ciptaan Allah, adalah sifat yang tumbuh dari tubuh ini, jadi semua orang punya nafsu, meskipun sudah hafal al Qur’an, hafal hadist dan sudah menjadi ustadz. Allah menciptakan nafsu itu agar manusia dapat menikmati hidup, merasakan kesenangan. Selama tubuh ini ada, maka nafsu itu akan tetap ada. Manusia sejak kecil hingga dewasa walaupun sudah menjadi kyai pun selama belum mempunyai sifat ruhani, maka semua amal ibadahnya dilakukan oleh sifat nafsu. Artinya apa yang dilakukan itu keluar dari pikiran, sehingga ibadahnya untuk dirinya sendiri bukan untuk Allah, ilmu dan amalnya menjadi hijab baginya.<br />
<br />
Kebanyakan orang gemar membaca kitab karya para Aulia Allah dari sisi mistisnya saja, atau cerita yang aneh-aneh. Tidak menelaah atau memahami manhaj yang telah dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Bahkan tidak sedikit yang menghafal wirid dan cara pengobatan dari kitab primbon atau mujarobat tetapi mengaku ahli ruhani, lalu mengajarkannya kepada orang lain dengan dibumbui sedikit terminologi tasawuf. Ironis, denganya banyak orang percaya dan mengikutinya serta menyebut sang pengajar sebagai guru atau syaikh. Inilah inti persoalannya, orang yang tidak mempunyai ruhani mengajar ruhani, atau orang yang tidak mempunyai ma’rifat berbicara hakikat, sehingga pengikutnya tidak menerima waris ruhani dari gurunya, melainkan nafsu yang memimpin amal dan ibadahnya. <br />
<br />
Dalam kasus sosial, bila orang melanggar hukum akan dijauhkan dari masyarakat atau mendekam dalam penjara. Hukum fiqih pun mengatur jika seseorang sudah keterlaluan atau melampaui batas maka akan dibuang ke tengah-tengah hutan, agar tidak membahayakan orang lain. Saat ini pun orang yang terjangkit virus flu corona akan dikarantina, artinya bahwa dari semua sektor kehidupan menjauhkan dari orang lain itu merupakan solusi. Atau contoh lain, misalnya pelukis, pemikir, penulis, seniman, arsitek, mereka banyak menghabiskan waktu untuk menjauhkan diri dari orang lain dan hidup hanya dengan pikirannya saja, guna membangun ide berpikir, untuk memperoleh inspirasi atau untuk mendapatkan solusi. Para penempuh jalan spiritual juga demikian, selalu merasa sendiri dengan pikiran namun berikut hatinya dan tidak harus meninggalkan tempat ramai, inilah yang disebut sebagai uzlah, namun jika dilakukan dengan menyendiri atau menjauh dari keramaian orang banyak disebut sebagai khalwat. <br />
<br />
Jika nafsu sudah menjadi pemimpin dan berlangsung lama, maka hati akan terbungkus oleh noda hitam yang tebal, sehingga gelap dan membuat samar-samar ruhaninya dalam ‘melihat’ Tuhan. Ketika guru spiritual atau syaikh sufi menyuruh uzlah kepada muridnya, berarti sedang memberikan terapi atau solusi spiritual guna menghapus noda yang tebal tersebut. Tasawuf, tarekat, memang selalu menggunakan perkara yang makbul, yang tidak melanggar nilai-nilai sosial, nilai-nilai agama, nilai-nilai akal. Imam Ibnu Athoilah,qs, berkata bahwa tidak ada sesuatu yang berguna untuk hati seperti uzlah, karena uzlah membawa hati kepada luasnya pikiran, memikirkan yang paling hakiki yaitu Allah, selain Allah tidak hakiki, berpikir selain Allah adalah khayal atau ilusi. Jika melihat perilaku orang lain dengan pandangan bahwa itu adalah kehendak Allah, maka itu adalah hakiki, tetapi jika memandangnya dilakukan oleh orang itu saja, maka sesungguhnya khayal. Orang jika dihina oleh orang lain, spontan marah dan meledak-ledak, matanya memerah, mulutnya mengeluarkan surara yang keji, sulit memaafkan, maka dia sedang mengeluarkan marah kepada khayal kepada ilusi kepada bukan yang hakiki, karena hakikatnya Allah yang menghendaki. Mengapa orang rajin shalat rajin dzikir tetapi ghibah, adu domba, benci dan hubud dunya jalan terus? Artinya bahwa ibadahnya tidak membentuk ‘manusia’ di hati, tidak mepunyai akhlak dihatinya, sholat dan dzikir yang telah dilakukannya selama ini dengan nafsu. <br />
