Jumat, 30 Oktober 2015

ADAB KEPADA ALLAH

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Pengajian tanggal 30 Oktober 2015 membahas tentang adab kepada Allah SWT dari kitab Kasyful Mahjub karya Imam Al Hujwiri,qs., yang masyhur itu. Meskipun Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) sering mengatakan bahwa pengajian ini terlalu jauh, namun pada kenyataannya belum juga dilakukan perubahan. Ini merupakan contoh adab yang buruk dalam bertasawuf, karena tidak bergegas mengganti kitab yang dibaca dengan kitab yang lain. Kitab ini ditulis dengan gaya mutholaah dari seorang syaikh yang agung, semua mengatakan bahwa kitab ini sulit dipahami, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) menyebut sebagai kitab klasik tasawuf. Beliau mempunyai adab yang tinggi, dalam tulisannya tidak pernah menyalahkan pendapat para syaikh sufi, bahkan banyak memujinya, meskipun pada akhir bab beliau selalu menyampaikan pendapatnya. Uniknya, kitab ini menjelaskan tentang 12 mahzab dalam tasawuf yang tidak bisa dijumpai dalam kitab tasawuf yang lain, indah, rinci dan selalu memberikan ilmu yang lain ketika membacanya. Semoga Allah mensucikan ruhnya.

Guru kami tercinta, Syaikh Waasi Achmad Syaechudin (semoga Allah merahmatinya) bila menegur murid-muridnya menggunakan bahasa isyarat yang lembut, kadangkala dengan bahasa pujian, hal ini yang sering membuat para murid salah menerimanya. Kita harus bijaksana menyikapi hal ini. Pengajian tadi malam juga mempunyai makna yang sangat dalam. Karena adab kepada Yang Maha lembut, Yang Maha Tersembunyi sangat sulit dilakukan, meskipun dengan cara dipaksa melakukannya, tetapi bila keadaan ruhaninya belum sampai, maka akan sia-sia saja upayanya. Bagaimana seseorang bisa memasang adab kepada yang belum dikenal? Sedangkan kepada yang sudah dikenal saja sulit dilakukan. Bagaimana akal bisa mengenal yang lain? Sedangkan mengenal dirinya saja tidak bisa. Orang yang sudah mengenal dirinya adalah orang yang mempunyai keadaan ruhani yang tinggi. Karena ada sebuah hadis yang mengatakan bahwa : ‘Man arofa nafsahu faqod arofa robbahu, barang siapa mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya.’ Oleh karenanya, mengenal dalam terminology tasawuf disebut sebagai ma’rifat.

