Selasa, 12 Juli 2016

JIWA DAN RAGA

Bismillahir Rahmaanir Rahiim

Sayyidina Ali bin Abu Thalib,ra., berkata : ‘Aku dan jiwaku adalah seperti seorang gembala dan domba-dombanya. Setiap kali aku mengumpulkan mereka dari satu sisi, mereka berlarian ke arah lain.’

Istilah jiwa dan raga sangat popular di Indonesia, sungguh sangat tepat! Memang jiwa tidak bisa dipisahkan dengan raga, ia bersahabat, apapun kebutuhan jiwa maka raga akan mendukungnya, tubuh sebagai alat jiwa untuk mewujudkan keinginannya. Ada istilah latin yang mengatakan ‘Mens sana in corpore sano’, yang artinya adalah ‘Jiwa yang sehat dalam tubuh yang sehat.’ Maksudnya didalam tubuh yang kuat terdapat jiwa yang sehat, begitu pula sebaliknya. Rasulullah,saw., tidak mengkaitkan antara tubuh yang sehat dengan sebuah jiwa, melainkan mengkaitkan antara keadaan hati yang baik dengan tubuh, sebagaimana sabdanya : ‘Ketahuilah, sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal daging, jika segumpal daging itu baik, maka akan baik seluruh tubuh manusia, dan jika segumpal daging itu buruk, maka akan buruk seluruh tubuh manusia, ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati manusia.’ Jika bangunan tubuh manusia adalah sebuah singasana atau istana, maka hati adalah rajanya dan jiwa adalah permaisurinya. Jika raja baik, bijaksana dan adil maka seluruh tubuh akan baik pula dan sebaliknya. Namun faktanya tidak demikian, karena setiap perintah raja akan di tentang oleh sang permaisuri.

Istilah ‘Mens sana in corpore sano’ sangat dipercaya, sehingga manusia berlomba-lomba menyehatkan raganya agar jiwanya turut sehat. Padahal jika raga mengikuti kemauan jiwa maka akan semakin gelap hatinya dan sebaliknya jika raga menolak mengikuti kemauan jiwa maka hatinya akan bercahaya. Nah, jika dikaitkan dengan hadis yang mulia Nabi,saw., maka menolak kemauan jiwa merupakan kunci baiknya seluruh tubuh manusia. Adalah sholat, sebagai bukti meluangkan waktu sesaat untuk menolak keinginan jiwa yang selalu mengajak kepada kesenangan-kesenangan, dapat menghindarkan dari perbuatan yang keji dan durhaka. Jika meluangkan waktu yang sesaat hanya untuk Allah SWT ini diperpanjang menjadi lebih lama, seperti puasa, tentu dampak positifnya akan lebih baik. Oleh karenanya seorang muslim yang telah selesai berpuasa satu bulan penuh akan merayakan Hari Raya Idul Fitri, atau kembali kepada fitrahnya, atau akan merasa sebagaimana ia dicipta di Alam Amr yang selalu menghadap kepada Keagungan Allah, yang kadarnya sesuai dengan kualitas puasanya. Lalu bagaimana bila berdzikir atau menyebut-nyebut dan mengingat Allah pada setiap waktu, yang dalam Al Qur’an dikatakan lebih besar keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain. Sehingga sangat jelas bahwa rukun Islam adalah sarana untuk membuat tubuh menjadi baik dan begitu juga hatinya. Sarana bagi sesuatu yang bersifat halus atau lathaif yang berada didalam raga untuk menaik dan kembali kepada fitrahnya.

Kebanyakan para penempuh di jalan kesucian tidak terlalu perduli terhadap kejadian jiwa manusia, melainkan dipusatkan kepada cara-cara pengenalan terhadap tabiat alamiahnya dan cara memeranginya. Didalam Al Qur’an disebutkan secara rinci tentang kejadian ruh dan raga manusia, tetapi tidak demikian dengan kejadian jiwa. Padahal pengetahuan tentang Tuhan berkaitan dengan pengetahuan tentang jiwa, maka mustahil manusia dapat mengetahui pengetahuan tentang sifat jiwa secara paripurna, jika ia mengabaikan tentang kejadiannya. Sayidina Ali,ra., yang disebut oleh Rasulullah,saw., sebagai pintunya ilmu merasa kesulitan mengenal sifat-sifat jiwanya sendiri dengan berkata : ‘Aku dan jiwaku adalah seperti seorang gembala dan domba-dombanya. Setiap kali aku mengumpulkan mereka dari satu sisi, mereka berlarian ke arah lain,’ lalu bagaimana dengan manusia sesudahnya? Dan bagaimana dengan orang yang mengklaim dirinya telah mengenal Tuhannya?