<br />
Uzlah itu ada dua, dengan pikiran dan dengan hati, uzlah yang dianjurkan syaikh sufi adalah uzlah hati, apa manfaatnya uzlah, bukan untuk dirinya, bukan pula untuk orang yang menjadi teman dan sahabat atau muridnya saja, melainkan untuk semua orang. Perumpamaan uzlah bagi oran awam adalah sama dengan orang yang sedang dalam karantina di rumah sakit yang sedang dalam proses penyembuhan, kalau sudah sembuh maka akan bermanfaat untuk dirinya, temannya dan semua orang. Begitu pula hati, dengan jalan uzlah maka akan terhapus bekas noda nafsunya yang tebal, sambil juga mengekang bisikan nafsu yang baru. Oleh karenanya para syaikh sufi percaya bahwa Allah akan menjadikan sebuah energi bagi orang yang sedang melakukan riyadhah dan mujahadah, atau kepada orang yang berkesinambungan mewiridkan sedikit makan, sedikit tidur, sedikit bicara dan menjauhi bergaul dengan orang banyak. Maka ibadah yang dia lakukan itu, pahalanya akan Allah berikan kepada jiwanya, berupa cahaya atau sifat-sifat ruhani atau maqom ruhiyah. Orang yang tidak mujahadah dan riyadhah tidak dapat merasa bahwa nafsu adalah musuhnya, maka semua ibadahnya dilakukan dengan nafsu. Oleh karenanya didalam tasawuf, guru selalu mengatakan kalau dihina orang, diam saja, kalau beroleh musibah bersabar, kalau sholat harus khusyu, sehingga bagi ahli uzlah perihal diam, sabar, dan khusyu akan secara otomatis keluar dari ruhaninya, karena sudah merupakan sifat baginya.<br />
<br />
Demikian semoga bermanfaat wallahualam bisawab.<br />
Gus Sentothttp://www.blogger.com/profile/11940008067402109720noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-996506657337930230.post-75390924160114917402020-02-22T01:43:00.003-08:002020-03-22T20:55:04.661-07:00ILMUBismillaahir Rahmaanir Rahiim<br />
<br />
Seorang murid tarekat berkata : ‘Tidak penting ilmu bagiku, yang utama adalah taklid kepada guru dan melaksanakan pekerjaan tarekat, yaitu dzikir dan mujahadah.’ Pernyataan murid ini salah, dia kira hanya dengan taklid kepada guru bisa mencapai tujuan, padahal Allah hanya bisa dikenali dengan ilmu bukan kebodohan (jahl). Manusia merasa gagah hidup di dunia ini, sesungguhnya akal yang mengatakan itu, jika akalnya hilang tak ubahnya seperti binatang berkaki dua. Maka akal adalah alat untuk membedakan sesuatu itu baik atau buruk dan bermanfaat atau memberikan mudharat, oleh sebab itu akal wajib selalu diberi asupan ilmu, untuk memperoleh cahaya agar jelas melihat sesuatu. <br />
<br />
Ulama terdahulu mengatakan ‘sedikit ilmu asal bermanfaat’, maksudnya bukan merasa cukup meskipun sedikit ilmu melainkan jangan menunggu ilmu yang diperoleh bertumpuk, tetapi segera amalkan meskipun sedikit. Jika ilmunya sedikit maka amalnya juga sedikit, karena amal membutuhkan ilmu sebagai pemimpinnya, bila tidak akan sia-sia amalnya meskipun sebanyak buih dilautan. Dilingkungan kita, ada keluarga, tetangga, dan teman, kita membutuhkan ilmu untuk beramal, karena menurut syariah perlakuan kepada mereka berbeda-beda. Amal bisa diartikan sebagai aktifitas yang menggunakan naluri dan pikiran baik, dan nilai-nilai kebaikan itu mesti berdasarkan akal, dan akal memerlukan ilmu. Nah, ini yang dimaksud dengan berakal, bukan hanya untuk mengetahui baik dan buruk saja, melainkan mengetahui dampak buruk atau akibat dari sesuatu perbuatan. Sampai ditahap inilah batas akal, untuk pergi lebih jauh dari itu akal tidak sanggup, harus menggunakan batin, atau menggunakan hati yang bersih, ma'rifat, firasat, bahasa hadisnya <i>‘ittaqu firasatal mu’mina, yangzhuru bi nurillah’ berhati-hatilah dengan firasat orang mukmin karena dia memandang dengan cahaya Allah.</i> Jika akal dipaksakan melebihi ini, maka masuknya ke dalam khayal, karena wilayah yang tidak dapat dijangkau oleh akal itu adalah hakikat, makin hakikat maka semakin tidak dapat dijangkau oleh akal. Oleh karenanya, menurut ahli hakikat apa yang dicapai oleh akal adalah khayal, tetapi menurut ahli aqli adalah hakikat. <br />