Orang yang sudah mengenal Tuhannya maka ia akan mencintai-Nya, ada istilah tua yang mengatakan bahwa ‘Tak kenal maka tak sayang,’ yang berarti bahwa bila kenal maka ia akan sayang atau akan mencintai-Nya. Tanda cinta adalah akan selalu mengingat dan menyebut-nyebut nama-Nya. Dalam terminology tasawuf mengingat dan menyebut-nyebut nama-Nya disebut sebagai dzikrullah. Mengingat-Nya berarti melupakan yang lain. Oleh karenanya, dzikrullah bisa disebut sebagai tanda cinta. Nah, barang siapa melakukan dzikrullah namun masih mengingat yang lain, maka ia belum melakukannya secara benar, melainkan mengingat dunia. Orang yang mengingat dunia akan terwarnai jiwanya oleh dunia, ada sabda dari Rasulullah,saw.,:'Ad-dunya ma'ulatun,' jika diartikan seacara bebas bahwa 'dunia itu dilaknat.' Kenapa? Karena dunia memenuhi pikiran hamba-hamba Tuhan dan menjauhkan mereka dari pengabdian kepada Ilahi serta memperbudaknya. Begitu pula orang yang mengingat Allah akan terwanai jiwanya oleh Allah SWT, sebagaimana yang tertulis dalam ayat Al Qur'an yang mengatakan bahwa : 'Karena itu, ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku ingat pula kepadamu,' (QS 002 : 152). Orang yang benar berdzikirnya maka akan benar pula adabnya, tetapi orang yang salah dzikirnya akan merasa benar adabnya tetapi buruk perilakunya. Jika adab para murid terlihat mundur, maka Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) segera memerintahkannya untuk berkhalwat. Khalwat adalah salah satu obat yang mujarob dan sangat cepat untuk memperbaiki adab para murid. Khalwat bisa juga dikatakan sebagai latihan keruhanian yang sangat jitu, memasang adab kepada Allah dalam kewaspadaan yang tinggi. Meskipun dalam berkhalwat sudah diberikan menu yang sangat ketat agar para salik tidak lepas dari mengingat Allah, salah satunya dengan mendatangkan sebuah rasa seolah-olah menjemput kematian, namun para salik masih bisa juga lalai dalam dzikirnya, dan dalam keadaan berdzikir para salik masih bisa lepas dari dzikirnya, karena ia mengingat dunia. Oleh karenanya, untuk menolong para murid agar tidak jenuh dan tidak tersesat dalam perjalanannya, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) memberikan berbagai kaifiat dalam berkhalwat. Begitu juga Kwaja Abdul Kholiq Al Ghujdawani,qs., menyusun delapan prinsip dalam bertasawuf. Yang intinya adalah berpindah dari kehidupan biasa kedalam kehidupan kesucian, dengan mengisi seluruh pikiran, nafas dengan dzikrullah dan bila lupa berdzikir lalu ingat akan kewajibannya maka ia akan mengawali dzikirnya dengan membaca doa ‘Illaahi anta maqsudi, waridhoka matlubi a'tini mahabbataka wa mari'fataka Yaa Arhamar Rohimiin,' lalu dilanjutkan dengan berdzikir, muhasabah dan muroqobah.

Pekerjaan utama bagi orang-orang yang bertasawuf adalah dzikrullah, dan kita sudah memahami betapa sulit melakukannya. Apalagi bentuk peribadatan yang lain yang berupa muroqobah. Oleh karenanya adab yang indah merupakan musyahadah, dan musyahadah berada dalam genggaman Allah SWT. Atau buah dari melakukan pekerjaan tarekat dengan benar, meskipun bukan merupakan penyebab langsung.

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) dalam pengajian ini berkata bahwa : ‘Kerjakan dawamudz dzikri wa dawamun ubudiyah selama 30 hari tanpa putus dan melakukan muroqobah awal berupa merasa diawasi oleh Allah SWT terus menerus, maka insya Allah akan diperoleh kejelasan tentang adab.’ Wejangan ini tinggi sekali maknanya dan perlu penjelasan secara rinci, karena hal tersebut adalah pekerjaan menyeluruh bagi orang-orang yang bertasawuf. Dilain kesempatan beliau berkata bahwa : ‘Tasawuf adalah ilmu tahapan bukan ilmu anjuran.’ Nah kita sudah mengetahui betapa sulitnya mendawamkan dzikir dengan benar, lalu mendawamkan ubudiyah dan muroqobah? Imam Qusyairy,qs., mengatakan bahwa ubudiyah adalah sebuah maqom yang tinggi. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata bahwa : ‘Ubudiyah adalah melakukan peribadatan yang berkualitas tinggi.’ Maksudnya adalah bukan dari banyaknya berdzikir, sholat malam dan berpuasa saja, melainkan ada sesuatu yang berbeda didalam hatinya, yaitu secara teguh ‘merasa’ bahwa semua bentuk tindak peribadatannya adalah bukan karena kemampuannya melainkan karena Allah SWT. Lalu agar ‘merasa’ diawasi terus menerus oleh Allah SWT, bukankah ‘rasa’ itu adalah musyahadah dan musyahadah berada digenggaman Allah SWT? Dan bukankah ini adalah ihsan? Sebagaimana sebuah hadis yang meriwayatkan ketika Rasulullah,saw., ditanya oleh sayyidina Jibril,as., : 'Katakanlah kepadaku, apakah ihsan itu?' Beliau,saw., menjawab : 'Ihsan yaitu hendaknya engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, namun jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.' Sayydina Jibril,as., berkata : 'Engkau benar.' Kesadaran merasa diawasi terus menerus merupakan mawas diri, dan teguhnya mawas diri merupakan muroqobah kepada Allah SWT. Seseorang sampai pada keadaan ini setelah sepenuhnya melakukan wuquf adadi, wuquf zamani dan wuquf qolbi atau sepenuhnya melakukan muhasabah mengenai apa yang telah terjadi dimasa lampau, memperbaiki keadaannya dimasa kini, tetap teguh dijalan yang benar, memperbaiki hubungannya kepada Allah sepenuh hati dan menjaga diri dalam setiap kondisi selalu berdzikir. Seluruh tahapan itu harus dilakukan dengan kaifiat yang benar. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata bahwa : 'Barang siapa dapat melakukan muroqobah dengan benar dalam jangka waktu 6 bulan, maka orang itu termasuk jenius dalam bertasawuf.' Dikarenakan, pengetahuan tentang muroqobah, kaifiat atau tata cara mengerjakannya, melakukan pekerjaannya dan muroqobah itu sendiri adalah hal yang berbeda. Apa yang disampaikan disini adalah pengetahuan tentang muroqobah bukan muroqobah itu sendiri.