Terdapat hadis Nabi,saw., yang mengatakan bahwa, ‘Yang pertama kali dicipta adalah pena.’ Pada hadis yang lain, beliau,saw., bersabda,‘Yang pertama kali dicipta adalah akal.’ Dan ada pula hadis yang mengatakan bahwa, ‘Yang pertama dicipta adalah Nuur Nabimu.’ Oleh karenanya merupakan sebuah keniscayaan bahwa akal, pena dan nuur (cahaya) mempunyai makna yang sama.

Sarana agar pena dapat menulis adalah Sang Penulis, lembaran dan cahaya. Saat menulis, pena selalu mempunyai dua wajah, yang satu menghadap kepada Sang Penulis dan yang lainnya menghadap kepada lembaran. Dengan kata lain, yang satu berpaling kepada Allah SWT dan yang lain berpaling dari Allah SWT. Atau dapat dikatakan yang satu merenungkan keagungan Kekuasaan Allah SWT Yang Tidak Berawal dan yang lain menatap Keindahan dari Kebijaksanaan-Nya Yang Tak Berakhir. Kedua wajah itu atau ‘pena’ bisa disebut sebagai ‘Akal,’ karena ia mempunyai kemampuan yang begitu tinggi untuk merenungkan keagungan dan kekuasaan-Nya dan merenungkan keindahan dan kebijaksanaan ciptaan-Nya. Allah SWT berfirman kepada akal : 'Berpalinglah ke sini, maka ia berpaling kepada-Nya. Lalu berpalinglah ke sana, maka ia berpaling dari-Nya.’ Oleh karenanya pena atau akal yang dicipta pertama kali di alam perintah (alm amr) oleh Allah SWT dapat disebut sebagai ‘Akal Universal’ atau ‘Nuur Muhammad’, sedangkan lembaran tempat pena menulis atau Lembaran Yang Terjaga (Lawh Mahfuz) dapat disebut sebagai ‘Jiwa Universal’. Sehingga ke tiga hadis diatas mempunyai makna yang sama, meskipun berbeda cara penyampaiannya.

Pendeknya, aktivitas antara Akal Universasl atau Nuur Muhamad dengan Jiwa Universal atau Lawh Mahfuz di alam amr, menjadikan ciptaan menuju eksitensi memasuki dunia perwujudan (alm khalq). Maka seluruh ciptaan atau makhluk berasal dari Akal Universal dan Jiwa Univesal. Sementara Jiwa Universal berasal dari Akal Universal, dan Akal Universal atau Nuur Muhammad berasal dari Allah di Alam Perintah. Sebab Allah SWT menciptakan Nuur Muhammad tanpa penyebab perantara, dan ini dikiaskan melalui kata ‘Perintah.’ Dengan cara yang sama Allah SWT menciptakan semua makhluk dengan sarana Nuur Muhammad, dan semua ini dinamakan ‘Ciptaan.’ Sebagaimana firman-Nya : ‘Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.’ (QS 7: 54).

Kehendak-Nya telah memilih ruh untuk mewakili-Nya di dunia Ciptaan. Jika ruh yang dicipta didalam alam perintah ditiupkan kedalam raga manusia yang dicipta di alam penciptaan, maka ruh akan terjebak. Karena secara tiba-tiba ruh tidak mempunyai wewenang untuk mengendalikan raga secara langsung. Ruh, melalui akal hanya berfungsi sebagai penasihat jiwa, meskipun ia mempunyai potensi untuk membuka perbendaharaan misteri-misteri Illahi. Pertemuan antara ruh dan raga, akan melahirkan sesuatu yang halus didalam diri manusia, yang disebut sebagai hati (qalb) dan jiwa (nafs), maka jika ada ke empat unsur ini, sempurnalah ia disebut sebagai manusia, yang terdiri dari raga (jasad), jiwa (nafs), hati (qalb) dan ruh.

Jiwa adalah alat kekerasan Tuhan, darinya timbul segala kejahatan dan kerusakan. Jiwa tidak menyatakan kebenaran dan hati tidak berdusta. Jiwa mempunyai sifat seperti binatang yang bernama bunglon, dimanapun ia berada, ia mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan warnanya. Dalam setiap kedipan mata, ia bisa melakukan tipuan yang berlainan. Panca indera merupakan kendali jiwa. Dengan berbagai cara, ia bisa melakukan tipu muslihat dengan cara yang amat halus, ataupun dengan cara terang-terangan tergantung kepada siapa ia berhadapan, sungguh luar biasa!