<br />
Saking pentingnya ilmu didalam tasawuf maka dua buah kitab yang masyhur karya Imam Hujwiri,qs, dan Sayid Abdul Qodir al-Jilani,qs, diawali dengan bab ilmu. Ilmu itu hanya bisa dipahami oleh orang yang mempunyai akal, oleh karenanya pintu ma’rifat adalah akal dan baru kemudian ruhani, seluruh kitab-kitab tasawuf atau pemilik maqomat menyatakan demikian. Hanya orang gila yang tidak memerlukan ilmu karena akalnya hilang. Sesungguhnya didalam kholaqoh tarekat pun terdiri dari majlis ilmu dan majlis dzikir, sehingga bisa dikatakan bahwa pengajaran (ta’lim) dan pendidikan (tarbiyah) adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, seperti melihat dan mata, tidaklah mungkin orang melihat tanpa mata, tetapi kalau mata tidak melihat, apa manfaatnya? Sebelum ritual dzikir dimulai biasanya guru kami Syaikh Waasi’ Achmad Syaehudin (semoga Allah merahmatinya) memberikan tauziah berkenaan dengan ilmu yang berhubungan dengan tasawuf, meskipun ada tarekat yang melakukan sebaliknya, dimulai dzikir dahulu lalu tauziah. Ta'lim seluruhnya adalah untuk akal sedangkan tarbiyah untuk ruhani, sehingga dikatakan bahwasanya ilmu itu tidak menjadikan taqwa, karena ilmu itu mengetahui sesuatu berdasarkan hakikat, sedangkan hakikat sesuatu ada pada hati. Ilmu akan melahirkan hakikat manakala diamalkan, hakikat adalah nur. Bisa jadi orang hafal al Qur’an tetapi belum memperoleh maknanya karena belum mengamalkannya, jangankan perintah yang lain, sholat saja berat untuk diamalkan, kecuali bagi orang yang ruhaninya lebih dominan daripada nafsunya. Imam Bukhari,ra, misalnya ketika ditanya oleh Imam Muslim,ra, bagaimana engkau menulis hadits itu? Dijawab : ‘Aku hafalkan, Aku amalkan dan baru Aku tuliskan, dan Aku tidak menulis sebelum Aku amalkan.’ <br />
<br />
Hakikat ilmu di dunia tasawuf disebut sebagai maqomat, sedangkan hakikat ilmu lahir dari pengamalan ilmu, oleh sebab itu jangan mentang-mentang sudah bertarekat dan berdzikir serta mujahadah, beranggapan bahwa ilmu itu tidak berguna. Syaikh Ibnu Athoilah,qs, mengatakan bahwa barang siapa belajar ilmu dan memahaminya, seperti mencium baunya ma'rifat, wanginya hakikat. Nah, kalau mencium wanginya saja tidak, bagaimana mendapatkannya? Ilmu adalah salah satu sifat Allah SWT, bahkan orang yang punya ilmu saja tanpa memenuhi hak-haknya, itu pun di akhirat tidak disiksa, oleh sebab itu syaikh sufi selalu mengajarkan muridnya untuk menguasai ilmu terlebih dahulu, baik dengan cara membaca atau ta’lim. Didalam salah satu karya Imam Ibnu Arabi,qs, menjelaskan bahwa nanti di yaumil akhir para ahli ilmu merasa takut akan ditanyakan tentang kewajiban mempunyai ilmu, disaat itu para ulama tertunduk dan wajahnya memerah serta malu dihadapan Allah, lalu Allah SWT berkata : ‘Aku letakkan ilmu-Ku kepadamu bukan untuk Aku siksa, hari ini Aku berikan ampunkan bagi semua pemilik ilmu.’ Itu baru dapat ilmu, bagaimana kalau dapat Allah? Yang artinya bahwa jangan berhenti membaca, menulis dan mengkaji ilmu saja melainkan pengamalannya lebih diutamakan. Sebagaimana riwayat Imam al Ghazali,ra, setelah menemukan guru tasawuf dan melakukan khalwat, beliau berkata : ‘Dulu aku membuang-buang masa.’ Kita bisa bayangkan meskipun beliau sudah menjadi mujtahid mutlak namun pada saat belum bertasawuf beliau mengatakan bahwa telah membuang-buang masa. <br />
<br />
Demikian semoga bermanfaat wallahualam bisawab.<br />
Gus Sentothttp://www.blogger.com/profile/11940008067402109720noreply@blogger.com0