Dawamudz dzikri wa dawamun ubudiyah adalah pekerjaan orang-orang yang bertarekat, begitu pula muroqobah. Sesungguhnya hal ini tidak perlu dianjurkan, karena sudah merupakan pakain para ahli tarekat. Oleh karenanya wejangan Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) pada malam itu, perlu direnungi maknanya dengan bijaksana, jangan-jangan beliau mencium bahwa kita tidak secara istiqomah melakukan pekerjaan tarekat yang telah diperoleh melalui ijazah. Jangan-jangan kita tidak pernah bertanya cara berdzikir, ubudiyah dan muroqobah yang benar kepada yang mulia Syaikhuna, jangan-jangan kita hanya bertanya tentang keluh kesah tentang kehidupan dunia. Jangan-jangan kita tidak bersyukur atas apa yang kita peroleh dalam pengajian ini, sebagaimana hujan yang turun dengan deras beberapa jam sebelum kholaqoh dzikir dimulai dan ada yang mengeluh karena terganggu acaranya, tanpa menyadari apalagi mensyukuri bahwa hujan adalah rahmat. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) selalu memerintahkan murid-muridnya untuk bersyukur tatkala hujan turun. karena hujan merupakan analogi bagi Al Qur'an yang dapat menghidupkan hati yang mati sebagaimana hujan menghidupkan bumi yang telah mati. Guntur itu seperti ayat-ayat Al Qur'an yang mengancam dan menakut-nakuti bagi pembuat dosa, sementara kilat bagaikan kesaksian pada keimanan. Orang kafir meletakkan jari-jarinya ditelinga agar tidak mendengar suara guntur, sebagaimana mereka mendengar ayat-ayat al Qur'an, yang membocorkan rahasia mereka. Meraka takut hati mereka akan cenderung padanya, bahwa itu akan membawa mereka menuju kepasrahan (Islam) dan iman. Wallahualam, hanya Allah saja yang mengetahuinya, semoga Allah mengampuni kita.

Jumat, 23 Oktober 2015

ADAB

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: 'Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.'

Kata menyempurnakan pada hadis diatas dapat berarti merubah sesuatu menjadi lebih baik atau terpuji. Menyempurnakan akhlak sungguh sulit dilakukan, karena hal ini berkaitan dengan pendidikan jiwa seseorang, atau pendidikan sesuatu yang halus yang berada pada seseorang. Kitab petunjuk yang sempurna untuk menyempurnakannya adalah Al Qur'an atau wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasulullah,saw., melalui Malaikat Jibril,as. Seorang ulama mengatakan bahwa lebih sulit merubah jiwa seseorang dibanding dengan memindahkan gunung, ini adalah ungkapan yang mencerminkan pekerjaan yang hampir mustahil dengan jalan biasa. Sejarah telah membuktikan bahwa perubahan jiwa tidak mungkin dilakukan dengan cara revolusi melainkan evolusi atau tahap demi tahap dengan cara bimbingan atau pendidikan bukan pengajaran. Karena bimbingan atau pendidikan membutuhkan bukan saja ilmu pengetahuannya, melainkan contoh pendidik dalam bentuk perilaku kesehariannya. Oleh karenanya, betapa berat tugas yang di emban oleh Rasulullah,saw., para sahabat, ulama terkemudian, para mursyid dan para syaikh.