Seorang bayi yang dilahirkan, akan memancarkan aroma wangi yang mengingatkan seseorang akan masa kecilnya. Pertanda kesucian masih melekat didalam dirinya. Ia menangis keras saat mencium bau dunia ini dan syaithon memukul pinggangnya, babak baru kehidupan sebagaimana yang Digariskan akan dimulai. Sebelum empat puluh hari, ia masih suci, air seninya pun tidak dianggap najis oleh agama dan tidak membatalkan wudhu seseorang. Ruh atau akalnya masih tidur, yang dominan adalah jiwa hewaniyahnya atau naluri, sehingga yang dibutuhkan hanyalah minum air susu ibundanya, menangis jika haus dan tidur.

Jika ruh di ibaratkan seorang suami dan istrinya adalah jiwa, maka anaknya adalah raga atau panca indera, seperti Adam yang mempunyai istri Hawa dan anak-anaknya yang bernama Habil dan Qobil yang mewakili kebaikan dan keburukan. Adam mewakili ruh dan Hawa mewakili jiwa. Hawa terhasut oleh ajakan Iblis lalu mempengaruhi suaminya, yang pada akhirnya keduanya terjerumus. Oleh karenanya, setiap ‘keinginan diri’ disebut menggunakan istri nabiyullah Adam,as., yaitu Hawa Nafsu. Ruh mempunyai penasihat yang bernama akal dan jiwa mempunyai perdana menteri yang bernama syahwat. Setiap saat jiwa selalu dipengaruhi oleh tentara akal dan pasukan syahwat agar berbuat sebagaimana keinginannya. Akal selalu mengajak kepada ingatan akan Tuhan, sedangkan syahwat selalu mengajak kepada kesenangan terhadap ciptaan Tuhan atau dunia. Jiwa selalu dalam keadaan yang demikian, yang terombang ambing oleh dua kekuatan yang berbeda, oleh karenanya ia disebut sebagai jiwa. Akal akan terus tumbuh sedikit demi sedikit seiring dengan tumbuhnya raga, melalui pengaruh hubungan yang terus berubah antara kedua orang tuanya. Sampai dengan akalnya dianggap dewasa dan dapat membedakan yang baik dan buruk, barulah hukum syariat agama berlaku atasnya. Itulah mengapa Rasulullah,saw., bersabda : ‘Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah lalu kedua orang tuanyalah yg menjadikannya sebagai seorang yahudi, nasrani dan majusi (penyembah api). Apabila kedua orang tuanya muslim, maka anaknya pun akan menjadi muslim. Setiap bayi yg dilahirkan dipukul oleh syetan pada kedua pinggangnya, kecuali Maryam dan anaknya.’

Dimulailah proses yang ajaib dari seorang manusia, apakah ia senang hidup didalam dunia kegelapan atau berusaha berjuang untuk kembali sebagai ia dicipta di alam perintah, suci dan mengenal Tuhan. Inti daripada jiwa adalah hawa nafsu, dalam hadis disebutkan : ‘Segala sesuatu memiliki jiwa, dan jiwa dari jiwa adalah hawa nafsu.’ Apabila jiwa disapih dari hawa nafsu dengan cara dipisahkan darinya, ia akan berhenti mengatur, apalagi merongrong untuk melakukan keburukan dan jika bergerak menjauh dari syahwat dan mendekati tahap perdamaian dengan Akal, maka hati mengalami suatu perubahan yang sesuai dengan itu, dan berlaku pula sebaliknya. Disinilah dimulainya Perang Suci melawan diri sendiri, disinilah menjadi wajib hukumnya mempunyai seorang Pembimbing Ruhani untuk menuntun jalan pulang sebelum kematian tiba. Melalui perjuangan yang sungguh-sungguh dan berperang melawan jiwa, seseorang akan mengalami pengalaman-pengalaman mistis yang terus berubah sebagai bentuk Anugerah dari Allah yang disebut sebagai Maqom atau Kedudukan. Ia akan menaik dari alam Nasut ke alam Malakut, atau Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) menyebutnya ‘Ia akan terbang sebagaimana laron menuju cahaya yang kemudian mati terbakar.’ Maksudnya akan terbakar kediriannya atau nafsnya, menjadi fana terhadap dirinya sendiri.

Demikian para sahabat, semoga Allah SWT menolong kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.