Senin, 11 Maret 2013

KEBIJAKSANAAN

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Cara-cara yang hebat telah dilakukan oleh para waliyullah di tanah jawa untuk menarik hati masyarakat, yang tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Syaikh Maulana Malik Ibrahim,ra., atau disebut Sunan Gresik, Syekh Maghribi, atau terkadang Makhdum Ibrahim As-Samarqandy mendakwahkan Islam di Jawa dengan mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa yang tersisihkan akhir kekuasaan Majapahit. Begitu juga dengan Sunan Bonang putra Sunan Ampel, banyak berdakwah melalui kesenian untuk menarik penduduk Jawa agar memeluk agama Islam. Ajarannya berintikan pada ‘Cinta’, persis sebagaimana yang diajarkan oleh Hadrat Jalalludin Rumi.ra. Agar cepat mengenai sasarannya, disampaikan melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Karya sastra berupa tembang tamsil (suluk), salah satunya adalah "Suluk Wijil". Banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung laut. Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh Syaikh. Ibnu Arabi,ra., Syaikh. Fariduddin Attar,ra., Hadrat Maulana Jalalludin Rumi,ra., serta Hamzah Fansuri.ra. Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan transedental. Tembang "Tombo Ati" adalah salah satu karya Sunan Bonang. jelas sekali bahwa ajarannya adalah tentang konsep penyucian diri atau tasawuf. lima 'tombo ati' atau obat hati adalah membaca Al Qur'an dan maknanya, sholat malam, berkumpul dengan orang sholeh, puasa dan dzikir pada malam hari yang banyak. Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa ditafsirkan Sunan Bonang sebagai peperangan antara nafi (peniadaan) dan 'isbat (peneguhan).

Kebijaksanaan yang demikian dilakukan tentunya dengan kajian dan penglihatan spiritual yang begitu tajam. Karena budaya merupakan himpunan daripada adab-adab yang terpuji, oleh karenanya memang sangat tepat menyisipkan ajaran agama Islam didalam budaya yang saat itu sedang digandrungi oleh masyarakat. Meskipun bila di abad sekarang dilakukan akan banyak ulama zhahiran yang mengatakan bid’ah.

Di Bukhara dan Samarkand, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) menerima beberapa kitab dan sejarah atau biografi atau manaqib para waliyullah yang berada disana dalam bahasa Rusia bukan bahasa Arab, meskipun kandungannya berisi inti ajaran agama Islam. Karena saat itu Uzbekistan belum lama lepas dari kekuasaan Uni Sovyet. Tujuannya jelas agar mudah dimengerti oleh masyarakatnya.

Di tanah jawa, para ulama menyampaikan pengetahuan agama dengan bahasa yang dimengerti oleh masayarakat, dan tidak melulu menggunakan bahasa Arab. Di zaman kini terbalik, suka atau tidak yang disampaikan dalam bahasa Arab, agar dianggap sebagai santri atau jebolan pesantren. Biografi Tuan Syaikh Abdul Qodir Al Jailani,qs, yang lahir di Iran dan hijrah ke Irak juga dibacakan dalam bahasa Arab. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) menangkap keluhan para tamu yang hadir dalam acara Mawlid dengan mengatakan bahwa : ‘Mengerti atau tidak mengerti, mendengarkan manaqiban Sayyid Abdul Qodir Al Jailani,qs., dalam bahasa Arab akan mendapatkan fadhilah yang besar, akan berpahala yang besar.’
Orang yang mengikat egonya, akan memperoleh kebijaksanaan. Kebijaksanaan akan menghasilkan keakraban dan penghurmatan. Sebaliknya orang yang mengedepankan egonya akan menutup kebijaksanaan, yang akan menghasilkan fitnah-fitnah. Belajar dari Sunan Gresik,ra., dan Sunan Bonang,ra., sungguh nyata bahwa dalam dakwah harus secara sederhana dan mengenai sasaran, oleh sebab itu agar masyarakat dapat memahami pengetahuan agama secara cepat, bahasa yang digunakan adalah bahasa daerah yang dapat dimengerti oleh masayarakat dan bukan dalam bahasa Arab, bahkan melalui perantara peleburan budaya, agar tujuan utamanya tercapai, yaitu mengakui bahwa tiada tuhan yang disembah kecuali Allah ‘Laa Ilaaha Illallaah.’

Peringatan Mawlid mempunyai makna yang begitu tinggi di hati masyarakat Tarekat. Ada yang memperingatinya secara sendiri-sendiri dan ada juga yang berkelompok. Masing-masing mempunyai cara yang berbeda-beda. Ada yang bangun malam lalu mendendangkan shalawat, ada yang berkelompok membaca syair-syair pujian dalam bentuk prosa. Pembacaan asrokol dirancang sedemikian rupa indahnya, waktu berdiripun singkat tetapi tidak mengurangi sedikitpun rasa hurmat kepada Nabi,saw. Di Sekolah Dasar melombakan seni tari dan membaca syair, para guru membacakan biografi Nabi Muhammad,saw. Caranya berbeda-beda tetapi tujuannya sama, menyambut hari datangnya cahaya keatas bumi ini. Konsumsi Sekolah Dasar berbeda dengan konsumsi Perguruan Tinggi, dibutuhkan kebijaksanaan agar tujuannya mengenai sasaran secara tepat.

Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) bertanya kepada salah seorang muridnya selepas perayaan Mawlid : ‘Mengapa tidak membaca Asma ul-Husna dengan Jalla Jalaaluhu dan mengapa tidak membaca Silsilah Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah serta mengapa sebelum dzikir bersama acara sudah ditutup? Padahal hukumnya wajib bagi tarekat kita.’ Kebijaksanaan perlu dikedepankan, tidaklah tepat bila anak-anak Sekolah Dasar disuguhi menu makanan Perguruan Tinggi. Tidaklah bijaksana membawa-bawa ego didepan guru, kita semua adalah ‘menerima’ dari guru bukan ‘memberi’, satu-satunya yang boleh diberikan kepada guru adalah patuh lantaran hurmat, karena kepatuhan dan kehurmatan adalah dua tiang penopang cinta.

Semoga menjadikan renungan bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.