Yang mulia Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata bahwa : ‘Sebaik-baik manusia adalah yang paling baik adabnya dan sebaik-baik adab adalah baginda Rasulullah,saw. Karena keindahan adab ini, Allah SWT mencintainya.' Maka sahabat-sahabat terdekatnya juga mempunyai adab yang indah, sebagai akibat dari kepatuhan dan hurmat kepadanya. Sehingga terpelihara jalur cahaya dari dan kepada baginda Rasulullah,saw., (Nuurun alaa Nuur), yang pada akhirnya sampai kepada Allah SWT. Sekarang baginda Rasulullah,saw., dan para sahabat tercinta telah tiada, juga para masyaikh terdahulu. Oleh karenanya, tugas tersebut berada diatas pundak para pembimbing ruhani atau mursyid. Para salik berlomba untuk memasang adab yang baik kepada mursyidnya atau syaikhnya, agar cahaya (nuurun alaa nuur) itu tetap ada. Meskipun keadaan ruhani para murid belum sampai pada maqom adab, tetapi mereka berupaya dengan sekuat tenaganya dengan berpedoman kepada kitab adab yang disusun oleh para masyaikh terdahulu, yaitu adab antara murid dengan guru dan guru dengan murid. Kitab adab ini memberikan batasan yang tidak boleh dilanggar oleh para murid terhadap gurunya dan guru terhadap muridnya. Kepatuhan terhadap adab wajib diperlukan oleh para murid agar tidak tertutup jalan yang sedang ditempuh. Para salik menyadari bahwa buah daripada dzikrullah adalah keindahan adab, yang tercermin pada perilaku yang santun dan penuh dengan kasih sayang kepada sesama makhluk. Oleh sebab itu, kecerdasan spiritual seorang salik menjadi ujung tombak dari setiap tindakannya, jangan sampai dzikir menjadi tujuannnya, melainkan sebuah sarana untuk mencapai adab yang baik. Adab bisa dikatakan sebagai buah dari menanam pohon dzikir, tetapi pohon dzikir bukan merupakan sebab langsung dari buah adab, melainkan inayah dari Allah SWT, namun tanpa pohon dzikir mustahil seseorang akan baik buah adabnya.

Pengajian yang diadakan pada tanggal 23 Oktober 2015 berbicara tentang adab. Ustadz Yordanis Salam menyampaikannya secara apik dari kitab Kasyful Mahjub karya Imam Hujwiri,qs. Beliau berkata bahwasannya baginda Rasulullah,saw., bersabda : 'Perilaku-perilaku yang baik adalah bagian dari iman.' Tatakrama urusan duniawi maupun agama bergantung pada aturan-aturan disiplin (adab). Dikalangan manusia, perilaku yang baik adalah berbuat kebajikan, sedangkan bagi agama, perilaku yang baik itu adalah menunaikan Sunnah Nabi,saw., dan sehubungan dengan cinta, perilaku yang baik adalah penghurmatan. Imam Hujwiri,qs., berkata bahwa : 'Seseorang yang dengan seenaknya tidak menghurmati, maka ia tidak mempunyai tempat pada jalan tasawuf.' Bagi orang-orang yang bertasawuf, menghurmati yang lebih tua adalah pakaiannya dan menyayangi yang muda adalah pakaian yang lain. Jika mereka melihat sahabatnya baik lebih tua usianya ataupun lebih muda, ia akan segera mendatangi dan menghurmati serta mengucap salam kepada sahabatnya itu, bukan menunggu untuk didatangi dan dihurmati.

Seseorang mengatakan bahwa : ‘Kita adalah jiwa-jiwa yang pesakitan, oleh karenanya kita memohon kepada Allah SWT agar memperbaiki adab kita.’ Sesungguhnya ini adalah perkataan seorang syaikh sebagai pembimbing ruhani dan tidak boleh diucapkan oleh seorang salik, apalagi di majlis dzikir. Gunakan cara yang disukai semua orang. Ini adalah sedekah yang paling baik, yaitu dengan membuat orang senang, membuat yang hadir senang. Jagalah kehormatan mereka agar nanti mereka akan datang lagi. Berkah Allah swt berada dalam suatu pertemuan. Dia mengirimkan rahmat dari Samudra Rahmat-Nya bahkan kepada dua orang yang mengadakan pertemuan karena Allah swt. Sesama salik wajib mengucapkan kalimat-kalimat pujian yang indah, mengutamakan kepentingan orang lain daripada kepentingan dirinya sendiri dan berlaku adil bukan menuntut keadilan. Sebagaimana firman Allah SWT : 'Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik serta bantahlah mereka dengan cara yang baik,' (QS 16 : 125). Bagaimana Allah SWT akan memperbaiki adab kita, sedangkan kita tidak berupaya untuk memperbaikinya? Jika seseorang meyakini bahwa di kholaqoh dzikir juga dihadiri oleh makhluk ruhani yang mempunyai kedekatan dengan Allah SWT, dihadiri oleh para syaikh dan pemilik maqom yang tinggi, maka seorang salik tidak akan berani mengatakan hal seperti itu, tidak berani mengutip perkataan syaikh tanpa seizinnya, karena ini menunjukkan adab yang buruk, atau dengan jelas melanggar adab yang disusun oleh para masyaikh. Tidak sama, botaknya burung beo dengan seorang ulama, begitulah kira-kira sindirian Hadrat Maulana Jalaluddin Rumi,qs., terhadap orang-orang yang suka mengutip perkataan tanpa izin dari gurunya, sebagaimana yang tertulis dalam kitab Mastnawi. Karena itu, para murid mestilah saling mengetahui, mengenal dan mencintai satu sama lain demi keridhaan Allah dan Nabi-Nya serta para Kekasih-Nya agar diri ini mampu memasuki cahaya penuh berkah dan masuk kedalam lingkaran tertinggi dari persahabatan, jauh dari perpecahan dan keangkuhan. Kewajiban pertama seorang Murid setelah mendapat ijazah tarekat adalah untuk mencintai sesama saudara sepengajiannya secara khusus dan seluruh umat islam pada umumnya dengan sepenuh hati, karena Syaikh juga mencintai mereka semua.

Kalau kita tidak dapat menyadari betapa rusaknya jiwa ini dan tidak tahu cara mengobatinya, maka berhentilah merusaknya! Kita adalah apa yang kita lakukan, bukan apa yang kita bicarakan. Oleh karenanya mustahil keindahan adab tanpa adanya ketaatan, tidaklah mungkin ketaatan tanpa hidayah dan hidayah tanpa ketaatan. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) pernah berkata : 'Lebih baik bagimu, memandang diri ini hina.' Wejangan ini indah sekali, orang yang merasa hina dihadapan Allah, maka Allah tidak akan membiarkan dirinya di tingkat itu, melainkan akan mengangkat derajatnya. Sebagaimana sebuah hadis yang mengatakan bahwa orang yang merendahkan hatinya di hadapan Allah, maka Allah akan mengangkat derajatnya. Sebaliknya, orang yang menyombongkan dirinya di hadapan Allah akan dijadikan hina oleh-Nya. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) jika masuk kedalam masjid, selalu duduk dibelakang untuk memberikan kesempatan kepada yang lain untuk duduk didepan. Oleh karenanya, ketika kita datang ke suatu pertemuan atau majlis, duduklah di barisan belakang dan tunggu sampai ada yang mengundangmu untuk maju.

Jika ada seorang salik yang terlontar egonya seperti itu, jangan dilawan dengan ego juga, karena akan terjadi benturan, inilah yang dikehendaki oleh syaithon, lawanlah dengan hati, kelemah lembutan dn kasih sayang. Ada sebuah cerita, seorang ayah sedang merintih kesakitan, sang anak bertanya 'Mengapa ayah kesakitan seperti itu?' 'Ayah digigit anjing,' jawab sang ayah. Si anak bertanya 'Mengapa ayah tidak membalas menggigit?' Sang Ayah menjawab : 'Ayah bukan anjing.' Begitulah dialog yang singkat itu, jiwa yang sudah dewasa akan menyadari bahwa didadalam dirinya ada sifat binatang, maka dekati dia untuk ditentang bukan diikuti.

Syaikhuna (semoga Allah merahmahtinya) berkata : ‘Adab berkenaan dengan tingkat keimanan seseorang, semakin baik imannya maka semakin baik pula adabnya, dan memperbaiki keimanan adalah dengan dzikrullah.’ Wejangan yang mulia Syaikhuna teramat jelas, bahwasannya ada kaitan yang erat antara dzikrullah dengan adab. Oleh karenanya orang yang berdzikir namun adabnya tetap buruk, pertanda dzikirnya untuk dirinya bukan untuk Tuhannya. Dia menanam tetapi tidak berbuah, sia-sia upaya menanamnya, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) menyebut sebagai perbuatan yang tidak membekas kepada jiwa namun tetap berpahala. Lalu apa ukurannya bagi seorang pendzikir bahwa adabnya telah menjadi baik? Penjelasan ini tidak perlu menggunakan terminologi tasawuf yang sulit dipahami, akan tetapi mari kita perhatikan diri kita sendiri, bagaimana adab kita terhadap keluarga, adab kepada tetangga, adab kepada sahabat, adab kepada guru dan para masyaikh, adab kepada Rasulullah,saw., dan adab kepada Allah SWT.

Hadis yang mulia mengatakan bahwa : 'Orang yang imannya paling sempurna diantara kaum mukminin adalah orang yang paling bagus adabnya di antara mereka, dan sebaik-baik kalian adalah yang terbaik adabnya terhadap istri-istrinya.' Dan Beliau juga bersabda: 'Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Dan akulah yang paling baik di antara kalian dalam bermuamalah dengan keluargaku.' Nah, dengan berpegang kepada hadis ini, kita bisa mengukur apakah dzikir yang telah kita lakukan bertahun-tahun dengan berbagai macam kaifiat telah berbuah? kita bisa jujur terhadap hal ini, jika tahapan adab yang pertama belum bisa dipenuhi, maka jangan merasa bahwa adab yang lain telah teraih. Jika kita belum baik adabnya terhadap istri-istri dan keluarga, jangan bermimpi bahwa adab terhadap tetangga, sahabat, guru dan para masyaikh, Rasulullah,saw., dan kepada Allah menjadi baik. Jangan terlalu banyak memakai topeng kehidupan, hanya menginginkan sanjungan dari orang lain. Jangan terjebak oleh tipu daya jiwa rendah, hanya untuk melihat kekurangan orang lain, akan tetapi tidak memperbaiki kelemahan diri. Jangan menasehati orang lain, hanya karena ingin dikatakan orang yang berilmu. Jangan mengajak orang lain mengaji, hanya karena memandang indah dirinya. Seseorang diikuti oleh orang lain bukan karena perkataannya, melainkan perilakuknya atau adabnya yang indah.

Dzikrullah akan menghasilkan kejelasan-kejelasan tentang hidayah dan petolongan dari Allah SWT. Kejelasannya berupa bentuk mujahadah dan pertolongan-Nya berupa kemampuan untuk melakukannya. Oleh karenanya, erat kaitannya antara adab dengan mujahadah. Jika mujahadah ini tidak dilakukan, maka akan sia-sia upayanya utuk memperoleh hidayah yang lain, meskipun berpahala, seperti menanam pohon yang lebat daunnya tetapi tidak berbuah. Bentuk mujahadahnya berupa adanya pilihan untuk melawan keinginan diri, yang akan mengantarkan kepada kebaikan adab. Semua bentuk mujahadah akan berkenaan dengan hal ini, hanya tingkat kesulitannya yang berbeda-beda. Bermanfaat dan menyenangkan bagi orang lain adalah bagian dari menekan jiwa rendah, bukan ingin diberi manfaat dan disenangkan oleh orang lain. Sungguh sangat disayangkan jika medan mujahadah terbentang dihadapan kita, namun kita lewatkan begitu saja, tanpa mencoba dengan sekuat tenaga memeranginya. Oleh sebab itu Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata bahwa 'Tasawuf adalah adab, tasawuf adalah berperang melawan diri dan tasawuf adalah kesadaran.'